Share

Bab 0.7

Aku banyak belajar tentang segala hal dari dia, yang belum pernah aku mengerti dan tidak aku fahami.

"Kita mulai! bismillahirrahmanirrahim," ucap Om Doni. Aku pun mengikutinya. "Bimo, kamu membaca Qomat!"

Bimo pun mulai membaca Qomat sebelum melaksanakan shalat berjama'ah, Dua raka'at kami sudah menjalankan perintahnya.

Selepas melaksanakan kewajiban, Om Doni mengambil Al-Qur'an yang berada di rak, dia memberikannya pada kami satu persatu, dan mengajak kami tadarusan meskipun satu atau dua ayat.

Dia selalu berpesan, kami harus sering membaca ayat suci Al-Qur'an, apalagi di malam Jum'at selepas Maghrib, dimana para orangtua kita yang sudah tiada mengharap kiriman do'a dari keturunannya.

"Bimo, Tia, kalian kan sudah besar, jadi kalian harus bisa jaga diri! Apalagi Om sebentar lagi tidak tinggal di sini," ucap Om Doni.

"Iya Om, kami ngerti," sahutku sembari mengangguk.

"Jaga Bimo dengan baik! Om percaya kamu bisa membimbing Adik mu, Bimo, kamu juga jangan nakal! Jangan membantah jika kakak mu menyuruh kamu untuk sekolah, atau merintah kamu untuk menjalankan kewajiban kamu!"

"Ah, Om bawel," ketus Bimo.

Dia berdiri dan meletakkan Al-Qur'an di tempatnya yang tadi. Om Doni hanya tersenyum dengan sikap Bimo di barengi menggeleng pelan, Om Doni tak pernah bosan untuk menasehati dia, meskipun sering di balas umpatan.

"Tia, ini udah pagi, kamu bantu Om bikin sarapan! Sekalian kamu belajar masak!" ucap Om Doni, pandangannya beralih ke arah adik kecilku. "Bimo, kamu mandi sana! bersiap untuk sekolah, Karena kamu paling lama beresnya, kalau mau berangkat kemana-mana juga, kaya ibu-ibu mau pergi kondangan,"

"Iya," jawabnya singkat. Kami pun berlalu meninggalkan tempat itu, dan kembali ke kamar masing-masing untuk mengganti pakaian.

Ku kenakan baju rumahan daster lengan pendek bawah SE dengkul, warna merah muda, motif hello Kitty. 

Aku keluar kamar menuju dapur, menghampiri Om Doni yang berdiri di meja kabinet dapur, kedua tangannya menumpu di atas meja.

"Hai Om?" Aku menepuk bahunya.

"Hm." Dia menoleh seketika.

"Om, mau masak apa kita?" tanya ku, aku mengambil pisau untuk mengupas bawang merah, untuk membuat sarapan pagi yang spesial, meskipun belum tau menu apa yang akan di masak hari ini oleh Om Doni.

"Eum, kamu maunya apa?" Om Doni balik tanya sembari menaikan alisnya kilas. Aku baru ingat, kalau semalam sudah berjanji membuatkan nasi goreng untuk Bimo.

"Bikin nasi goreng aja yuk! Yang enak, aku yang motongin sayur nya, Om yang ulek bumbunya! Biar cepet beres, kasian Bimo takutnya dia kelaparan, kan semalam makannya sedikit," ujarku. Sambil mengulas senyuman.

"Oke, cantik," puji Om Doni. Wajah ku mendadak merah, mendengar pujian dari mulutnya. 

Aku jadi malu di bilang cantik, ku angkat pisau dan menatap pantulan wajahku di benda tajam terbuat dari stainless steel yang mengkilap itu.

'Eh, iya aku baru sadar, ternyata aku cantik' batinku, aish aku jadi baper cuma di bilangin begitu juga, oleh cowok ganteng, meskipun itu cowoknya mendekati usia Bapak-bapak.

Ku usap hidung ku yang bangir, bibirku merona meski tak pernah pakai lipstik, rambutku sebahu, karena aku tak suka rambut panjang, ribet rasanya.

"Tia, kok kamu melamun?" tanya Om Doni, menyentak pundak ku. Aku terlonjak kaget sehingga pisau di tanganku terpental, karena merasa kikuk, gegas aku berjongkok dan mengambil benda tajam itu.

"Aw," ringis ku, mata pisau yang tajam mengenai jari telunjuk ku.

 Om Doni dengan sigap meraih tanganku, dia mengambil tissue yang ada di atas meja, untuk mengelap darah segar yang keluar dari lukaku.

 Dia mengambil kotak obat dari dalam lemari kabinet, lalu mengoleskan obat merah dan membalutnya dengan plester.

Aku jadi gemetaran saat Om Doni membersihkan luka ku, dan mengobatinya.

"Kamu hati-hati dong Tia! Kamu lagi mikirin apa sih? Mikirin pacar ya?" godanya, seraya menaik turunkan alisnya. Aku menggeleng cepat, merasa begitu canggung di buatnya.

"Gak Om, aku gak mikirin apa-apa." lirih ku, perih rasanya, meski luka itu cuma sedikit di jari ini.

 Kenapa aku jadi ge'er di bilang cantik doang oleh Om ganteng ini, sampai-sampai aku bengong, dan grogi. 

Aku masih kecil jangan baperan, masa di bilang cantik aja udah melambung tinggi. Om Doni dia cuma bercanda. Aku mencoba menetralkan kegugupan ku ini.

"Tia, kamu duduk aja! Biar Om yang masak, jangan pegang pisau lagi, nanti jari kamu teriris lagi," tegasnya.

Om Doni menggeser kursi untuk ku duduk, dengan cekatan dia memasak nasi goreng untuk kami bertiga sarapan, tak membutuhkan waktu lama nasi goreng pun sudah siap.

Om Doni menata piring dan menaruh nasi di piring-piring tersebut, tak ketinggalan telur ceplok dan mentimun sebagai pelengkap.

"Taraa... Sudah siap!" ucap Om Doni dengan senyumnya yang lebar. Aku mendongak sambil balas tersenyum.

"Makasih Om, kamu emang pria idaman." Aku memujinya dengan mengacungkan dua jempol ku.

"Ah, biasa aja," jawabnya. "Kan Om sebentar lagi menikah, jadi Om harus terbiasa memasak, jika suatu sa'at istri Om hamil terus melahirkan, dia kan gak bisa nyiapin makanan, jadi Om harus belajar dari sekarang!" ujar Om Doni.

"Aku juga mau jadi istri Om."  Aku keceplosan, gegas aku menutup mulut ini dengan kedua telapak tangan, mataku menyipit, rasanya malu setengah mati, kenapa mulut ini gak ada remnya, bikin malu pemiliknya saja.

Kenapa lidah ku terpeleset, niatku bukan bicara seperti itu, cuma mau muji, malah tak sengaja ucapan itu keluar begitu saja dari bibir ini, perkataan ku membuat Om Doni menatapku dengan mata membulat dan alisnya bertaut.

"Apa? Kamu ngomong apa Tia?"

"Gak, itu, aku mau punya suami, lelaki seperti Om, yang pintar dalam segala hal," ralatku tergagap, sembari menggaruk mencari yang gatal tapi badanku gak ada yang gatal.

 Aku sangat malu, rasanya aku ingin berlari sejauh mungkin, menghilangkan rasa malu ini, gegara bibirku yang tak beradab.

Lalu aku beralih menatap ke arah pintu ada Bimo di sana sedang berdiri mematung, dengan wajah memberengut.

"Bimo, sini!" panggil ku melambai kecil, untuk menghilangkan kegugupan ku, perkata'an ku yang tadi membuat diri ini jengah. "Dek, kita sarapan dulu, ada nasi goreng enak banget loh, buatan Om Doni," lanjut ku. 

Bimo masih berdiri tak menggubris ucapan ku, dia membuang muka lalu membalikkan badannya dan berlalu pergi.

"Tia, Bimo kenapa dia? Kok tiba-tiba ngambek," tanya pria berkaos oblong dan celana jeans se-dengkul sambil memegang sandaran kursi.

"Gak tau Om," jawabku menggeleng kecil.

"Susul dia! Ajak sarapan bareng, Sekalian kamu ganti baju siap-siap berangkat sekolah! Om juga mau mandi dulu, tar kalau udah beres kita kumpul, sarapan pagi!" titahnya.

"Iya Om." Aku bangkit dan berlalu dari ruang makan menuju kamar. 

Aku berhenti di pintu kamar Bimo yang tak jauh dari tangga, aku putar kenop pintu, beruntung tak di kunci, biasanya ketika dia marah suka mengurung diri dalam kamar.

"Dek," ucapku mendekati anak berseragam SD ini. Dia membenam kan wajahnya di atas bantal.

"Apa?" ketusnya. Aku duduk di ranjang meraih tangannya yang berisi, badannya agak sedikit gemuk, ku genggam jemarinya erat.

"Kamu kenapa lagi? Kok ngambek, Mbak salah apa?" tanya ku hati-hati.

"Gak, aku kesel sama Mbak,"

"Kesel kenapa? Mbak gak punya dosa sama kamu, kok tiba-tiba marah, gak ada angin, gak ada hujan juga gak ada badai,"

"Mbak suka ya sama Om Doni? Tadi aku lihat tangan Mbak, di pegang-pegang sama dia, terus Mbak bilang mau jadi istrinya dia," tukas Bimo.

Aku menghela nafas, "Hm, kamu cemburu ya? Dasar bocah," cetus ku. Ku raih pundaknya dan membalikkan badannya menghadap padaku.

"Bimo, tangan Mbak kena pisau, tadi Om Doni cuma membatu mengobati luka Mbak,"

"Mbak, modus," tukas Bimo. Aku menangkup pipi chubby anak berhidung bangir dan berbibir mungil. 

"Dek, kamu jangan salah sangka dulu! Mbak sayang sama kamu, Mbak gak mau nyakitin hati kamu." Ku mencoba menenangkan anak ini.

Ya Tuhan kenapa Bimo semakin hari kok semakin posesif gini. Aku tak mengerti mungkin saja dia mengalami pubertas dini ku rasa hal yang wajar, lambat laun juga akan hilang sendiri, hal yang biasa di alami anak yang beranjak remaja.

"Ya udah, Mbak tinggal dulu ya! Mau ganti baju," ucapku seraya mencubit pipi chubby Bimo, aku pun berlalu dari kamarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status