Share

KECEWA UNTUK KESEKIAN KALINYA

“Jen, aku tidak pernah melihat kamu sebahagia ini meskipun bersama Louis, orang yang katamu sempurna dan begitu kamu cintai selama ini, ada apa?” Tanya Tania angkat bicara karena heran.

Jeni hanya tersenyum dan ikut masuk ke mobil Tamara tanpa jawaban, membuat Tania dan Tamara semakin penasaran hingga saling berpandangan satu sama lain, heran dengan sikap Jeni yang tidak seperti biasanya.

“Tolong jelaskan pada kami Jen,” desak Tamara.

“Aku memiliki teman baru, dia sangat baik padaku. Aku sedang berusaha membuat janji padanya hari ini, akan kukenalkan dia pada kalian,”

“Apa maksudmu memiliki teman baru? Apa kami berdua kurang bagimu?” protes Tania kesal.

“Tidak Tania, dia seorang laki-laki yang telah menyelamatkanku saat aku berusaha bunuh diri kemarin,” jelas Jeni.

Tamara dan Tania justru mengomel tidak karuan saat mendengar pengakuan Jeni bahwa ia sampai hendak bunuh diri hanya gara-gara seorang Louis, padahal mereka berdua tidak mengerti bahwa Jeni seperti itu karena begitu frustasi mengandung anak Louis sementara Louis justru terang-terangan menyatakan perasaannya pada Renata di depannya.

“Maafkan aku, tapi aku benar-benar frustasi. Aku dan Louis sudah bersama selama 7 tahun dan dia mengaku mencintai Renata di depanku,” aku Jeni sedih.

“Aku tahu perasaanmu Jen, tapi sayangilah dirimu. Jangan sampai menyakiti diri kamu sendiri hanya karena si brengsek Louis,” balas Tamara yang ikut-ikutan emosi.

Jeni hanya menganguk sambil berderai air mata mendapat omelan dari kedua sahabatnya, Jeni jadi semakin takut untuk jujur bahwa dirinya sekarang sedang hamil anak Louis, Jeni tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya mereka berdua padanya jika sampai tahu hal itu.

“Maafkan kami,” ucap Tania dan Tamara hampir bersamaan.

Jeni yang duduk sendirian di kursi tengah hanya mengangguk dan mengusap air matanya.

“Kami sangat menyayangimu Jen, kami senang kalau kamu sudah menemukan teman baru yang membuat kamu sebahagia itu,” hibur Tania.

“Iya Tan, terimakasih.”

“Jangan menangis lagi, dua menit lagi kita akan sampai kampus,” ingatnya.

Jeni hanya mengangguk sambil berusaha tersenyum.

***

Sekeluarnya Jeni dari ruang dosen, ia justru melihat Louis sedang duduk berdua bersama Renata. Hal itu membuat Jeni ingin sekali menghampiri Louis dan menamparnya keras-keras. Ia sangat sakit hati, Louis sudah tahu bahwa ia mengandung anaknya, tapi ia justru tidak berusaha menghubungi menanyakan kabar dirinya atau sekedar mengirim pesan WA seperti biasa, Louis justru seperti berusaha melupakan Jeni dari kehidupannya.

Melihat Louis dan Renata yang sama sekali seperti tidak melihat keberadaan dirinya. Jeni justru sengaja menghampiri mereka karena benar-benar geram, ia ingin tahu bagaimana reaksi mereka berdua saat dirinya ikut nimbrung dalam obrolan mereka yang begitu asik dan tak tahu malu itu.

“Ehem,” Jeni berdehem dan langsung duduk begitu saja di tempat duduk sebelah Louis.

Hal itu sontak membuat Renata dan Louis begitu canggung dihampiri oleh Jeni yang begitu tiba-tiba.

“Aku tahu kamu memang perempuan yang sangat cantik, semua laki-laki bahkan aku rasa mencintaimu, tapi sayang sekali kenapa kelakuanmu sangat minus Re, apa kamu tidak malu berbuat seperti itu dengan kekasih orang?” sindir Jeni begitu emosi.

Renata hanya diam dan menahan emosi, sebenarnya ia ingin sekali membalas perkataan Jeni, tapi di kampus ini ia dikenal sebagai perempuan yang terhormat, ia justru akan lebih malu jika sampai bertengkar di kampus dengan Jeni hanya gara-gara memperebutkan Louis.

“Jeni, apa-apaan kamu,” protes Louis dengan nada setengah berbisik takut terdengar mahasiswa lain yang juga duduk tak jauh dari mereka.

Jeni tersenyum sinis.

“Apa perlu aku berteriak dan memberitahukan pada seluruh mahasiswa bahwa dia ternyata bukan perempuan yang baik Louis? Aku rasa itu setara dengan sakit hatiku,” ancam Jeni.

“Jangan gila kamu Jen,” protes Louis kesal.

“Louis, andai aku tidak hamil anak kamu. Aku pasti sudah meninggalkanmu, tapi kenyataannya sekarang...” Jeni tidak sanggup meneruskan kalimatnya, hatinya kembali hancur dengan kenyataan pahit yang sekarang ia alami.

“Apa? Dia hamil anak kamu Louis?” ujar Renata begitu syok namun dengan suara yang terdengar sangat pelan, lagi-lagi ia takut segala pembicaraannya terdengar yang lain.

“Iya, kenapa? Dia bukan laki- laki yang baik Renata. Aku saja menyesal telah mengenalnya. Suatu hari nanti kamu juga akan merasakan hal yang serupa denganku. Dihamili lalu ditinggalkan olehnya,” seloroh Jeni sambil melirik tajam ke arah Louis dan kemudian pergi dari hadapan mereka berdua.

Jeni sudah tidak bisa membendung air matanya lagi, ia kembali menangis terisak saat pergi dari hadapan Louis dan Renata. Namun tiba-tiba handphonenya berdering, sebuah panggilan dari Tania,  hal itu membuat Jeni kemudian mengusap air matanya begitu kasar dan berlari menuju parkiran karena Tania dan Tamara sudah menunggunya di mobil.

“Kamu habis menangis lagi?” selidik Tamara yang kali ini ikut duduk di kursi tengah bersama Jeni.

Jeni hanya menggeleng.

“Sudahlah Jen, lebih baik kamu lupakan Louis. Aku tahu kamu pasti menangis gara-gara melihat Louis dan Renata duduk berdua di depan ruang dosen kan?” tebak Tania.

Jeni tampak menghela nafas, dadanya masih bergemuruh dipenuhi kekecewaan dan sakit hati yang begitu menusuk, hingga ia tidak mampu menjawab apapun pertanyaan Tania atau Tamara.

“Kita bertemu teman kamu itu dimana?” tanya Tania lagi mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Di Panorama Resto n Cafe, dekat kantornya dia,” jawab Jeni kemudian.

“Dia sudah bekerja?” timpal Tamara.

Jeni hanya mengangguk membenarkannya.

“Umurnya berapa Jen? Jangan-jangan sudah om-om,” tanya Tamara lagi berusaha mencairkan suasana.

Tania yang sedang menyetir langsung tertawa mendengar pertanyaan Tamara yang begitu disengaja.

“Udah kakek-kakek,” jawab Jeni kesal.

Tania dan Tamara justru semakin tertawa mendengar jawaban Jeni.

“Ayolah Jen, dibawa enjoy aja. Gara-gara kelamaan sama Louis, hidup kamu sekarang jadi serius banget,” protes Tania.

“Biasa aja.”

“Okey, Panorama Resto n Cafe itu dimana? Aku benar-benar gatau. Coba deh kamu suruh si kakek-kakek itu buat share lok aja, hahaha,” goda Tania.

“Taniaaa...” teriak Jeni yang semakin kesal.

Tania dan Tamara kembali tertawa terbahak-bahak melihat Jeni yang semakin kesal, padahal Tania sudah tahu dimana tempat resto yang dimaksud oleh Jeni, ia sering diajak kesana oleh kekasihnya untuk sekedar lunch atau dinner di Panorama Resto n Cafe yang terletak di atas mall bertema rooftop dengan view pemandangan yang begitu indah.  

“Kok kita malah ke mall?” protes Jeni dengan gaya polosnya.

“Restonya ada di atas mall, Jeni,” jawab Tamara

Jeni hanya manggut-manggut dan menurut saja dengan kedua sahabatnya. Maklum, ia tidak pernah main ke tempat mewah seperti ini. Kalaupun diajak Tania atau Tamara, Jeni juga selalu menolak dengan alasan uang yang sangat terbatas. Padahal mereka selalu berjanji untuk menraktirnya, Jeni bukan orang yang suka memanfaatkan kekayaan kedua sahabatnya atau Louis. Ia benar-benar perempuan baik yang sangat sederhana.

“Teman kamu itu dimana Jen?” tanya Tamara saat mereka sudah sampai di Panorama.

“Itu dia,” jawab Jeni sambil menunjuk ke arah Steven yang sedang duduk dengan posisi  membelakangi.

Jeni, Tania dan Tamara kemudian berjalan menghampiri tempat duduk Steven, dan betapa kagetnya Tania dan Tamara saat teman baru yang Jeni maksud adalah orang yang sudah sangat dikenalnya.

“Ya ampun, Steven?” seru Tania dan Tamara hampir bersamaan karena terkejut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status