"Tenang, ada Mbak, tapi kalau kita bicara sama calon istri Om Doni, siapa tau istrinya mau tinggal di sini, tar Mbak yang ngomong dan bujuk dia," ujar ku.
Ku melepas pelukan, kedua tangan membingkai wajahnya, ku usap lembut air mata yang membekas di pipi chubby nya dengan ibu jari.
"Mbak Tia, sayang gak sama aku? Apa Mbak nanti kalau sudah dewasa, terus menikah, Mbak juga mau tinggalin aku,"
"Gak, Bimo, Mbak gak akan tinggalin kamu sampai kamu dewasa nanti, dan kamu memiliki keluarga sendiri, jikalau suatu saat nanti kamu sudah memiliki pendamping hidup, Mbak baru bisa tenang ninggalin kamu dengan keluarga baru kamu," terang ku panjang lebar.
"Gak Mbak, aku gak mau punya pendamping hidup,"
"Loh kok," aku menautkan alis keheranan.
"Aku mau, Mbak Tia yang menjadi pendamping hidup aku nanti!" ucapan Bimo membuat aku tercengang.
Ku menanggapinya dengan senyuman, mungkin dia hanya bergurau, dasar anak kecil, apa yang ada dalam fikirannya, aku ini kakaknya kenapa dia bicara seperti itu.
"Bimo, kamu ngomong apa sih Dek?"
"Aku mau, Mbak jadi pendamping hidup aku! jikalau aku sudah dewasa nanti." Dia mengulangi ucapannya lagi, hadeeh... aku mendadak atsma mendengarnya.
"Kan Mbak ini kakak mu, mana boleh kakak beradik menjadi pasangan hidup!"
"Aku tau, Mbak itu bukan kakak kandungku, jadi kita gak di haramkan untuk menikah, di masa depan nanti,"
What? Aku tepok jidat mendengar kata yang keluar dari bibir mungilnya. Dari mana dia tau aku ini bukan kakak kandungnya, ucapnya membuat aku bergeming sesaat.
Anak ini benar-benar polos, siapa sih, orang yang telah memberi tau dia tentang status aku di dalam keluarganya, kalau aku tau, akan ku damprat dia habis-habisan.
"Kamu jangan ngarang Bimo! Mbak ini kakak kamu, Awas ya akan ku cabik-cabik orang itu, sudah membocorkan rahasia keluarga!" umpat ku, sambil meremat kertas yang aku ambil dari meja belajar Bimo.
"Bimo, emang siapa yang mengatakan, bahwa Mbak ini bukan kakak kandung mu?" desak ku, dengan tangan mengepal.
"Pak ustadz," ucap Bimo sambil mendongak, "Emang Mbak berani,cabik-cabik Pak ustadz?" tanyanya polos.
"Hak." Aku termangu kenapa pak ustadz mengatakan itu, mana berani aku mendamprat guru ngaji ku, bisa-bisa aku di kutuk karena menjadi murid durhaka, aku menggeleng pelan sambil tersenyum kaku.
"Bimo, apa yang sudah pak ustadz katakan sama kamu?" Aku mengguncang pundaknya.
"Kata pak ustadz, kalau kita berangkat ngaji, kan kita selalu berpegangan tangan, sambil memeluk Al-Qur'an, Mbak kan sudah baligh, nah kalau nanti, jika aku sudah akhil baligh, kita kalau bersentuhan batal wudhu nya, karena bukan sodara kandung, jadi kalau kita batal wudhu nya haram memegang Al-Qur'an!" terangnya begitu enteng.
"Oh, gitu ya, kapan pak ustadz ngomong seperti itu?" Aku manggut-manggut.
"Kemaren malam, pas Mbak di luar majelis, lagi nungguin aku baca hafalan, Pak ustadz bilang sama aku, kalau kita ini saudara angkat," terang Bimo.
"Bimo, tapi Mbak gak menganggap kamu seperti Adik angkat, Mbak menganggap kamu, sebagai Adik kandung Mbak sendiri,"
"Tapi, aku cinta sama Mbak."
Hidih... Ya Tuhan bocah ini, apa yang ada di dalam isi kepalanya, kenapa dia mengatakan cinta, dari mana anak kecil seperti dia tau soal begitu?
Apa mungkin pengaruh dari teman-teman sepermainannya. Atau karena dia kebanyakan nonton FTV di saluran satu untuk semua.
"Ah Bimo, jangan ngawur kamu!" sergahku. "Kamu ini baru kelas empat SD, tau dari mana kamu tentang cinta?" lanjut ku, seraya mengacak rambutnya yang agak gondrong.
Anak ini memang susah sekali jika aku menyuruhnya memangkas rambut, harus di bujuk dulu kadang dari pagi sampai sore.
Itu juga kalau berhasil, kalau tidak ya sudah, nunggu ketua kelasnya yang memotong rambut Bimo.
"Ya aku tau lah Mbak, arti cinta itu apa, tayangan di TV juga banyak, bahkan anak-anak sekolah banyak yang pacaran."
Wardaw ampun deh ah... Rasanya aku pengen ngunyah sirih terus ku semburkan sama Bimo biar dia sadar dari gurauannya.
"Astaghfirullaah, Bimo." Aku mengelus dada. "Ini udah malam, tidur sana! Besok bangun pagi, jangan lupa solat subuh, kamu udah gede, sudah wajib belajar solat!" sanggah ku, di tutup dengan cubitan di pipinya.
"Sakit!" Bimo mengelus bekas cubitan ku.
"Lagian," pungkas ku.
Lebih baik aku segera pergi, menghindari perkataan dia yang belum pantas ia ucapkan.
Cinta dia bilang, aku aja belum tau itu cinta seperti apa, manis atau pahit, ataukah rasanya nano-nano, aku tak tau, karena aku masih jomblo, Bimo yang selalu melarang aku punya pacar.
"Mbak gak konsisten, tadi bilangnya aku masih kecil pas ngomong cinta, kenapa sekarang bilangnya aku udah gede ketika nyuruh aku sholat?"
"Kalau untuk cinta-cintaan, kamu memang masih kecil, belum umur, tapi kalau untuk belajar melaksanakan kewajiban, kamu sudah harus karena sudah mulai gede, belajar itu harus sedini mungkin, biar nanti ketika sudah dewasa jadi terbiasa, gak usah di suruh-suruh lagi untuk beribadah," ujar ku panjang kali lebar kaya danau Toba.
"Oh, kan aku juga rajin, ibadahnya Mbak,"
"Solat subuh, kamu jarang, apalagi hari Minggu, bablas tidur sampe jam sepuluh, udah tidur sana! Takut kesiangan!"
Aku mengangkat kedua bahunya ke atas dan menggandengnya ke tempat tidur. Lalu aku menekan pundak Bimo agar dia merebah.
"Mbak, aku belum ngantuk!" sergahnya.
"Jangan banyak protes! Tuh liat jam berapa?" ucapku mendongak seraya menunjuk ke arah jam dinding.
"Jam, setengah sepuluh Mbak,"
"Udah gak usah bantah!" Aku menyelimuti tubuhnya, lalu mencium keningnya sebagai rasa sayang kakak kepada adiknya.
"Ih, Mbak, galak!" protes Bimo, sembari mengerucutkan bibirnya.
"Tidur ya Dek, besok pukul setengah lima pagi, Mbak bangunin untuk solat bareng, sekarang Mbak juga mau tidur, udah ngantuk."
Lantunan adzan subuh berkumandang di Masjid yang letaknya tak jauh dari kediaman kami, jaraknya sekitar tiga puluh meter dari rumah ini.Aku mengerjap seraya mengucek mata, ku lirik jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah lims pagi, ku bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh muka lalu mengambil wudhu.Setelah bersuci, ku buka lemari pakaian dan mengambil mukena yang berada di hanger, ku kenakan untuk menutupi seluruh aurat ku.Mukena sutra berwarna putih dengan bordir warna emas di setiap ujungnya, mukena ini peninggalan almarhumah ibu, aku selalu mengenakannya setiap aku menjalankan kewajiban yang lima waktu.Aku menuju kamar Bimo, kamar kami berada di lantai dua letaknya berdampingan, ku buka kamar Adikku yang tak pernah di kunci sehingga aku mudah jika aku masuk ke kamarnya untuk membangunkan dia."Dek," ucapku sambil menekan saklar lampu, seketika ruangan itu menjadi terang.Matanya mengerjap karena silau dari cahaya
Aku banyak belajar tentang segala hal dari dia, yang belum pernah aku mengerti dan tidak aku fahami."Kita mulai! bismillahirrahmanirrahim," ucap Om Doni. Aku pun mengikutinya. "Bimo, kamu membaca Qomat!"Bimo pun mulai membaca Qomat sebelum melaksanakan shalat berjama'ah, Dua raka'at kami sudah menjalankan perintahnya.Selepas melaksanakan kewajiban, Om Doni mengambil Al-Qur'an yang berada di rak, dia memberikannya pada kami satu persatu, dan mengajak kami tadarusan meskipun satu atau dua ayat.Dia selalu berpesan, kami harus sering membaca ayat suci Al-Qur'an, apalagi di malam Jum'at selepas Maghrib, dimana para orangtua kita yang sudah tiada mengharap kiriman do'a dari keturunannya."Bimo, Tia, kalian kan sudah besar, jadi kalian harus bisa jaga diri! Apalagi Om sebentar lagi tidak tinggal di sini," ucap Om Doni."Iya Om, kami ngerti," sahutku sembari mengangguk."Jaga Bimo dengan baik! Om percaya kamu bisa membimbing Adik mu, Bimo, k
Awal pekan adalah awal semangat baru untuk menyambut hari. Ku lirik jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit masih banyak waktu luang, untuk sarapan dan beres-beres, aku selalu bagi tugas sama Om Doni soal pekerja'an di rumah ini, kecuali Bimo anak manja.Ku berdiri di depan cermin, sambil menyisir rambut ku yang panjangnya sebahu, ku sematkan jepitan warna silver berbentuk love, di sisi kiri bagian atas kepala.Aku sudah siap untuk mencari ilmu di SMU Karunia Bakti, ku kenakan baju kebangaga'an ku, seragam putih abu-abu dan sepatu hitam dengan sedikit garis putih menyamping, di setiap sisinya.Lalu kuraih tas selempang berwarna hitam, yang sudah ku siapkan di atas meja belajar, tempat ku membawa semua alat tulis dan perlengkapan sekolah.Ku tatap wajah ini, dengan seksama, aku semakin dewasa, tinggi ku juga sudah bertambah, Mungkin tinggi badanku sekitar 158 cm.Aku baru sadar tak lama lagi usiaku mengin
"Bimo, kamu ini, ngomong apa sih? Om Doni terlalu dewasa buat Mbak, lagian dia juga udah punya calon istri, dia kan Om kita, aneh kamu!""Tapi Mbak, kalau Om Doni belum punya calon gimana, Mbak mau sama dia?"Aku menggaruk tengkuk yang tentunya tak gatal, aku mengalungkan tangan di leher bocah kelas empat SD ini."Bim, kamu tu ya kalau ngomong, fikir dulu dong sedikit! Usia Mbak sekarang tujuh belas tahun, menginjak delapan belas. Sementara Om Doni sudah tiga puluh tahun. Mbak mentargetkan untuk menikah di usia dua lima, kalau ketemu jodohnya," seloroh ku."Jadi kalau sama Om Doni, ya... ketua'an, buat mbak," lanjut ku."Oh, kalau Mbak nanti nikahnya sama aku gimana? Mau gak? Apa ke muda'an aku nya, buat mbak," celetuk Bimo.Aku tertegun jantung ku seakan mencelos sesa'at ingin ku jitak kepala ini bocah, tapi aku ingat dia anak yatim-piatu, kata teman-teman, gak boleh jitak anak seperti Bimo nanti dosa, dan kualat."Mau enggak Mbak, Ka
"Bimo, enak banget kan, nasgornya? seperti buatan mamang nasi goreng profesional, yang setiap malam keliling di depan rumah kita," ujarku namun Bimo diam seribu bahasa tak ada komen dari bibir mungilnya.Om Doni terheran dengan sikap Adikku yang berubah, tak seperti biasanya."Bimo, kamu kok diem aja dari tadi, ada apa Nak?" tanya Om Doni sambil mengusap bahunya."Gak kenapa-kenapa, aku baik-baik aja Om," jawab Bimo datar.Mood anak ini sedang tidak baik, hanya karena aku tadi salah ngomong, niat ku bercanda eh... dia malah marah, dasar bocah gampang tersinggung.Baperan terlalu peka dan sensitif seperti ibu hamil saja, rutuku dalam hati tak berani aku ngomong di hadapannya nanti dia bertambah ngambek.Setelah sarapan selesai kami pun berangkat sekolah dengan di antarkan oleh Om Doni. Gedung tempatku menimba ilmu tak jauh dari sekolahan Bimo hanya terhalang jalan raya.Kami berdua berpamitan pada Om, dan mencium punggung tangannya berg
"Tia, itu adik mu kan?" tanya Mas Rio menoleh pada Bimo yang duduk menekuk lutut di bawah tiang listrik."He'em," jawab ku setelah turun dari sepeda motor Mas Rio."Dia lagi ngapain, di situ?" tanyanya lagi setengah berbisik, seraya mencondongkan tubuhnya ke arahku."Gak tau, mungkin dia lagi nunggu tukang Bakso!" jawabku sekenanya, lalu merapikan rambut ku yang acak-acakan karena terkena angin saat di perjalanan pulang."Ouwh," balas Mas Rio turun dari sepeda motornya, sembari melepas jaket jeans dan menyampirkan di lengan kirinya.Aku menoleh pada Bimo yang acuh tak acuh dengan kedatangan ku, tumben dia cuek melihat aku pulang bareng Mas Rio tak seperti biasanya.Dia gak ngeliat aku, apa pura-pura gak lihat, tapi, ah masa segede gini gak kelihatan, tatapannya mengedar ke kanan dan kiri, sambil manggut-manggut, entah apa yang dia lihat, gayanya sok cool lagi, membuat aku geleng-geleng."Bimo," panggilku sambil mendekat ke arahnya. Dia
"Tia," ucap Mas Rio pelan, aku mengangkat wajah dan menatapnya."Iya Mas, ada apa?" tanya ku."Eum, ada yang ingin Mas katakan!" ucap Pria berkaos putih dan celana jeans, dia menggosok telapak tangannya, sambil menarik napas panjang, sepertinya dia gugup, apa yang mau dia katakan sehingga membuatnya begitu terlihat canggung."Ya, ngomong aja!" ujarku mengangkat kedua bahu."Tia, mungkin ini saatnya, setelah beberapa waktu menunggu, Mas ingin_" Mas Rio mengatup bibirnya seraya mendongak menatap ke arah pintu dapur."Apa?" tanyaku ingin tau. Mas Rio diam lalu menunduk."Ah, mungkin lain kali," ucap Mas Rio pelan, lalu menggigit bibirnya, aku pun menoleh ke arah tatapan Mas Rio tadi."Bimo," gumam ku pantesan, mas Rio mengatup kembali bibirnya."Kopinya sudah jadi." Bimo berjalan ke arah kami sambil membawa nampan."Sini Bim!" ajak Mas Rio melambai kecil."Iya, siap Mas," balas Bimo, dia meletakan nampan di atas meja
Si Bimo bener-bener bikin aku naek darah, apa... coba maksudnya, pake ngerjain Mas Rio segala. Gak manusiawi banget, aku kan jadi merasa sangat bersalah, sama dia.Ku ambil gelas yang ada di hadapanku, isinya masih utuh belum sama sekali aku sentuh."Mas, ini minum coklat ku! Biar mulut mu gak keasinan!" ucap ku seraya menyodorkan gelas berisi coklat dingin, semoga saja rasanya manis gak di kasih garam oleh Bimo, gak mungkin juga sih, masa dia mau mengerjai kakaknya."Gak usah Tia! Mas gak apa-apa," sergahnya. Aku kasihan melihat Mas Rio, yang meringis karena minum kopi campur garam, dasar bocah kurang kecut.Ku letakan kembali gelas berisi coklat tersebut di meja, karena Mas Rio menolaknya, mungkin dia trauma dengan kejadian tadi.'Awas saja nanti, akan ku balas dia dengan cara halus' batinku menggerutu."Sorry banget ya Mas! kamu udah di jahilin Adikku." Ku menangkupkan kedua telapak tangan, sembari menunduk penuh sesal."Hm, gak usa