Share

Bab 4 Pertengkaran

Vilo's Coffee Shop

Dion memakirkan sedan merah miliknya di depan sebuah kafe kopi milik teman kuliah mereka, Vincent Oliver. Kesenyapan dan kesunyian menaungi di antara mereka berdua, hanya suara bunyi pendingin mobil dan musik jazz yang menjadi teman perantara di tengah kesunyian mereka.

"Kau mau turun?" tanya Dion melepas sabuk pengamannya.

Tania bergeming, kepalanya disandarkan pada kaca dekat pintu mobil dengan tatapan sendu dan redup.

"Tania, kita mampir sebentar ke sini, ya," ucap Dion sambil menunjuk sebuah tempat milik kawan kuliah mereka dulu.

Tetap saja, Tania bergeming dengan ucapan Dion. "Baiklah, jika kau memaksa tetap di dalam mobil, aku akan pergi sebentar membeli kopi dan segera kembali," ucap Dion segera turun dari mobilnya dan menuju Vilo's Coffee Shop.

Dalam Kafe Vilo

suara bunyi lonceng sangat nyaring terdengar ketika Dion masuk ke sebuah kafe yang mengusung gaya retro klasik yang ditambahkan dengan sedikit gaya modern dan berbagai macam foto serta lukisan dari berbagai aliran milik koleksi pribadi sang pemilik kafe menambah kesan artistik dan membuat siapa saja yang berkunjung ke kafe itu bisa menghabiskan waktu selama berjam-jam.

"Selamat siang, Tuan, mau pesan apa?" tanya seorang pelayan kafe Vilo dengan senyum ramah.

"Ah, iya, saya pesan dua frappe, dengan krim yang kental ya, tolong," ucap Dion kepada pelayan wanita di kafe Vilo dengan senyum.

"Baik, Tuan. Dua frappe akan segera kami buatkan, mohon ditunggu selama 10 menit, Tuan," balas pelayan wanita itu ramah.

"Baik, terima kasih," balas Dion kemudian duduk di kursi tak jauh dari meja kasir dan bola matanya berkeliling melihat foto serta lukisan yang menghiasi dinding kafe itu.

"Dia memang tak pernah berubah. Seleranya masih sama seperti dulu," gumamnya sambil tersenyum sendiri.

Tak berapa lama, mata yang tadinya fokus melihat lukisan dan foto yang ada di kafe Vilo, berubah arah menjadi terfokus pada sedan merah yang terparkir di parkiran tak jauh dari Dion duduk. Raut wajahnya terlihat sedih melihat siluet seorang wanita yang menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam namun dia tahu dengan pasti, wanita itu pastilah kini sangat menderita dan terpukul.

"Tania--mungkin tak seharusnya aku memaksamu melihat si brengsek, bajingan Andre! Ini salahku ... ini salahku memaksamu menuruti ucapanku!" geram Dion pada dirinya sendiri.

"Tuan, ini pesanan Anda, dua frappe dengan krim kental," seorang pelayan pria menghampiri Dion yang sedang duduk melamun sambil membawakan pesananannya.

"Tuan--Tuan---"

"Eh, ya, ada apa?" tanya Dion terkejut.

"Ini, pesanan Anda. Dua frappe dengan krim kental," balas pelayan pria itu ramah.

"Oh, oke ... oke, maaf, saya melamun," balas Dion sambil tersenyum tipis dan mengambil pesananannya dari pelayan tadi.

"Sama-sama, Tuan. Tidak apa-apa, apakah masih ada yang Tuan ingin pesan?" tanya pelayan itu sambil menurunkan setengah badannya.

"Tidak, tidak ada, Terima kasih banyak, Mas," ucap Dion meninggalkan kafe Vilo dan kembali ke mobilnya.

Dion sangat terkejut ketika melihat Tania tak ada di dalam mobilnya. Keringat dingin langsung mengucur deras di wajah Dion, tangannya gemetar, kopi yang dipesannya pun tak sengaja dia jatuhkan. Dengan wajah panik dia mencari Tania, meneleponnya, namun Tania meninggalkan ponselnya di dalam mobil. Dion kini benar-benar panik, matanya melihat sekeliling kafe Vilo, berharap tak jauh Tania menghilang.  Pandangannya kemudian melihat seorang wanita berambut panjang, mirip Tania sedang duduk di bawah pohon yang rimbun.

"Tania!" seru Dion sambil menyentuh bahu wanita tadi.

"Ya, ada apa ya, Mas? Ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita tadi memalingkan wajahnya ke arah Dion.

"Oh, ma--maaf, saya kira Anda teman saya. Maaf--maafkan saya, permisi," ucap Dion membungkukkan badan diselingi senyum kikuk dan langsung pergi meninggalkan wanita itu.

"Tania--kamu di mana? Jangan buat aku spot jantung begini ..." ucap Dion yang tak lama kemudian melihat Tania sedang duduk di taman tak jauh dari kafe Vilo. Dengan cepat ia berlari ke arah Tania, namun langkahnya terhenti manakala ia mendengar Tania menangis tersedu pilu menyayat hati. Dion hanya mampu menatap wanita yang dicintainya tenggelam dalam kesedihannya, meratapi tingkah laku orang yang sangat dicintainya. Tangannya gemetar, menahan segala emosi yang ada dalam dadanya. Matanya seakan memancarkan api kemarahan yang selama ini tak tersalurkan. "Andre, keparat kau!" ucap Dion pelan.

Dengan langkah hati-hati, Dion mulai berjalan mendekati Tania yang masih menangis. Ingin sekali tangannya merangkul, memeluk, dan mendekap wanita bermata cokelat bak elang itu, ingin sekali jari-jemarinya mengusap air mata di pipi putih wanita pujaannya itu, namun apa daya, Dion harus tahu posisinya, dia harus mengikhlaskan wanita yang dicintainya dipeluk, dirangkul, didekap, bahkan dimiliki oleh laki-laki lain.

"TIDAK! BUKAN BEGINI CARANYA! TANIA TAK PANTAS MENDERITA, DIA TAK BISA DIPERLAKUKAN SEPERTI INI! DIA ... DIA PANTAS BAHAGIA! DIA BERHAK UNTUK MELEPASKAN SENYUMNYA YANG MENEDUHKAN! ANDRE MAHARDIKA PRAYOGA ... AKU BERSUMPAH TAK 'KAN PERNAH MEMAAFKANMU, MELEPASMU!" gumam Dion emosi dengan sorot mata yang penuh dengan kebencian.

"Tania---" panggil Dion pelan dari arah belakang.

Tania langsung cepat-cepat menghapus air matanya dan menghela napas panjang. "Ah, kau sudah kembali," ucapnya dengan tersenyum.

"Tania----" sebuah pelukan lekat di labuhkan ke tubuh wanita cantik itu. 

"Di---Dion---" ucap Tania terkejut.

"Biarkan! Biarkan aku memelukmu seperti ini, sebentar saja," ucap Dion semakin mengeratkan dekapannya.

Tak ayal, air mata Tania langsung tumpah bak tanggul yang jebol. Dengan sesenggukkan, Tania tak lagi dapat membendung air matanya. Kesedihan dan pilu benar-benar membuatnya tak lagi seperti elang yang liar. Kelakuan Andre benar-benar membuatnya terpuruk dan terluka.

"Tania--menangislah ... menangislah sesukamu, aku rela menjadi apron bagimu, aku rela menjadi saputangan untukmu, menangislah sekuat yang kau bisa. Menangislah jika itu bisa membuatmu lega," ucap Dion sambil membelai rambut Tania dengan lembut.

Tania segera melepaskan pelukan Dion dari dirinya. Dia mendorong dengan pelan tubuh Dion dan berkata, "Ma--maaf, tak seharusnya aku seperti ini. Maafkan aku--Dion," ucap Tania dengan tangan dan suara gemetar.

"Tidak Tania! Kau berhak mendapatkan kebahagiaanmu! Sudah kukatakan aku bersedia menjadi saputangan bagimu, apa kau tak percaya padaku? Apa kau ... meragukan kata-kataku?" tanya Dion sambil memegang tangan Tania yang masih gemetar.

"Dion---" 

"Sebelum bajingan itu mengenalmu, aku yang lebih dulu mengenalmu! Aku yang lebih dulu dekat denganmu! Aku yang lebih dulu, Tania! Aku yang pertama ... mengetahui semua tentangmu. Aku relakan kau menikah dengan orang lain, aku ikhlaskan kau menikah dengan orang lain, tapi BUKAN DIA! BUKAN ANDRE SI KEPARAT ITU! BUKAN TANIA!" emosi Dion.

Tania bergeming, tangan Dion yang gemetar membuatnya semakin tak karuan. Perasaan bersalah dan pikiran yang kacau membuat Tania tak mampu membalas ucapan Dion. Dia hanya berdiri terdiam dan membisu. "Lalu, bagaimana perasaanmu sekarang, Dion? Apakah rasa itu masih ada ... untukku?" dengan bibir gemetar Tania berusaha menanyakan pertanyaan yang 'tabu' seraya menatap pekat mata Dion.

"Rasa itu tak 'kan mudah hilang begitu saja. Apa kau pikir selama ini aku telah melupakanmu? Tidak Tania, aku tak pernah melupakanmu! Tidak sedetik pun! Kau tahu bagaimana perasaanku ketika papamu meneleponku dan memberitahuku jika kau akan menikah? Apa kau tahu? HANCUR TANIA ... HANCUR!" ucap Dion emosi.

"Ma--af," hanya satu kata itu yang bisa diucapkan dari mulut manis seorang Tania. 

"Kupikir kau akan menikah dengan orang lain, aku merelakanmu karena ... ini juga kebodohanku, aku tak pernah mengatakan perasaanku yang sebenarnya padamu. Aku malah pergi meninggalkanmu ... jujur, aku menyesal. Sangat menyesal. Jika aku bisa memutar balik waktu, maka aku tak 'kan pernah mau meninggalkanmu, Tania," jelas Dion memegang tangan Tania erat.

"Lalu kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku? Tentang perasaanmu? Kenapa baru sekarang kau mengatakan semuanya?" tanya Tania menatap Dion sendu.

"Aku--tak memiliki keberanian, aku terlalu pengecut, aku takut jika aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya, kau--" Dion membalas tatapan Tania dengan tatapannya pekat.

"Aku---aku akan apa, Dion?" tanya Tania penasaran.

"Kau tak 'kan lagi mau berteman dan bertemu denganku, itu yang aku takutkan. Apa kau tahu Tania kenapa aku memutuskan pindah kuliah dan memutus semua komunikasi kita?" Dion melepas genggaman tangannya dan berdiri membelakangi Tania.

Tania menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, aku tak tahu. Yang kutahu, kau menjauhiku, kepergianmu yang mendadak membuatku putus asa dan larut dalam kesedihan."

"Benarkah begitu?" tanya Dion ragu.

"Dion, kau dan aku ... kita sudah saling mengenal selama belasan tahun. Sampai waktu itu, apakah kau masih meragukanku?" tanya Tania menatap pekat Dion.

Dion bergeming, keduanya kini berada dalam situasi yang sama-sama tak mengenakkan. "Sudahlah, tak perlu lagi dibahas masa lalu. Yang berlalu biarlah berlalu. Kini, kita harus tetap melangkah ke depan, no matter what happen, right?" ucap Dion berusaha menghibur Tania.

Sedikit demi sedikit, akhirnya Tania mau kembali tersenyum. Meskipun bukan senyum yang biasa ia lemparkan, namun Dion sudah merasa senang karena wanita yang dicintainya sedikit banyak telah kembali ke semula.

"Kita kembali ke studio atau kau mau pulang? Biar kuantar--" ucap Dion pelan

"Kita kembali ke studio, aku tak mau mengecewakan Robert dan Hannah. Mereka sepertinya sangat ingin menghadiri undangan dari pemerintah Rusia itu."

"Bagaimana denganmu? Apa kau juga ingin datang?" tanya Dion penasaran.

"Entahlah, yang jelas saat ini pikiranku sedang kacau. Aku tak bisa berpikir secara jernih. Yang jelas, aku ingin menyelesaikan masalah rumah tanggaku dengannya," terang Tania menatap Dion sambil tersenyum.

"Apapun itu yang bisa membuatmu kembali tersenyum, akan kudukung, jika kau butuh bantuanku, katakan saja. Aku pasti akan datang dan berdiri di sampingmu," ucap Dion mantap.

"Terima kasih, Dion," balas Tania tersenyum.

****

Kantor Wijaya Mining and Coal

"Pak, Tuan Alex sudah datang," ucap Jessica memberitahu Niko Wijaya melalui sambungan telepon.

"Oh, sudah datang. Baik, suruh dia masuk dan bawakan kami kopi dua, ya," balas Niko Wijaya yang tengah menandatangani setumpuk dokumen di ruangannya.

"Silakan, Tuan Alex, pak presdir sudah menunggu Anda," ucap Jessica dibarengi dengan senyumnya yang menggoda.

"Terima kasih, cantik. Gosh, you're so beautiful ... you look hot," gombal Alex mengedipkan mata sebelah kirinya dan hanya di balas senyuman tipis oleh Jessica.

"Selamat siang, Tuan Niko," sapa Alex Nathan, seorang model yang sedang naik daun dan sekaligus informan sang papa.

"Oh, kau sudah datang, Alex. Silakan duduk," ucap Niko menunjukkan kursi kosong di depannya.

Dengan gaya berjalan bak di catwalk, Alex menghampiri Niko dan duduk di kursi yang ditunjuk Niko.

"Bagaimana kabarmu, Alex?" tanya Niko diiringi senyum tipis.

"I'm doing well, Sir, bagaimana kabar Anda juga?" Alex tersenyum lebar menanggapi pertanyaan Niko.

"Very well. Aku punya 'sesuatu' untukmu, Alex dan kau harus tak boleh menolaknya kali ini!" ucap Niko yang terdengar seperti perintah.

"Kenapa aku tak boleh menolaknya, Tuan?"

Niko terdiam sejenak. Suara ketukan pintu ruangannya menjeda pertemuan dua laki-laki super hot itu.

"Pak Presdir, ini kopi Anda dan Tuan Alex," ucap Jessica sambil membawakan dua cangkir kopi perintah Niko.

"Letakkan saja di meja, Jess dan hold semua jika ada telepon yang masuk mencariku," perintah Niko.

"Baik, Pak. Apa ada lagi yang Bapak perlukan?"

"Tak ada. Kau boleh keluar," ucap Niko yang sedang sibuk mencari dokumen yang bertumpuk di mejanya.

"Baik, permisi, Pak, Tuan Alex," Jessica berjalan seraya melenggak-lenggokkan tubuhnya, membuat Alex tak hentinya memandang tubuh sexy sang sekretaris pribadi Niko. Matanya terus tertuju pada perempuan berambut hitam panjang itu hingga keluar ruangan Niko, tak disangka, Jessica memberikan reaksi atas sikap Alex dengan mengedipkan sebelah mata kanannya dan tersenyum menggoda seraya memberi isyarat 'call me' dengan tangannya.

Alex hanya tersenyum, "Jangan kau ganggu dia! She's mine!" tegas Niko yang mengetahui ulah Alex pada Jessica.

"Yours? Maksud An--da?" Alex penasaran dengan ucapan Niko.

"Bukan urusanmu, Tuan Alex Nathan! Urusanmu di sini adalah untuk menuruti perintahku dan menjalankan juga menyelesaikan setiap 'misi' yang aku berikan. Apa kau paham!?" Niko mulai terlihat tak suka dengan sikap Alex dan menatapnya tajam.

"Oke ... oke, Pak. Relax, Anda tak perlu kalut sampai seperti itu. Sekretaris Bapak juga bukan tipeku," jelas Alex kemudian meminum kopinya, "Ini!" Dion memberikan dia sebuah file dengan tulisan 'confidential'.

"Apa---ini?" tanya Alex penasaran sambil mengangkat dokumen bermap cokelat itu.

"Open up!" perintah Niko.

Sesuai perintah Niko, Alex membuka dokumen itu. Tampak catatan mengenai sang empunya dokumen, identitas, track record, dan ... sebuah foto.

"Ini---" Alex melihat ke arah Niko dengan ekspresi penasaran.

"Andre Mahardika Prayoga, dosen di kampus Lassle dan---suami putriku, Tania," ucap Niko datar.

"Lalu, apa hubunganku dengan ini?" tanya Alex sambil mengangkat dokumen cokelat itu.

"Simple! Tugsmu hanya menjadi 'pemantik' di antara mereka berdua," seringai Niko menyalakan cerutu favoritnya.

"Pe--mantik? Maksud Anda ...."

"Dekati putriku, Tania, buat dia jatuh cinta padamu, kalau perlu buat dia hamil!" papar Niko tegas.

Mata Alex sontak membulat sempurna! Bagaimana mungkin seorang ayah kandung tega bicara dan mennyuruh orang lain melakukan hal itu? Dia bergeming, menatap foto Andre, sekali lagi dia membaca seluruh catatan yang ada di dokumen itu dengan teliti, "Royal College Art?" batinnya.

"Maaf, Tuan, bolehkah saya melihat foto anak Anda?" pinta Alex.

Niko mengeluarkan sebuah foto seorang wanita cantik berambut hitam panjang lurus, "Ini puteriku. Cantik bukan?" tanya Niko dengan bangga.

Sesaat, Alex tampak terpesona dengan wajah Tania yang sangat indo dengan mata cokelatnya yang terang bak elang. Tatapannya terus terfokus pada foto Tania hingga membuat Niko tersenyum sangat puas. "How is she? Isn't she pretty?" 

"Well ... I must say ... she's gorgeous, like goddess," balas Alex sambil tersenyum.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Dekati Tania, make she loves you! Kalau perlu---" Niko membuka lacinya dan memberikan sekotak kecil kapsul berwarna merah padanya.

"Ini ... apa?" tanya Alex penasaran.

"Bukan apa-apa. Hanya 'sesuatu' yang bisa membuat kalian tambah bersemangat dan bergairah," papar Niko menyunggingkan senyumnya.

"Sesuatu yang membuat bergairah---" Alex menatap Niko dengan ekspresi sejuta tanya, "Jangan-jangan ini---" Alex kemudian memincingkan matanya melihat ke arah Niko.

"Tunggu apa lagi? Cepatlah datang ke studio miliknya, NADIYA. Kau akan bertemu dia di sana dan---" Niko berdiri dan mendekati Alex sambil berkata, "Buat mereka bercerai!"

Alex membelalakkan matanya, tak percaya ada orang tua seperti Niko di dunia ini. Dia hanya bergeming dan menatap wajah Niko dengan ekspresi datar.

"Kenapa? Apa ada yang salah? Tenang saja, kita sudah lama menjadi rekan bisnis, bukan? Kau tahu aku, Alex. Usahamu tak 'kan kubiarkan begitu saja---"

Alex mengernyitkan dahinya, diambilnya sebuah buku putih bertuliskan banyak angka 0 (nol) di dalamnya. "Name it!" sahut Niko dengan senyum tersungging.

"Hahahaha ... you know exactly what I mean, Tuan Niko. Tapi, untuk kali ini akan sedikit 'berbeda'. Karena ini urusannya menyangkut puteri Anda, maka aku minta pembayaran yang berbeda pula," jelas Alex sambil tertawa kecil dan meminum kopi di hadapannya.

"Bisa diatur! Asalkan kau selesaikan misi dan tugasmu tanpa cacat! Uang bukan masalah bagiku, yang penting aku ingin mereka CERAI!!" tegas Niko seraya menatap tajam ke arah Alex.

"Baiklah jika itu keinginan Anda, your wish is my order," tambah Alex mengambil cek itu dan segera meninggalkan ruangan Niko.

"Andre ... tamatlah riwayatmu!!!" ucap Niko sambil tertawa kencang dan melihat foto pernikahan Tania dan Andre di ponsel miliknya.

****

Studio NADIYA

"Bos, Anda sudah datang ..." ujar Robert melihat Tania dan Dion masuk ke dalam studio miliknya.

"Hnnnn----" balas Tania dan langsung masuk ke ruangannya.

"Kenapa lagi sama si Bos? Kayaknya mukanya enggak banget deh," sahut Hannah melihat ekspresi wajah Tania yang murung dan gloomy.

"Eh, Bro, gimana tadi meet up-nya? Sukses enggak?" Robert menyikut lengan Dion pelan.

Dion hanya bergeming dan menaikkan kedua bahunya kemudian pergi ke kursinya dan langsung membuka notebook miliknya.

"Lah, ditanya kok, malah diam aja. Gimana tadi meet up-nya?" tanya Robert lagi penasaran.

"Bert---" panggil Hannah.

"Apa?" 

"Liat dulu kalau mau tanya-tanya. Si Bos sama Dion kayaknya lagi ga enak diajak ngomong. Mending pending dulu deh kepo loe," saran Hannah menarik lengan Robert ke mejanya.

Robert melihat Dion memang menunjukkan ekspresi yang sama seperti Tania, gloomy dan muram. Robert kemudian mengurungkan niatnya untuk 'kepo' dengan rekan kerjanya itu dan memilih menyelesaikan tugasnya.

"Hannah! Ke ruanganku sekarang!" perintah Tania sambil membuka pintu ruangannya.

"Baik, Bos. Duh, kenapa gue jadi deg-deg kan gini, ya?" gumam Hannah sambil menarik napas panjang dan segera menemui Tania.

Dion hanya melihat Tania dengan ekspresi mata sendu, pilu, dan sedih. "Tania, maafkan aku--" batinnya.

Ruangan Tania

"Bos--Anda memanggil saya?" tanya Hannah dari balik pintu ruangan Tania.

"Masuklah, ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Ada apa, Bos?" tanya Hannah dengan perasaan debar.

Tania melihat sikap yang 'tak biasa' dari salah satu pekerjanya. Hannah yang biasanya sanyati dan tersenyum ceria tiba-tiba berubah menjadi kaku dan kikuk. "Apa kau sakit?" tanya Tania menatap Hannah.

"Ti--tidak, Bos. Saya baik-baik saja," balas Hannah tersenyum.

"Kau tak seperti biasanya, Hannah. Ada apa? Apa--kau sedang ada masalah?"

"Tidak--tidak--tidak. Sama sekali tak ada, Bos. Oh ya, tadi Bos ada apa memanggil saya?" Hannah mengalihkan pembicaraan kepada Tania.

"Oh, ya, mengenai invitation yang kita dapat dari Kedubes RI di Rusia, kita akan datang ke sana, tapi ..."

"Tapi---apa, Bos?" Hannah penasaran.

"Aku ingin sekali memotret model laki-laki yang akan kujadikan hadiah ketika kita berkunjung ke sana." 

"Hadiah? Maksud Bos---"

"Tempat yang akan kita datangi ini adalah salah satu museum terkenal di Rusia, Mordovian Republican Fine Arts Museum S.D. Erzia, di mana museum ini banyak menampilkan lukisan dari berbagai aliran dan juga seni pahat yang artistik dan berkelas. Aku mau kita memberikan sesuatu yang 'tak biasa' sebagai salah satu koleksi mereka," papar Tania.

"Lalu, maksud Anda--Anda ingin memotret model laki-laki dan dijadikan sebagai lukisan?" tanya Hannah bingung.

"Tidak! Aku ingin model laki-laki itu berpose sensual, kita akan memotretnya dan Dion akan langsung melukisnya di canvas,"

"Tapi kenapa tak langsung saja di atas canvas, Bos? Kenapa harus difoto dulu?"

"Karena itulah seni. Abstrak, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata namun mampu mewakili jiwa dan perasaan seseorang. Dan tugasmu adalah mencari model laki-laki yang mau dan bersedia menjadi model kita. Soal pembayaran, jangan khawatir! Kita akan bayar di muka, hari ini juga!" tegas Tania.

"Baik, Bos. Lalu untuk kriterianya ...?" 

Belum sempat Tania mendeskripsikan model laki-laki yang diinginkannya, terdengar ketukan pintu ruangan Tania.

"Masuk!" ucap Tania.

"Maaf, Bos, mengganggu, ada yang ingin bertemu dengan Anda," ucap Robert dari balik pintu ruangan Tania.

"Mencariku? Siapa?" tanya Tania penasaran.

"Hai, apa benar ini dengan studio NADIYA dan kau adalah Nathania Diandra Wijaya?" tanya seorang pria tinggi dengan tubuh proporsional, rambut hitam dengan potongan rambut brushed on top serta kacamata berwarna cokelat menyambangi ruangan Tania dan berdiri sejajar dengan Robert.

Tania hanya bergeming, memandang laki-laki itu dengan pandangan aneh dan saling tatap antara Hannah, Robert, dan Tania pun tak dapat dielakkan.

"Anda--" tanya Tania bingung.

"Oh, nama saya Alex Nathan. Saya adalah ..."

"OMG ... Alex---Alex Nathan? Model Indo-Belgia yang sedang naik daun dan digandrungi oleh kaum hawa saat ini ..." ucap Hannah histeris.

"Kau tahu dia, Hannah?" tanya Tania melihat Hannah dengan ekspresi aneh.

"Bos--apa Anda tak tahu? Dia adalah salah satu model yang saat ini tengah meroket dan berada di puncak karier. Bahkan, kabar yang terakhir saya dengar, dia tengah menjadi incaran dua raksasa apparel di luar negeri, VS dan TH," papar Hannah seraya melirik ke arah Alex.

"Hannah, Robert, kalian keluar dulu. Aku sedang ada tamu," ucap Tania mempersilakan Alex masuk ke ruangannya.

"Silakan, duduk, Tuan Alex."

Bagai aphrodite yang sedang mencari 'mangsa' baru, Alex langsung terkesima dan terpesona oleh kecantikan dan paras ayu Tania ketika mereka bertemu. Matanya tak henti-hentinya menatap sang goddess of photography, "Apa Anda sudah selesai melihat diriku?" tanya Tania tiba-tiba seraya menatapnya.

"Oh, maaf. Bukan maksud saya lancang, tapi saya baru pertama melihat dewi yang sebenarnya di depan mata saya," puji Alex.

Ekspresi Tania langsung berubah seketika. Senyum ramah dan sikap manisnya berubah menjadi sikap dingin dan tatapan mata yang tajam dan sinis.

"Darimana Anda tahu studio saya? Ada apa seorang model terkenal seperti Anda datang ke sini ...SENDIRIAN tanpa didampingi oleh seorang manajer? Bukankan itu suatu hal yang aneh, Tuan ALEX NATHAN?" tanya Tania menekankan nama Alex.

"Oh, saya tahu studio ini justru dari manajer saya. Bukan hanya dari manajer saya saja, banyak orang yang membicarakan tentang studio ini. Mereka bilang studio ini bukanlah studio biasa, ada sentuhan artistik, klasik, juga futuristik. Karena penasaran, saya datang ke sini sendiri, apa itu salah?" tanya Alex tersenyum manis.

Tania bergeming, menatap penuh curiga dan sinis. "Lalu apa yang Anda inginkan?"

"Kebetulan, samar-samar tadi saya mendengar Anda sedang membutuhkan seorang model laki-laki untuk pemotretan?" tanya Alex menaikkan salah satu pinggiran alisnya yang hitam lebat dan menyambung.

"Benar. Saya sedang mencari model laki-laki untuk pemotretan. Lalu---" Tania tiba-tiba terdiam.

"What coincidence ... apa mungkin saya bisa membantu?" tanya Alex lagi kali ini dengan senyum menggoda dan tatapan tajam nan seksi.

Terdiam sesaat, Tania melihat postur serta fisik yang dimiliki oleh Alex Nathan benar-benar sempurna! "Kenapa Anda tiba-tiba mau menjadi model pemotretan saya? Apa Anda---"

"Saya kenapa? Apa Anda mencurigai saya? Tenang saja, saya aman," ucap Alex meyakinkan.

"Bukan itu maksudku, apa kita tidak perlu memberitahu manajer Anda tentang hal ini?" 

"Tidak perlu! Saya percaya pada kinerja Anda dan tim Anda. Tinggal buat surat perjanjian dan ditandatangani kedua belah pihak ... selesai kan?" tanya Alex sambil tersenyum.

Tania melihat ke arah Alex datar, bergeming, berpikir sesaat dan kemudian berkata, "Baiklah, aku setuju."

Terlihat rona bahagia dan puas di wajah Alex. Satu langkah telah terlewati, kini hanya tinggal melangkah ke langkah selanjutnya. Slowly but sure! Begitulah prinsip hidup Alex.

"Kalian bertiga ke ruanganku sekarang," perintah Tania melalui sambungan telepon kepada anak buahnya.

Tak lama kemudian, Robert, Dion, dan Hannah tiba di ruangan Tania.

"Bos--ada apa?" tanya Robert di ruangan Tania.

"Kalian bertiga, kenalkan, ini adalah Alex Nathan. Alex, ini timku, mereka yang sudah bekerja keras dari awal membangun perusahaan ini bersamaku. Ada Dion, Hannah, dan juga Robert. Dan untuk masalah surat perjanjian, Hannah akan segera membuatkannya untukmu dan Dion adalah orang yang akan memotretmu,"

"Bukan kau eh, maksudku Anda--?" tanya Alex penasaran.

"Aku sedang ada urusan, jadi tak bisa memotret hari ini. Tapi jangan khawatir, hasil jepretan Dion juga sangat bagus dan benar-benar sesuai dengan aslinya. Sedangkan Robert, dia akan menjadi pemandumu di studio ini," papar Tania segera mengambil tasnya dan keluar ruangan.

"Nona Tania---" panggil Alex.

"Ya, ada apa?" jawabnya.

"Apa Anda mau langsung pergi begitu saja?" tanya Alex penasaran.

Tania mengangguk, "Maaf saya harus meninggalkan Anda di saat kita baru bertemu, tetapi saya memang memiliki urusan yang sangat penting dan mendesak. Permisi," Tania segera melangkahkan kakinya keluar ruangannya dan berusaha dikejar oleh Dion.

"Tania--Tania!" seru Dion.

Tania menghentikan langkahnya, tanpa menatap Dion dia hanya berdiri terdiam di depan pintu keluar studio miliknya.

"Tania, kau--tak apa?" tanya Dion pelan.

Tania menggelengkan kepalanya. 

"Tania, kumohon jangan begini. Aku tahu ini semua salahku, tak seharusnya aku---"

"Cukup Dion! Berapa kali aku harus mendengar ucapanmu itu? Berapa kali aku harus mengatakan 'aku tak apa-apa'? Aku lelah ... aku ingin pulang. Kau, tolong bantu Alex untuk menjadi model kita," ucap Tania langsung keluar dari studionya dan menuju parkiran mobil miliknya.

Ternyata, dari kejauhan Alex melihat gerak-gerik Tania dan Dion. Ekspresi wajah Alex pun berubah menjadi suram dan dingin. Tak lama, Dion dan Alex saling berpapasan, tepat setelah Tania meninggalkan studionya. "Kalian sangat akrab, ya." Alex menyunggingkan senyumnya dengan sinis. Namun Dion hanya membalasnya dengan sebuah tatapan datar tetapi tajam, membuat Alex semakin penasaran dengan hubungan antara Dion dan Tania.

****

Dalam Kamar Hotel

Suara erangan dan desahan yang sangat panas terdengar hingga memenuhi kamar yang memang khusus diperuntukkan bagi couple itu. Sepasang pria dan wanita yang dipenuhi nafsu dan asmara terlarang yang bergelora tak dapat lagi membendung hasratnya untuk tak melakukan hubungan terlarang.

Tangan nakal sang wanita menyentuh dengan lembut tiap bagian tubuh sang pria hingga membuat sang pria berulang kali mengeluarkan suara penuh kenikmatan, sebaliknya, sang wanita juga tak mau kalah dengan sang pria yang acapkali tiap lekuk tubuhnya disentuh dengan lembut oleh sang pria, dia akan mengeluarkan desahan dan suara yang penuh dengan kenikmatan.

"Andre, seandainya kita bisa seperti ini selamanya---" ucap Elliana yang tengah merasakan di puncak kenikmatan.

Namun, Andre hanya bergeming. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. Elliana yang melihat ekspresi wajah Andre segera mendorongnya menjauhi tubuhnya hingga ia terjatuh.

"Elliana! Apa-apaan kau! APA KAU SUDAH GILA? KENAPA KAU MENDORONGKU?" tanya Andre emosi.

"Salahkah? Apa itu sakit?" tanya Elliana sinis.

"Tentu saja itu sakit! Maksudmu apa melakukan hal itu?" tanya Andre mengusap kepalanya yang terbentur dinding kamar.

"Kau pasti sedang memikirkan dia, bukan?" tanya Elliana sinis.

"Dia---maksudmu, Tania?" tanya Andre berjalan mendekati Elliana.

"Memangnya ada lagi yang kau pikirkan selain TANIA? Oh, aku tahu! Kau pasti juga sedang memikirkan mahasisiwimu yang bernama Donna itu, kan?"

Andre menatap Elliana dan membelalakkan matanya, "Darimana kau tahu nama Donna?"

"Hah! Ternyata benar dugaanku! Kau sedang memikirkan dia! Donna! Apa Tania dan aku tak cukup bagimu? Apa kau harus merasakan semua mahasiswi yang ada di kampus tempat kita mengajar? Apa aku tak cukup bagimu? Apa aku kurang memuaskanmu?" Elliana mulai geram.

"ELLIANA! CUKUP! KAU MEMBUATKU MUAK! AKU HANYA TERPAKSA MENEMANIMU KE TEMPAT INI! MENYESAL AKU MENGIKUTI UCAPANMU, GODAANMU! LEBIH BAIK AKU MENEMANI ISTRIKU, TANIA!" Andre kemudian memakai pakaiannya dan langsung meninggalkan Elliana sendirian di dalam kamar hotel.

"Brengsek! Bajingan! Keparat kau Andre! Aku bersumpah kau tak 'kan pernah bisa hidup dengan tenang dan bahagia! Tidak dengan Tania atau siapapun juga! Jika aku tak bisa memilikimu, maka tak ada seorang pun yang bisa memilikimu!!" sumpah serapah Elliana dengan emosi dan mengepalkan tangannya dengan kencang.

****

Kediaman Andre dan Tania

Suara klakson mobil yang tiada henti terus-menerus menderu kediaman mewah milik Andre dan Tania. Penjaga rumah kediaman mereka pun lari tunggang langgang melihat sang majikan telah pulang. Dengan cepat, Pak Ram, penjaga keamanan di kediaman Andre dan Tania segera membuka pintu pagar berwarna merah itu.

"Kemana aja, sih, Pak? Dari tadi saya bunyikan klakson tapi ga denger juga!" kesal Andre.

"Ma--maaf, Tuan, tadi saya sedang di belakang, jadi saya enggak dengar," balas Pak Ram dengan tertunduk.

Andre melihat sebuah mobil sport warna putih milik sang istri, Tania tengah terparkir di halaman depan rumah mereka yang luas. Andre melihat jarum jam telah menunjukkan pukul 9 malam, "Apa Tania sudah tidur?" batin Andre kemudian memanggil penjaga keamanan rumah mereka.

"Pak Ram, apa Nyonya sudah pulang dari tadi atau baru saja?" 

"Baru saja, Tuan. Tapi, kelihatannya Nyonya sedang tak enak badan. wajahnya pucat," 

"Wajahnya pucat?" Andre kemudian segera masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan sang istri. 

Andre mempercepat langkahnya mencari sang istri, di kamar, dapur, halaman belakang, gazibu, tapi nihil. Kali ini wajah Andre yang pucat pasi, dia menelepon sang istri, tapi ponselnya tak aktif. "Tania---sayang, kamu di mana?" gumam Andre melihat sekeliling rumah dengan ekspresi bingung dan kalut.

"Sayang--kamu sudah pulang?" Tania muncul dari pintu masuk rumah mereka.

"Sayang---" Andre langsung memeluk Tania erat dan lekat. "Darimana kamu? Aku mencarimu kemana-mana, tapi---"

"Oh, aku habis dari apotek," balas Tania yang masih tampak bingung dengan sikap Andre.

"Apotek? Apa kamu sakit? Sakit apa? Kenapa kamu ga kasih tahu aku? Ga kabari aku?" rentet pertanyaan Andre dengan ekspresi khawatir.

Tania bergeming, dia melepaskan pelukan Andre secara perlahan dan duduk di sofa kesayangan Tania. Andre tampak bingung dengan sikap istrinya yang 'tak biasa' itu, namun dia tetap berpikir positif dan mencoba tenang.

"Sayang, apa kau--ganti parfum?" tanya Tania tiba-tiba.

DEG!!!

Seketika wajah Andre langsung berubah pucat pasi dan mencium baju yang dipakainya, dan benar saja! Wangi parfum khas wanita sangat tercium dari baju yang dikenakan Andre. Cepat-cepat Andre menyergahnya dan memberikan alasan pada Tania dengan keringat dingin dan wajah pucat pasi.

"Sayang---ini, aku bisa jelaskan. Tadi salah satu teman mengajarku ada yang terjatuh dan aku menolongnya, aku menggendongnya karena dia tak dapat berjalan, nah, kemungkinan parfum itu menempel ketika aku sedang menggendongnya," papar Andre 

Tania hanya tersenyum mendengar ucapan sang suami. Dengan tenang dia berdiri dan menghampiri Andre seraya menarik baju yang dikenakannya, membuka satu demi satu kancing baju Andre hingga membuat Andre merasakan sensasi yang luar biasa. "Sa--Sayang, apa mesti di sini?" goda Andre.

Namun, Tania tetap membuka kancing baju Andre dengan penuh kelembutan dan memainkan jari-jarinya yang lentik hingga ketika Tania membuka kancing baju terakhir Andre, dia langsung membuka dan menyiram baju Andre dengan etanol lalu membakarnya. Sontak, Andre terperangah dengan sikap Tania yang begitu mengejutkan. Dia berusaha merebut bajunya yang sebagian telah terbakar dengan api dan berusaha memadamkannya.

"TANIA! Apa yang sudah kau lakukan? Kenapa--kenapa kau--" Andre mencoba menahan emosinya karena terkejut.

"Aku hanya menghapus sedikit sisa-sisa kotoran yang mungkin masih tertinggal di bajumu, Sayang," ucap Tania dengan senyum tipis.

Andre bergeming. Dia tak menyangka jika wanita yang selama ini lemah lembut, kalem, sopan, pendiam, dan tenang bisa menjadi brutal seperti ini. Andre mencoba merangkul sang istri, namun reaksi Tania sungguh di luar dugaan Andre.

PLAK!!

Tepisan keras mengenai tangan Andre, dia terperanjat. Lagi-lagi Tania menunjukkan sikap dingin padanya. "Sa--Sayang, ada apa denganmu? Kenapa kau--" Andre tak melanjutkan ucapannya dan melihat Tania berdiri menjauhi dirinya.

"Tania--" panggil Andre lagi.

"Aku ingin sendiri dulu, Andre. Tolong jangan ganggu aku!" tegas Tania beranjak meninggalkannya.

"Tidak, Tania! Katakan padaku ada apa sebenarnya? Kau tak seperti biasanya ... ada apa? Ada apa Tania? Katakan padaku!" tuntut Andre.

Tania menghela napas dengan cukup panjang dan berkata, "Ketika kau melihat istrimu bersentuhan dengan orang lain ... apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan diam saja atau kau akan marah?" 

"Apa maksudmu? Bersentuhan bagaimana?" tanya Andre dengan ekspresi bingung.

"Jika ... istrimu tidur dengan pria lain, apa yang akan kau lakukan?" tanya Tania lagi dengan tatapan tajam ke Andre.

"Tentu saja aku akan sangat marah dan aku tak akan memaafkannya!" tegas Andre.

"Begitu? Jadi kau akan marah dan tak akan memaafkan istri juga pria itu?"

"YA!" tegas Andre lagi.

"Baiklah! Dan itu yang akan kulakukan sekarang ... PADAMU!!" ucap Tania mendekatkan wajahnya pada Andre.

Andre bergeming, dengan ekspresi terkejut dia berkata, "Mak--sudmu, Tania?"

"Aku tak menyangka jika kau adalah serigala berbulu domba! Mataku mungkin telah dibutakan oleh cinta sehingga aku menutup mata dan telingaku dari kebenaran! Tapi kini, aku telah melihat semuanya! SEMUANYA ANDRE! APA KAU PIKIR KAU BISA MEMBOHONGIKU DAN MEMBODOHIKU TERUS-MENERUS? APA KAU TUHAN TAK PUNYA CARA-NYA UNTUK MENUNJUKKAN KEBUSUKAN YANG DIMILIKI HAMBA-NYA? DAN SEKARANG ... DIA MENUNJUKKANNYA PADAKU! AKU ... MENYESAL TELAH MENIKAH DENGANMU! AKU BENAR-BENAR MENYESAL!" ucap Tania dengan emosi seraya menahan air matanya.

Lagi-lagi Andre bergeming, tak ada satu kata pun yang ia lontarkan atas ucapan Tania. Terkejut, shock, dan tertusuk dengan ucapan Tania! Itulah yang dia rasakan saat ini.

"Kenapa? Kenapa DIAM? Apa mulutmu sudah terbungkam dengan manisnya bibir wanita lain?"

"TANIA!!" seru Andre sambil teriak.

"Tak perlu berteriak padaku, Andre. Aku tak butuh teriakanmu! Hanya orang yang merasa bersalah dan terpojok yang langsung bersikap seperti itu! Dan bagiku, sikapmu telah menunjukkan kebenaran padaku," ucap Tania langsung pergi meninggalkan Andre.

"Bagaimana mungkin Tania mengetahui jika aku dan Elliana---" Andre berpikir keras dan bergumam dengan dirinya sendiri seraya melihat baju yang dikenakannya tadi sengaja dibakar oleh Tania.

"Apakah pernikahan kami memang harus berakhir di sini? Pernikahan yang baru berjalan dengan singkat apakah harus kandas karena kebodohanku? Ya, Tuhan ... aku benar-benar bodoh! Aku bodoh telah menyia-nyiakan kepercayaan Tania padaku ... aku takut. Aku takut dia akan meninggalkanku dan menghilang dari hidupku ... apa yang harus aku lakukan sekarang? Tania pasti tak 'kan lagi percaya padaku. Dia---dia pasti sangat terluka--" Andre bergumam sambil melihat ke arah kamar di mana Tania berada.

"Tania---maafkan aku--"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status