"Ibu, bangun!" ucapku sambil meletakan kepalanya di pangkuanku. Ku usap wajahnya yang sangat pucat karena kehabisan banyak darah. Ibu menggenggam tanganku dengan erat, ia meringis menahan sakit karena luka di tubuhnya.
"Tia, Ibu minta Ma'af, tidak bisa menjaga kalian lagi! Ibu mohon kamu jaga Bimo, untuk selamanya, ibu percayakan dia sama kamu, jaga dia nak!" ucapnya dengan suara parau dan tercekat.
Aku menggeleng cepat sambil terisak, "Bu... jangan bicara seperti itu! Ibu harus bangkit, aku_aku mau cari bantuan," ucapku di sela isakan tangisku, aku meletakkan kepala ibu di lantai.
Ku lirik Ayah yang juga tergeletak di sebrang tempat tidur dengan tubuh bersimbah darah sama seperti ibu, sebelum aku keluar untuk meminta tolong aku mendekati Ayah.
"Ayah, bangun!" ucapku lirih sambil mengguncangkan tubuhnya, namun tak ada pergerakan sama sekali, tubuh ayah kaku, dengan mulut menganga.
Aku bangkit dan mundur selangkah, detak jantung ku serasa berhenti, dadaku sangat sesak dan sakit, aku balik badan berlari ke arah pintu.
Dengan sedikit kekuatan aku berlari terhuyung keluar rumah, sesampainya di gerbang pagar mataku mengedar ke jalanan depan rumah, untuk mencari seseorang guna di mintai tolong.
"Tolong..! tolong..!" teriakku. Aku berpegangan seraya menyenderkan punggung di pagar besi untuk menopang tubuh ini yang nyaris ambruk tak ada kekuatan lagi.
Tak lama kemudian beberapa orang datang menghampiriku, di antara warga itu ada Pak RT mereka semua menghambur pada ku.
"Tia, ada apa? Malam-malam begini kamu di luar teriak-teriak, Terus kenapa kamu menangis?" tanya nya panik, seraya memegang kedua pundak ku.
"Pak RT," ucap ku sambil menyeka air mata dengan telapak tangan, "Ibu dan Ayah, mereka_" ucapku tertahan bibir ini rasanya berat, lidah pun kelu susah untuk berkata.
"Orang tuamu kenapa?" tanya nya lagi dengan nada panik, para warga pun ikut panik mereka menatapku dengan tatapan penuh tanya.
"Rumah kami di rampok, Ibu dan Ayah jadi korban pembunuhan," terang ku.
Mendengar penuturan ku dada Pak RT naik turun nafasnya terengah, "Bapak-bapak semuanya masuk, ke rumah Pak Budi!" titah Pak RT, para warga pun berbondong-bondong lari menuju ke dalam rumah.
"Ayo kita masuk Tia!" ucap Pak RT menggandeng pundak ku. Aku hanya mengangguk lemah.
Kami semua sudah berada di dalam rumah yang berantakan, "Pak RT, di sini, Pak Budi sepertinya sudah tak bernyawa," teriak Bapak yang mengenakan kaos oblong dan sarung kotak-kotak, Ayah ku terkapar tak bernyawa darah pun segar masih mengalir di dahinya.
"Tolong jangan sentuh apapun, saya akan telpon polisi dan ambulance!" titah Pak RT.
Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu dia menghubungi kepolisian dan ambulance.
"Pak RT," panggil salah satu Bapak-bapak, sambil meraba pergelangan tangan Ibu, mereka semua saling bersitatap.
"Bu Ranty, masih ada denyut nadinya," ucap Bapak berbaju Koko putih dengan bawahan sarung hitam polos, Pak RT langsung menghambur pada ibu.
"Bu Rantynya, angkat ke tempat tidur!" seru Pak RT, satu orang menumpuk bantal untuk menyandarkan punggung Ibu, di angkat lah ibu oleh beberapa orang dengan sangat hati-hati.
Aku duduk di atas tempat tidur sambil memeluk Ibu, ku tatap wajah nya lekat-lekat, air mataku tak terbendung melihat kondisi ibu. Ibu sangat cantik, wajahnya imut seperti Bimo, aku sangat menyayangi dia.
"Tia, Bimo mana?" suara ibu begitu rendah, matanya terpejam, nafasnya pun mulai pelan.
"Ada, di kamarnya Bu," jawabku lirih.
"Tolong, panggil Bimo! Ibu ingin bertemu dengan dia," pintanya seraya meremas tanganku.
Ku mengangkat kepala beralih pandang ke arah Pria berbaju batik celana hitam, dan peci hitam di kepalanya yang menjadi icon setiap pejabat.
"Pak RT, tolong panggil Bimo! Dia ada di kamarnya di lantai dua, dia sedang bersembunyi di bawah kolong tempat tidur," ujarku.
"Iya, saya akan ke atas," jawabnya sambil berlalu dengan langkah cepat menuju dimana Bimo berada.
Tak lama Bimo turun dan masuk ke kamar ibu, dia menyerbu ke arah kami, lalu melompat ke atas tempat tidur memeluk tubuh wanita yang sangat kami cintai, dan kami sayangi.
"Ibu, ibu kenapa?" teriak Bimo histeris. Ibu tersenyum pelan.
"Emh, ibu tidak apa-apa Nak!" lirihnya, seraya menangkup pipi kanan Adikku, ku gigit bibir sambil mengusap pelipis ibu, hati ku pedih dan tak sanggup melihat keadaannya saat ini yang tergolek lemah dan tak berdaya, sekujur tubuhnya berlumuran darah.
"Bu, jangan pergi!" ucap Bimo di sela tangisannya.
Ibu mengusap pipi chubby Bimo dengan ibu jarinya. "Bimo, Ibu sayang sama kamu Nak, kamu harus jadi anak yang baik!" Ibu beralih menatap ku.
"Tia, jaga Bimo, ibu titip dia! Jaga dia dengan baik, sayangi dia untuk selamanya demi Ibu dan Ayah! Ibu sayang sama kalian," tutup Ibu, dia memejamkan matanya perlahan tangannya turun, dan jatuh ke atas kasur.
Pak RT duduk di tepian ranjang, lalu memegang pergelangan tangan Ibu, dan merabanya, wajahnya nampak sedih dia menarik nafas dalam-dalam. Lalu meletakkan kedua tangan ibu di depan dadanya.
"Innalilahi Wainnailaihi Roji'uun," ucap Pak RT, para warga pun ikut berucap serentak.
Mendengar ucapan Pak RT, aku hanya menggeleng seakan tak percaya bahwa ayah dan ibu telah tiada, nyawa Ibu tak tertolong karena timah panas yang menembus dadanya.
"Ayaaah... Ibuuu... jangan tinggalin kami!" jerit ku dengan Bimo.
Langit pun serasa runtuh, bak kiamat menerjang, meluluh lantakkan bumi ini, dadaku kian menyempit rasanya tak ada ruang untuk oksigen masuk ke dalam rongga pernapasan.
Ku raih tubuh mungil Bimo, dan ku dekap ia dengan erat.
"Yang tabah ya Bimo! Mbak ada di sini,"
"Mbak, Ayah dan Ibu kita," ucapnya tertahan dia menangis histeris di pelukanku.
"Bimo, Mbak janji, Mbak akan selalu ada untuk kamu, Mbak gak akan tinggalin kamu dan akan selalu menjagamu, kita jalani hidup ini sama-sama, kamu pasti bisa!" ujar ku seraya mengelus rambut Bimo untuk menenangkannya.
Selang beberapa menit terdengar suara sirine ambulance dan mobil polisi, para pria berseragam dan bersenjata itu langsung masuk ke dalam rumah.
Bapak berseragam itu menggeledah seluruh sudut rumah kami tanpa terlewat untuk melakukan penyidikan, dan mencari barang bukti guna mengungkap apa motif dari perampokan dan pembunuhan pada orang tua kami.
Ayah dan ibu di bawa ke dalam ambulance aku dan Bimo hanya mengiringi kepergiannya dengan tangisan.
*Singkat cerita.Setelah Ayah dan Ibu tiada, yang menjaga kami adalah Om Doni, dia orang tua kedua bagi kami, Om Doni adalah karyawan yang paling di percaya ayah, bisa di katakan dia adalah tangan kiri ayah, dia yang selalu membantu mengurusi bisnis pabrik garment.Dia juga mengatur kebutuhan ekonomi kami, untuk biaya sekolah dan keperluan sehari-hari, bisnis Ayah kini ia yang menjalankan.
Om Doni mengatakan bahwa nanti ketika aku dewasa, dan mengerti dunia bisnis dia akan menyerahkan tanggung jawab kepada aku dan Bimo.
"Tia, Bimo," panggil Om Doni, saat kami makan malam bersama di meja makan tempat kami berkumpul dahulu dengan keluarga sebelum Ayah dan Ibu meninggal.
"Iya, ada apa Om?" jawab kami serentak, sambil menatap wajah Om Doni yang lumayan tampan hidungnya bangir. Bibir sedikit tebal dan alis hitam legam, potongan rambut cepak, tubuhnya tak terlalu tinggi sekitar seratus enam puluh lima centimeter.
"Tia, Bimo, ada yang mau Om katakan,"
"Apa Om," kami menatap wajahnya dengan tatapan penuh tanya.
"Om, bulan depan mau menikah, jadi Om gak bisa menemani kalian lagi di rumah ini," tuturnya dengan wajah yang bisa ku artikan, sepertinya dia berat untuk meninggalkan kami.
"Yah, Om, kok gitu sih, Napa mesti pindah segala sih Om, tinggal aja di sini bareng kami! Istri Om ajak ke sini!" pinta Bimo memelas. Dia meletakkan sendok yang ada di genggamannya.
"Om minta Ma'af ya! bukannya Om gak mau lagi menjaga kalian, tapi calon istri Om mau tinggal di rumah sendiri,"
"Om, kan rumah ini luas," ucapku seraya mencondongkan tubuh ke depan. "Kamarnya juga masih pada kosong, jadi gak ada salahnya ajak istri Om tinggal bersama kami! Om tega," gerutu ku dengan pasang wajah memberengut.
"Tia, bukannya Om tega, tapi Tante Almira gak tinggal di sini, kami kan udah punya rumah sendiri, masa gak di tempati," terangnya memberi pengertian.
"Om nyebelin," umpat Bimo, sambil berlalu meninggalkan kami yang belum selesai makan malam. Om Bimo bergeser duduk di kursi samping aku.
"Tia coba bujuk Bimo ya! Agar dia mengerti, bukannya Om tega, tapi Om bingung harus bagaimana, Tante Almira bersikeras menolak jika dia tinggal di sini, Om harap kamu ngerti, kamu kan udah besar," tutur Om Doni seraya menatap wajah ku penuh harap.
"Iya Om," sahutku malas.
"Tia, kamu sekarang kelas berapa? Umur kamu berapa tahun? Om lupa, kalau gak salah kamu tahun kan, sebentar lagi lulus SMA, jadi Om harap kamu bisa mengerti kamu juga pasti sudah bisa menjaga adikmu!" ujar Om Doni.
"Iya Om."
Aku pun berlalu meninggalkan Om Doni sendirian dan membiarkan dia makan malam tanpa teman.
Aku berdiri di depan kamar Bimo, yang letaknya berdampingan dengan kamar ku."Bimo, kamu lagi ngapain, udah tidur belum?" panggil ku dari depan kamar sambil mengetuk pintu. "Mbak masuk ya! Boleh gak!"Tak ada jawaban, apa anak ini udah tidur baru saja jam setengah sembilan malam, masa dia sudah tidur.Aku memutar kenop pintu lalu membukanya, berderap masuk ke kamar Bimo, dia berada di meja belajar melipat kedua tangannya seraya membenamkan wajahnya di antara lengan.Ku mendekat dan berdiri di sampingnya, "Bimo, kamu kenapa Dek? Kok nangis? Masa jagoan cengeng," ucapku sambil mengusap punggungnya. Dia mengangkat kepalanya mendongak menatap wajahku."Mbak, aku kangen Ayah dan Ibu," lirih Bimo, wajahnya begitu sayu ku melihat kesedihan yang mendalam di mata indahnya, dia sangat merindukan kedua orangtua yang sangat ia sayangi."Iya, sama, Mbak juga kangen Ayah dan Ibu, tapi kamu jangan sedih dong! Kan ada Mbak disini, yang selalu ada untuk kamu
"Tenang, ada Mbak, tapi kalau kita bicara sama calon istri Om Doni, siapa tau istrinya mau tinggal di sini, tar Mbak yang ngomong dan bujuk dia," ujar ku.Ku melepas pelukan, kedua tangan membingkai wajahnya, ku usap lembut air mata yang membekas di pipi chubby nya dengan ibu jari."Mbak Tia, sayang gak sama aku? Apa Mbak nanti kalau sudah dewasa, terus menikah, Mbak juga mau tinggalin aku,""Gak, Bimo, Mbak gak akan tinggalin kamu sampai kamu dewasa nanti, dan kamu memiliki keluarga sendiri, jikalau suatu saat nanti kamu sudah memiliki pendamping hidup, Mbak baru bisa tenang ninggalin kamu dengan keluarga baru kamu," terang ku panjang lebar."Gak Mbak, aku gak mau punya pendamping hidup,""Loh kok," aku menautkan alis keheranan."Aku mau, Mbak Tia yang menjadi pendamping hidup aku nanti!" ucapan Bimo membuat aku tercengang.Ku menanggapinya dengan senyuman, mungkin dia hanya bergurau, dasar anak kecil, apa yang ada dalam fikirannya, aku ini
Lantunan adzan subuh berkumandang di Masjid yang letaknya tak jauh dari kediaman kami, jaraknya sekitar tiga puluh meter dari rumah ini.Aku mengerjap seraya mengucek mata, ku lirik jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah lims pagi, ku bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh muka lalu mengambil wudhu.Setelah bersuci, ku buka lemari pakaian dan mengambil mukena yang berada di hanger, ku kenakan untuk menutupi seluruh aurat ku.Mukena sutra berwarna putih dengan bordir warna emas di setiap ujungnya, mukena ini peninggalan almarhumah ibu, aku selalu mengenakannya setiap aku menjalankan kewajiban yang lima waktu.Aku menuju kamar Bimo, kamar kami berada di lantai dua letaknya berdampingan, ku buka kamar Adikku yang tak pernah di kunci sehingga aku mudah jika aku masuk ke kamarnya untuk membangunkan dia."Dek," ucapku sambil menekan saklar lampu, seketika ruangan itu menjadi terang.Matanya mengerjap karena silau dari cahaya
Aku banyak belajar tentang segala hal dari dia, yang belum pernah aku mengerti dan tidak aku fahami."Kita mulai! bismillahirrahmanirrahim," ucap Om Doni. Aku pun mengikutinya. "Bimo, kamu membaca Qomat!"Bimo pun mulai membaca Qomat sebelum melaksanakan shalat berjama'ah, Dua raka'at kami sudah menjalankan perintahnya.Selepas melaksanakan kewajiban, Om Doni mengambil Al-Qur'an yang berada di rak, dia memberikannya pada kami satu persatu, dan mengajak kami tadarusan meskipun satu atau dua ayat.Dia selalu berpesan, kami harus sering membaca ayat suci Al-Qur'an, apalagi di malam Jum'at selepas Maghrib, dimana para orangtua kita yang sudah tiada mengharap kiriman do'a dari keturunannya."Bimo, Tia, kalian kan sudah besar, jadi kalian harus bisa jaga diri! Apalagi Om sebentar lagi tidak tinggal di sini," ucap Om Doni."Iya Om, kami ngerti," sahutku sembari mengangguk."Jaga Bimo dengan baik! Om percaya kamu bisa membimbing Adik mu, Bimo, k
Awal pekan adalah awal semangat baru untuk menyambut hari. Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit masih banyak waktu luang, untuk sarapan dan beres-beres, aku selalu bagi tugas sama Om Doni soal pekerja'an di rumah ini, kecuali Bimo anak manja.Ku berdiri di depan cermin, sambil menyisir rambut ku yang panjangnya sebahu, ku sematkan jepitan warna silver berbentuk love, di sisi kiri bagian atas kepala.Aku sudah siap untuk mencari ilmu di SMU Karunia Bakti, ku kenakan baju kebangaga'an ku, seragam putih abu-abu dan sepatu hitam dengan sedikit garis putih menyamping, di setiap sisinya.Lalu kuraih tas selempang berwarna hitam, yang sudah ku siapkan di atas meja belajar, tempat ku membawa semua alat tulis dan perlengkapan sekolah.Ku tatap wajah ini, dengan seksama, aku semakin dewasa, tinggi ku juga sudah bertambah, Mungkin tinggi badanku sekitar 158 cm.Aku baru sadar tak lama lagi usiaku mengin
"Bimo, kamu ini, ngomong apa sih? Om Doni terlalu dewasa buat Mbak, lagian dia juga udah punya calon istri, dia kan Om kita, aneh kamu!""Tapi Mbak, kalau Om Doni belum punya calon gimana, Mbak mau sama dia?"Aku menggaruk tengkuk yang tentunya tak gatal, aku mengalungkan tangan di leher bocah kelas empat SD ini."Bim, kamu tu ya kalau ngomong, fikir dulu dong sedikit! Usia Mbak sekarang tujuh belas tahun, menginjak delapan belas. Sementara Om Doni sudah tiga puluh tahun. Mbak mentargetkan untuk menikah di usia dua lima, kalau ketemu jodohnya," seloroh ku."Jadi kalau sama Om Doni, ya... ketua'an, buat mbak," lanjut ku."Oh, kalau Mbak nanti nikahnya sama aku gimana? Mau gak? Apa ke muda'an aku nya, buat mbak," celetuk Bimo.Aku tertegun jantung ku seakan mencelos sesa'at ingin ku jitak kepala ini bocah, tapi aku ingat dia anak yatim-piatu, kata teman-teman, gak boleh jitak anak seperti Bimo nanti dosa, dan kualat."Mau enggak Mbak, Ka
"Bimo, enak banget kan, nasgornya? seperti buatan mamang nasi goreng profesional, yang setiap malam keliling di depan rumah kita," ujarku namun Bimo diam seribu bahasa tak ada komen dari bibir mungilnya.Om Doni terheran dengan sikap Adikku yang berubah, tak seperti biasanya."Bimo, kamu kok diem aja dari tadi, ada apa Nak?" tanya Om Doni sambil mengusap bahunya."Gak kenapa-kenapa, aku baik-baik aja Om," jawab Bimo datar.Mood anak ini sedang tidak baik, hanya karena aku tadi salah ngomong, niat ku bercanda eh... dia malah marah, dasar bocah gampang tersinggung.Baperan terlalu peka dan sensitif seperti ibu hamil saja, rutuku dalam hati tak berani aku ngomong di hadapannya nanti dia bertambah ngambek.Setelah sarapan selesai kami pun berangkat sekolah dengan di antarkan oleh Om Doni. Gedung tempatku menimba ilmu tak jauh dari sekolahan Bimo hanya terhalang jalan raya.Kami berdua berpamitan pada Om, dan mencium punggung tangannya berg
"Tia, itu adik mu kan?" tanya Mas Rio menoleh pada Bimo yang duduk menekuk lutut di bawah tiang listrik."He'em," jawab ku setelah turun dari sepeda motor Mas Rio."Dia lagi ngapain, di situ?" tanyanya lagi setengah berbisik, seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku."Gak tau, mungkin dia lagi nunggu tukang Bakso!" jawabku sekenanya, lalu merapikan rambut ku yang acak-acakan karena terkena angin saat di perjalanan pulang."Ouwh," balas Mas Rio turun dari sepeda motornya, sembari melepas jaket jeans dan menyampirkan di lengan kirinya.Aku menoleh pada Bimo yang acuh tak acuh dengan kedatangan ku, tumben dia cuek melihat aku pulang bareng Mas Rio tak seperti biasanya.Dia gak ngeliat aku, apa pura-pura gak lihat, tapi, ah masa segede gini gak kelihatan, tatapannya mengedar ke kanan dan kiri, sambil manggut-manggut, entah apa yang dia lihat, gayanya sok cool lagi, membuat aku geleng-geleng."Bimo," panggilku sambil mendekat ke arahnya. Dia