Share

KIRIMAN DARINYA

***

Apartemen Elite City

“Aku sudah menemukannya Louis,” ujar Steven saat ia mendatangi Louis di kediamannya.

“Thank you Stev, kamu memang selalu bisa diandalkan,” balas Louis senang.

“Dia sebenarnya cantik, apa dia kekasihmu selain Renata?” pancing Steven.

Louis diam, dalam hati ia sangat cemburu Steven memuji kecantikan Jeni di depannya. Sementara Steven yang melihat ekspresi Louis yang seperti itu langsung tertawa sambil melempar bantal sofa ke arah sepupunya itu, ia tahu kalau Louis tidak rela kekasihnya dipuji oleh laki-laki lain.

“Aku tidak mungkin menyukainya Louis, penampilannya sangat biasa. Mamaku pasti naik pitam jika aku memiliki kekasih yang tidak layak seperti dia,” goda Steven yang sebenarnya ingin menyadarkan Louis agar lebih memperhatikan kehidupan Jeni.

“Tidak layak? Apa maksudmu?” tanya Louis kesal.

“Kutemukan dia di jalan seperti gembel, wajahnya kusam, dan penampilannya bahkan lebih buruk daripada para pelayan di rumahmu,” cela Steven.

“Jaga bicaramu Stev!” bentak Louis tak terima.

“But, aku bicara kenyataan Louis Stanley Saloka, harusnya kamu lebih memperhatikannya, apa kamu tidak malu memiliki kekasih seperti itu? Pantas saja Tante Monica lebih merestui hubunganmu dengan Renata, dia dan Renata bagaikan bumi dan langit, apalagi kulihat tadi tempat tinggalnya berada di gedung tua yang seperti hendak roboh,” papar Steven dengan gaya santainya.

“Dia sudah bukan kekasihku!” teriak Louis.

Steven terkejut sampai mengangkat kedua alisnya, entah kenapa ia ingin sekali memukuli Louis tanpa ampun, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya.

“Oh ya? Lalu kenapa kamu tadi sampai repot menyuruhku mencarinya?” tanya Steven kesal.

“Bukan urusan kamu, lebih baik kamu pergi dari sini Stev, atau aku akan menghajarmu. Ayah sambungmu sudah berkali-kali menelfonku menyuruhmu ke sana,” balas Louis tak kalah kesalnya.

Mendengar hal itu, Steven sebenarnya sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, entah kenapa hatinya sakit sekali mendengar Louis justru sudah tidak mengakui Jeni sebagai kekasihnya, padahal Jeni sedang mengandung anaknya. Steven pun kemudian keluar begitu saja tanpa pamit dari apartemen Louis, ia benar-benar kecewa terhadap sepupunya itu.

Pikiran Steven jadi terpenuhi oleh bayang-bayang Jeni sekarang, diliriknya jam tangan Rolex yang melingkar di tangan kirinya baru saja menunjukkan pukul 20.30, bukan jam yang terlalu malam untuk sekedar mengantarkan makanan ke kos Jeni, pikirnya.

Steven lalu melajukan mobil sport mewahnya menuju mini market terdekat, selain makanan ringan ia juga ingin membelikan susu ibu hamil untuk Jeni. Ya, Steven terlalu peduli pada Jeni, bahkan sebelum ke mini market saat ia melihat tukang martabak manis, ia sampai repot berhenti dan membelikannya untuk Jeni.

***

“Keluarlah sebentar Jen, aku ada di depan gerbang kosmu,” ujar Steven melalui sambungan telepon.

Saat di mobil mengantarkan Jeni pulang tadi, Steven sempat meminta nomor telepon Jeni agar bisa dengan mudah menghubunginya.

“Ada apa Stev?” tanya Jeni kaget.

“Aku hanya ingin mengantarkan makanan untukmu, keluarlah sebentar saja. Di sini mendung gelap, aku takut kehujanan,” balas Steven beralasan agar Jeni segera keluar menemuinya.

“Baiklah, tunggu sebentar aku akan ke sana.”

Sambungan telepon kemudian terputus, dalam hati Jeni tersenyum bahagia bisa mendapatkan teman baru yang baik seperti Steven, setidaknya ia bisa menjadi pelipur lara di saat Louis menyakitinya.

“Banyak sekali Stev, apa saja yang kamu bawa ini? kenapa aku jadi merepotkan kamu seperti ini?” ujar Jeni terkejut melihat Steven dengan barang belanjaan yang begitu banyak, dua kantong kresek putih berukuran tanggung dengan logo mini marketnya dan satu lagi kresek putih polos berisi satu kotak martabak.

“Tidak apa-apa, terima saja! Aku senang bisa membelikannya untukmu.”

“Baiklah, terimakasih banyak Stev.”

“Oke sama-sama. Aku pulang dulu Jen, jangan lupa dimakan ya!” seru Steven dengan senyumannya yang menawan.

Jeni hanya mengangguk dan tersenyum, lalu melambaikan tangannya pada Steven yang hendak melajukan mobilnya.

Mendapat kiriman belanjaan dari Steven, tentu saja membuat hati Jeni begitu senang, bagaimana tidak uang di dompetnya sudah sangat menipis, sementara masih dua minggu lagi ia mendapat gaji yang tak seberapa dari cafe tempatnya bekerja.

Dengan girangnya ia mengecek satu persatu kiriman dari Steven di kamar kosnya, banyak sekali makanan ringan, roti, air mineral dan juga satu hal yang membuat Jeni terharu adalah susu ibu hamil. Jeni sampai langsung berderai air mata saat melihatnya, segitu pedulinya Steven padanya. Sementara Louis sampai detik ini menghubunginya saja tidak.

“Ya Allah, terimakasih telah mengirimkan teman baik seperti Steven padaku.” Isak Jeni sambil mengelus lembut perutnya yang masih rata.

Jeni kemudian menghapus air matanya pelan sambil membuka satu bungkus kresek polos lainnya yang isinya martabak manis, sebenarnya ia sama sekali tidak ingin makan. Perasaannya masih tidak karuan, sedari tadi hanya air putih saja yang masuk dalam kerongkongannya, namun Jeni ingin menghargai Steven yang sudah begitu baik mengirimkan semua itu padanya.

***

Tok... tok... tok...

Pagi-pagi sekali, Tania dan Tamara sudah mengetuk pintu kamar kos Jeni untuk menjemputnya ke kampus, kegiatan rutin mereka berdua setiap pagi saat ada jam kuliah, mereka tahu uang kiriman Jeni dari mamanya yang menjadi TKW di Malaysia sangatlah sedikit, jadi sekesal apapun mereka berdua pada Jeni, mereka tidak akan pernah membiarkan Jeni naik angkutan umum untuk soal urusan pergi ke kampus, dan pagi ini kebetulan ada jadwal setor bab 3 dan 4 untuk skripsi mereka.

“Jeni lama sekali, apa dia belum bangun?” tanya Tamara pada Tania.

Tania hanya mengangkat kedua bahunya, ia masih sangat kesal dengan Jeni, apalagi saat di mobil tadi Tamara menceritakan bahwa Jeni telah melihat sendiri Louis dan Renata di kamar apartemen Louis.

“Jangan kesal gitu Tan, kasihan Jeni. Aku telfon dia sebentar,” ujar Tamara lagi.

Baru saja Tamara hendak mengambil smartphonenya di dalam tas, Jeni sudah muncul dari balik pintu kamar kosnya dengan wajah yang berbunga-bunga. Hal itu membuat Tania dan Tamara mengerutkan keningnya dan bertanya-tanya.

“Bukannya kamu baru saja patah hati? Tapi sekarang...” ujar Tamara menggantungkan kalimatnya karena benar-benar heran.

“Nanti kalian pasti juga tahu, ayo kita berangkat.” Ajak Jeni yang sambil menggandeng lengan kedua sahabatnya menuju parkiran kosnya, Jeni ingin memperkenalkan Steven pada mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status