Share

Bab 3 Playboy Itu Suamiku!

Studio NADIYA

"Hah, Papa benar-benar membuatku kesal! Moodku langsung hamcur di pagi buta! Apa yang Papa pikirkan, sih! Kenapa sampai sekarang dia masih saja belum bisa menerima Andre? Apa buruknya?" gerutu Tania sambil keluar dari mobil sport keluaran Jerman miliknya.

Studio NADIYA, diambil dari namanya, Nathania Diandra Wijaya adalah studio seni tempat Tania biasa menghabiskan waktu hingga berjam-jam bahkan berhari-hari ketika dia belum menikah dulu. Studio yang ia bangun dari nol dan kini menjelma menjadi salah satu studio seni yang paling dicari oleh para pemburu sesuatu yang unik dan eksentrik dan berhasil menjadi studio seni terbesar di Jakarta. Dengan 3 orang karyawan yang ia pekerjakan, Tania dan timnya berhasil meraih kesuksesan di luar negeri tatkala mereka mengusung sebuah foto lukisan fine art yang berjudul 'Didera Cidera'. Sebuah foto lukisan yang hanya membubuhkan setetes darah dari sang pelukisnya, namun di dalamnya tersirat makna yang dalam. Hingga kini, foto dari lukisan itu menjadi favorit Tania dan benda berharga yang ia simpan di suatu tempat, bahkan sang suami, Andre pun tak mengetahuinya.

"Siang, Bos," sapa salah satu anak buah Tania, Robert menyapa dengan semangat.

"Pagi, Bro," balas Tania kurang semangat sambil memasuki ruangan kerjanya.

"Eh, si Bos ngapa itu? Kok mukanya kaya dompet akhir bulan?" tanya Robert di samping kedua rekannya, Hannah dan Dion.

"Mana kutau, bukannya loe yang tadi nyapa si Bos duluan," sahut Hannah, cewe cantik  tomboy dengan banyak piercing di alis, lidah, bibir, dan perutnya juga tato dengan namanya di leher belakang dan pergelangan tangan sebelah kanan.

Tania langsung meletakkan tasnya di atas meja kerjanya dan memijat-mijat keningnya. "Benar-benar Papa! Menyesal aku datang menemuinya! Benar-benar orang tua yang suka membuat hancur mood orang!" gerutu Tania.

Sejenak dia memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam dan ...

Tok ... tok ... tok ...

Terdengar seseorang mengetuk pintu  ruangan Tania.

"Masuk," ucapnya.

"Bos ..." ucap Hannah di muka pintu sambil tersenyum.

"Oh, kau Hannah. Ada apa? Masuklah," ucap Tania menyudahi santainya sejenak.

"Hmmm ... anu, Bos ... anu ..." Hannah tampak seperti orang kebingungan.

"Anu---apa?" tanya Tania penasaran.

"Anu---Bos mau minum apa? Kopi atau teh? Biar saya bawakan ke ruangan Anda," Hannah tertawa kikuk dan inginnya segera beranjak dari ruangan Tania, namun tiba ....

BRAK!!!!

Tania menggebrak mejanya dengan cukup kencang, bahkan suara gebrakannya terdengar hingga ke seluruh studio seni miliknya.

"Apa itu? Loe denger ga, Bro?" tanya pegawai Tania lainnya, Dion yang sedang membersihkan lensa kameranya.

"Kayaknya si Bos suasana hatinya lagi ga enak, tuh!" timpal Robert yang asyik menyeruput kopi hitam less sugar di samping Dion.

Dion, rekannya hanya diam menanggapi pernyataan Robert dan masih fokus membersihkan lensa kameranya. "Heh, loe denger gue ngomong ga, sih, Bro?" tanya Robert menyenggol pelan sikut Dion.

"Iye, gue denger! Kenapa emangnya? Ada apa? Apa ada urusannya sama loe?" tanya Dion sedikit emosi dan meninggalkan Robert.

"Kenapa lagi sama 'tu anak? Heran gue, kenapa hari ini banyak yang senyo (sensi), ya? Ga si Bos, ga tu bocah, semuanya senyo," keluh Robert menggugam sambil tetap menikmati kopi hitam less sugar miliknya.

Ruang Kerja Tania

"B--Bos, a--ada apa? Kenapa Anda tiba-tiba menggebrak meja?" tanya Hannah terkejut.

"Hannah, aku ingin tanya sesuatu padamu. Tapi--jawab dengan jujur! Apa kau bisa?" tanya Tania seraya melirik tajam ke arah Hannah.

"B--baik, akan saya jawab sesuai pertanyaan Anda," balas Hannah berdiri di dekat pintu ruangan Tania.

"Duduklah di sini," perintah Tania sambil menunjuk kursi kosong di depannya.

Hannah bergeming sesaat, menatap kosong ke arah Tania dan segera berjalan ke kursi yang dimaksud Tania.

"Ada--apa, Bos?" tanya Hannah sedikit takut.

"Hannah, berapa kali kau berpacaran?" tanya Tania pekat melihatnya.

"Hah? Eh--mak--maksud saya, kenapa Anda bertanya seperti itu?" tanya Hannah dengan tatapan sedikit bingung.

"Jawab saja!" perintah Tania.

"Itu----" Hannah menundukkan kepalanya dan pandangannya mulai menebar ke segala arah.

"Kenapa? Itu---apa?" Tania sangat penasaran dengan salah satu pegawainya yang terkenal dengan sebutan cewek gothic itu.

"Itu---aku belum pernah pacaran sama sekali, Bos." jawab Hannah malu-malu.

Tania agak terkejut mendengar jawaban Hannah. Meskipun dia tahu Hannah adalah wanita yang cantik dan menarik, namun ia sama sekali tak menyangka jika Hannah belum pernah berpacaran sama sekali.

"Kau--sekalipun belum pernah berpacaran? Sekali pun, Hannah?"  tanya Tania menanyainya dan mendesaknya.

"Benar, Bos! Sumpah! Saya sama sekali belum pernah pacaran, kayaknya Bos ga percaya aku ga pernah pacaran, ya---" ucap Hannah sedikit menggumam.

"Ah, bukan begitu, hanya saja--" Tania melihat Hannah pekat, dari atas hingga bawah, membuat Hannah sedikit tak nyaman.

"Mmm, Bos---ada apa? Kenapa melihat saya begitu?" tanya Hannah pelan.

"Ah, tidak. Tak ada apa-apa. Oh ya, bisa kau bawakan aku kopi? Biasa ya," pinta Tania sambil tersenyum pada Hannah.

"Bi--bisa, Bos. Segera akan saya bawakan," balas Hannah langsung dengan gerakan cepat berdiri menuju pintu dan keluar dari ruangan Tania.

Sesaat, Tania menghela napas panjang dan memandang sebuah pigura foto pernikahan dirinya dengan Andre terpajang di meja kerjanya. Dengan tatapan pekat, Tania terus memperhatikan foto itu hingga tak sengaja tangannya menyenggol tas miliknya dan menjatuhkan sebuah amplop cokelat berukuran sedang dengan isi tercecer di lantai. Sebuah undangan dan gambar bangunan menyerupai Istana Musim Dingin dan Lapangan Merah khas Rusia menjadi pembuka undangan itu. Tania yang merasa penasaran kemudian membuka undangan itu dan dia sangat terkejut ketika salah satu museum seni terbesar dan terkenal di Rusia mengundangnya menjadi tamu kehormatan pada acara amal yang diselenggarakan oleh pemerintah Rusia yang bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melalui kementrian pariwisata dan luar negeri.

Tentu saja hal ini membuat Tania sangat sumringah dan meloncat kegirangan, Hannah yang tiba-tiba masuk ke ruangan Tania sangat terkejut melihat ekspresi bosnya yang tak biasanya itu.

"Bos--Anda baik-baik saja? Kenapa Anda--" tanya Tania dengan ekspresi bingung sambil membawa cangkir kopi permintaan sang bos.

"Ah, Hannah--" Tania langsung bergegas menghampiri Hannah dan menarik tangannya keluar ruangan.

"Et--et--et---" seru Hannah.

"Ada apa, Hannah?"

"Anu, Bos, kopinya ... biar saya letakkan di meja dulu," ucap Hannah segera meletakkan kopi Tania dan bergegas mengikuti Tania keluar ruangan.

Studio Seni NADIYA

"Geys, pagi semua," sapa Tania tersenyum lebar.

"Pagi, Bos," balas Robert, Hannah, dan Dion yang hanya menganggukkan kepalanya.

"Geys, aku baru saja mendapat kabar gembira dan sebelum aku ke sini, aku mampir ke kantor Wijaya Mining and Coal Company dan di sana presdir dari Wijaya Mining and Coal memberikanku ini," jelas Tania seraya menunjukkan undangan bergambar Istana Dingin dan Istana Merah Rusia.

"Apa itu, Bos?" tanya Robert penasaran.

"Ini adalah undangan yang diberikan pada kita oleh salah satu museum seni yang ada di sana. Tak tanggung-tanggung, museum ini adalah 1 dari 10 museum terbaik di negara itu," papar Tania tersenyum mengembang.

Robert dan Hannah tentu saja sangat senang dan saling melempar senyum puas satu sama lain. Mereka tak henti-hentinya mengusap wajah mengucap syukur karena akhirnya galeri NADIYA bisa melebarkan sayapnya ke luar negeri. Namun, beda halnya dengan Dion. Dia hanya bergeming dan menatap Tania pekat seraya berkata, "Kenapa ... kita? Bukankah masih banyak yang lebih pantas untuk mendapatkan undangan itu daripada kita?"

"DION!!" sentak Robert yang memang sudah kesal dengan Dion sejak pagi. Diraihnya kerah kaos warna biru laki-laki indo nan tampan itu dan bogem mentah pun ingin dilemparkan ke wajah mulusnya.

"HENTIKAN!" tegas Tania segera menemui mereka berdua.

"Robert, Dion, ada apa ini? Kenapa kalian malah bertengkar?" tanya Tania melerai.

"Tanya saja dengan Dion, Bos! Entah dia kesambet apa sejak tadi pagi!" ucap Robert sinis.

"Maksud kamu, Robert?" Tania tak mengerti maksud ucapan Robert dan dia masih menatap sinis Dion.

"Anu, Bos ... biar saya yang menengahi mereka. Bos pasti banyak kerjaan, kan?" ucap Hannah  berusaha membujuk Tania.

"TIDAK! Saya tak 'kan kemana-mana sebelum masalah ini selesasi! Robert, Dion, ikut ke ruangan saya, SEKARANG!" perintah Tania dengan tegas.

"Baik, Bos," jawab mereka berdua.

Robert melihat Dion dengan ekspresi penuh kekesalan dan jengkel, sementara Dion seperti biasanya, dingin dan tanpa ekspresi.

"Udah, Bert. Loe ikutin aja kemauan Bos. Mood-nya kayaknya lagi jelek banget hari ini, tambah kelakuan loe-loe orang ..." Hannah menghela napas panjang sambil menepuk bahu Robert pelan.

Ruang Tania

"Duduk!" perintah Tania sambil meminum kopinya. "Kenapa kalian bertengkar?" tanya Tania lagi.

Lagi, Robert dan Dion bergeming. Tak ada satu pun dari mereka yang membuka suaranya.

"Aku tanya sekali lagi, kenapa kalian bertengkar? Jika tak ada yang menjawab, baiklah ... tak masalah bagiku. Aku akan membatalkan undangan ini!" ancam Tania sambil tersenyum menyeringai.

"Yah, Bos ... jangannnnn!! Masa dibatalin, aku kan belum pernah ke Rusia. Kudengar wanita di sana cantik-cantik, kan lumayan, Bos ... buat cuci mata eh maksud saya model sebagai foto nanti, Bos," jelas Robert tersenyum lebar.

Tania hanya melihat Robert dengan tatapan datar dan langsung mengalihkan pandangannya ke Dion yang terlihat diam dan cuek. Dion dan Tania sendiri sebenarnya adalah teman satu kampus sewaktu mereka kuliah dulu. Namun, tak berapa lama Dion memutuskan untuk pindah kuliah ke luar negeri dan beberapa tahun setelahnya mereka tak sengaja bertemu di sebuah acara pameran lukisan di New York, di mana ketika itu Dion menjadi salah satu peserta pameran lukisan tersebut. Dan sejak itu, pertemanan mereka yang 'putus' beberapa saat terjalin kembali. Dion sendiri sebenarnya adalah anak dari seorang designer permata kenamaan, Hendra Saputra. Nama ayahnya tak hanya di dalam negeri namun juga di luar negeri karena hasil kreasi permatanya yang unik dan nyentrik. Namun meskipun demikian, dia tak ingin berpangku tangan dan mendompleng nama besar ayahnya dan ia memutuskan untuk meninggalkan kediaman mewahnya dan hidup mencari jati dirinya sebagai orang 'biasa'.

Diam-diam, selama beberapa tahun ternyata Dion memiliki rasa dan memendam perasaannya pada Tania. Semenjak awal kuliah, Dion sudah menyukai Tania dan kabar jika Tania telah menikah membuatnya sempat frustasi dan depresi. Tania mengetahui hal itu! Namun ia tak dapat melakukan apa pun karena memang dia tak memiliki perasaan dengan Dion. Kini, di ruangan Tania yang bergaya minimalis namun elegan itu, tinggal Dion seorang setelah Tania meminta Robert keluar ruangannya.

"Ada apa, Dion? Tak biasa-biasanya kau seperti ini. Ada apa? Kau mau cerita padaku?" tanya Tania kini duduk di sebelah Dion.

Dion tetap bergeming, matanya terpaku menatap sebuah foto pernikahan Tania dan Andre.

"Apa kau bahagia, Tania?" tanya Dion tiba-tiba, tanpa melihat ke Tania.

"A--apa maksudmu?" 

"Foto itu--apa benar itu ekspresimu?" tanya Dion lagi sambil menunjuk ekspresi wajah tertawa bahagia Tania.

"Tentu saja! Tentu saja aku bahagia! Memangnya kenapa aku tak harus bahagia?" Tania penasaran dengan pertanyaan sekaligus pernyataan dion.

Dion membalikkan badannya dan menghadap ke arah Tania dengan cepat, membuat Tania terkejut, mata mereka saling bertemu, lensa mata mereka seakan saling bertukar informasi yang selama ini mereka sembunyikan. Beberapa saat bergeming, Tania secara cepat mengambil alih keadaan dan tak ingin terpedaya oleh tatapan maut Dion yang selalu membuat para wanita bertekuk lutut di hadapannya, dia berdiri namun tanpa diduga tangannya ditarik sedikit kencang oleh Dion hingga membuat Tania berteriak dan mengejutkan Robert serta Hannah.

"Loe denger itu, Han--" tanya Robert yang sedang mengetik di notebook-nya.

Hannah mengangguk dan berkata, "Si Bos lagi galau kayaknya. Gue sempet kaget waktu dia gebrak meja kerjanya depan mata gue."

"Hah!!! Ge--gebrak meja? Jadi, yang tadi gue denger suara keras itu gebrakan meja?" tanya Robert tak percaya.

Hannah lagi-lagi mengangguk.

Ruangan Tania

"Dion--" Tania terkejut melihat sikap yang ditunjukkan Dion. "Dion, lepaskan aku!" perintah Tania.

"Apa kau tahu siapa suamimu itu sebenarnya?" tanya Dion tetap memegang tangan Tania erat.

"Apa maksudmu? Apa kau bermaksud menjelekkan Andre?" tanya Tania sinis.

Dion menghela napas dalam-dalam, dia mulai melepaskan genggaman tangannya dari Tania, "Duduklah--" pinta Dion dengan suara pelan.

Tania bergeming. Dia tak perduli apa yang ingin dikatakan oleh Dion. "Baik, jika kau tak percaya, ikut aku!" tegas Dion menatap tajam ke arah Tania.

Tania mulai ragu, dia melihat Dion pekat dan seakan ada bisikan yang berkata padanya bahwa apa yang Dion katakan adalah benar. Dia melepaskan tangannya dari tangan Dion dan duduk berseberangan dengan Dion. Sesekali, mata cokelat terang itu melihat foto pernikahan mereka dengan lirih, seakan ada sesuatu yang mengganjal di hati Tania.

"Tak bisakah kau katakan di sini?" tanya Tania menatap Dion pekat.

Dion menggelengkan kepalanya, "Maaf, tapi aku tak bisa! Aku ingin kau melihat dengan mata kepalamu sendiri siapa suamimu sebenarnya, bagaimana kelakuannya jika tanpa dirimu, mantan dosen kita!" ucap Dion sinis.

"Kau masih seperti dulu, Dion! Keras kepala dan egois! Apa maumu sebenarnya?" tanya Tania menumpahkan kekesalannya pada Dion.

"Bagus kan jika aku tak berubah! Sudahlah, tak perlu banyak omong kosong! Sebaiknya kita bergegas. Bukankah dia masih berada di sekitaran kampus?" tanya Dion melirik foto pernikahan Tania dan Andre.

"Maksudmu?" Tania semakin tak mengerti arah pembicaraan Dion.

"Sudahlah, Tania. Aku tak 'kan mengulang ucapanku untuk kali kedua. Kutunggu di luar!" tegas Dion langsung keluar meninggalkan ruangan Tania.

Tania bergeming, ada rasa percaya dan tak percaya akan ucapan Dion. Diam sejenak, Tania berusaha meyakinkan dirinya jika semua akan BAIK-BAIK SAJA. Napas dalam dan panjang dikeluarkan dari bibir mungilnya dan akhirnya, tanpa pikir panjang, Tania meninggalkan ruangannya dan mengikuti perintah Dion. Mencari tahu identitas 'asli' sang suami.

"Robert, Hannah. Aku dan Dion akan keluar sebentar, kalian handle studio dulu, ya." perintah Tania menuruni tangga dan berjalan ke arah Dion yang sedang duduk di sofa gantung warna merah.

"Anda mau kemana, Bos? tanya Robert sambil melihat ke arah Hannah.

"Aku akan mengurus beberapa dokumen ke kantor Kedubes Rusia. Bukankah kita akan pergi ke undangan itu?" senyum Tania menutupi kebohongan 'kecil' yang dibuatnya.

"Oh, iya. Saya hampir lupa. Baik, Bos. Siap, hati-hati di jalan, Bos." ucap Robert tersenyum lebar.

Tania hanya mengangguk dan berjalan meninggalkan studionya bersama Dion.

"Apa kau gugup?" tanya Dion sambil berjalan menuju mobil miliknya.

Tania diam, dia berhenti sejenak di parkiran studio miliknya, langkahnya mulai terlihat ragu dan bibirnya bergetar seraya berkata, "Apa perlu kita melakukan ini?"

Dion melihat Tania dengan tatapan dingin dan tajam. "Aku memang telah merelakanmu dengan orang lain, tapi ketika kutahu orang lain itu adalah mantan dosen kita, Andre Mahardika Prayoga, hatiku menolak untuk ikhlas! Aku memang ingin kau bahagia, Tania. Tapi ketika kutahu kau membagi kebahagiaanmu dengan seorang Andre, entah kenapa aku ingin kau menderita---"

"DION!! APA SIH MAUMU? APA MAKSUD UCAPANMU? KENAPA KAU SANGAT MEMBENCI ANDRE? PAPA PUN SAMA! KENAPA SEMUA ORANG MEMBENCI ANDRE?" Tania menumpahkan segala kekesalannya pada Dion dan menjadi perhatian orang-orang yang lalu-lalang.

"Masuk ke mobil dulu, Tania. Kita jangan membuang waktu! Jika kau ingin tahu apa maksudku, apa niatku, cepatlah masuk ke dalam mobil, kumohon--" pinta Dion mulai merendahkan suaranya.

Setelah menumpahkan kekesalannya, Tania akhirnya mengikuti kemauan Dion dan masuk ke dalam mobil Dion. Napas tersengal yang dikeluarkan oleh Tania masih dapat didengar oleh Dion ketika mereka berada di dalam mobil. Dion hanya melihat Tania pekat dan membuang napas dengan panjang sambil menyalakan mobilnya dan meninggalkan studio seni NADIYA.

Kampus

"Pastikan tugas kalian dikirim melalui email yang sudah saya berikan, ya. Deadline-nya dua minggu dari sekarang. Jika kalian mengirimkan tugas lewat dari deadline yang sudah saya tentukan, sorry to say, saya akan memberikan kalian nilai 0 (nol)," jelas Andre tengah membereskan buku-bukunya di kelas fotografinya.

"Baik, Pak. Kami mengerti," balas mahasiswa jurusan fotografi yang jumlahnya sekitar 20-an orang itu dengan semangat.

"Baiklah kalau begitu, selamat siang," Andre segera meninggalkan kelasnya dan sebelum dia keluar dari pintu kelas, salah seorang mahasiswi jurusan yang diajarkannya memanggil namanya.

"Pak, tunggu sebentar," ucap mahasiswi yang bernama Donna segera turun dari tangga kelasnya dan menemui Andre.

"Ya, ada apa Donna?" tanya Andre ramah dan tersenyum.

"Mmmm, saya belum terlalu megerti dengan materi yang Bapak ajarkan tadi. Bisakah Bapak mengajarkannya sekali lagi?" tanya Donna dengan suara dan nada yang menggoda seraya menempelkan lengannya ke lengan Andre dengan sengaja.

Andre yang mulai merasakan sesuatu yang 'aneh' mengambil langkah mundur dari mahasiswinya itu.

"Eh, Pak. Kok mundur?" 

"Donna, jika kamu memang belum mengerti apa yang saya ajarkan tadi, besok bisa kita ulangi, mungkin teman-temanmu juga ada yang belum mengerti," jelas Andre yang bersiap mengambil langkah meninggalkan ruangan kelas.

Namun, sebelum Andre sampai di muka pintu keluar kelasnya, tangannya ditarik kencang oleh mahasiswinya, Donna hingga membuat Andre jatuh terlentang di lantai. Tanpa pikir panjang, Donna langsung duduk di atas tubuh Andre dan mendekatkan wajahnya ke wajah Andre.

"Do--Donna! Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau sadar apa yang kau lakukan sekarang?" tanya Andre masih terbaring di lantai dengan buku yang berserakan.

"Saya sadar, Pak! Saya amat teramat sadar!" balas Donna semakin mendekatkan wajahnya dan hampir mendekati bibir Andre.

Andre memalingkan wajahnya, berusaha menolak godaan dari salah satu mahasiswi tercantik di kampusnya.

"Kenapa, Pak? Apa saya tak menarik? Apa saya kurang cantik? Atau---" tanya Donna kesal.

"Tidak, bukan itu! Tolong, bangunlah, Donna. Tak enak jika ada yang melihat kita seperti ini," jelas Andre yang masih memalingkan wajahnya.

"Tidak! Aku tak mau! Tidak sebelum Anda menjawab pertanyaanku!" tegas Donna.

Andre terkejut mendengar jawaban mahasiswi kebangaannya. Wajah cantiknya dan tubuh seksinya memang seringkali membius mata kaum Adam, namun meskipun demikian, Donna adalah salah satu mahasiswi berprestasi dan dikenal dengan sikapnya yang ramah. Tapi kini, Andre mendapati mahasiswinya itu bak serigala betina yang sedang kelaparan dan mencari mangsa di tengah gurun yang gersang dan tandus. Dia menatap mata mahasiswinya itu pekat dan dalam, seakan terpancar kesedihan dari balik kontak lens warna hijau itu, Andre berusaha memegang kedua bahu Donna meskipun sedang dalam posisi tak menguntungkan.

"Donna, apa kau mau cerita padaku? Ini bukan kau! Kau tak mungkin seperti ini, ada apa Donna?" tanya Andre membujuk mahasiswinya.

Donna bergeming, pelukan dan dekapan erat tiba-tiba dirasakan oleh Andre dari mahasiswinya itu. "Saya takut, Pak," ucap Donna sambil berbisik di telinga Andre.

"Eh, ta--takut? Takut apa? Apa yang membuatmu takut? Donna--" tanya Andre penasaran dan berusaha melepaskan pelukan erat sang mahasiswi. Namun, Donna tetap tak mau melepaskan dekapannya dan malah semakin erat.

"Do---"

"Biarkan saya seperti ini, sebentar saja, Pak," pinta Donna dengan terisak.

"Do--Donna, apa kau--menangis?" tanya Andre bingung.

Donna tak menjawab, dia terus saja memeluk Andre dengan posisi yang tak berubah. Tak lama kemudian, Donna merenggangkan pelukannya dan menatap wajah Andre dalam-dalam. Mata bertemu mata, hidung bertemu hidung, dan mulut bertemu mulut. Semakin lama Donna semakin mendekatkan bibirnya ke bibir Andre. Bak disihir, Andre pun tak mengelak juga tak melawan, hanya bergeming bagai sandera yang pasrah akan dihukum. Sang Cupid pun mulai beraksi dengan memanah panah asmaranya ke dua insan beda gender dan status ini.

CUP ...

Sebuah kecupan di bibir pun akhirnya dilayangkan oleh Donna ke Andre. Bak gayung bersambut, bukannya melepaskan lumatan seksinya bibir Donna, Andre justru menikmati sensasi bibir seksi sang mahasiswi.

"Donna ... kumohon, kau--kita tak harus melakukannya di sini. Bagaimana jika ada yang melihat kita?" tanya Andre dengan ucapan terbata karena sang mahasiswi tengah menyerang bibirnya.

"I don't care! Aku hanya perduli dengan yang terjadi sekarang. Aku tak mau dengar apa yang orang lain katakan tentang kita," balas Donna masih melumat bibir sang dosen.

"Donna--Donna--Donna! Tolong! Tolong jangan begini!" Andre terpaksa mendorong tubuh Donna menjauh dari tubuhnya.

"Pak--" Donna menatap Andre lirih. Sekejap kemudian tak disangka, Andre langsung memeluk Donna erat dan melumat bibir seksi sang mahasiswi. Tangan Andre mulai 'merambah' ke tubuh bagian lain Donna hingga membuat sang mahasiswi sesekali mengeluarkan suara desahan yang menggoda. Sontak, Andre langsung menutup mulut sang mahasiswi dengan kedua tangannya. "Tak aman di sini! Kita pindah--" ajak Andre sambil bisik di telinga Donna.

Mendengar hal ini, tentu saja membuat Donna sangat senang. Sambil merapikan rambut dan pakaian yang dikenakannya, Donna kemudian berkata, "Saya tunggu di luar, Dosenku sayang," dengan suara menggoda seraya mengejapkan mata kirinya dan meninggalkan ruangan kelas.

"Hah, sial!! Andre ... Andre ... apa yang sudah kau lakukan? Kau memang brengsek! Laki-laki brengsek! Kenapa aku tak bisa menolak Donna? Dia itu kan mahasiswiku? Bagaimana bisa-- jika--jika Tania sampai tahu---" ucap Andre memaki dirinya sendiri ...

"Kenapa jika Tania sampai tahu?" suara seorang wanita tengah berdiri menyandarkan separuh tubuhnya di pintu ruangan kelas.

"Ah, K---kau? Sejak kapan kau berdiri di sana?" tanya Andre terkejut dengan kehadiran Elliana.

"Baru saja," balasnya singkat dan langsung masuk berjalan ke arah Andre.

"Fuhhhhhh---untunglah," ucap Andre seraya menyeka dahinya yang keringatan karena terkejut.

"Ada apa? Kenapa wajahmu tegang sekali, Andre?" tanya Elliana melihat wajah Andre yang pucat pasi.

"Ti--tidak! Tak ada apa-apa."

Elliana kemudian mendekati Andre, menyentuh baju yang dikenakannya, kancing yang mengikat bajunya dibuka satu di bagian atas dan kembali dirapikannya.

"E--Elliana--apa yang sedang kau lakukan?" tanya Andre gugup.

"Ssssttttt--aku tahu apa yang kalian lakukan di kelas tadi," ucap Elliana menyunggingkan senyumnya.

Andre tersentak dan melihat Elliana dengan membulat. "K---kau tahu--?" Andre masih tak tak percaya dengan ucapan Elliana.

"Tentu saja aku tahu. Apa kau pikir aku tak mengenali parfum yang menempel di bajumu?" Elliana menyeringai.

Andre kemudian mencium bajunya, dan benar saja! Wangi parfum khas wanita sangat kental tertinggal meskipun dia telah menyamarkan parfum tersebut dengan parfum miliknya.

"Lalu, apa yang kau inginkan?" tanya Andre merasa terpojok.

"Dirimu!"

"Apa--?"

"Aku ingin dirimu! Satu malam saja, bagaimana?" tanya Elliana bisik di telinga Andre dengan suara lembut nan menggoda.

Andre bergeming, menatap Elliana pekat. Antara iya dan tidak! Bersalah dan kesenangan ... itulah yang ia pikirkan.

"Jika aku menolak?" tanya Andre seakan menantang Elliana.

"Kau tak 'kan mungkin menolakku, Sayang. Aku tahu kau juga menyukaiku dan kau ... menginginkannya juga, iya, kan?" goda Elliana sambil memeluk Andre dari belakang.

Tak ada yang bisa dilakukan Andre. Elliana, The Goddess of Campus, itulah julukan yang disematkan untuk wanita 30-an tersebut, menggodanya dengan suaranya yang seksi, desahannya yang membuat pikiran Andre bak berada di rollercoaster benar-benar tak dapat ditampiknya.

"Oke! Aku harus mengakui kau benar-benar membuatku gila, Elliana! Aku tak bisa melawan pesonamu, kau terlalu liar untuk dijinakkan! Aku benar-benar bisa gila!" ucap Andre mulai terbawa ke dalam permainan cinta Elliana.

"Baiklah, Sayang. Jika itu maumu, aku bersedia menjadi imajinasi terliarmu. Buktikan padaku sampai sejauh apa kau bisa menjinakkanku," goda Elliana seraya melumat telinga Andre.

"Elliana, stop! Hentikan! Jangan di sini," pinta Andre.

"Jangan di sini? Berarti ... are we deal?" tanya Elliana dengan tatapan menggoda.

Andre mengangguk, "Dengan satu syarat, jadikan hari ini rahasia kita bertiga. Kau, aku, dan Donna," jelas Andre.

"Akan kupertimbangkan, itupun jika kau bisa menjinakkanku," balas Elliana, "Kutunggu di parkiran," tambahnya meninggalkan ruangan kelas Andre.

"Oh my---" Andre kini benar-benar dalam situasi yang terpojok dan tak bisa berkutik.

"Apa yang harus kukatakan pada Tania? Tapi--mungkin dia juga tidak pulang hari ini? Tapi--bagaimana jika dia---arrggghhhh--terserahlah! Elliana-dewinya kampus ini, pria mana yang akan menolak pesonanya? Bodoh saja jika ada pria yang menolak wanita seperti Elliana. Aku tak boleh menyiakan kesempatan ini. Aku harus menjinakkannya!" ucap Andrea dengan senyum tersungging di bibirnya.

Parkiran Kampus

"Apa kau yakin soal ini, Dion?" tanya Tania yang sejak tadi berada di dalam mobil bersama Dion.

"Jika aku tak yakin, aku tak akan mengajakmu, Tania," balas Dion menatap dingin Tania.

"Tapi kenapa mesti kampus? Apa yang sebenarnya mau kau tunjukkan padaku?" Tania mulai emosi.

Dion bergeming, matanya memperhatikan lalu-lalang tiap orang yang lewat. "Itu yang mau aku perlihatkan!" Dion menunjuk jari telunjuknya ke arah seorang wanita yang berada di seberang mereka parkir.

"Siapa dia?" tanya Tania bingung.

"Elliana Thompson, dosen pengajar pada jurusan desain grafis di kampus ini."

"Apa sebelumnya dia telah mengajar di sini?" tanya Tania penasaran.

"Tidak, Elliana adalah dosen baru di kampus ini. Dia lulusan S2 Royal College of Art, Inggris 2 tahun yang lalu dan dia adalah puteri dari pengusaha Frederick Thompson, satu dari lima pemilik konveksi terbesar di Inggris."

"Inggris? Jadi, maksudmu ..." Tania semakin bingung dengan penjelasan Dion.

"Dengan kata lain, Elliana bukan warga negara Indonesia dan dia hanya menggunakan visanya untuk bekerja," jelas Dion masih memperhatikan Elliana yang terlihat sedang menelepon.

"Lalu, apa hubungannya dengan apa yang kita lakukan sekarang ini?" Tania terlihat tak bisa lagi menahan emosinya. "Dion, sebaiknya kau beri penjelasan padaku atau--"

"BINGO!!!" serunya.

"Bi--bingo?" Tania tak mengerti ucapan Dion.

"LIHAT ITU!!" perintah Dion meminta Tania melihat ke arah Elliana berada.

Terkejut dan terdiam! Itulah yang dirasakan oleh Tania saat berada di sana. Matanya melihat wanita yang bernama Elliana dan suaminya, Andre saling memegang tangan dan cium pipi kiri kanan, tanpa memperhatikan orang-orang di sekitar mereka. Tak lama kemudian, Andre dan Elliana masuk ke dalam mobil SUV hitam milik Andre dan melaju meninggalkan parkiran kampus. Tangan dan tubuh Tania bergetar, ingin rasanya menangis namun tak ada satu pun air mata yang mau keluar dari kelopak matanya.

"Ikuti! Ikuti mereka, Dion--IKUTI MEREKA!!" teriak Tania penuh emosi.

Dion hanya diam melihat ekspresi Tania. Dia tahu betul bagaimana keadaan psikis dan mental wanita yang dicintainya kini. Namun ia berusaha sabar dan mencoba berpikir dengan tenang. Tak lama kemudian, mobil sedan yang mereka naiki juga meninggalkan parkiran kampus dan mengejar SUV hitam milik Andre.

Selama di perjalanan, Tania tampak melihat siluet mesra antara Elliana dan suaminya, Andre. Ingin rasanya dia menelepon suaminya, namun niatnya Tania urungkan karena bagaimanapun juga ia tak ingin gegabah dan menghancurkan 'pertunjukkan' yang sedang dimainkan di depan matanya. Sesekali siluet Elliana sedang merangkul, menyandar, bahkan mencium sang suami. Tania benar-benar hancur saat itu juga! Benarlah apa yang dikatakan Papanya, bahwa Andre bukanlah orang baik-baik! Dia laki-laki brengsek dan biadab! Tapi ... Tania tetap berharap bahwa apa yang dia lihat hari ini, semuanya hanyalah mimpi.

"Tania, apa kau ... baik-baik saja?" tanya Dion sambil menyetir.

Tania hanya diam, ekspresinya datar, matanya terfokus pada Elliana dan Andre yang sedang berada di depan mobil mereka.

Tak lama kemudian, sampailah Elliana dan Andre di sebuah gedung yang terletak di pinggiran kota. Perasaan Tania kali ini benar-benar hancur ketika mereka berdua masuk ke dalam gedung warna oranye itu. Sebuah gedung yang menjulang tinggi, dengan banyak kamar dan tentunya banyak status yang keluar masu gedung itu. Ya, Elliana dan Andre kini berada di dalam sebuah hotel mewah. Senyum yang mengembang di antara keduanya dan ekspresi manja Elliana membuat Tania geram dan ingin sekali mendatangi pasangan terlarang itu. Rasa sakit dan sesak membuat Tania susah untuk bernapas, tangannya gemetar, diraihnya ponselnya dari dalam tasnya dan dengan tangan yang gemetar, dia berusaha untuk menekan nomor-nomor yang ada di ponselnya.

"Biar kubantu," ucap Dion mengulurkan tangannya dan meraih ponsel Tania.

Tania mengangguk. Dion merasa bersalah karena telah memaksa Tania untuk melihat apa yang seharusnya tak ia lihat! Cukup ia saja yang tahu tentang Andre dan bukan wanita yang sangat ia cintai.

Bunyi tanda ponsel terhubung pun didengar oleh Tania, namun tak diangkat oleh Andre. Beberapa kali dia menghubungi lagi ponsel Andre, beberapa kali pula ponselnya tak diangkat. Akhirnya, Tania menyerah. Dia tak lagi menghubungi Andre, dia pasrah apa yang terjadi dan apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana. Pikiran negatif Tania semakin liar berkembang, namun ia coba menahannya. Bulir-bulir kristal kini akhirnya jatuh menenggelamkan kesedihannya wanita bermata cokelat terang itu, raut wajah pilu, sendu, ekspresi wajah yang datar semakin membuat Dion merasa bahwa dialah penyebab semua ini.

"Ta--nia," panggil Dion dengan suara pelan dan memegang tangan Tania.

Tania bergeming, tak mengucapkan satu kata pun.

"Maafkan--aku, seharusnya aku tak memaksamu melihat ini semua. Aku---aku---" Dion menundukkan kepalanya, tak berani menatap Elliana.

"Terima kasih, Dion," ucap Tania dengan suara lirih.

"Te--terima kasih untuk apa?" tanya Dion bingung.

"Terima kasih karena kau telah menunjukkan padaku sisi 'lain' suamiku yang tak aku ketahui. Terima kasih," jelas Tania tersenyum.

Dion terdiam, menatap Tania pekat. Ingin sekali tangannya menghapus air mata di wajah cantik Tania, ingin sekali tangannya memeluk dan memberikan kehangatan wanita yang dicintainya, namun ia tak bisa! Ia tak sanggup melakukannya, karena ia tak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan, apalagi wanita yang dicintainya kini sedang bersedih.

"Tapi, meskipun begitu ia tetap suamiku. Dia tetap kepala rumah tangga di dalam rumah kami, dia tetap imamku, dia tetap pemimpin bagiku dan anak-anak kami kelak, dia tetap--"

"TANIA! Apa yang kau ucapkan barusan? Apa kau sadar, hah?" tanya Dion emosi.

"Aku sadar dan bahkan sangat sadar. Meskipun dia playboy--dia tetap suamiku, orang yang harus kujaga kehormatannya, kujaga martabatnya, dan kujaga perasaannya," ucap Tania dengan bulir-bulir kristal menetes dari ujung kedua matanya.

Dion semakin bersalah dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka berdua terdiam dalam keadaan dan posisi yang serba sulit. Tania yang akhirnya mengetahui sisi 'lain' sang suami dan Dion yang harus menahan emosi, rindu, kecewa, sakit hati, semua hal yang ia benci kini harus ia tahan demi membuat wanita pujaannya tetap terlihat tenang.

"Kita--pergi dari sini, apa kau mau, Tania?" tanya Dion mengajak Tania meninggalkan tempat itu.

Tania mengangguk dan tak lama kemudian, mobil sedan warna merah yang mereka naiki segera beranjak meninggalkan gedung tempat Elliana dan sang suami membakar 'api terlarang' di antara mereka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status