Share

Shimmering

Sebuah ruangan bercat tembok putih bersih terlihat lengang oleh manusia. Hanya seorang pria tinggi sekitar 177 cm, berwajah oval, berkulit sawo matang, dengan perut sedikit buncit-walaupun tidak seperti perut para koruptor. Ups! Tidak lupa kacamata tebal karena matanya yang rabun jauh -2,25 dioptri.

Pria itu sedang berdiri sambil menata rapi botol-botol berwarna cokelat gelap yang tiap dindingnya terdapat sepotong kertas informasi. Mengenakan jas putih panjang selutut, dan masker medis menutupi area hidung hingga dagu. Tidak lupa sarung tangan elastis menyembunyikan kulit jemari. Ia tampak serius melakukan aktivitasnya.

Lantunan lagu milik penyanyi Indonesia maupun luar negeri dari handphone android keluaran lama, mengisi keheningan di ruangan itu. Sesekali lelaki itu ikut berdendang sember, demi menciptakan kegaduhan dalam kesunyian.

Dialah Jacob Alfred, yang dipanggil Alf. Pemilik Astrea legend sekaligus pencetus semboyan saat bekerja, 'Walaupun mulut sedang bermasker bahkan susah napas, nyanyi fals tetap jadi prioritas'.

🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹

"Lo gak makan, Alf?" Suara seorang pria pendek, berkulit gelap, gempal, dengan rambut kribo memasuki ruangan itu, dengan menyampirkan jas laboratorium di bahunya. Ia membuang pandangannya pada Alf yang sudah beringsut ke rak lain. 

Alf tidak menjawab. Pita suaranya lebih memilih menyanyikan lagu Listen milik Beyonce, sambil sesekali membuat gerakan tangan kanan terangkat saat ia mencapai nada tinggi.

Pria gempal yang punya mata kecil, dan selalu mengatakan bahwa dirinya masih memiliki darah Korea Selatan—bernama Willy itu, spontan meremas bajunya tepat di bagian dada.

"Gue belum mau mati, Alf! Plis, jangan bunuh gue!" jerit Willy yang dibalas lengkingan makin tajam si Alf. 

Jika saja botol-botol itu bisa memecahkan diri mereka sendiri, mungkin mereka sudah melakukannya daritadi karena suara Alf yang bak petir menyambar tanah.

"JACOB ALFRED!" Teriakan dari balik pintu ruangan laboratorium mengalahkan tarikan nada sumbang Alf. Alf langsung me—resleting mulutnya rapat-rapat, dan menekan tombol off di android.

Seorang wanita tinggi semampai, berkulit kuning langsat, rambut lurus—pendek sebahu, berdiri di ambang pintu laboratorium. Napasnya memburu, seperti baru selesai lari maraton dan enggak juara. Ngos-ngosan bin emosi jadi satu. 

Matanya melotot, membuat Willy yang berdiri di depannya makin meremas baju. Bulu kuduk Willy mulai naik, karena ada hawa yang melebihi hawa Mbak Kunti.

"Kayaknya bakal kena dobel serangan jantung, nih," gumam Willy yang rencanannya dalam hati, tapi mulut berkata lain.

Wanita itu malah balik melotot pada Willy, walaupun hanya pipi kiri Willy saja yang terlihat saking lebarnya wajah Willy.

"Kamu ngapain! Cepat bersihkan lab!" lengkingan tajam kembali menyeruak dari bibir tipis wanita itu. 

Bibir yang pernah jadi penelitian Alf dan beberapa teman kantor termasuk Willy. Mengapa bisa keluar suara bagai gemuruh dari bibir setipis itu. Apa ini arti semboyan kecil-kecil cabe rawit?

Willy dengan sigap langsung berlari menuju ke janitor room, mengambil sapu ijuk beserta pasangannya, serokan sampah.

Alf menahan tawa melihat sahabat semata wayangnya di laboratorium, kayak cacing kepanasan.

"Dan kamu!" lanjut wanita itu, menunjuk Alf, membuat Alf terpaku, meski dari jarak sekitar 3 meter. "Berhenti mengeluarkan suara sumbang kamu yang bisa buat orang serangan jantung!"

"Bener!" sahut Willy dari balik janitor room yang terpisah sekat sebelah kiri, dengan ruangan Alf.

"Ini lab, bukan tempat audisi film horor!" Wanita itu berkacak pinggang.

"Hajar, bu!" Willy menimpali.

"Kalau kamu masih nyanyi lagi..."

"Sikat, bu!"

"Dan kamu di dalam sana masih menyambung kalimat saya! Kamu gak akan dapet cuti selama dua tahun!"

Mampus!

Willy menutup rapat bibirnya, bahkan hembusan napasnya pun tidak terdengar. Alf menundukkan kepala, terkekeh tanpa suara. Untung saja, ia masih menggunakan masker sehingga giginya yang sudah terbuka tidak diketahui oleh si wanita.

Wanita itu menatap Alf dan menggelengkan kepala frustasi bercampur kesal, kemudian menghentakkan sepatunya kasar. Wanita itu kembali ke ruangan yang bersebelahan dengan ruang laboratorium. Alf hanya menduga, kalau bukan lagi PMS, berarti bosnya itu lagi pusing dengan laporan kantor. 

Alf kembali menyelesaikan kerjaannya yang tinggal sesaat lagi. Willy, yang sedari tadi terlanjur diam membisu, perlahan mulai mengeluarkan suara. Pria tambun itu berjinjit seolah-olah agen rahasia yang sedang menyusup ke rumah Putin. Matanya menyisir area pintu masuk. Aman.

Willy menarik napas panjang, dan disambut tawa renyah Alf, tapi dibalas Willy dengan menyipitkan mata.

"Gara-gara suara lo, nih! Gue juga kena damprat!" keluh Willy sambil memanyunkan bibir tebal 5 cm-nya.

"Lah? Kok gue? Kan yang nyari gara-gara lo sendiri?"

"Nyari gara-gara apaan? Lo tuh yang suara sumbangnya buat Ibu Nover sampe rela keluar dari guanya ke sini!"

"Kalo bibir lo gak nyambung-nyambung kalimatnya, lo gak akan kena bantai juga!"

"Au ah! Lagi PMS kali tuh orang! Kerjaannya hari ini marah-marah mulu!"

Alf hanya mengedikkan bahu. Willy masih manyun dan mulai membersihkan lantai ruangan. Aktivitas si Willy menarik perhatian Alf, menghentikannya dari menata botol bahan kimia di rak.

Alf menatap plafon, dengan kening terkerut, memikirkan sesuatu. Sedangkan, Willy sedang bersusah payah menunduk sambil menyapu. Karena gagang sapu yang sebenarnya panjang, pernah dipakai Alf untuk jadi mic KW kualitas super rendahan—patah saat mencium tembok laboratorium.

Baru melangkahi 3 keramik, Willy sudah terengah-engah. Ia berdiri tegak dan meregangkan tangan. Keringat biji jagung sudah memenuhi wajah bakpaonya.

"Ini juga gara-gara lo, nih!" Willy mengangkat sapu yang sebenarnya sudah almarhum, dan perlu diganti. Selain gagang yang sudah patah, helai-helai sapu itu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda tua, alias botak.

Alf mengernyit menatapnya. Willy mencebik.

"Kenapa, gue bisa punya sahabat belum matang dari oven gini, ya," gumam Willy sambil tangannya mulai menari lagi alias menyapu. "Coba dulu gue ngelamar jadi bagian resepsionis aja," lanjut Willy sambil geleng-geleng kepala.

Alf melongo. "Lo? Resepsionis?" Alf menatap Willy dengan tatapan takjub penuh tanya. 

"Gue tau, lo mau bilang posisi itu lebih cocok sama tipe-tipe kayak lo, kan?" sahut Willy sambil terus menyapu.

"Gue gak bilang apa-apa, loh."

"Halah! Muka lo udah terbaca jelas!"

"Apanya yang terbaca?"

"Itu di muka lo! Ada tulisan, yang gendut geser!"

"Lah, kok, lo jadi body shimmering sama gue!"

"Bukan shimmering, pret! Shaming! Lo tuh yang body shaming sama gue!"

Alf mengernyit lagi. "Kan daritadi gue gak bilang apa-apa! Lo yang bilang sendiri tentang badan lo gendut!"

Willy berdiri tegap sambil mengarahkan gagang sapu ke Alf yang satu meter di hadapannya. "Wah! Parah! Barusan lo bilang gue gendut!"

Alf memutar kepala seperti melakukan pemanasan. Ia melepaskan masker, dan berkacak pinggang. "Kok lo jadi sensian begini, sih! Padahal gue gak ngomongin bodi lo daritadi!" Suara Alf mulai melengking.

"Lah, terus apa maksud pertanyaan lo yang awalnya itu? 'Lo? Resepsionis?' Helloooww!" Willy menirukan gaya bicara Alf dengan tatapan mengejek.

Alf mengusap wajahnya kasar. Ia tidak ingin larut dalam pertengkaran unfaedah ini. "Oke! Oke! Kalau emang gue salah, maafin gue..." Alf berusaha tenang dan merendahkan nada suara. "Tapi, gue gak bermaksud gitu. Gue cuma nanya aja," lanjutnya dengan kedua tangan terangkat—menyerah a.k.a berdamai.

Willy mengerucutkan bibir, dan kembali menunduk dengan gagang sapu yang mulai melambai lagi. Alf menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang. 

"Makanya, punya mulut tuh dijaga! Dasar mata empat macam orang tua!" gumam Willy yang lagi-lagi rencananya dalam hati, tapi malah keceplosan.

Alf berbalik kasar menatap punggung Willy. "APA LO BILANG!" seru Alf sambil melangkah cepat ke arah Willy yang sudah berdiri tegap siap menantang. Ia melepas kasar kacamatanya.

"Apa lo!" teriak Willy.

"Lo yang kenapa!"

"Lah! Lo yang kenapa!"

Mereka saling meninju dengan dada dan perut. Mungkin sekalian mengetes punya siapa yang daya pantulnya lebih baik.

"Lo kok suka cari gara-gara, sih hari ini!" Mata Alf melotot pada Willy, yang juga balas melotot sambil mengibas-ngibas gagang sapu, yang sialnya mendarat dengan mulus dan mesra di atas meja kayu panjang di sisi kanan mereka.

KRAKK!!

Dentuman meja diiringi patahan renyah gagang sapu dalam laboratorium, yang bersekat rak dengan ruangan Ibu Nover, menggema bak orkestra.

"ALF! WILLY! KE RUANGAN SAYA! SEKARANG!" 

Teriakan Ibu Nover dari ruangan sebelah, tanpa batang hidungnya, menghentikan pertengkaran ala bocah, dari kedua pria dewasa itu. Mata mereka berdua melotot dengan wajah memelas.

"Mampus, dah!" jerit mereka berdua.

💜💜💜💜💜



corn leaf

Hai, pembaca sekalian! Terima kasih yang sudah menyempatkan waktu membaca novel ini. Semoga novel ini bisa menghibur kalian. Jangan lupa, kritik dan saran yang membangun, sangat diharapkan demi perkembangan novel ini. 

| Sukai
Komen (6)
goodnovel comment avatar
ayyona
hadeh...aku baru tau cara bikin komen 😅😅 ngakak 🤣🤣
goodnovel comment avatar
Corn Leaf
Iya, kak. Baru tau waktu di grup
goodnovel comment avatar
Arlen Langit
Dialog tag selalu kecil ya kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status