Share

Bab 5 Pergi dari Rumah

Kediaman Tania dan Andre

Pagi itu, tak ada lagi ucapan mesra dan kecup sayang antara mereka berdua. Tak ada lagi ucapan 'good morning, Sayang atau mesra-mesra manja'. Kini, hanya ada kebisuan, kesunyian, dan kesenyapan di kediaman Tania dan Andre. Masing-masing juga memilih untuk tidak tidur satu kamar. Tania langsung menutup rapat pintu kamar mereka dan membiarkan Andre merasakan dinginnya berada di luar kamar ... sama dengan dinginnya hati Tania saat ini. 

"Bi, nanti tolong ambilkan kamera DSLR dan tripod saya, ya yang ada di ruang kerja saya," ucap Tania kepada Bi Ra, asisten rumah tangga mereka.

Andre hanya bergeming melihat sikap sang istri yang begitu dingin seperti kutub selatan. Dia terus mengolesi rotinya dengan selai blueberry, kesukaannya yang biasa disiapkan oleh sang istri.

"Ini, Nyonya perlengkapan yang Anda minta," Bi Ra membawakan kamera juga tripod seperti yang Tania minta.

"Terima kasih, Bi," ucap Tania dengan senyum manis mengembang.

Andre merasakan kegetiran dan sesak di dada ketika ia mengingat kebodohan yang telah ia lakukan kemarin. Sebuah awal kebohongan yang berujung pada badai pernikahan mereka yang baru seumur jagung. Namun bukan seorang Andre namanya jika ia tak bisa meluluhlantakkan hati seorang wanita, karena selain playboy, ia juga seorang 'Don Juan'. Dengan mengumpulkan keberaniannya, ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Tania, namun belum sempat ia melangkah, suara berat dan manly seorang pria terdengar begitu jelas dari dalam rumah mereka--

"Papa!" terkejut Tania yang sedang mengolesi rotinya dengan selai strawberry.

"Hai, Sayang ... gimana kabar kamu?" tanya Niko, sang papa yang berjalan menghampiri keduanya di meja makan.

"Papa--kenapa mendadak datang ke sini? Apa Mama juga ikut dengan Papa?" tanya Tania dengan ekspresi yang masih bingung.

"No, she's at home. I'm just alone," balas Papa tersenyum dan mengecup kening sang putri tercinta.

"Bagaimana kabarmu, Sayang?" tanya Papa lembut.

"I'm doing well, Pap. Tapi--kenapa Papa datang ke sini? Pagi-pagi pula," tanya Tania dengan suara manjanya.

"Memangnya ada undang-undang yang melarang orang tua ada jam berkunjung ke rumah anaknya?" 

Tania menggelengkan kepalanya, "Bukan begitu, maksud Tania tumben aja Papa ke rumah ga ada kabar sebelumnya."

Niko hanya tersenyum tipis dan tatapannya berbalik tertuju pada Andre yang berdiri menyambutnya. "Karena Papa RINDU dengan menantu kesayangan Papa!" ucapnya dengan menatap tajam ke arah Andre.

"A--apa kabar, Pah? Lama tidak bertemu. Bagaimana kabar Papa?" tanya Andre basa-basi sambil tersenyum.

"Matamu masih bisa untuk melihat, kan? Menurutmu apakah aku terlihat baik-baik saja atau sebaliknya?" tanya Niko ketus.

Andre hanya bergeming, sementara Tania hanya memasang ekspresi datar seolah dia tak peduli dengan ucapan sang papa barusan.

"Pah, apa Papa sudah sarapan?" tanya Tania mengalihkan perhatian Papa pada Andre.

"Belum, Sayang. Papa kangen dengan roti isi buatanmu," balas Niko sambil mengusap lembut rambut Tania.

"Kalau begitu, Tania buatkan ya, roti kesukaan Papa."

Niko menganggukkan kepalanya, dia duduk tak jauh dari Tania, sementara Andre masih berdiri dengan kikuk dan tatapan tertunduk ke bawah.

"Kenapa kau masih berdiri? Apa kakimu terbuat dari besi yang siap untuk berdiri terus?" ketus Niko. "Duduk!" perintah Niko lagi pada Andre.

"B--baik, Pah," balas Andre sedikit kaget dengan sentakan Niko.

"Sabar Andre, inget, loe udah nikahin anak pewaris perusahaan besar, anak perempuan satu-satunya di keluarga Wijaya! Perjuangan loe buat dapetin dia juga ga mudah, jadi jangan menyerah!" batin Andre.

"Oh, ya, Pah, mengenai undangan itu---" 

"Sssstttttt----" Niko menutup mulut Tania dengan telunjuknya.

Andre melihat sikap sang mertua dengan tatapan penuh curiga namun berusaha disembunyikannya. "Kita bicara di ruang kerjamu!" perintah Niko kemudian meninggalkan meja makan dan mengajak Tania ke ruang kerjanya.

"Aneh ... kenapa papa seperti sengaja menunjukkan ketidaksukaannya padaku, ya--walaupun aku tahu dia memang tak suka sejak awal, tapi kali ini papa seperti mengobarkan 'perang terbuka' padaku," gumam Andre sambil melihat ayah dan anak itu massuk ke ruang kerja Tania.

Ruang Kerja Tania

"Ada apa, Pah? Kenapa tiba-tiba Papa mengajakku ke sini?" tanya Tania bingung.

"Tak ada apa-apa. Papah hanya tiidak ingin ada tembok yang memiliki telinga di rumah ini."

"Mak--sud Papah?" Tania semakin tak mengerti arah pembicaraan sang papa.

"Tania--apa kau akan datang memenuhi undangan itu?" tanya Papa memegang kedua bahu putrinya.

Tania bergeming, mengalihkan pandangan dari sang papa. "Sayang, kenapa diam? Apa kau tak 'kan datang?" tanya Papa lembut.

"Tania belum tahu, Pah. Tapi, Tania telah membicarakan hal ini dengan tim yang biasa membantu Tania di studio, dan---"

"Dan----" 

"Mereka ingin sekali pergi ke Rusia, karena bagi mereka ini adalah kesempatan langka dan baru pertama mereka mendapat undangan di event internasional seperti ini. Tapi---" Tania menghentikan ucapannya dan menatap sang papa pekat.

"Tapi? Tapi apa, Sayang?" tanya Papa melihat putrinya bersikap tak biasa.

"Ada beberapa hal yang harus Tania selesaikan dulu sebelum berangkat ke Rusia. Satu hal yang---agak mengganggu Tania. Bisa kan, Pah?" tanya Tania tersenyum.

"Oh, Papa kira ada apa--kalau itu baiklah, Papah tidak akan berkomentar banyak. Papa hanya menasihati kamu, ini kesempatan yang langka. Kamu sudah lama juga kan enggak menunjukkan jari-jari ajaibmu--" gurau papa seraya mencubit pelan hidung Tania yang mancung.

Tania hanya tersenyum menanggapi ucapan dan pujian sang papa. Namun, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam sesungguhnya dia sedang menangis, meratapi pernikahannya dengan Andre yang harus hancur karena kebodohan dan kepolosannya.

"Oh, ya, Mama---kenapa tak ikut ke sini, Pah?" tanya Tania mengalihkan pikirannya yang sedang kalut.

"Oh, mama akan ada tamu dari Praha, seorang pengusaha apparel di sana yang ingin membuka kantor cabangnya di Indonesia dan dia sedang membutuhkan designer untuk itu," papar Niko.

"Tapi bukannya mama hanya merancang gaun pengantin? Setahuku perusahaan apparel itu memiliki banyak jenis pakaian dan juga model ... apa mama bisa keluar dari 'style-nya' dalam mendesign sebuah pakaian?" tanya Tania sedikit khawatir.

"You know how is she ... she won't give up until she gets what she wants. Dan Papa akan mendukung mamamu 100%," balas papa tersenyum.

"Tania sungguh beruntung memiliki Papa seperti dirimu, Pah. Sayang keluarga, sayang mama, dan juga yang paling penting ... setia," ucap Tania langsung memeluk sang papa.

Niko hanya tersenyum kikuk mendengar ucapan Tania. kata 'SETIA' yang dilontarkan dari mulut sang putri tercinta seakan menjadi tamparan bagi dirinya yang selama ini bermain 'kotor' di belakang istri dan keluarganya.

"Baiklah, Sayang. Papa harus berangkat ke kantor karena Papa ada meeting hari ini. Kamu, sekali-sekali sempatkanlah pulang ke rumah utama, mama pasti rindu denganmu. Rumah terasa sangat sepi ketika kau meninggalkan kami."

"I will, Pah. Tania juga rindu sekali dengan mama dan terutama masakannya. Nanti Tania pasti akan mampir ke rumah utama jika ada waktu," balas Tania memeluk sang papa erat.

"Sehat-sehat, ya, Sayang--Papa berangkat dulu," Niko memberi kecupan sayang di kening putri tercintanya itu dan keluar ruangan kerja Tania.

Di sisi lain, Andre yang masih berada di rumah bersiap akan segera berangkat menuju tempatnya mengajar. Dia melihat Niko sedang berjalan ke arahnya dan tiba-tiba menarik lengannya dengan kuat hingga bajunya sedikit berantakan.

"P--Pah, a--ada apa?" tanya Andre terkejut.

"Dengar! Kau tahu aku tak suka denganmu sejak awal Tania mengenalkanmu padaku! Aku menerimamu hanya karena aku merasa KASIHAN padamu! Apa kau pikir Tania menikahimu karena cinta? Pikir baik-baik Andre ... Tania cantik, sukses, mapan, tipikal semua pria, digilai semua pria! Apa kau pikir hanya karena seorang 'ANDRE' dia akan berlutut dan memohon cintamu padanya? JANGAN MIMPI! Aku tak 'kan biarkan hal itu terjadi! Karena aku, NIKO WIJAYA LEBIH TAHU MANA YANG TERBAIK UNTUK PUTRIKU! CAMKAN ITU BAIK-BAIK!" tegas Niko mendekatkan wajahnya dan menatap tajam Andre.

Andre bergeming, menatap datar dan tanpa ekspresi dari kedua matanya, seakan pasrah dengan ucapan yang dilontarkan Niko padanya. Dengan mulut gemetar, Andre berkata, "Baik, Pah. Saya mengerti maksud ucapan Papah."

****

Butik Gaun Pengantin Daniella

"Madam, apa kita perlu menjemput Nona Andrea?" tanya salah satu karyawan Daniella Wijaya, Sarah.

"Oh, tak perlu. Dia sudah dijemput oleh supir pribadinya dan akan tiba di sini dalam 30 menit," jelas Daniella tersenyum.

Daniella Wijaya, istri Niko Wijaya sekaligus designer gaun pengantin dan seorang fotografer. Wanita Indo-Belanda ini memang dikenal karena kecantikannya yang mumpuni, dengan wajah blasteran yang dimiliki, tak heran bila ibu dari Tania ini sering disangka masih ABG oleh klien-kliennya, bahkan tak jarang dari mereka yang ingin menikahi wanita berusia 45 tahun itu. 

"Sarah, tolong kau konfirmasi dengan Nona Andrea dia sudah sampai mana biar nanti kita menyiapkan segala sesuatunya," perintah Daniella.

"Baik, Madam. Segera saya lakukan," balas Sarah segera keluar ruangan Daniella.

Tak lama kemudian, Sarah kembali ke ruangan Daniella dan memberitahukan bahwa 15 menit lagi kliennya yang bernama Andrea itu akan tiba di butiknya. Daniella tampak sibuk mengatur berbagai persiapan untuk menyambut klien luar negerinya itu. Dan tak lama berselang, sebuah sedan mewah keluaran Jerman berhenti tepat di depan butik milik Daniella. Seorang wanita cantik, super seksi, dan berambut panjang dengan warna keunguan turun dari sedan mewah metalik itu. Dengan balutan blus berwarna hitam, celana skinny warna putih dan heels 7cm, menambah kesan seksi pada wanita yang bernama Andrea Quinza itu.

"Ahoj, vitej (halo, selamat datang)," ucap Daniella menyambut Andrea di depan butiknya.

"Ahoj, dekuji za privitani (halo, terima kasih atas penyambutannya)," balas Andrea tersenyum.

"Jak se mate (bagaimana kabar Anda)?" tanya Daniella seraya menjabat tangan Andrea.

"Jsem v poradku, dekuji (kabar baik, terima kasih)," balas Andrea tersenyum mengembang.

Daniella tersenyum puas. Tak sia-sia dia menyiapkan dirinya belajar bahasa Czech selama beberapa minggu terakhir sebelum bertemu dengan kliennya itu.

"Mrs. Daniella, I really appreciate your Czech, sound good to me. Well done," puji Andrea tersenyum lebar.

"Really? Thanks God, I thought I won't be able to speak Czech very well, but since you spoke like that, I think I will learn Czech seriously," balas Daniella dengan senyum manisnya.

Kedua wanita super hot itu saling berbalas pujian dan saling bertukar tentang pribadi masing-masing. "Saya sering mendengar tentang Anda, Nyonya Daniella, dan percaya atau tidak, saya adalah salah satu penggemar Anda. You're great woman, no matter what! Dan ternyata apa yang dikatakan oleh orang-orang adalah benar, you look younger than your age," puji Andrea seraya memegang tangan Daniella lembut.

"Oh, saya jadi tersanjung Anda berkata seperti itu, dekuji," balas Daniella tersipu malu.

"Oh, ya, saya dengar Anda juga seorang fotografer? Apa itu benar?" tanya Andrea penasaran.

"Benar. Selain fashion designer, saya juga seorang fotografer. Tapi, bidang itu sudah lama saya tinggalkan dan kini putri saya yang menurunkan cita-cita saya," jelas Daniella.

"Oh, sayang sekali. Padahal saya suka kamu memotret ... hasil potretan Anda pozoruhodny (sangat luar biasa)," puji Andrea dengan bahasa Indonesia yang terbata.

"Terima kasih, Nona Andrea. Anda selalu memuji, saya jadi tak enak hati. Saya juga sering mendengar tentang Anda, wanita yang masih muda, namun sudah memiliki belasan cabang perusahaan yang Anda pimpin. Itu ... sangat luar biasa, bahkan saya mungkin tak 'kan mampu seperti Anda," balas Daniella memuji.

Andrea hanya tersenyum tipis dan melihat-lihat butik milik Daniella. Sesekali butik ibunda Tania itu diselipkan beberapa karya hasil jepretannya yang memang kualitas seorang fotografer kelas dunia. Andrea menghentikan langkahnya ketika ia melihat sebuah foto seorang gadis sambil membawa payung dan buket bunga mawar putih di tangan kanannya dan memakai pakaian era Victoria sambil membelakangi sang fotografer.

"Kdo je to (ini siapa)?" tanya Andrea sambil menunjuk objek yang dimaksud.

"Moje dcera (puteri saya)," balas Daniella tersenyum.

"Puteri An--da?" tanya Andrea dengan ekspresi bingung.

"Benar, gadis di foto ini adalah puteri saya. Apa ada yang salah, Nona Andrea?" tanya Daniella penasaran.

"Ah, tidak. Hanya saja saya tidak pernah tahu Anda mengajak puteri Anda untuk menjadi model gaun yang Anda design atau menjadi model fotografi Anda."

"Dia tidak suka difoto. Tapi suka memfoto ... aneh, bukan?" kelakar Daniella.

"Hmmm, saya jadi penasaran dengan puteri Anda. Apakah saya bisa bertemu dengannya?" pinta Andrea.

Daniella terdiam sebentar seraya menatap Andrea dan berkata, "Dia--memiliki studio sendiri, mungkin kita bisa ke sana nanti?" tanya Daniella.

"Hmmm, baiklah! Aku setuju. Aku benar-benar penasaran dengan puteri Anda. Pasti wajahnya sangat cantik, sama seperti Anda," puji Andrea.

****

Ruangan Dosen Universitas Lassle

Andre tampak tak bersemangat hari ini, baik di kelas maupun ketika berbicara dengan rekan sejawatnya. Dia lebih banyak diam dan tatapannya juga kosong, tak seperti Andre yang biasanya. "Bro, loe kenapa, sih dari tadi pagi kayak orang 'agak-agak'?" tanya Wisnu duduk tepat di kursi yang berhadapan langsung dengan Andre.

Namun Andre hanya bergeming dan tak menanggapi pertanyaan rekannya itu.

"Heh!" Wisnu menggebrak meja kerja Andre dengan agak kencang dan membuat Andre terkejut.

"Apaan, sih Wis, loe! Kenapa pake gebrak meja segala? Emang ga bisa ya ngomong baik-baik?" kesal Andre.

"Ngomong baik-baik? Gue udah nanya loe kenapa dari tadi ... tapi sama sekali ga ada tanggapan! DICUEKIN!!" kesal Wisnu.

"Oh, ma--maaf, kalo gitu. Gue yang salah--" Andre memijat-mijat keningnya dengan jempol dan telunjuknya sambil memejamkan matanya.

"Loe kenapa, sih hari ini? Kayaknya enggak loe banget, deh? Cerita, Bro ... kali aja gue bisa bantu," ucap Wisnu penasaran.

"Enggak, enggak ada apa-apa, kok. Cuma---" Andre menutup mulutnya dan menatap keluar ruangan dosen yang memang langsung terhubung dengan pemandangan halaman kampus.

"Cuma? Cuma apa?" tanya Wisnu penasaran.

Dengan menghela napas panjang, Andre memejamkan matanya dan berkata, "Apa loe pernah menyukai seseorang?"

"Ya pernahlah, gila aja loe, cowo seksi dan kece kaya gue belum pernah suka ama cewe, eh--maksud loe ... suka dalam hal apa ini? Apa jangan-jangan loe---" Wisnu memincingkan matanya dan menatap Andre curiga.

"Bukan--bukan kaya gitu maksud gue, tapi--lebih ke perasaan. Apa loe pernah suka sama seseorang dan ngajak ke hubungan yang lebih serius?" tanya Andre pelan.

"Gue nggak ngerti ya, Dre loe tuh ngomong apa dan maksud loe apa. Tapi, loe kayaknya salah kalo ngomong begitu," jelas Wisnu.

"Salah? Maksudnya salah?" tanya Andre penasaran.

"Ya--loe kan udah nikah, istri loe juga bukan orang sembarangan. Anak konglomerat, mapan, sukses, cantik, impian para pria. Apalagi yang loe keluhin? Loe belum puas dapat istri kaya Tania, Dre? Loe ga bersyukur bisa taklukkan hati seorang Tania yang dingin kaya gunung Everest?" tanya Wisnu sedikit kesal.

Andre bergeming, dilihatnya sahabatnya itu dengan tatapan teduh, "Mungkin ... mungkin gue ga bersyukur karena udah dapet istri kaya Tania. Mungkin gue terlalu arogan dan gengsi juga--pongah karena gue bisa dapetin istri kaya Tania--" Andre menggantungkan ucapannya dan membuat Wisnu sedikit bingung.

"Loe tahu, Dre, sebenarnya--" Wisnu mengernyitkan dahinya dan menatap sendu sahabatnya.

"Apa? Sebenarnya apa?" tanya Andre penasaran.

"Sebenarnya gue tahu hubungan loe dan Elliana, tapi gue pura-pura enggak tahu dan tetep tutup mulut gue sampai sekarang," jelas Wisnu dengan suara pelan.

Sontak, mata Andre membulat sempurna dan langsung duduk berdekatan dengan Wisnu seraya berkata, "Sejak kapan? Kapan loe tahu hubungan gue dan Elliana?"

"Sejak beberapa tahun yang lalu, pas ketika Elliana masuk ke kampus ini dan ngajar di sini. Gue tahu kalian dekat, tapi--kalau orang yang jeli penglihatannya, mereka pasti akan berpikiran yang sama dengan gue. Apa loe pacaran sama Elliana? Tadinya gue ga percaya sama hati dan pikiran gue sendiri kalo loe dan El ada hubungan 'seperti itu', karena gua tahu loe dan Tania udah lama pacaran, jadi gua pikir loe enggak mungkinlah--" Wisnu menggantungkan ucapannya seraya tersenyum kikuk.

Lagi-lagi Andre bergeming, dia menatap sahabatnya kosong dan datar tanpa mengeluarkan sepatah katapun ataupun sanggahan ucapan temannya. "Dre, loe--enggak mungkin, kan loe dan Elliana---" Wisnu memegang kencang bahu temannya.

Andre terdiam sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya seraya berkata,"Gue bener-bener suami brengsek, Wis--gue cowo bejat."

Wisnu terkejut dengan pengakuan sahabatnya. Terkejut tapi tersirat rasa kasihan pada Andre karena Wisnu tahu betul bagaimana sifat seorang Andre. Dia sebenarnya bukanlah pria hidung belang, tapi karena trauma di masa lalunya dia seperti ini. Wisnu semakin kencang memegang bahu Andre, menundukkan kepalanya sesaat dan berkata, "Apa loe udah bilang ke Tania tentang hubungan kalian? Apa Tania tahu loe dan Elliana--"

"Gue rasa dia udah tahu. Dia bahkan sempet bakar baju yang gue pake kemarin," jelas Andre.

"Hah!!! Serius, loe, Dre? Tania---seorang Tania bisa lakuin hal itu? Enggak! Loe pasti boong, kan? Mana mungkin Tania nglakuin hal itu. Bukannya kita tahu betul bagaimana dulu dia di kampus ... kalem, lemah lembut ..." Wisnu benar-benar menunjukkan ekspresi terkejutnya.

"Andainya itu tak benar, tapi dia nglakuin itu semalam. Gue juga enggak tahu darimana dia bisa tahu kalau gue dan El---"

"Apa Tania bilang nama Elliana?" tanya Wisnu lagi.

Andre menggelengkan kepalanya, "Dia ga bilang. Dia hanya bilang 'mulutku sudah disumpal oleh bibir wanita lain' ..." Andre kemudian menatap sahabatnya itu dengan pekat. "Jangan-jangan---" Andre menduga dan berpikir keras.

"Jangan-jangan apa?" tanya Wisnu penasaran.

"Apa mungkin Tania datang ke sini?" ucap Andre sambil menatap Wisnu datar seraya menduga-duga.

Percakapan dua dosen tampan nan hot itu terhenti ketika Elliana tiba-tiba masuk ke dalam ruangan dosen dan menemui Andre dengan wajah kesal.

"ANDRE MAHARDIKA PRAYOGA! Kita perlu bicara!" kesal Elliana menemui Andre.

"Eits ... eits ... ada apa ini? Bu Dosen cantik, kenapa marah-marah? Nanti cepet tua, lho--" gurau Wisnu tersenyum.

"KELUAR! AKU TAK ADA URUSAN DENGAN ANDA!" ketus Elliana menatap tajam Wisnu.

Wisnu langsung mengangkat kedua tangannya dan segera keluar ruangan Andre. Sementara Andre tetap duduk dan memperhatikan sikap Elliana dengan tatapan datar namun dingin.

"Ada apa, El? Apa lagi yang kau inginkan?" tanya Andre dingin.

"Apa? Kau tanya 'apa yang aku mau?' Apa kau amnesia, Andre? Urusan kita belum selesai semalam!" emosi Elliana.

"Bagiku sudah! Dan tak ada lagi yang harus dibicarakan!" tegas Andre bangkit dari kursinya namun segera doidorong keras oleh Elliana hingga membuat Andre kembali duduk dengan keras di kursinya.

"ELLIANA! Aku sudah muak dengan sikapmu, tingkahmu! Apa lagi yang kau inginkan? Tak puaskah kau telah menghancurkan rumah tanggaku? Tak bahagiakah kau kini telah membuat Tania menjauhiku?" emosi Andre mengepalkan tangannya.

"TIDAK! AKU BELUM BAHAGIA! AKU TAK AKAN PERNAH BAHAGIA BILA KALIAN BELUM BERCERAI!!!" emosi Elliana semakin tersulut.

"ELLIANA--KAU---" Andre tak dapat lagi menguasai amarahnya dan tangannya hampir saja menampar pipi mulus Elliana.

"Apa kau mau menamparku? Bisa kau lakukan itu padaku, Andre? Bisa kau lakukan itu pada orang yang telah sayang padamu dengan setulus hati?" tanya Elliana menahan air matanya.

Tangan dan jari-jemari Andre bergetar, tangan yang masih terangkat ke atas itu hanya diam dan mencoba menahan untuk tak melukai siapapun. Andre yang berusaha menahan emosinya pun segera membalikkan badannya dan menyuruh Elliana keluar ruangannya.

"Keluar--kumohon, Elliana, keluar dari ruanganku. Aku tak ingin emosiku tersulut lagi. Kumohon, keluarlah---" pinta Andre dengan suara pelan.

"Andre--kau tahu aku sangat mencintaimu, menyayangimu, peduli padamu ... tapi kenapa--kenapa kau malah---" tangis Elliana pecah dan langsung meninggalkan ruangan Andre sambil berjalan dengan cepat.

Andre mengepalkan tangannya dan menahan emosinya, menyesali segala perbuatannya, meratapi pernikahan dan hubungannya dengan dua wanita yang dicintainya. "Elliana ... maafkan aku, tapi aku harus memilih ... dan aku memilih Tania, istriku sebagai pelabuhan terakhirku. Kumohon maafkan aku---" 

Studio NADIYA

Sama seperti Andre, Tania juga terlihat murung dan sering melamun. Para karyawannya pun dibuat bingung dan serba salah dengan sikap bos mereka. Kesalahan demi kesalahan pun sering dibuat oleh Tania hingga membuat Robert, Dion, dan Hannah khawatir dengan keadaan Tania.

"Apa Anda baik-baik saja, Bos?" tanya Hannah pelan.

Tania hanya mengangguk. "Istirahat, Bos---jangan dipaksakan bila Bos sedang tak enak badan," ujar Robert.

"Siapa yang sakit! Apa aku terlihat sedang sakit? Jangan asal bicara kau, Robert!" ucap Tania sedikit ketus.

Mendengar sang bos berkata demikian, membuat Robert terkejut dan bukan hanya Robert, namun Hannah juga Dion juga merasakan hal yang sama. Menyadari sikapnya yang 'tak biasa', Tania langsung meminta maaf pada Robert dan berlalu meninggalkan mereka kembali ke ruangannya.

"Si bos kenapa lagi, sih? Heran gue dari kemarin kaya gitu terus sikapnya. Dion, Loe kan paling deket ama si bos, kenapa sih ama dia?" tanya Hannah penasaran.

Dion hanya diam saja dan mengalihkan perhatian rekan-rekannya ke kerjaan, "Bagaimana dengan model kemarin, Alex Nathan? Apa kau sudah selesai membuat surat kontrak perjanjiannya, Hannah?"

Hannah mengangguk, "Done, hanya tinggal memberikannya pada manajernya ... itupun jika dia memakai manajer."

"Well done. Lalu, bagaimana denganmu Robert? Apakah semua persiapan untuk pemotretan sudah selesai?" tanya Dion lagi.

"Yup, it's done, bahkan dari kemarin," balas Robert.

"Oke, jika begitu, tak ada masalah. Hanya tinggal eksekusi."

"Kau tetap yang akan memotretnya?" tanya Robert saling bertatapan dengan Hannah.

"Aku tak tahu. Rencana awal memang seperti itu, kan? Aku yang memotret dan melukisnya, tapi jika Tania berubah pikiran ... aku tak tahu," ucap Dion seraya melihat ke arah ruangan Tania.

Tak lama kemudian, ponsel milik Dion yang ia simpan di saku celananya bergetar. Sebuah pesan whatsApp baru saja datang dan belum dibaca olehnya, "Datang ke ruanganku!" begitulah kira-kira isi pesannya.

"Kalian make sure dulu tentang hal-hal yang telah kita bicarakan sebelumnya. Tania memanggilku," jelas Dion langsung ke ruangan Tania.

****

Ruangan Tania

Suara ketukan pintu terdengar dari balik ruangan Tania. Tanpa perlu waktu lama, Tania menyuruh orang yang ada di balik pintu itu untuk segera masuk ke ruangannya. "Kenapa harus formal, masuklah," perintah Tania.

"Hei, apa kau ada perlu denganku?" tanya Dion langsung duduk di kursi dan berhadapan dengan Tania.

Tania mengangguk, "Semalam---kami bertengkar. Aku bahkan sempat membakar baju yang ia kenakan. Entah kenapa aku melakukan hal itu, tapi---aku merasa sangat jijik ketika harus mengingat apa yang telah dia lakukan dengan wanita lain dan memakai baju itu," jelas Tania lirih.

"Lanjutkan, aku ingin tahu ceritamu," pinta Dion.

"Aku yak menyangka jika selama ini orang yang aku sayang telah mengkhianatiku, membohongiku, dia--menggadaikan kepercayaanku dan cintaku dengan wanita lain! Apa kau tahu bagaimana rasanya, Dion? Apa kau pikir aku masih sanggup hidup dan bertahan dengan orang seperti itu? Sekali orang itu berbohong, maka ia akan selamanya berbohong. Entah dengan alasan apapun! Dia akan terus berbohong!" ucap Tania terisak.

"Harusnya aku tak pernah mengajakmu melihat kelakuan suamimu. Itu salahku dan aku benar-benar minta maaf, tapi permintaan maafpun rasanya tak akan pernah cukup untuk menutupi luka yang telah terbuka, aku--sekarang tak tahu harus berbuat apa ... aku hanya bisa pasrah jika kau membenciku," papar Dion tertunduk.

"Mana mungkin, Dion ... mana bisa aku membencimu. Justru aku ingin berterimakasih padamu karena jika bukan kau, maka aku tak 'kan pernah tahu bagaimana sikap dan perilaku Andre di luar sana. Bahkan mungkin, baginya pernikahan ini hanyalah suatu permainan."

"Tania---apa kau---hmmm ..." Dion membungkam mulutnya.

"Apa? Aku apa?" tanya Tania penasaran.

"Apa mungkin kau akan segera--bercerai?" tanya Dion ragu.

Tania bergeming, menatap Dion pekat dan mendekatinya. "Apa itu yang kau harapkan, Dionysius Theodore?" 

Dion yang saat ini bergeming. Hanya sesenggukan saliva yang terdengar dari mulutnya, tak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya yang agak kemerahan. Wajahnya mulai memerah karena Tania terus menatapnya dengan pekat.

"Dion ... apa tujuanmu sebenarnya membawaku kemarin?" tanya Tania dengan tatapan tajam.

"Apa ... maksudmu, Tania? Apa kau mencurigaiku? Apa kau berpikir jika aku mengajakmu kemarin karena aku memiliki niat lain padamu, itu pikiranmu?" tanya Dion terkejut.

"Entahlah, aku hanya asal bicara," balas Tania kemudian membalikkan badannya dan mengambil sebuah map berwarna biru dan memberikannya pada Dion.

"Apa ini?"

"Bukalah--" perintah Tania.

Betapa terkejutnya Dion ketika ia mengetahui isi dari map biru itu adalah surat gugatan cerai Tania kepada Andre 

"Ta--Tania, ini--" Dion menatap dengan ekspresi tak percaya.

"Kenapa? Bukankah kau menanyakannya tadi? Dan sekarang kau sudah menerima apa yang kau inginkan."

"TANIA!! Apa maksud ucapanmu? Apa yang kau pikirkan tentangku? 7 tahun kita tak bertemu dan sekarang setelah kita bertemu kau menyerahkan hatimu pada orang lain! Ketika aku berusaha membantumu, kau malah menuduhku yang tidak-tidak!! Apa aku sepicik itu? Apa aku selicik itu, hah!!" kesal Dion hingga suaranya bisa terdengar ke lantai bawah studio NADIYA.

Tania hanya bergeming, melihat Dion yang sedang emosi dan kesal membuat Tania menarik napas panjang seraya berkata, "Maaf ... aku tak bermaksud begitu, aku hanya tak tahu lagi harus bicara pada siapa. Aku juga tak tahu kenapa aku langsung melakukan hal itu. Aku panik Dion! Aku---aku---" tangis Tania pecah dan langsung memeluk Dion dengan erat. Awalnya Dion terkejut karena Tania langsung menghampiri dan memeluknya, namun dia tahu Tania saat ini memerlukan sandaran untuk merebahkan tubuhnya dan mendinginkan pikirannya. Bagai gayung bersambut, Dion pun memeluk Tania dengan dekapan erat dan lembut.

"Hangatnya---" ucap Tania dalam pelukan Dion.

"Menangislah ... menangislah hingga kau puas, Tania ... menangislah hingga tiada lagi sesak dan pilu dalam hatimu ...aku akan menjadi sandaran bagimu, pelabuhan bagi kapalmu yang kini terombang-ambing di tengah lautan ... menangislah ...." 

****

Wijaya Mining and Coal

"Ah, Sayang ... hari ini kamu semangat sekali, ya ..." ucap Jessica yang sedang sibuk 'memanaskan' Niko di ruang kerja sang presdir.

"Suasana hatiku sedang tak karuan, sayang. Aku sedang kesal dengan menantuku!" tukas Niko sesekali mengulum bibir sensual sang sekretaris.

"Me--nantu? Maksudmu ...." Jessica juga sesekali mengeluarkan desahan yang memancing sisi liar Niko.

"Ya, menantuku. Suami Tania, putriku. Aku benar-benar ingin mereka sedang BERCERAI! Ni matter what ... They have to divorce!" kesal Niko.

Jessica yang melihat mood sang presdir sedang dalam keadaan tak baik, segera menyudahi 'permainan' mereka dan tanpa berkata apapun, Jessica langsung mengenakan pakaiannya kembali dan merapikan make-up nya.

"Sayang ... kenapa?" tanya Niko terkejut.

"Tidak, tak apa-apa. Hanya saja sepertinya kau sedang dalam keadaan tak baik. Mood-mu sepertinya sedang kacau, jadi kita sudahi saja hari ini, ya, Sayang---" ucap Jessica mengecup manis bibir sang presdir dan berlalu keluar ruangan Niko.

"Tak kusangka, ternyata kau memiliki 'side job' juga, ya ..." seloroh suara laki-laki yang duduk membelakangi dirinya.

"Siapa kau?" tanya Jessica yang terkejut mendapati seorang laki-laki tengah duduk di kursi kerjanya dan memakai topi warna hitam.

"Baru kemarin kita bertemu dan kau sudah melupakan aku? Apa 'klienmu' terlalu banyak, Nona Jessica?" tanya laki-laku itu dan kini dia telah membalikkan badannya ke arah Jessica, melepaskan kacamata hitam dan topi hitamnya.

"Kau!! Sedang apa kau di sini?" tanya Jessica yang terkejut laki-laki itu adalah Alex Nathan.

Dengan senyum menyeringai, Alex berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke Jessica, "A--apa yang kau lakukan? Jaga sikapmu, Tuan Alex!" seru Jessica yang kini terpojokkan.

"Hah, jaga sikapku? Apa aku tak salah dengar? Bukankah kita sama? Kau dan aku ... kita bekerja untuk orang yang sama, menerima bayaran dari orang yang sama, tapi kau ... masih berani berkata 'jaga sikapmu?', apa kau menyindir dirimu sendiri, Nona Jessica?" tukas Alex seraya menyunggingkan senyumnya.

Jessica bergeming, mengepalkan tangannya, "Apa kau melihat semuanya?"

"Lihat apa? Ah---kalian ..." Alex masih mendekatkan tubuhnya kepada Jessica. "Itu bukan urusanku! Aku tak peduli apa hubungan kalian, bagiku uang adalah segalanya ..." tandasnya.

"Apa maumu kalau begitu? Uang? Berapa yang kau mau? Sebutkan saja!" tegas Jessica sambil menatap tajam Alex.

"Hmm, sikapmu seperti Tuan Niko. Apa kau sanggup membayarku jika aku meminta darimu? Apa kau sanggup, Nona Sekretaris?" Alex memegang dagu Jessica sambil menatap matanya pekat. Terdengar deru napas Jessica yang cepat dan detak jantung yang berdegup kencang, "Apa kau---takut, Nona Sekretaris?" senyum Alex.

"Get off your hands from me!" Jessica melepaskan tangan Alex yang sedabg memegang dagunya dengan tampikan yang cukup keras.

"Tenanglah, kau juga bukan tipeku! Tapi, aku ingin mint bantuanmu---" 

"Bantuan? Bantuan apa?" tanya Jessica penasaran.

Alex kemudian melihat ke ruangan Niko yang sedang fokus menandatangani beberapa berkas dokumen. Didekatkannya lagi tubuhnya kepada Jessica dan berbisik seraya mengatakan, "Aku ingin kau mengatur pertemuanku dengan putri presdir kita."

Jessica terkejut! Dia membelalakkan matanya dan menatap ke arah Alex dengan pekat, "Apa--yang baru saja kau katakan? Coba ulangi sekali lagi," pinta Jessica.

"Aku ingin kau mengatur pertemuanku dengan putri Tuan Niko, Tania. Aku sudah bertemu dengannya, tapi rasanya sangat tak enak hati jika aku langsung mengajaknya berbincang santai di suatu tempat--"

"STOP! Aku tahu maksud arah pembicaraanmu! Apa kau berencana untuk---" Jessica menatap Alex dengan tatapan curiga.

Alex hanya tersenyum dan berkata,"Aku tidak sepertimu, Nona Sekretaris. Cara mainku lebih halus dan tanpa bayangan."

Jessica mendengus kesal mendengar ucapan Alex, tanpa banyak berkata, Jessica langsung memberikan restoran tempat keluarga Wijaya biasa menghabiskan waktu mereka.

"Ini--" sebuah kartu berwarna hitam bertuliskan 'The Peninsula Restaurant' terpampang dengan jelas.

"Apa ini?" tanya Alex membolak-balikkan kartu nama itu.

"Itu adalah restoran di mana keluarga Wijaya biasa menghabiskan waktu bersama. Nanti akan aku reservasi atas namamu. Sekarang ...PERGILAH! Aku masih banyak kerjaan!" kesal Jessica memberikan tatapan tajam ke arah Alex.

"Ok ... ok ...I got it! Tahanks anyway," ucap Alex langsung meninggalkan kantor Wijaya Mining and Coal. "Tania ... I'll make you mine!" yakin Alex dengan senyum sumringah.

****

Universitas Lassle

Andre mempercepat langkahnya menuju parkiran mobil miliknya, namun sebelum sampai ke tempat yang ia tuju, Donna, mahasiswi yang tergila-gila padanya menghadang jalannya.

"Donna---" ucap Andre terkejut.

"Bapak mau kemana?" tanya Donna sambil membentangkan kedua tangannya menghadang jalan Andre.

"Minggir, Donna! Aku tak punya waktu untukmu!" tegas Andre.

"Urusan kita belum selesai, Pak. Kemarin ... Bapak kemana? Aku menunggu Bapak, tapi Bapak tak muncul. Kemana, Pak? Kemana kemarin, Bapak?" tanya Donna tiba-tiba mendekatkan tubuhnya ke arah Andre.

"Do--Donna! Jangan begini! Kita di tempat umum, apa kau sudah gila?" tanya Andre mulai emosi.

"Ya! Saya memang sudah gila! Saya tergila-gila dengan Bapak, apa Bapak tak sadar juga--saya mencintai Bapak!" tegas Donna yang semakin lama semakin dekat dengan wajah Andre.

Andre langsung mendorong Donna menjauh dari dirinya. Dengan tatapan tajam dan sikap dingin, dia berkata, "Sebaiknya kau pikir seribu kali sebelum kau mengatakan hal itu! Aku ini dosenmu, mana mungkin seorang dosen bisa mencintai mahasiswinya sendiri--"

"Lalu bagaimana dengan istri Bapak, Tania? Bukankah dia dulu juga mahasiswi Bapak? Dan kudengar kalian telah berhubungan sejak lama, bahkan ketika statusnya masih MAHASISIWI Bapak, kalian tetap berhubungan," jelas Donna emosi.

Andre tercengang dan bergeming. Masa lalunya yang ia sembunyikan dari orang-orang kini terkuak ke permukaan oleh mahasiswinya sendiri.

"Lalu apa maumu? Apa kau ingin mengancamku? Percuma jika kau mengancamku karena kini kami telah resmi menikah! Jadi tak masalah jika hal ini kau beberkan ke orang-orang!" tegas Andre.

"Tidak! Untuk apa saya melakukan hal itu! Saya tahu Anda sudah menikah, tapi ... bila hubungan kita sampai diketahui pihak kampus---" Donna menghentikan ucapannya dan menatap Andre dengan tatapan menggoda.

"Apa kau mengancamku?" tanya Andre yang mulai jengah dengan kelakuan mahasiswinya itu.

"Say--jika hubungan kita diketahui pihak kampus, apa Bapak siap kehilangan semuanya? Tak hanya karir tapi juga keluarga yang baru saja Bapak bina--" senyum tersungging di wajah cantik Donna.

"KAU GILA, DONNA! Jika itu maumu--silakan! Beberkan saja hubungan kita! Aku tak peduli, lagipula bukan aku yang mulai pertama ... tapi KAU!" ucap Andre mendekatkan wajahnya dan menatap tajam Donna dan segera berlalu ke parkiran mobil.

Dari kejauhan, nampak Elliana tengah menjadi 'mata-mata' antara Donna dan Andre. Dia memotret setiap adegan yang dilakukan oleh mereka berdua. Dengan senyum sumringah, Elliana kemudian berkata, "Andre ... kita lihat sampai mana kau akan bertahan dengan istri cantikmu itu!"

****

Studio NADIYA

"Hai, selamat siang," sapa Alex sambil melambaikan tangannya.

"Oh, hai. Selamat siang, baru datang, ya," balas Hannah dan disambut dengan senyuman oleh Robert.

"Iya, maaf kalau telat datangnya. Kenapa sepi? Dimana rekan kalian yang bernama Dion itu?" tanya Alex seraya melihat-lihat keadaan di studio milik Tania itu.

"Oh, Dion sedang sama si bos di ruangannya, tuh di sana ..." ucap Robert sambil menunjuk ruangan yang dimaksud.

Ekspresi Dion langsung berubah suram ketika mendengar Dion sedang berada di ruangan Tania dan tanpa pikir panjang, kakinya yang kuat dan panjang itu langsung mengarah ke ruangan Tania.

"Eh, Alex ... kau mau kemana?" tanya Hannah tiba-tiba.

"Aku mau bertemu dengan Nona Tania. Ada beberapa hal yang harus aku bicarakan dengannya," jelas Alex tersenyum.

"Itu ... bos minta tak ada yang boleh mengganggunya dulu. Untuk urusan kontrak perjanjian kerja kau bisa mengatakannya padaku langsung," papar Hannah.

Alex bergeming, dia hanya menatap Robert dan Hannah dengan tatapan dingin dan ada sedikit emosi di dalamnya. "Baiklah, terserah kau!" jawabnya ketus tapi dengan pandangan tetap ke ruangan Tania.

Ruangan Kerja Tania

"Dion, sudah ... hentikan, aku tak mau memperkeruh masalah rumah tanggaku," ucap Tania melepaskan pelukan erat Dion.

"Aku mengerti, tapi---apa kau sudah pikirkan masak-masak tentang keputusanmu? Apa kau yakin dengan status barumu nanti ... apa kau tak pikirkan---"

"Aku lelah, Dion! Aku lelah selalu memikirkan perasaan orang lain tapi tak ada yang memikirkan perasaanku! Sudah cukup aku berkorban demi orang lain ... kini aku ingin menjalani kehidupanku sendiri, tanpa campur tangan orang lain!" lagi-lagi Tania memecah tangisnya.

"Termasuk aku?" tanya Dion pelan.

Tania hanya bergeming, "Keluarlah, Dion--aku ingin sendiri," ucap Tania membelakangi Dion.

Tak lama kemudian, Dion keluar dari ruangan Tania dan langsung berpapasan mata dengan Alex ketika menuruni tangga menuju meja kerjanya.

"Hai, selamat siang," sapa Alex tersenyum.

Namun Dion hanya diam dan tak menjawab sapa Alex. Hannah dan Robert hanya saling tatap melihat sikap Dion yang mulai seperti 'Everest'. "Baiklah, karena Dion sudah keluar, berarti aku bisa menemui Tania, kan?" seloroh Alex langsung berdiri dan merapikan bajunya.

"Dia tak ingin diganggu! Jika ada perlu, Anda bisa membicarakannya dengan kami." sorot mata tajam Dion tak dapat menutupi rasa tidak sukanya dengan Alex.

Alex hanya tersenyum mendengar ucapan Dion, dengan langkah santai, Alex menghampiri Dion dan berkata, "Memang Anda siapanya Tania? Ayahnya, kakaknya, saudaranya, atau ... pacarnya?"

"Apapun opini Anda ... saya terima, tapi tolong jangan ganggu Nona Tania dulu. Dia ... sedang tak enak badan!" ucap Dion ketus.

"Baiklah, apapun ucapanmu ... aku terima, Tuan DION," balas Alex menyunggingkan senyumnya.

****

Kediaman Tania dan Andre

Tak seperti biasanya, kediaman Tania yang selalu terang kini berubah menjadi gelap. Bahkan lampu teras rumah mereka pun tiada menyala. Tak ada aktivitas seperti biasa, Andre yang pulang ke rumah mereka seakan berada di tempat lain. Dingin, sunyi, dan sepi. Pintu gerbang pun tak biasa-biasanya telah dibuka. Hanya semilir angin malam yang menyambut kepulangannya.

"Malam, Tuan, Anda sudah pulang?" Pak Ram datang menyambut sang majikan.

"Ini---kenapa gelap, Pak? Apa nyonya belum belum pulang?" tanya Andre sambil melihat-lihat sekitar.

"Nyonya sudah pulang, Tuan. Tapi--" 

"Tapi, apa Pak Ram?" 

"Nyonya melarang kami menyalakan lampu," ujar Pak Ram.

"Apa? Dilarang menyalakan lampu oleh nyonya?" Andre makin penasaran.

Petugas keamanan rumah mereka mengangguk dan Andre menyuruh Pak Ram membawakan tasnya ke dalam dan menyalakan sebagian lampu di rumah mereka.

"Sayang---Tania---apa kau sudah pulang? Kenapa aku tak melihat mobilmu? Sayang--kau di mana?" tanya Andre sambil meraba-raba karena dalam rumah mereka juga gelap.

Ketika Andre ingin menyalakan sakelar lampu rumah mereka, Tania tiba-tiba mengagertkan Andre dengan suaranya. "Jangan nyalakan!"

"Sa--Sayang, kamu di mana? Kenapa aku tak boleh menyalakan lampu di rumah kita? Bukankah kau takut gelap? Apa phobiamu sudah sembuh?" rentet pertanyaan Andre.

"Aku sengaja melakukannya! Lampu ini sebagai penanda hatiku yang sudah padam akan sayangku padamu, cintaku padamu. Jika kau menyalakan lampu ini, maka itu saatnya aku harus pergi darimu ... hatimu ..." 

"A--apa maksudmu, Tania?" tanya Andre langsung menyalakan sakelar lampu rumah mereka dan tak memperdulikan ucapan Tania.

"S--Sayang---kau--apa yang sedang kau lakukan? Kenapa---kenapa kau membawa koper?" tanya Andre terkejut.

"Bukankah sudah kukatakan padamu, ketika kau menyalakan lampu di rumah ini, maka aku akan pergi ...darimu dan hidupmu," ucap Tania yang bersiap membawa kopernya.

"Tidak, Tania! Bukan begini caranya, apa kita tak bisa bicara baik-baik? Kau belum mendengar penjelasanku, kan? Apa kau harus seperti ini?" tanya Andre sambil memegangi tangan Tania, menahannya pergi.

Tania bergeming, pandangannya kosong, datar, tak ada ekspresi dari wajahnya. Dia menatap mata sang suami dan berkata,"Kau yang menciptakan badai di tengah laut yang tenang ... laut yang tadinya tiada berombak kini berubah menjadi laut dengan ombak yang besar, bahkan kapal pun tak sanggup untuk melintasinya."

"Mak---sudmu?" 

"Jika kau sudah menodai janji yang kau ucapkan di altar pernikahan kita, untuk apa aku harus membersihkan noda itu? Satu kali noda yang kau buat, maka akan kau buat lagi noda-noda yang lainnya ... dan apa aku yang harus menghapusnya? TIDAK Andre! Bukan aku! Tapi kau yang harus menghapus noda itu! Tapi sayangnya ... noda itu tak cukup sekali dibersihkan! Dan aku bukan orang yang bisa membersihkan atau menghapusnya!" tegas Tania melepaskan genggaman tangan sang suami dan pergi meninggalkannya.

"Tania ... Tania ... Tania ... kumohon jangan pergi, jangan tinggalkan aku ... aku membutuhkanmu ..." ucap Andre lirih, namun Tania sama sekali menghiraukan ucapan dan panggilan sang suami.

"Aku tak peduli jika kau bermain 'kotor' di belakangku, Andre ... jika aku tak mengetahui apa yang selama ini kau perbuat di belakangku ... asalkan aku tak melihat dengan mata kepalaku sendiri ... maka aku bisa memaafkanmu. Tapi, aku telah melihatnya sendiri ... bagaimana kau membagi hatimu pada yang lain selsin diriku dan itu tak dapat kumaafkan!" gumam Tania yang segera berlalu meninggalkan kediaman mereka berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status