Share

MALAIKAT KIRIMAN TUHAN

Louis hanya memaksa tersenyum senang kepada dokter karena ia mengaku bahwa Jeni adalah istrinya, padahal kenyataannya mereka belum menikah.

“Bu Jeni sudah siuman Pak, kami tinggal dulu sebentar. Kalau ada apa-apa bisa panggil kami kembali,” ujar Dokter Rena.

Louis hanya mengangguk dan kembali tersenyum kepada dokter dan suster yang kemudian berlalu pergi meninggalkan Louis dan Jeni di ruang perawatan. Setelah memastikan dokter dan suster sudah benar-benar pergi, Louis langsung mengunci ruang perawatan VIP Jeni, dan kemudian menendang sofa yang tidak berdosa itu sambil berteriak marah pada dirinya sendiri.

“Argh, kenapa semua ini bisa terjadi?” teriak Louis penuh penyesalan.

“Ada apa? Apa yang terjadi denganku?” cecar Jeni bingung melihat tingkah Louis yang seperti itu.

“Kata dokter kamu hamil,” jawab Louis kesal.

Sama seperti Louis tadi, Jeni juga langsung syok tidak karuan, sepasang mata indahnya membulat begitu sempurna lalu diikuti dengan deraian air mata. Tangan Jeni kemudian mengelus lembut perutnya yang belum terlihat membuncit itu sambil terisak penuh penyesalan. Ada banyak ketakutan yang mendadak menyergap dirinya.

“Apa kamu akan menikahiku Louis?” tanya Jeni lirih sambil tak berhenti menangis.

Louis diam, ia terduduk lesu di sofa sembari menundukkan kepalanya. Ia begitu menyesal telah berbuat seperti itu pada Jeni. Louis begitu bingung apa yang harus ia lakukan sekarang, bagaimana reaksi keluarganya kalau mereka semua tahu kalau Jeni sedang mengandung buah hatinya.

“Kenapa kamu diam Louis?” tanya Jeni lagi dengan suaranya yang parau.

Jeni tak kuasa lagi menahan semua emosinya, ia menangis sejadi-jadinya. Baru saja ia tahu kenyataan pahit tentang perselingkuhan Louis dan Renata, sekarang justru dirinya sedang mengandung anak Louis. Jeni tidak tahu lagi sekarang, apa ia harus memaksa Louis untuk menikahinya atau justru ia akan merelakan Louis bersama Renata dan membesarkan buah hatinya sendirian. Namun entah kenapa Jeni justru sangat tidak rela jika itu terjadi, dalam hati kecilnya ia ingin memaksa Louis untuk bertanggung jawab entah bagaimanapun caranya nanti.

“Louis, jawab aku!” pinta Jeni memelas.

“Aku... Aku akan memikirkannya Jeni, aku butuh waktu untuk menerima semua ini” jawab Louis dengan suara yang terdengar gemetar.

Entah kenapa jawaban Louis semakin membuat Jeni patah hati dan ingin menangis sekencang mungkin, Jeni merasa Louis sangat menyesali perbuatannya dan sebenarnya tidak ingin bertanggung jawab.

“Apa itu artinya kamu justru akan pelan-pelan pergi dariku Louis?” isak Jeni.

Louis diam, ia pun bangkit dari duduknya dan menghampiri ke arah Jeni. Ia kemudian meraih tangan Jeni dan menciumnya sambil terisak penuh penyesalan.

“Maafkan aku Jeni, aku memang bodoh. Ternyata aku tidak bisa menjadi kekasih yang baik untukmu. Aku justru merusak masa depanmu sekarang. Aku tidak tahu harus berbuat apa, tolong beri aku waktu!”

“Kamu pikir aku bisa terima dengan semua ini? Apalagi aku tahu sekarang bahwa aku bukan satu-satunya perempuan di hatimu,” bantah Jeni yang sambil melepas tangan Louis dengan kasar.

“Maafkan aku Jeni, aku sangat mencintaimu tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Renata. Aku mencintai kalian berdua,” aku Louis tanpa dosa.

Tentu saja pernyataan Louis membuat Jeni patah hati untuk kesekian kalinya, kali ini justru lebih parah. Hati Jeni seakan remuk tak bersisa. Air matanya kembali menetes bercampur dengan rasa sakit di dada yang sangat sulit ia ungkapkan dengan apapun.

“ Pergi Louis! Tinggalkan aku sendiri!” teriak Jeni kemudian.

“Baiklah kalau itu maumu. Aku akan pergi. Jaga dirimu baik-baik Jeni dan tolong jangan sampai ada orang tahu soal kehamilanmu ini,” ujar Louis.

Jeni tak menjawab, hanya suara tangisnya saja yang masih memenuhi ruang perawatan kelas VIP itu.

“Tolong terima ini, aku tahu kamu pasti membutuhkannya, pakai saja sepuasmu. Itu kartu kredit unlimited milikku,” lanjut Louis sambil menyodorkan kartu kreditnya kepada Jeni.

“Kamu gila, aku tidak butuh ini bodoh,” teriak Jeni marah sambil membuang kartu kredit itu ke lantai.

“Pergi kamu sekarang juga! Aku muak sama kamu Louis. Aku benci kamu,” teriaknya lagi.

Louis mengambil kartu kreditnya dan diam-diam memasukkannya ke dalam tas Jeni, Louis memang sudah menyakiti hatinya, tapi ia berharap dengan kartu kredit itu Jeni tidak perlu bekerja dan bingung memikirkan biaya hidup di Jakarta. Setelah itu Louis benar-benar pergi meninggalkan Jeni sendirian di ruang perawatannya.

Sepeninggalnya Louis, Jeni langsung berteriak sambil menangis sekencang-kencangnya. Hidupnya sudah hancur, ingin sekali ia mengakhiri hidupnya saat ini juga. Ia pun mencabut infus di punggung tangannya dengan sangat kasar lalu turun dari ranjangnya meski badannya masih sangat lemah. Jeni memaksakan diri untuk keluar dari rumah sakit itu.

Pikiran Jeni memang benar-benar sudah tidak waras, ia berjalan di tengah keramaian malam jalan melawai seorang diri sambil menangis tersedu-sedu, ia bahkan tak peduli beberapa kali kendaraan yang mengklakson dan kemudian mengumpatnya untuk menyuruhnya minggir. Jeni justru semakin sengaja berjalan di tengah jalan raya, ia ingin ditabrak dan meninggal di tempat. Jeni lelah dengan semua beban hidup yang membelitnya sejak kecil. Ia benar-benar ingin menyerah kali ini.

Tin... Tin... Tin...

Jeni tetap tidak minggir, ia tetap berjalan semaunya sambil tak berhenti berderai air mata. Hingga laki-laki yang ada dalam mobil mewah itu pun terpaksa berhenti dan keluar karena kesal.

“Hey, apa kamu tidak punya telinga? Bagaimana kalau kamu mati tertabrak? Dasar bodoh!” umpat laki-laki tampan itu.

Jeni tidak peduli, ia justru semakin menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Maaf kalau aku terlalu kasar, tapi tolong jangan mencelakai diri sendiri seperti itu,” tutur laki-laki itu lagi.

“Maafkan a...”

“Hey, bukannya kamu cewek yang menangis di lift apartemen kemarin?” tanya laki-laki itu yang masih mengingat Jeni.

Jeni mengangguk sambil masih menangis sesenggukan.

“Sudah, jangan menangis terus. Kalau kamu mau ayo ikut aku ke cafe depan itu. Jika kamu tidak keberatan, kamu boleh menceritakan semua masalahmu kepadaku. Aku tahu ini memang terdengar konyol, tapi aku lihat kamu seperti tidak tahu harus bercerita kepada siapa sehingga kamu sangat tertekan seperti ini. Benarkah?” tebak laki-laki itu.

Lagi-lagi Jeni hanya mengangguk, entah kenapa ia merasa bahwa laki-laki yang ditemuinya saat ini adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuknya.

“Namaku Steven, kamu?”

“Jeni,” jawabnya lirih.

Halo readers, terimakasih sudah mampir. Mohon rate dan feedback-nya. Oh ya kalian bisa sapa author di IG @ritahawa_

Thank you 😊

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andy Lingga
mantap cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status