Share

Bab 9 Mencari Caramel

Kepergian Caramel dari rumah Yuan membawa kesedihan tersendiri bagi Caramel. Jika bukan karena mengikuti suaminya, Caramel akan lebih memilih untuk menempati rumahnya yang sederhana tapi penuh cinta.

Meski rumahnya tidak mewah seperti rumah suaminya, tapi di rumah sederhana itu Caramel bisa menemukan kenyamanan dan kebahagiaan. Berbeda halnya dengan rumah Yuan yang hanya merasakan kesedihan karena keberadaannya tidak dianggap.

Caramel berjalan menyusuri trotoar dengan beralaskan sandal yang sudah usang. Sama sekali tidak mencerminkan bahwa dirinya seorang istri dari pengusaha muda ternama. Ia terus berjalan dan menaiki angkutan umum menuju pemakaman ibunya.

Air mata Caramel terjatuh saat melihat gundukan tanah yang mulai mengering.

“Ibu ... Caramel datang, Bu. Caramel bawakan bunga kesukaan ibu,” ucap Caramel sesampainya di depan pusara makam ibunya dan meletakkan seikat bunga yang sempat dia beli di dekat gerbang pemakaman.

Bibir Caramel bergetar menahan tangis.

“Caramel kangen banget sama ibu. Kenapa ibu pergi secepat ini? Caramel belum siap menghadapi hidup ini sendirian, Bu. Caramel butuh ibu untuk menguatkan Caramel saat Caramel sedih.”

Perasaan Caramel semakin teriris. Hatinya pilu. Kehidupan yang kini ia jalani ternyata lebih menyakitkan.

Caramel memeluk nisan sang ibu. Dia mengadukan apa yang menjadi kesedihannya. Dia juga menceritakan awal mula bisa menikah dengan Yuan hingga kini Devon berada di Singapura.

“Ternyata sabar itu sakit, ya, Bu … semua orang bisa berkata sabar tapi mereka tidak bisa merasakan kesedihan di dalam kesabaran itu. Luka itu tidak bersuara, karena air mata jatuh tanpa berbicara. Semoga aku bisa menerima takdirku dan Allah memberikan aku kekuatan untuk memahami semua ini sebagai Anugerah.”

Caramel memejamkan mata. Rasanya terasa berat kehidupan yang ia alami sekarang. Statusnya sebagai istri tak mampu ia emban karena penolakan dari mertua dan keluarga suaminya.

“Jika perceraian jalan terbaik, aku ikhlas menerima takdirku sebagai janda,” lirih Caramel terdengar putus asa. Rasanya mustahil baginya untuk bisa meluluhkan hati Damitri yang sekeras baja.

***

Tring!

Ponsel Yuan berdering tanda adanya pesan masuk dari seseorang. Yuan sedang menatap layar monitor laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaan hingga ia mengabaikan pesan tersebut.

Yuan masih terus bergelut dengan pekerjaan dan mengabaikan ponselnya. Karena jika bukan sebuah panggilan maka Yuan tidak akan cepat menanggapi.

Pekerjaan Yuan sangat banyak, hingga ia tidak sempat membuka ponselnya hingga waktu menunjukkan pukul delapan malam.

Tok! Tok!

“Masuk!” sahut Yuan masih terfokus dengan laptop yang ada di depannya.

“Sudah jam delapan malam, Tuan. Apa tidak sebaiknya Tuan pulang saja dan melanjutkan pekerjaan besok? Istri Anda pasti sudah menunggu di rumah, Tuan,” ucap Dirga. Asisten Yuan yang menjadi saksi pernikahan Yuan dan Caramel.

“Iya, ini juga sudah selesai. Terima kasih sudah mengingatkan. Kalau begitu aku pulang dulu, tolong kamu beresi semuanya, ya,” pinta Yuan seraya menutup laptop kemudian mengenakan jas yang bertengger di kursi kebesarannya.

“Baik, Tuan,” jawab Dirga.

Yuan mengambil ponsel yang tergeletak di atas tumpukan berkas dan memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celananya tanpa melihat terlebih dahulu pesan yang seseorang kirim untuk dirinya.

“Jangan lupa kunci pintunya,” ucap Yuan sambil berlalu dari hadapan Dirga.

“Baik, Tuan.”

Semenjak Surya dipecat, Yuan belum berniat untuk menggantikan posisi Surya. Ia lebih memilih untuk menyetir mobilnya sendiri. Surya telah banyak berjasa untuk keluarganya. Bahkan Surya sudah bekerja sejak ayahnya masih hidup. Sebenarnya sangat disayangkan, tetapi itu lebih baik daripada Surya harus di penjara dan tidak bisa lagi menafkahi istri dan anak-anaknya.

Gemerlapnya kota Jakarta yang penuh dengan hingar bingar, mengingatkan Yuan dengan sosok Caramel yang sedikit mencuri perhatiannya. Kilasan bayangan Caramel mulai bermunculan di pikirannya.

Entah apa yang dimiliki wanita itu hingga dengan cepat menjerat Yuan yang terkenal dengan sosok dinginnya terhadap wanita. Tetapi dengan Caramel, Yuan bisa begitu mudah sikapnya menghangat.

Yuan selalu menyangkal perasaannya, ia selalu meyakinkan diri bahwa apa yang ia rasakan hanyalah perasaan bersalah dan iba terhadap wanita itu.

Dengan kecepatan sedikit tinggi Yuan melajukan mobilnya. Karena jalan cukup lenggang membuat Yuan semakin leluasa.

Tidak ada setengah jam, Yuan telah sampai di rumah dan langsung menuju kamar.

Yuan melewati Damitri dan Selina yang tengah asyik bercengkerama dengan tamunya di ruang keluarga.

“Caramel, tolong siapkan air hangat, aku mau mandi,” pinta Yuan.

Yuan meletakkan jas dan tas kerjanya di kasur kemudian melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya.

“Caramel,” panggil Yuan lagi sambil berjalan ke arah kamar mandi.

Yuan mengitari ruangan mencari keberadaan Caramel hingga membuka pintu rahasia barangkali Caramel masuk ke ruang kerjanya namun juga tidak ditemukan.

Yuan keluar kamar untuk menanyakan kepada para pembantu tetapi mereka hanya diam, membuat Yuan geram.

“Kalian ini dengar tidak saya sedang bicara? Di mana istriku? Cepat katakan! Masa tidak ada satu orang pun yang tahu!” Yuan tersulut emosi.

“Non Caramel ... Non Caramel ....” Pembantu itu terlihat ketakutan untuk menjawab.

“Bi Tyas, di mana Caramel? Aku yakin Bi Tyas pasti tahu,” tanya Yuan tertuju pada seorang pembantu yang ia percaya.

“Non Caramel—”

Belum sempat Tyas melanjutkan ucapannya, Damitri sudah lebih dulu datang memecah ketegangan itu.

“Yuan... kamu apa-apaan, sih? Mama sedang ada tamu ini, lho. Kamu yang sopan dong,” ucap Damitri mendekati Yuan.

“Di mana Caramel, Mah? Di mana dia?” Yuan mengatakan dengan nada tinggi.

“Mama enggak tau, Yuan. Mama juga baru sampai rumah. Mungkin dia pergi dari rumah ini karena dia sadar diri. Lagian kamu asal bawa orang ke rumah kita, kalau dia maling bagaimana?” kelakar Damitri enteng.

Yuan berlalu begitu saja meninggalkan mamanya yang masih terus menjelekkan Caramel. Yuan menuju kamar Jennifer untuk menanyakan kepada Jannifer. Meskipun Jennifer sedikit lama berpikir, tetapi Jennifer bisa diandalkan kejujurannya.

“Jen! Buka pintunya, Jen!” seru Yuan mengetuk pintu kamar Jennifer dengan kasar.

Jennifer membuka pintu. “Ada apa sih, Kak?” tanya Jennifer polos dengan menggunakan masker putih di wajahnya.

“Kakak ipar kamu ke mana?”

“Siapa?”

“Memangnya kakak ipar kamu berapa? Ya, Caramel dong, Jen! Kamu pasti mengetahui sesuatu, 'kan?”

“Aku kan sudah kirim videonya ke Kakak, memangnya Kakak belum buka?”

Jennifer menjawab dengan sedikit kesusahan karena ketatnya masker yang menempel di wajah. Ia menahan gerak bibirnya agar maskernya tidak pecah.

“Video?”

“Iya, video. Makanya kalau punya ponsel itu dibuka, jangan cuma dibawa, Kak,” sindir Jennifer santai.

Dari kejadian yang Caramel alami tadi pagi, diam-diam Jennifer merekam semua momen pengusiran Caramel dari rumah Alexander. Jennifer tidak memihak pada siapa pun. Namun, dia memihak yang menurutnya benar. Sekalipun apa yang dia bela bertentangan dengan orang-orang yang ada di rumahnya.

Yuan mengambil ponsel dari saku celananya dan membukanya.

“Astaga, jadi benar semua ini ulah mama dan Selina. Benar-benar keterlaluan! Kejadiannya tadi pagi dan aku baru mengetahui sekarang? Lalu di mana Caramel sekarang? Apa dia kembali ke rumahnya?” Berbagai pertanyaan terlontar dari mulutnya.

“Mana aku tahu!” jawab Jennifer dengan mengangkat kedua pundaknya.

Tanpa pikir panjang, Yuan langsung pergi meninggalkan Jennifer. Yuan melewati Damitri, Selina dan tamunya dengan tatapan murka.

Yuan benar-benar marah, tetapi Yuan memilih untuk diam dan mengabaikan.

“Kamu mau ke mana, Yuan?” teriak Damitri yang sama sekali tidak digubris oleh putranya.

Yuan masuk ke dalam mobil lalu melaju dengan kecepatan tinggi untuk mencari keberadaan Caramel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status