"Iya Mas, ada apa?" tanya ku.
"Eum, ada yang ingin Mas katakan!" ucap Pria berkaos putih dan celana jeans, dia menggosok telapak tangannya, sambil menarik napas panjang, sepertinya dia gugup, apa yang mau dia katakan sehingga membuatnya begitu terlihat canggung.
"Ya, ngomong aja!" ujarku mengangkat kedua bahu.
"Tia, mungkin ini saatnya, setelah beberapa waktu menunggu, Mas ingin_" Mas Rio mengatup bibirnya seraya mendongak menatap ke arah pintu dapur.
"Apa?" tanyaku ingin tau. Mas Rio diam lalu menunduk.
"Ah, mungkin lain kali," ucap Mas Rio pelan, lalu menggigit bibirnya, aku pun menoleh ke arah tatapan Mas Rio tadi.
"Bimo," gumam ku pantesan, mas Rio mengatup kembali bibirnya.
"Kopinya sudah jadi." Bimo berjalan ke arah kami sambil membawa nampan.
"Sini Bim!" ajak Mas Rio melambai kecil.
"Iya, siap Mas," balas Bimo, dia meletakan nampan di atas meja, lalu menyodorkan secangkir kopi cappuccino yang masih mengepul ke hadapan Mas Rio, satu cangkir ia letakkan di hadapannya, juga gelas berisi coklat dingin untuk ku, karena aku tak suka kopi.
"Di minum Mas, kopinya! Gak usah malu-malu!" ujarnya begitu ramah tamah seperti resepsionis Bank, bocah berbadan agak gemuk dengan kaos hitam dan celana Jogger itu duduk di samping Mas Rio.
"Makasih, adik ipar yang baik hati," jawab Mas Rio.
"Silahkan di nikmati!" balas Bimo mendayu, dengan senyumnya yang merekah, "Kita ngopi bareng Mas, biar lebih akrab!" ujarnya menaikan alis.
"Ternyata, calon adik ipar ku ini pengertian," gurau Mas Rio sembari menepuk paha Bimo, aku tersenyum melihat keakraban mereka berdua.
Mas Rio meraih dan mengangkat cangkir lalu menempelkan ke bibir tipisnya, dia menyesap cairan itu dengan penuh kenikmatan.
"Gimana Mas kopinya? Enak kan?" tanya Bimo antusias.
"Enak banget," jawab Mas Rio, namun ekspresi wajahnya tidak sama sekali menampakkan bahwa dia sedang menikmati kopi yang enak, di meringis seperti menahan ingin membuang sesuatu, apa dia mules, fikirku.
"Kenapa Mas?" tanya ku, mengeryit Mas Rio mengusap tengkuknya.
"Eum, kopinya asin banget," gumamnya, mencondongkan tubuh kedepan, sembari memincingkan mata. Ia ambil tissue dari meja lalu mengusap bibirnya dari sisa kopi.
Aku menoleh ke arah Bimo dengan tatapan setajam mungkin.
"Bimo, hm." Aku menggertakkan gigi, ternyata ini di balik ajakannya yang begitu ramah, ternyata ada garam di dalam kopi.
"Hehe." Bimo hanya nyengir sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Awas, kamu Bimo!" ancam ku bangkit mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi siap-siap untuk mencengkramnya.
"Apa?" jawabnya polos tanpa dosa.
"Bimo... kenapa kopi Mas Rio di kasih garam?" Aku menyerbu dia. Gegas Bimo bangkit bersiap untuk lari.
"Biar, kapok Luh!" Bimo mencebik bibirnya pada Mas Rio, secepat kilat dia berlari menuju tangga meninggalkan kami, aku sangat malu dengan kelakuan adik kecilku.
"Maaf ya Mas!" sesal ku.
"Gak apa-apa! Harap di maklum!"
Mas Rio memang sudah tau sikap Bimo yang tak pernah rela kalau aku deket sama lelaki sebayaku, aku pernah menceritakan kepada dia, agar dia bisa memaklumi di saat yang tak terduga seperti ini.
Aku hanya bisa mengurut dada dengan kejadian ini, malu rasanya pada Mas Rio, moga saja dia masih mau menjadi temanku.
Si Bimo bener-bener bikin aku naek darah, apa... coba maksudnya, pake ngerjain Mas Rio segala. Gak manusiawi banget, aku kan jadi merasa sangat bersalah, sama dia.Ku ambil gelas yang ada di hadapanku, isinya masih utuh belum sama sekali aku sentuh."Mas, ini minum coklat ku! Biar mulut mu gak keasinan!" ucap ku seraya menyodorkan gelas berisi coklat dingin, semoga saja rasanya manis gak di kasih garam oleh Bimo, gak mungkin juga sih, masa dia mau mengerjai kakaknya."Gak usah Tia! Mas gak apa-apa," sergahnya. Aku kasihan melihat Mas Rio, yang meringis karena minum kopi campur garam, dasar bocah kurang kecut.Ku letakan kembali gelas berisi coklat tersebut di meja, karena Mas Rio menolaknya, mungkin dia trauma dengan kejadian tadi.'Awas saja nanti, akan ku balas dia dengan cara halus' batinku menggerutu."Sorry banget ya Mas! kamu udah di jahilin Adikku." Ku menangkupkan kedua telapak tangan, sembari menunduk penuh sesal."Hm, gak usa
"Duluan ya!" ucap Mas Rio."Biar ku antar, kamu Mas!" tawar ku.Kami berjalan lewati ruang tamu, dan sampailah di pekarangan rumah, yang banyak di tumbuhi tanaman hias juga bunga-bunga yang bermekaran."Aku minta satu ya!" ucapnya tatapan matanya mengedar ke seluruh bunga-bunga yang tumbuh subur."Silahkan!" jawabku singkat.Mas Rio membungkuk, dan memetik salah satu bunga. Mawar putih yang ia pilih, diantara jejeran bunga-bunga yang cantik, panca warna juga, bunga melati, tak kalah cantik, lalu ia menempelkan dekat hidung dan menghirupnya."Hm, Wangi," lanjutnya sembari memejamkan mata."Kamu, suka bunga ya Mas? Kalau suka, ambil aja sama pot-nya! Lagian itu juga punya Om Doni," ujar ku. Mas Rio memutar tubuhnya, kami saling berhadapan, dia mengambil sejumput rambutku, dan menyelipkan mawar tersebut di telinga ku.Ahai, So sweet banget, aku bahagia di kasih bunga oleh Pria tampan, meskipun bunganya dapat metik dari halaman rumah k
Setelah sepersekian menit aku habiskan waktu untuk mengerjakan PR dan belajar, tubuh ku mulai lelah ingin istirahat sejenak, ku rentangkan kedua tangan dan menggeliat meregangkan otot-otot.Aku beranjak ke tempat tidur dan merebahkan tubuh, rasa kantuk mulai menyergap, ku putuskan untuk tidur siang setengah ataupun satu jam.Bukannya aku melupakan janji pada Bimo, untuk mengantarkan dia ke pangkas rambut. Namun, aku ingin memberi dia sedikit pelajaran, agar dia menyesali perbuatannya, karena telah mengerjai Mas Rio tadi siang.Biar lah dia menunggu sesekali, jangan terlalu di turuti terus setiap keinginannya, mungkin nanti, sore hari aku mengantar dia, untuk memangkas rambutnya.Aku mulai menguap hingga beberapa kali, tak kuasa mata ini ingin terpejam, dan tak sadar lagi, aku sudah pindah tempat, ke alam mimpi.*Lantunan adzan ashar begitu syahdu masuk ke indera pendengaran, membangunkan ku dari tidur, karena jendela kamar ku terbuka."Alha
Kami baru kembali dari tempat pangkas rambut, menjelang Maghrib sampai ke rumah. Saat kami hendak memasuki gerbang."Tia!" tiba-tiba ada yang memanggilku, membuat ku dan Bimo serentak menghentikan langkah, Aku menoleh ke sumber suara tersebut, sembari berjingkat kaget."Eh, Mas Rio," seketika lengkungan di bibirku merekah, melihat sosok yang sangat ku kenal. Lalu dia berjalan ke arah ku, dengan menampilkan senyumnya yang manis."Kamu abis dari mana Tia, sore-sore gini?" tanya Mas Rio.Dia terlihat begitu berwibawa mengenakan baju Koko putih dengan bordir warna coklat, di bagian dada memanjang ke bawah, di padukan dengan celana bahan warna hitam, juga lengkap peci hitam di kepalanya.Aku terpana melihat Mas Rio, yang tambah ganteng Pake baju Koko. Aku semakin suka sama dia.Aku berfikir sejenak, apakah aku bisa jadian sama dia? Di suatu saat nanti, ketika aku sudah benar-benar dewasa.Tapi, Bimo sel
"Mbak Tia, masuk!" tegas Bimo, sembari menggerakkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa aku harus segera masuk dan meninggalkan Mas Rio."Iya Bimo, ini juga Mbak mau masuk," sanggah ku mendelik, pada bocah gemuk berbalut kaos hitam dan celana Jogger se-dengkul. Aku menoleh ke arah Mas Rio yang berdiri menyedepkan tangannya di depan dada."Mas, aku masuk dulu ya! Takut Bimo marah," ucapku sembari meletakkan telapak tangan di samping mulutku. Mas Rio mengangguk seulas senyuman tipis yang ia tampilkan, entah senyum pahit atau mengejek. Karena aku di seret oleh Bimo masuk ke dalam."Iya," jawab Mas Rio melambai kecil di iringi menaikan alis tebalnya kilas."Bimo, jangan begini dong!" sergah ku menekuk wajah. Bimo menarik tangan kiriku menyeretnya ke dalam rumah."Mbak ke ganjenan sih!" tukas Bimo, kami berdua sampai di ruang tengah. Dia melepaskan tangannya dari lenganku."Bim, maksud kamu apa sih? Jangan kasar begini dong sama Mbak!" Aku menghempaskan bo
"Bim, ini udah masuk waktu Magrib. Kamu, udah solat 'Ashar belum?" tanyaku pada Bimo yang masih terlihat sedih. Dia menggeleng pelan."Belum Mbak," jawabnya lirih dan singkat."Ya Allah... Bimo, kok kamu belum solat sih! Ini udah lewat loh! Noh, liat jam!" Aku mendongak seraya menunjuk jari ke arah jam dinding."Lagian Mbak sih,""Lah, kok nyalahin Mbak?""Iya lah, Mbak yang salah, tadi aku bangun tidur langsung di ajak ke pangkas rambut, bukannya di suruh solat dulu, harusnya Mbak ingetin Adeknya!"Halaah ini bocah bikin jengkel aja, ingin ku plintir bibirnya yang ranum dan imut kaya buah Cherry."Kan kamu yang minta, Mbak cuma anterin ke sana! Kamu tuh selalu ngelak, ya udah sana mandi! Kamu nanti qodho ya! Mbak tunggu di mushola, kita sholat berjama'ah!""Ok Mbak, aku yang jadi imam ya!" ucap Bimo sembari menaik turunkan alisnya."Tumben." Aku mengernyit heran."Kan, sekalian latihan Mbak!" Bimo menyenggol bahu ku, denga
Selepas sholat Maghrib, dan di susul tadarusan membaca ayat suci Al-Qur'an, bersama Bimo hingga waktu isya pun tiba, kami berdua lanjut melaksanakan shalat isya dengan berjama'ah.Bimo sudah duluan masuk ke kamarnya, sementara aku masih merapikan tempat beribadah kami."Assalamualaikum?" ada yang mengucap salam dari depan pintu masuk."Waalaikumsalam," jawab ku cepat, dan menoleh seketika."Eh Om Doni, baru pulang Om?" tanyaku dengan seluas senyuman. Aku memang ramah kepada semua orang, tanpa terkecuali sehingga gampang untuk ku memberikan senyuman, pada siapapun."Iya, baru aja sampe. Tia, kita makan malam yuk!" ucap Om Doni."Ayo! tapi sebentar ya Om, aku mau panggil Bimo dulu!" jawabku.Gegas ku lepas mukena dan melipatnya setelah selesai sholat isya. Ku lirik sekilas jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam."Iya, Tia, Om duluan ya, nanti kamu nyusul, kita makan malam bareng! Om bawakan steak, kesukaan kamu dan Bimo,"
* * *"Tia, mana Bimo?" tanya Om Doni yang baru keluar dari kamarnya, kami berpapasan di ruang tengah, saat aku hendak melangkah menuju dapur."Gak tau Om," jawabku ketus aku masih dongkol dengan ucapan Bimo, yang mengatai aku fackgirl.Om Doni mengeryitkan dahi menatap ku penuh tanya."Kamu kenapa Tia, kok cemberut? Abis bertengkar ya sama Bimo." Om Doni menatapku penuh tanya, aku memutar bola mata, dan belum aku jawab pertanyaannya.Lalu kami berjalan beriringan, sampai di ruang makan."Gak, aku cuma kesal," jawabku sembari menghempaskan bokong ke kursi meja makan."Kesal kenapa?""Aku sebel, sama Bimo!""Hah kamu, jangan anggap serius omongan Bimo! Kalau bertengkar di dalam keluarga itu udah biasa, tapi kamu jangan keras kepala!""Maksud Om? Keluarga apa? Emang kami keluarga kan, kakak beradik,""Ya kan selebihnya, Bimo itu, calon imam kamu!" ucap Om Doni terkekeh.Aku mendelik kesal, uh... Rasany