Namaku Mutia Dewi Prasetyo. Pak Budi ayah angkat ku memberikan nama belakangnya untukku, ayah dan ibu begitu menyayangiku seperti menyayangi anaknya sendiri.
Satu tahun aku tinggal di tengah keluarga Prasetyo, kebahagiaan mereka bertambah dengan hadirnya bayi mungil dan tampan yang kini beranjak remaja.
Aku dan Bimo terpaut usia delapan tahun, kini kami hanya tinggal berdua, karena orang tua kami sudah lama meninggal korban pembunuhan oleh sekelompok perampok sepuluh tahun yang lalu.
Peristiwa itu terjadi tengah malam setelah Bimo ulang tahun yang ke enam. Kami sedang tertidur pulas tiba-tiba mendengar beberapa kali suara letusan senjata api, akupun dan Bimo terbangun, karena kegaduhan tersebut.
Aku memeluk Bimo dan membawanya bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, kami berdua berbaring saling berhadapan.
Bimo memeluk ku meminta perlindungan, tubuhnya gemetaran, namun aku berusaha tetap tenang agar Bimo tidak takut dan menangis, meskipun aku sendiri juga sangat takut.
"Dek, jangan bersuara!" pintaku seraya menempelkan jari telunjukku di bibir mungilnya.
"Iya Mbak, tapi itu suara apa di lantai bawah? Kaya suara tembakan, Gimana dengan Ayah dan Ibu kita kak?" tanya Bimo lirih sambil terisak.
Aku hanya menggeleng lemah, sambil menutup mulutku dengan telapak tangan.
Ku mendengar suara derap langkah kaki mendekati kamar kami, kenop pintu pun di putarnya aku dan Bimo semakin takut, dan gemetaran.
Ku merasakan nafas Bimo yang tersengal-sengal karena rasa takut yang tiada terkira, dengan orang yang mendekat ke arah kami.
Aku membekap mulutnya agar dia tak bersuara, ku peluk tubuhnya dengan erat meski aku sangat takut tapi aku harus bisa melindungi Adikku yang sangat aku sayangi.
Hanya do'a dalam hati yang bisa aku panjatkan, agar keluarga kami di selamatkan dari orang-orang jahat itu, aku tak tau bagaimana keadaan mereka saat ini, ku harap ayah dan ibu baik-baik saja.
Tubuh kami berdua basah dengan keringat yang bercucuran, karena menahan rasa takut.
"Aakhh," suara erangan, dan teriakan dari bawah sana, aku sangat mengenali suara itu. Suara teriakan Ayah dan Ibu. Ya Tuhan... tolong lindungi orang tua kami.
"Tolong.! tolong.! jangan bunuh kami! Ambil saja semua yang kalian mau, asal jangan ambil nyawa kami!" suara Ibu histeris, kemudia suara letusan dari tembakan senjata api terdengar lagi, di iringi jeritan kesakitan dari mulut kedua orang tua kami.
Rasanya aku ingin sekali berlari keluar dan menyelamatkan ayah dan ibu, namun apalah daya, aku dan adikku hanya anak-anak yang lemah, jika perampok itu melihat kami maka mereka akan sangat mudah untuk melenyapkan nyawa kami.
Ya Tuhan aku benar-benar takut, rasanya dunia ini semakin sempit, nafas pun sesak mendengar jeritan juga rintihan Ibu dan Ayah di bawah sana.
Aku sangat ingin melihat keadaan mereka, tapi rasa takut ini tak bisa aku lawan, dan aku takkan bisa menghindari kejahatan mereka jika aku keluar dari sini.
Mungkin saja kami juga sebentar lagi akan di lenyapkannya, fikiran ku di penuhi rasa takut yang tak bisa ku gambarkan lagi.
Semua terasa kacau, aku hanya bisa menahan air mata, aku berharap ada tetangga yang akan menolong kami, dan orang-orang itu segera pergi dari rumah ini, agar aku bisa melihat bagaimana dengan Ayah Ibu.
"Ibu, Ayah aku takut," jeritku, dalam hati, aku menahan tubuh Bimo agar tak bergerak yang nantinya akan menimbulkan suara.
Orang itu berjalan pelan mengitari ranjang di mana kami bersembunyi, ku pincingkan mata tak sanggup melihat langkah kakinya, dari kolong tempat tidur tempat tidur.
Dia berjalan ke arah lemari dan membuka pintunya, mencari keberadaan kami, aku semakin takut, kurasakan tubuh semakin lemas, ku peluk dengan erat tubuh Bimo.
Bibir Bimo bergetar di bawah bekapakan tanganku. Aku menggeleng lemah memberi isyarat agar dia tak bersuara.
"Kak," bisik Bimo "Aku takut kak."
Ku hanya balas mengngguk, ku elus dan kucium kepala Bimo agar dia tetap tenang, di sudut matanya air terus mengalir, ku usap pelipisnya yang basah dengan air mata ketakutan.
Orang yang berada di kamar kami berdiri kakinya berada di dekat tempat tidur, ku lihat ia melempar selimut dan juga bantal guling beterbangan jatuh ke lantai.
"Bos... cepat!" Ku dengar suara teriakan Pria dewasa yang asing di telinga ini.
"Iya," sahutnya berteriak, lalu dia berlari keluar dari kamar ini, rasanya oksigen mulai masuk ke rongga pernapasan ku, setelah melihat orang itu belalu dan meninggalkan kami.
Tapi bagaimana dengan Ibu dan Ayah, suara mereka kini tak terdengar lagi yang tinggal hanya keheningan.
"Mbak, bagaimana keadaan ibu dan ayah kita? Aku takut mereka melakukan hal yang tidak kita inginkan," ucap Bimo, di sela tangisannya.
"Kita do'akan ayah dan ibu! Semoga tidak terjadi apa-apa, Bimo yang tenang ya! Jangan nangis dan jangan takut! Mbak yakin ayah dan ibu tidak kenapa-kenapa." Aku mencoba menenangkan Bimo.
"Iya, tapi aku tetep takut Mbak," lirih Bimo.
"Percaya sama Mbak! Pasti Tuhan akan melindungi ayah ibu, karena mereka orang baik, dan tak pernah punya musuh sama sekali," ujar ku masih dengan suara pelan, aku khawatir mereka datang kembali.
Hampir setengah jam aku bersembunyi di kolong tempat tidur, kini suara kegaduhan di bawah sana tak terdengar lagi, aku yakin orang-orang jahat itu sudah pergi dari rumah ini.
"Bimo, tetap di sini ya!" pinta ku, lalu ku tarik tanganku dari bawah tubuh Bimo.
"Mbak mau kemana?" tanya Bimo lirih.
"Mbak mau lihat dulu ke bawah, jangan kemana-mana! Sebelum Mbak kembali memanggil kamu!" pinta ku lagi, seraya mengusap rambutnya. Bimo mengangguk patuh, ku menggeser tubuh dan keluar dari bawah kolong ranjang.
Aku berderap hati-hati menuju pintu keluar kamar yang terbuka lebar, ku berjalan dengan mengendap-endap, ku langkahkan kaki dengan sedikit keberanian di hati.
Ku berpijak pada anak tangga ketiga dari atas, ku duduk dan mencondongkan tubuh melongok dari pagar pembatas tangga, untuk memastikan apa mereka masih ada ataukah sudah pergi.
Tapi aku tak mendengar suara apapun, di bawah sana, suasananya begitu hening, orang-orang yang tadi kemana fikirku.
Ibu dan Ayah juga tak ada, aku menuruni tangga berjalan dengan meleseh, kaki ku lemas tubuhku pun gemetaran.
Keadaan rumah sangat berantakan kepingan guci yang pecah berserakan di lantai, pintu lemari dan buffet pun terbuka semua, begitu juga barang-barang yang berada di lemari pajangan ikut berpindah tempat, sama halnya seperti kondisi guci.
Namun yang membuat aku termangu adalah bercak darah yang banyak di mana-mana, nafasku tersengal-sengal, ku berlari sekuat tenaga, menuju kamar Ayah dan Ibu, karena aku ingin memastikan keadaan mereka.
"Ibuu... Ayah..." teriakku seraya menghambur pada mereka, seketika tubuhku luruh dan terduduk di lantai.
Lalu merangkak meraih tubuh Ibu yang bersimbah darah, air mataku tak terbendung jatuh dengan derasnya.
"Ibu, bangun!" ucapku sambil meletakan kepalanya di pangkuanku. Ku usap wajahnya yang sangat pucat karena kehabisan banyak darah. Ibu menggenggam tanganku dengan erat, ia meringis menahan sakit karena luka di tubuhnya."Tia, Ibu minta Ma'af, tidak bisa menjaga kalian lagi! Ibu mohon kamu jaga Bimo, untuk selamanya, ibu percayakan dia sama kamu, jaga dia nak!" ucapnya dengan suara parau dan tercekat.Aku menggeleng cepat sambil terisak, "Bu... jangan bicara seperti itu! Ibu harus bangkit, aku_aku mau cari bantuan," ucapku di sela isakan tangisku, aku meletakkan kepala ibu di lantai.Ku lirik Ayah yang juga tergeletak di sebrang tempat tidur dengan tubuh bersimbah darah sama seperti ibu, sebelum aku keluar untuk meminta tolong aku mendekati Ayah."Ayah, bangun!" ucapku lirih sambil mengguncangkan tubuhnya, namun tak ada pergerakan sama sekali, tubuh ayah kaku, dengan mulut menganga.Aku bangkit dan mundur selangkah, detak jantung ku serasa berh
Aku berdiri di depan kamar Bimo, yang letaknya berdampingan dengan kamar ku."Bimo, kamu lagi ngapain, udah tidur belum?" panggil ku dari depan kamar sambil mengetuk pintu. "Mbak masuk ya! Boleh gak!"Tak ada jawaban, apa anak ini udah tidur baru saja jam setengah sembilan malam, masa dia sudah tidur.Aku memutar kenop pintu lalu membukanya, berderap masuk ke kamar Bimo, dia berada di meja belajar melipat kedua tangannya seraya membenamkan wajahnya di antara lengan.Ku mendekat dan berdiri di sampingnya, "Bimo, kamu kenapa Dek? Kok nangis? Masa jagoan cengeng," ucapku sambil mengusap punggungnya. Dia mengangkat kepalanya mendongak menatap wajahku."Mbak, aku kangen Ayah dan Ibu," lirih Bimo, wajahnya begitu sayu ku melihat kesedihan yang mendalam di mata indahnya, dia sangat merindukan kedua orangtua yang sangat ia sayangi."Iya, sama, Mbak juga kangen Ayah dan Ibu, tapi kamu jangan sedih dong! Kan ada Mbak disini, yang selalu ada untuk kamu
"Tenang, ada Mbak, tapi kalau kita bicara sama calon istri Om Doni, siapa tau istrinya mau tinggal di sini, tar Mbak yang ngomong dan bujuk dia," ujar ku.Ku melepas pelukan, kedua tangan membingkai wajahnya, ku usap lembut air mata yang membekas di pipi chubby nya dengan ibu jari."Mbak Tia, sayang gak sama aku? Apa Mbak nanti kalau sudah dewasa, terus menikah, Mbak juga mau tinggalin aku,""Gak, Bimo, Mbak gak akan tinggalin kamu sampai kamu dewasa nanti, dan kamu memiliki keluarga sendiri, jikalau suatu saat nanti kamu sudah memiliki pendamping hidup, Mbak baru bisa tenang ninggalin kamu dengan keluarga baru kamu," terang ku panjang lebar."Gak Mbak, aku gak mau punya pendamping hidup,""Loh kok," aku menautkan alis keheranan."Aku mau, Mbak Tia yang menjadi pendamping hidup aku nanti!" ucapan Bimo membuat aku tercengang.Ku menanggapinya dengan senyuman, mungkin dia hanya bergurau, dasar anak kecil, apa yang ada dalam fikirannya, aku ini
Lantunan adzan subuh berkumandang di Masjid yang letaknya tak jauh dari kediaman kami, jaraknya sekitar tiga puluh meter dari rumah ini.Aku mengerjap seraya mengucek mata, ku lirik jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah lims pagi, ku bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh muka lalu mengambil wudhu.Setelah bersuci, ku buka lemari pakaian dan mengambil mukena yang berada di hanger, ku kenakan untuk menutupi seluruh aurat ku.Mukena sutra berwarna putih dengan bordir warna emas di setiap ujungnya, mukena ini peninggalan almarhumah ibu, aku selalu mengenakannya setiap aku menjalankan kewajiban yang lima waktu.Aku menuju kamar Bimo, kamar kami berada di lantai dua letaknya berdampingan, ku buka kamar Adikku yang tak pernah di kunci sehingga aku mudah jika aku masuk ke kamarnya untuk membangunkan dia."Dek," ucapku sambil menekan saklar lampu, seketika ruangan itu menjadi terang.Matanya mengerjap karena silau dari cahaya
Aku banyak belajar tentang segala hal dari dia, yang belum pernah aku mengerti dan tidak aku fahami."Kita mulai! bismillahirrahmanirrahim," ucap Om Doni. Aku pun mengikutinya. "Bimo, kamu membaca Qomat!"Bimo pun mulai membaca Qomat sebelum melaksanakan shalat berjama'ah, Dua raka'at kami sudah menjalankan perintahnya.Selepas melaksanakan kewajiban, Om Doni mengambil Al-Qur'an yang berada di rak, dia memberikannya pada kami satu persatu, dan mengajak kami tadarusan meskipun satu atau dua ayat.Dia selalu berpesan, kami harus sering membaca ayat suci Al-Qur'an, apalagi di malam Jum'at selepas Maghrib, dimana para orangtua kita yang sudah tiada mengharap kiriman do'a dari keturunannya."Bimo, Tia, kalian kan sudah besar, jadi kalian harus bisa jaga diri! Apalagi Om sebentar lagi tidak tinggal di sini," ucap Om Doni."Iya Om, kami ngerti," sahutku sembari mengangguk."Jaga Bimo dengan baik! Om percaya kamu bisa membimbing Adik mu, Bimo, k
Awal pekan adalah awal semangat baru untuk menyambut hari. Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit masih banyak waktu luang, untuk sarapan dan beres-beres, aku selalu bagi tugas sama Om Doni soal pekerja'an di rumah ini, kecuali Bimo anak manja.Ku berdiri di depan cermin, sambil menyisir rambut ku yang panjangnya sebahu, ku sematkan jepitan warna silver berbentuk love, di sisi kiri bagian atas kepala.Aku sudah siap untuk mencari ilmu di SMU Karunia Bakti, ku kenakan baju kebangaga'an ku, seragam putih abu-abu dan sepatu hitam dengan sedikit garis putih menyamping, di setiap sisinya.Lalu kuraih tas selempang berwarna hitam, yang sudah ku siapkan di atas meja belajar, tempat ku membawa semua alat tulis dan perlengkapan sekolah.Ku tatap wajah ini, dengan seksama, aku semakin dewasa, tinggi ku juga sudah bertambah, Mungkin tinggi badanku sekitar 158 cm.Aku baru sadar tak lama lagi usiaku mengin
"Bimo, kamu ini, ngomong apa sih? Om Doni terlalu dewasa buat Mbak, lagian dia juga udah punya calon istri, dia kan Om kita, aneh kamu!""Tapi Mbak, kalau Om Doni belum punya calon gimana, Mbak mau sama dia?"Aku menggaruk tengkuk yang tentunya tak gatal, aku mengalungkan tangan di leher bocah kelas empat SD ini."Bim, kamu tu ya kalau ngomong, fikir dulu dong sedikit! Usia Mbak sekarang tujuh belas tahun, menginjak delapan belas. Sementara Om Doni sudah tiga puluh tahun. Mbak mentargetkan untuk menikah di usia dua lima, kalau ketemu jodohnya," seloroh ku."Jadi kalau sama Om Doni, ya... ketua'an, buat mbak," lanjut ku."Oh, kalau Mbak nanti nikahnya sama aku gimana? Mau gak? Apa ke muda'an aku nya, buat mbak," celetuk Bimo.Aku tertegun jantung ku seakan mencelos sesa'at ingin ku jitak kepala ini bocah, tapi aku ingat dia anak yatim-piatu, kata teman-teman, gak boleh jitak anak seperti Bimo nanti dosa, dan kualat."Mau enggak Mbak, Ka
"Bimo, enak banget kan, nasgornya? seperti buatan mamang nasi goreng profesional, yang setiap malam keliling di depan rumah kita," ujarku namun Bimo diam seribu bahasa tak ada komen dari bibir mungilnya.Om Doni terheran dengan sikap Adikku yang berubah, tak seperti biasanya."Bimo, kamu kok diem aja dari tadi, ada apa Nak?" tanya Om Doni sambil mengusap bahunya."Gak kenapa-kenapa, aku baik-baik aja Om," jawab Bimo datar.Mood anak ini sedang tidak baik, hanya karena aku tadi salah ngomong, niat ku bercanda eh... dia malah marah, dasar bocah gampang tersinggung.Baperan terlalu peka dan sensitif seperti ibu hamil saja, rutuku dalam hati tak berani aku ngomong di hadapannya nanti dia bertambah ngambek.Setelah sarapan selesai kami pun berangkat sekolah dengan di antarkan oleh Om Doni. Gedung tempatku menimba ilmu tak jauh dari sekolahan Bimo hanya terhalang jalan raya.Kami berdua berpamitan pada Om, dan mencium punggung tangannya berg