Share

Bab 12

"Tia," ucap Mas Rio pelan, aku mengangkat wajah dan menatapnya.

"Iya Mas, ada apa?" tanya ku.

"Eum, ada yang ingin Mas katakan!" ucap Pria berkaos putih dan celana jeans, dia menggosok telapak tangannya, sambil menarik napas panjang, sepertinya dia gugup, apa yang mau dia katakan sehingga membuatnya begitu terlihat canggung.

"Ya, ngomong aja!" ujarku mengangkat kedua bahu.

"Tia, mungkin ini saatnya, setelah beberapa waktu menunggu, Mas ingin_" Mas Rio mengatup bibirnya seraya mendongak menatap ke arah pintu dapur.

"Apa?" tanyaku ingin tau. Mas Rio diam lalu menunduk. 

"Ah, mungkin lain kali," ucap Mas Rio pelan, lalu menggigit bibirnya, aku pun menoleh ke arah tatapan Mas Rio tadi.

"Bimo," gumam ku pantesan, mas Rio mengatup kembali bibirnya.

"Kopinya sudah jadi." Bimo berjalan ke arah kami sambil membawa nampan.

"Sini Bim!" ajak Mas Rio melambai kecil.

"Iya, siap Mas," balas Bimo, dia meletakan nampan di atas meja, lalu menyodorkan secangkir kopi cappuccino yang masih mengepul ke hadapan Mas Rio, satu cangkir ia letakkan di hadapannya, juga gelas berisi coklat dingin untuk ku, karena aku tak suka kopi.

"Di minum Mas, kopinya! Gak usah malu-malu!" ujarnya begitu ramah tamah seperti resepsionis Bank, bocah berbadan agak gemuk dengan kaos hitam dan celana Jogger itu duduk di samping Mas Rio.

"Makasih, adik ipar yang baik hati," jawab Mas Rio.

"Silahkan di nikmati!" balas Bimo mendayu, dengan senyumnya yang merekah, "Kita ngopi bareng Mas, biar lebih akrab!" ujarnya menaikan alis.

"Ternyata, calon adik ipar ku ini pengertian," gurau Mas Rio sembari menepuk paha Bimo, aku tersenyum melihat keakraban mereka berdua.

Mas Rio meraih dan mengangkat cangkir lalu menempelkan ke bibir tipisnya, dia menyesap cairan itu dengan penuh kenikmatan.

"Gimana Mas kopinya? Enak kan?" tanya Bimo antusias.

"Enak banget," jawab Mas Rio, namun ekspresi wajahnya tidak sama sekali menampakkan bahwa dia sedang menikmati kopi yang enak, di meringis seperti menahan ingin membuang sesuatu, apa dia mules, fikirku.

"Kenapa Mas?" tanya ku, mengeryit Mas Rio mengusap tengkuknya.

"Eum, kopinya asin banget," gumamnya, mencondongkan tubuh kedepan, sembari memincingkan mata. Ia ambil tissue dari meja lalu mengusap bibirnya dari sisa kopi. 

Aku menoleh ke arah Bimo dengan tatapan setajam mungkin.

"Bimo, hm." Aku menggertakkan gigi, ternyata ini di balik ajakannya yang begitu ramah, ternyata ada garam di dalam kopi.

"Hehe." Bimo hanya nyengir sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Awas, kamu Bimo!" ancam ku bangkit mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi siap-siap untuk mencengkramnya.

"Apa?" jawabnya polos tanpa dosa.

"Bimo... kenapa kopi Mas Rio di kasih garam?" Aku menyerbu dia. Gegas Bimo bangkit bersiap untuk lari.

"Biar, kapok Luh!" Bimo mencebik bibirnya pada Mas Rio, secepat kilat dia berlari menuju tangga meninggalkan kami, aku sangat malu dengan kelakuan adik kecilku.

"Maaf ya Mas!" sesal ku.

"Gak apa-apa! Harap di maklum!" 

Mas Rio memang sudah tau sikap Bimo yang tak pernah rela kalau aku deket sama lelaki sebayaku, aku pernah menceritakan kepada dia, agar dia bisa memaklumi di saat yang tak terduga seperti ini.

Aku hanya bisa mengurut dada dengan kejadian ini, malu rasanya pada Mas Rio, moga saja dia masih mau menjadi temanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status