***
Hood Cafe
“Jeni, kalau saya boleh tahu sebenarnya apa masalah kamu?” Tanya Steven penasaran.
Jeni diam, ia masih ragu harus menceritakan kepada Steven apa tidak, mereka berdua baru saja berkenalan, Jeni masih tampak canggung untuk memberitahu semua masalahnya kepada Steven, tapi dalam hati kecil Jeni ia ingin sekali bercerita kepadanya, akan bercerita kepada siapa lagi selain Tuhan kalau bukan kepada manusia yang sangat peduli seperti Steven, kepada Mama, Tania atau Tamara itu sangat tidak mungkin untuk sementara waktu ini.
“Baiklah, i'm sorry aku tidak akan memaksamu, kamu mau pesan apa? tanya Steven lagi.
Jeni hanya menggeleng.
“Aku tidak lapar, juga tidak haus Steven,” jawabnya kemudian.
Steven tampak menghela nafas, bingung harus bersikap seperti apa lagi terhadap Jeni, namun dalam hatinya ia sangat iba terhadap gadis cantik blasteran Indonesia – Rusia tersebut,
“Baiklah,” ujar Steven menyerah sambil kemudian menyeruput hot cappucino kesukaannya.
“Sebenarnya aku...”
Jeni kembali berderai air mata, seakan tak sanggup melanjutkan perkataannya.
Steven buru-buru menyerahkan sapu tangan yang ia keluarkan dari blazernya kepada Jeni. Entah kenapa sejak pertama kali bertemu dengannya, Steven sangat kasihan dan selalu ingin menjadi penenang hatinya. Ia mengakui kecantikan Jeni yang begitu natural, sehingga sepertinya ia merasakan sebuah perasaan yang tak biasa saat pertama kali bertemu dengan pemilik nama lengkap Gladista Jenitra tersebut.
“Jangan memaksakan diri Jeni, tenangkan hatimu dulu,” tutur Steven.
Jeni mengangguk sambil mengusap air matanya dengan sapu tangan milik Steven. Steven kemudian memanggil waiters dan meminta segelas air putih untuk Jeni.
“Sebenarnya kamu tinggal dimana Jen?”
“Kos Bougenville, Gandaria Utara,” jawab Jeni.
“Lalu kenapa kamu bisa sampai ke Melawai Raya dengan pakaian seperti seorang pasien rumah sakit? Apa kamu kabur dari sana?”
Jeni mengangguk.
“Aku sangat stress Steven, kekasihku sungguh brengsek. Bisa-bisanya dia mengaku mencintai perempuan lain di saat aku sedang mengandung anaknya,” isak Jeni.
Steven terbelalak kaget.
“Kamu ingat? Saat aku menangis di pintu lift apartemen itu?”
Steven mengangguk.
“Aku baru saja memergoki kekasihku berduaan di kamar apartemennya,” jelas Jeni dengan tangisan yang semakin membuat dadanya begitu sesak.
“Aku bukan orang baik Steven,” imbuhnya lagi dengan tangisan yang semakin menjadi.
Steven mendadak speechless, jujur ia sangat kaget dengan pernyataan Jeni.
“Jadi itu yang membuat kamu sampai ingin menghakiri hidupmu seperti tadi?” tanya Steven kemudian.
Jeni hanya mengangguk sambil mengusap air matanya dan berusaha mengontrol dirinya agar tidak terus menangis.
“Apa kamu masih punya orang tua atau sahabat mungkin?”
“Iya, aku punya mama dan dua sahabat di sini,” jawab Jeni.
“Apa kamu takut mereka kecewa atau marah terhadapmu?”
Jeni mengangguk.
“Baiklah Jeni, anggap aku sebagai sahabat barumu sekarang. Aku akan membantumu kalau kamu butuh bantuan, tapi tolong jangan nekat bunuh diri seperti tadi. Kasihan anak yang tidak berdosa dalam perutmu itu,” tutur Steven.
Lagi-lagi Jeni hanya mengangguk sambil kembali mengusap air matanya yang tak ingin berhenti berderai.
“Thanks Steven, mungkin kamu malaikat yang dikirim Tuhan untukku,” balas Jeni.
Steven tersenyum mendengarnya, entah kenapa hatinya begitu berbunga-bunga saat Jeni berkata seperti itu padanya.
“Sama-sama Jen.”
Jeni kemudian tersenyum lalu meminum segelas air putih yang baru saja diberikan waiters cafe padanya. Jeni bersyukur karena Tuhan masih baik padanya, bertemu dengan Steven membuat hati dan pikirannya jauh lebih tenang.
***
“Bu Jeni kabur Pak,” tutur suster kepada Louis melalui sambungan telepon.
“Kenapa itu bisa terjadi? Apa tidak ada yang menjaganya?” tanya Louis geram.
“Iya Pak, maafkan kelalaian kami, kami pikir anda masih bersamanya,” jawab suster.
Louis menepuk jidatnya, ia baru ingat kalau dia sendiri yang meninggalkan Jeni dalam keadaan patah hati, ia lupa meminta suster untuk menjaganya sekeluarnya dari ruang perawatan Jeni tadi.
“Baik sus, saya sendiri yang akan mencarinya. Untuk urusan administrasi rumah sakit nanti biar asisten saya yang mengurusnya,” balas Louis.
“Baik Pak, sekali lagi kami mohon maaf,”
“Iya,” balas Louis lagi.
Louis kemudian mematikan sambungan teleponnya. Ia mendengus kesal, baru saja ia menapakkan kakinya di apartemen dan sekarang ia harus keluar lagi untuk mencari Jeni.
“Apa aku menyuruh Steven saja ya? Dia pasti tidak akan keberatan untuk membantuku,” gumam Louis.
Louis kemudian mencoba menghubungi Steven yang sebenarnya sudah bersama Jeni.
“Halo Stev, kamu dimana?”
“Aku lagi di cafe sama temanku, kenapa?”
“Aku boleh minta bantuanmu?”
“Apa itu?”
“Tolong bantu aku cari seseorang, dia kabur dari rumah sakit. Nanti aku share fotonya ke W******p,” jelas Louis.
“Memangnya dia siapa?”
“Dia... Ah tidak penting. Pokoknya kamu harus cari dia,” paksa Louis.
“Hmmm... aku tidak janji Louis. Aku masih meet up dengan seseorang,”
“Ayolah Stev, aku baru saja sampai di apartemen.”
“Kirim saja dulu, nanti akan kukabari lagi.”
“Baiklah.”
Sambungan telepon terputus, dan Louis kemudian mengirim foto Jeni ke W******p Steven.
***
Beep... Beep...
Handphone Steven berdering, satu pesan masuk dari Louis dan betapa kagetnya Steven saat mengunduh foto perempuan yang dikirim Louis kepadanya.
“Kenapa Louis mencari Jeni? Apa jangan-jangan yang sedari tadi dimaksud oleh Jeni adalah Louis?” gumam Steven menebak-nebak.
“Kamu kenapa Stev? Apa ada yang salah denganku?” tanya Jeni karena tidak enak dipandang Steven sampai begitu.
Steven hanya menggeleng lalu tersenyum.
“Apa kamu tidak ingin pulang? Aku bisa mengantarmu sekarang, ini sudah malam. Kamu butuh istirahat Jen. Kasihan dia yang ada di perutmu,” tutur Steven.
Jeni diam sambil melihat ke arah perutnya. Ia belum terbiasa dengan keadaan barunya.
“Iya Stev,” jawab Jeni kemudian.
“Baiklah, ayo kita pulang sekarang,” ajak Steven.
Jeni mengangguk lalu bangkit dari duduknya dan mengikuti Steven dari belakang.
“Sebenarnya aku masih ingin bersamamu Jen, tapi maaf aku harus mengamankanmu dari Louis. Aku berjanji akan melindungimu mulai detik ini,” batin Steven.
***
“Apa kamu juga tinggal di daerah sini Stev?” tanya Jeni membuka percakapan saat mereka sedang dalam perjalanan pulang menuju kos Jeni.
“Sebenarnya aku tinggal di London, aku kesini hanya untuk memenuhi panggilan omku untuk membantunya bekerja di perusahaannya. Putranya masih kuliah dan belum ingin mengurus perusahaan keluarga,” jelas Steven yang sebenarnya ia maksud adalah Louis.
Ya, Steven merupakan sepupu Louis yang menjadi kebanggaan Aditya Saloka, ayah Louis. Steven memiliki IQ tertinggi di keluarga Saloka, tak heran kalau Aditya sangat mengagumi dan menyayangi keponakannya itu yang merupakan putra dari almarhum adik kandungnya, Pramudita Saloka.
“Apa itu artinya kamu nanti akan kembali lagi ke London?” tanya Jeni yang mendadak sedih.
“Iya, tapi hanya untuk berkunjung sebentar ke rumah mama, aku bahkan sudah berganti menjadi WNI atas permintaan Om Aditya,” jelas Steven.
Jeni tersenyum senang sambil manggut-manggut.
“Semoga kita bisa menjadi teman yang baik ya Jen, jangan sungkan untuk bercerita kepadaku,” ujar Steven lagi.
“Iya Stev,” balas Jeni.
Jeni senang memiliki teman baru seperti Steven, ia jadi membayangkan jika Louis bisa bersikap sangat baik seperti perlakukan Steven kepadanya. Jeni jadi rindu Louis yang dulu sebelum ada Renata.
“Pelan-pelan saja Stev, sebentar lagi kita akan sampai,” ujar Jeni.
Steven hanya mengangguk.
“Itu kosku, kita sudah sampai,” lanjut Jeni.
Steven ternganga tidak percaya melihat sebuah bangunan tua yang Jeni sebut sebagai kos. Bangunan itu sangat tidak layak huni menurut Steven. Ia jadi sangat kasihan dengan kehidupan Jeni.
“Kamu hati-hati di jalan ya Stev, terimakasih untuk hari ini,” ujar Jeni yang membuat Steven terbuyar dari lamunannya.
Steven tersenyum lalu mengangguk. Jeni pun melambaikan tangan pada Steven, Steven tak membalas ia masih tercengang dengan tempat tinggal Jeni karena Steven terbiasa dengan kemewahan sejak kecil. Ia jadi ingin sekali marah dan memukuli Louis.
“Louis, bagaimana bisa kamu membiarkan orang yang kamu sayangi tinggal di tempat tak layak seperti ini? apalagi kamu sudah menyakiti hatinya dan merenggut masa depannya, laki-laki macam apa kamu?” batin Steven geram.
Halo readers, terimakasih sudah mampir. Mohon rate dan feedback-nya. Oh ya kalian bisa sapa author di IG @ritahawa_
Thank you 😊
***Apartemen Elite City“Aku sudah menemukannya Louis,” ujar Steven saat ia mendatangi Louis di kediamannya.“Thank you Stev, kamu memang selalu bisa diandalkan,” balas Louis senang.“Dia sebenarnya cantik, apa dia kekasihmu selain Renata?” pancing Steven.Louis diam, dalam hati ia sangat cemburu Steven memuji kecantikan Jeni di depannya. Sementara Steven yang melihat ekspresi Louis yang seperti itu langsung tertawa sambil melempar bantal sofa ke arah sepupunya itu, ia tahu kalau Louis tidak rela kekasihnya dipuji oleh laki-laki lain.“Aku tidak mungkin menyukainya Louis, penampilannya sangat biasa. Mamaku pasti naik pitam jika aku memiliki kekasih yang tidak layak seperti dia,” goda Steven yang sebenarnya ingin menyadarkan Louis agar lebih memperhatikan kehidupan Jeni.“Tidak layak? Apa maksudmu?” tanya Louis kesal.“Kutemukan dia di jalan seperti gembel, wajah
“Jen, aku tidak pernah melihat kamu sebahagia ini meskipun bersama Louis, orang yang katamu sempurna dan begitu kamu cintai selama ini, ada apa?” Tanya Tania angkat bicara karena heran.Jeni hanya tersenyum dan ikut masuk ke mobil Tamara tanpa jawaban, membuat Tania dan Tamara semakin penasaran hingga saling berpandangan satu sama lain, heran dengan sikap Jeni yang tidak seperti biasanya.“Tolong jelaskan pada kami Jen,” desak Tamara.“Aku memiliki teman baru, dia sangat baik padaku. Aku sedang berusaha membuat janji padanya hari ini, akan kukenalkan dia pada kalian,”“Apa maksudmu memiliki teman baru? Apa kami berdua kurang bagimu?” protes Tania kesal.“Tidak Tania, dia seorang laki-laki yang telah menyelamatkanku saat aku berusaha bunuh diri kemarin,” jelas Jeni.Tamara dan Tania justru mengomel tidak karuan saat mendengar pengakuan Jeni bahwa ia sampai hendak bunuh diri hanya gar
Jeni melongo bingung melihat Tania dan Tamara yang bercipika-cipiki ria dengan Steven secara bergantian.“Kalian sudah saling kenal?”Steven mengangguk dengan senyumannya yang begitu mengoyakkan hati siapapun yang memandangannya.“Kita dulu satu geng saat SD, geng penyelamatan, dan kali ini kita kembali dipersatukan untuk misi yang sama,” sahut Tamara diiringi gelak tawanya yang disusul oleh Tania dan Steven.Jeni tersenyum dingin, kemudian duduk di kursi di samping Steven karena Steven dengan sigap menarik mundur kursi itu untuk Jeni.“Ehem,” goda Tania.Jeni hanya bisa mendelik marah pada salah satu sahabatnya itu, ia tidak suka, dalam hatinya ia masih menginginkan Louis kembali karena janin yang ada dalam perutnya. Jeni tidak ingin buru-buru mencari pengganti Louis, sifat keras kepalanya harus ia pertahankan untuk menarik Louis kembali dari tangan Renata, ia yakin bisa.Tania dan Tamara justru ce
Tania dan Tamara sampai melongo terkejut dan saling berpandangan satu sama lain, mereka tidak menyangka Steven akan sepeduli itu pada Jeni, sementara Jeni langsung menggeleng cepat.Steven justru meraih tangan Jeni dan memegangnya dengan lembut sambil berkata lirih, “aku tidak keberatan, tolong jangan menolakku.”Jeni memandang Steven dengan tatapan yang sangat dalam, ia justru membayangkan Steven adalah Louis.Melihat Jeni dan Steven seperti ingin berbicara empat mata, Tania dan Tamara pun tiba-tiba pamit dan beralasan ada suatu hal mendadak yang mengharuskan sepasang sepupu kompak itu harus segera pulang ke rumah.Ibu Tania dan Tamara seorang kembar identik, sementara ibunya Tania sudah meninggal dua tahun yang lalu dan ayahnya bekerja di luar negeri, sehingga Tania dipaksa keluarga Tamara untuk tinggal bersama mereka.“Kenapa kalian buru-buru?” tanya Jeni merasa tidak enak hati.“Aku ingat kalau Mama ha
Jeni sampai mengucek kelopak matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa ia memang tidak salah melihat.Batinnya mulai berkecamuk, ia sebenarnya sangat merindukan Louis, tapi sisi lain hati Jeni sudah remuk tak bersisa lagi.Jeni menarik nafas dalam-dalam, lalu melempar handphonenya sesuka hati. Apa yang ingin dibicarakannya dengan Louis? Sudah tidak ada, yang ada justru ia akan bertengkar lagi dengan Louis.Jeni terlalu malas untuk berdebat kesekian kalinya dengan ayah biologis janin yang dikandungnya saat ini. Maka Jeni memutuskan untuk kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya, ia sangat lelah. Terlebih ia baru saja muntah-muntah yang membuat hampir seluruh tenaganya habis terkuras. Mungkin lain waktu saja ia akan menghubungi Louis, pikirnya.Baru saja ia akan memejamkan matanya, deringan handphone bernada khusus kembali mengusiknya. Lagi-lagi itu Louis, Jeni baru saja memeriksanya karena handphonenya terlempar tak begitu jauh darinya. Jeni la
Louis tertegun sesaat, mana mungkin ia akan segera memberi tanda pada hubungannya dengan Renata, semantara ia masih belum memikirkan jalan keluar hubungannya dengan Jeni.“Kenapa kamu diam Louis, apa kamu tidak ingin segera bertunangan dan menikah denganku?”Lagi-lagi Louis hanya menampilkan seulas senyuman manis di wajah bulenya yang sangat tampan.“Aku akan memikirkannya, lagipula aku juga harus membicarakan hal ini terlebih dulu pada orangtuaku,” kilahnya.“Baik, aku akan menunggunya.” Ujar Renata senang sambil mengalungkan tangannya pada leher jenjang Louis.“Apa kamu tidak ingin memasak sesuatu untukku? Aku sangat lapar.”Renata terkekeh pelan, lalu menggandeng lengan Louis dan mengajaknya ke dapur. Louis hanya menurut, padahal itu hanya alasannya saja agar Renata tidak terus-terusan membuatnya terpojok.Meskipun begitu, Louis memang sangat menyukai masakan Renata, apapun yang dimasak oleh tangannya selalu lezat dan sangat diterima oleh
Diam-diam Jeni jadi semakin mengagumi Steven yang cerdas, mandiri juga romantis. Tapi entah kenapa ia sulit mengganti Louis dengan laki-laki menyerupai malaikat seperti dia. Bodoh, Jeni terus mengumpat dirinya sendiri.“Kenapa kamu memandangku seperti itu?”Jeni menggeleng, tentu saja ia tidak akan mengaku bahwa ia mulai mengagumi Steven.“Mata kamu sembab, apa kamu menangis lagi?” Selidik Steven.Jeni mengangguk pelan.“Tapi, aku menangis karena aku lelah muntah terus,” kilahnya.“Sabar ya, jangan mengeluh. Kasihan dia.”Jeni berkaca-kaca saat Steven menyebut kata 'dia' dengan nada yang begitu lembut. Terlihat sekali bahwa Steven orang yang sangat penyayang. Jeni lalu mengangguk dan mengusap air matanya.“Kenapa menangis lagi?”“Andai aku bisa, aku ingin sekali mencintaimu Stev, tapi...”Jeni semakin terisak, ia tahu andai ia mencintai Steven
Jeni terpaksa mengatakan itu, padahal ia hanya ingin tahu reaksi Louis. Kalaupun Louis justru memang mendukungnya, ia pun tidak akan tega membunuhnya, tentu saja Steven pasti akan membencinya.“Apa yang terjadi denganmu Jeni, bukankah kamu masih sangat mencintaiku?”“Tidak penting, apa kamu menginginkannya?” cecar Jeni.Louis masih terdiam.“Ya, aku menginginkannya. Tolong jangan membunuhnya,” tegas Louis.Entah kenapa Jeni seperti mendapat kiriman hawa segar dari balik handphonenya, ia tersenyum haru. Jeni tidak menyangka Louis menginginkannya.“Lalu kenapa kamu tidak datang menemuiku Louis? aku... aku sangat merindukanmu.”Kalimat itu akhirnya meluncur juga dari mulut Jeni, seharian ini ia begitu tersiksa menahan rasa rindunya kepada Louis.“Aku pasti akan datang menemuimu.”“Kapan?”“Besok, di hari ulang tahunmu. Aku tidak pernah melu