Share

Si Lilac

Suasana di ruangan Ibu Nover begitu mencekam dan kelabu. Tampak Alf dan Willy duduk tegak, berdampingan, dengan tumit belakang saling tolak-menolak. Wajah mereka berdua tegang dihiasi keringat bercucuran tak hentinya. Padahal dalam ruangan ber—AC.

Kengerian ini melebihi kengerian saat mereka masuk ke arena horor di taman bermain, atau nonton film psikopat pembunuh. Seolah aura membunuh di ruangan 3x4 meter ini, juga lebih hebat dari aura si Kunti di bawah pohon beringin samping laboratorium, yang biasa menggoda Willy. Dan kata Alf, itu karena mbak Kunti suka yang gempal-gempal, darahnya lebih banyak. Lah?!

Mata mereka berdua sembunyi-sembunyi menatap sosok wanita di hadapan mereka. Tatapan balasan dari wanita berusia 30 tahun itu, bak samurai melesat hingga menembus jantung mereka, yang berdegup tak karuan sedari tadi. Bukan berdegup karena jatuh cinta, melainkan karena merasa sebentar lagi mereka akan mengucapkan salam perpisahan satu sama lain.

Ibu Nover, pimpinan Laboratorium Sisilia, bos dari Alf dan Willy, menyandarkan tubuhnya pada kursi putar yang ditutupi sarung kuning motif Winnie The Pooh di bagian sandarannya. Karakter imut kesukaan si bos, tapi perangainya tak seimut Winnie The Pooh. Walah?

Wanita itu melipat kedua tangan di depan dadanya.

"Bisa kalian berdua jelaskan apa yang terjadi di lab? Sampai gagang sapu ini, bisa hancur begini?! Dan setau saya, ini sudah sapu ke sekian yang kalian rusakin!" Ibu Nover menunjuk ke gagang sapu di atas meja kerjanya, yang sudah patah bak hati yang patah karena cinta. Matanya tetap mengarah pada Willy dan Alf bergantian.

Alf dan Willy menelan ludah secara kasar.

"JAWAB!" pekik Ibu Nover sambil meraih gagang sapu yang patah dan menebasnya di atas meja, membuat Alf dan Willy terkejut bukan main.

Pandangan Alf dan Willy tertuju ke gagang sapu patah, dan membayangkan jika itu adalah tubuh atau paling tidak kepala mereka!

Ibu Nover melotot, mengintimidasi. Tatapannya tak sabar.

"Jadi, begini, Bu..."Alf dan Willy menjawab serempak dengan kedua tangan gemetaran terangkat sejajar dada, sambil menunduk sedikit. Niatan hati sudah mantap ingin menjelaskan dengan versi mereka, sehingga dibukakan pintu pengampunan.

Kedua pria itu saling menatap dengan mulut menganga, karena jawaban yang keluar dari bibir mereka sama. Senada. Seirama.

Ibu Nover mengernyit dan memandangi mereka berdua bergantian.

Willy mendengus. "Kok, lo ikut-ikutan, sih! Kan gue yang mau jelasin!" sergah Willy sambil menegakkan posisi duduknya dan menebar senyum paksa dengan gigi yang dirapatkan.

"Lah! Ibu Nover tuh matanya ngelihat ke gue, artinya nanya gue!" Alf membela diri sewot.

"Tapi, lo gak denger, Ibu Nover nanyanya pake kata KALIAN! K-A-L-I-A-N! Artinya bukan lo aja, tapi gue juga! KITA!" sahut Willy memberi penekanan.

"Eh, dimana-mana orang liatnya dari tatapan mata! Kan ada lagunya dari mata turun ke hati!" balas Alf sambil melengkingkan nada 8 oktaf falsnya, dengan jari menunjuk ke mata meluncur ke hati alias dadanya.

Raut wajah Ibu Nover sudah tak beraturan. Urat kemarahan mulai muncul di sekeliling kening karena ulah kedua manusia di hadapannya.

"Bisa-bisanya lo aja ngomong begitu! Padahal jelas-jelas Ibu Nover bilangnya KALIAN!" Willy masih kekeuh dengan argumennnya. Ia menggelengkan kepala kasar. Nada mengejek terlantun indah.

"Ya, udah! Lo salahin aja Ibu Nover karna nanyanya ambigu!" Alf merentangkan tangannya.

Willy berbalik cepat dan melotot pada Alf, membuat Alf sadar telah menginjak ranjau bunuh diri. Ia langsung mengatup bibir rapat-rapat.

'Dasar, bibir gak tau diri!' umpat Alf dalam hati.

Ingin rasanya Alf mengganti bibirnya dengan bibir Andrew Russell Garfield si Spiderman atau Eminem, yang lebih berfaedah. Daripada bibir suka nyerocos tanpa pandang bulu ini.

Keduanya menoleh perlahan ke arah wanita di hadapan mereka. Aura panas membara tampak siap meledak dari kepala wanita itu. Tatapannya menunjukkan api kemarahan yang berkobar. Wajah Ibu Nover sudah merah padam. Perlahan-lahan wanita itu beranjak dari kursi, dengan kedua tangan menumpu di meja.

Alf dan Willy bersandar rapat pada kursi mereka dan menggenggam erat dudukan kursi. Tubuh mereka gemetaran menangkap sinyal bahaya. Peluh mengucur deras dari kening mereka, meluncur mantap ke dagu mereka. Wajah mereka ketakutan seperti melihat Sadako keluar dari televisi.

"Ma... Mati... kita..." Suara Willy tercekat di kerongkongan. Ia melirik Alf yang juga balas menatapnya. Tatapan mereka tercetak jelas huruf S.O.S.

Bola mata Ibu Nover bak menyemburkan laser, menancap ke tubuh mereka berdua.

"KALIAN BERDUA!" Petir menyambar-nyambar, gemuruh berdatangan, langit bumi bergejolak. Dalam bayangan Alf dan Willy, seketika Ibu Nover berubah menjadi Medusa, dengan rambut ular meliuk-liuk di kepala.

"TIDAK ADA LIBUR SELAMA SEBULAN INI! TIDAK ADA CUTI TAHUN INI! GAJI BULAN INI DIPOTONG BUAT BELI SATU LUSIN SAPU IJUK!"

Teriakan Ibu Nover menggelegar di penjuru ruangan. Napasnya seolah angin puting beliung yang memporak-porandakan seisi ruangan, termasuk Alf dan Willy. Mereka sampai memegang ujung meja agar tidak ikut terhempas hembusan nafas api Ibu Nover. 

Oke! Demikianlah yang terjadi dalam imajinasi kedua bocah terlanjur gede, tapi tidak dewasa tersebut.

Setelah meluapkan amarah yang berkobar dahsyat, Ibu Nover mengatur napas, merapikan blusnya dan duduk kembali dengan anggun seolah tidak terjadi apa-apa.

Alf dan Willy masih menganga, dengan tatapan terkejut, dan tangan menggenggam dudukan kursi.

"Kembali ke ruangan kalian," ujar Ibu Nover santai, menatap lurus ke depan dengan tangan kanan terangkat, mempersilahkan. Tidak lupa senyum simpul menghiasi bibir tipis berwarna merah maroon itu. Senyum yang hanya sekelebat ditunjukkannya.

Alf dan Willy beranjak dari kursi penghakiman meraka. Tubuh mereka lunglai tak bertenaga. Terlebih lagi, kenyataan pedih tak mendapat cuti dan libur selama sebulan, bahkan gaji dipotong demi membeli selusin sapu ijuk.

Kedua pria itu menarik napas panjang saat tiba di ruangan laboratorium. Mereka bertatapan.

"Gara-gara sapu ijuk..." ujar mereka bersama.

🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹

Wanita itu melangkah pasti menyusuri lorong kampus Universitas Widya Mandira, salah satu universitas swasta terbaik di kota Kupang. Hentakan lembut tapi berirama yang diciptakan pantofel hitam 5 cm, membuat setiap mata yang sedang sibuk, refleks menatapnya.

Rambut cokelat sepunggung—curly—namun teratur bak habis terkena pengeriting rambut, tersibak rapi nan cantik oleh angin. Bahkan angin seolah-olah juga tahu mana rambut yang tepat untuk disibak.

Blus sifon berwarna lilac dengan model leher bulat yang diberi aksen renda dan pita, melekat rapi di kulit putih bersihnya. Tidak lupa celana panjang hitam, dengan bagian kaki sedikit melebar, jatuh sempurna di kaki jenjangnya. 

Wanita itu melangkah penuh percaya diri dengan tas tangan berbahan kulit, kombinasi tenun asli. Ia juga terlihat memeluk sebuah map plastik hijau dengan beberapa kertas folio bergaris terlihat samar-samar di dalamnya.

Almond eyes dengan bola mata cokelat gelap itu, menatap lurus ke lorong di hadapan yang seolah membiarkan wanita itu menyusurinya. Sesekali ia berbalik sambil menganggukkan kepala ke arah orang-orang yang menyapa.

Senyum dari bibir belah berwarna merah menyala yang menggemaskan, juga berhasil menggoda beberapa pria yang menatap wanita itu. Meskipun ia tak berniat menggoda mereka.

Wanita itu memasuki sebuah ruangan yang cukup luas untuk menampung sekitar sepuluh kubikel, yang dibatasi papan putih setinggi dada. Ia menuju ke kubikel ketiga di sebelah kiri dari pintu masuk. Bilik paling belakang, tepat di depan jendela kaca besar yang mengarah ke lapangan basket di luar sana.

Ia meletakkan tas tangan dan map plastik dengan rapi di atas meja, kemudian membuka jendela kaca di sisinya. 

Wanita itu menarik kursi dengan roda di bagian kaki kursi, dan duduk dengan elegan. Jemarinya mengumpulkan rambut, untuk kemudian diikat kuncir kuda, yang semakin menambah nilai pesona wanita itu.

Ia membuka notebook berlogo apel tergigit. Tidak lupa juga kertas folio bergaris di dalam map, dikeluarkannya. Matanya bergerak cepat mengikuti tulisan-tulisan yang berjajar rapi, maupun berantakan di atas folio bergaris itu. Sesaat kemudian, jemari lentik itu sudah menari di atas tombol-tombol notebook yang sarungnya berwarna lilac.

Raut wajah wanita itu serius. Tatapannya tajam dan teliti, memeriksa tiap angka yang dituliskan di dalam tabel berisi nama-nama.

Beberapa saat kemudian, ia mengambil jeda dan beranjak dari kursi, menuju ke ruangan kecil di sudut lain, sambil menggenggam sebuah botol Tupperware lilac. Wanita itu menuangkan air dispenser ke dalam botol minumnya, hingga hampir penuh. Dia lalu bersandar di tembok dan menengadah ke atas, dengan mata terpejam. Tarikan napasnya lembut. Merasa lega, ia meneguk minumannya. 

Sesaat kemudian, ia kembali dengan langkah pasti, menuju ke kubikel. Senyum dan anggukkan seadanya mengembang pada siapapun yang tertangkap basah menatap wanita itu dengan kikuk.

💜💜💜💜💜

corn leaf

Wah! Wah! Siapa, ya si lilac yang jadi pusat perhatian itu? Penasaran? Pantengin terus cerita ini, ya... Jangan lupa kritik dan saran yang membangun, demi perkembangan tulisanku ke depannya. Terima kasih!

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
KolongLangit
Susana konyol jika ada kedua orang itu, terus ada, mungkin membangun image kocak untuk keduanya. Cukup garing tapi menghibur.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status