Hujan deras mengguyur kota A yang berada di tengah-tengah perkotaan. Tanah berwarna merah masih basah atas guyuran hujan. Dari atas langit, terlihat gundukan yang masih baru di keliling payung-payung berwarna hitam. Semua orang menatap dua pusaran suami istri tersebut. Seorang gadis berusia 18 tahun menangis di dalam dekapan Sang Pembantu yang sudah di anggap seperti Orang tuan sendiri. Selendang berwarna hitam menutupi atas rambut yang tergerai. Perempuan berusia 38 tahun itu menepuk-nepuk punggung gadis berusia 18 tahun.
“Sudah Sayang! Tuan dan Nyonya akan tenang di atas. Yuna harus kuat!” Ayuna mengangguk dalam pelukan Emma.
Satu persatu payung mulai menjauh. Namun, hanya dua orang di area pemakaman dalam kondisi hujan tetap bertahan. Meratapi dua gundukan itu.
“Sayang, Ayo kita pulang!"
“Yuna enggak mau pulang, ingin tetap berada di sini bersama Mama Papa!” ujar Ayuna polos sambil menggeleng.
“Papa sama Mama bakalan sedih kalau Nona Ayuna enggak nurut sama Tante.” Ayuna mendongak, menatap wanita yang sudah di anggap seperti kakak sekaligus orang tua sendiri. Emma tersenyum lebar, mengisyaratkan Ayuna akan baik-baik saja jika meninggalkan makam kedua orang tuanya.
“Beneran Tan?” Perempuan berkepala tiga itu mengangguk. Dengan berat hati, Ayuna mengangguk tanda permintaan Emma di setujui. Dengan langkah berat, mereka berjalan di atas tanah basah. Tangan kanan Emma merangkul tubuh ramping Ayuna dan tangan kiri memegang payung berwarna hitam lebar. Berjalan sedikit demi sedikit menjauh dari kuburan. Gadis bermata hazel itu berhenti sejenak dan menatap kembali dua pusaran ke dua orang tuanya. Lalu kembali menatap ke depan sembari menarik nafas berat.
Sandal gadis dan wanita itu menginjak tanah-tanah becek. Membuat Ayuna mendengus sebal karena ia tak suka dari dulu berjalan ketika hujan turun. Karena bajunya akan basah, kotor dan penuh dengan tanah.
Mereka sampai di gapura pemakaman. Emma membimbing Ayuna keluar dari tempat pemakaman khusus masyarakat kolongmerat, alias tempat per istirahat terakhir orang-orang kaya.
Sebuah mobil besar berwarna hitam sudah menunggu. Emma menggeser pintu mobil dan mempersilahkan Ayuna masuk ke dalam mobil. Setelah Ayuna masuk, Emma menangkupkan payung berwarna hitam itu dan meletakkan payung ke dalam bagasi mobil.
“Jalan Pak!”
Ayuna bersandar pada kursi mobil. Memandang nanar seluruh pemandangan di luar mobil. Emma menatap kasihan pada Ayuna yang sudah di saudara sendiri, pasti saat ini ia sangat terpukul.
Ayuna menenggelamkan pikirannya dengan memejamkan mata. Bukannya terlelap, bayangan ke dua orang membuat Ayuna meneteskan air mata. Seperti ada kaset rusak yang sedang menayangkan kembali kisah mereka. Saat Johana mengantar Ayuna ke sekolah untuk untuk pertama kali. Mengajari sepedah, berkali-kali jatuh tapi Johana selalu menyemangatiya dan akhirnya berhasil.
Hampir satu jam perjalanan, mereka sampai di sebuah perumahan elit di kota A. Seorang satpam penjaga gerbang utama perumahan di Blok B, membuka gerbang besar itu. Lalu perlahan mobil itu masuk ke dalam perumahan. Jalanan sepi dan lengah. Pohon palem berjejer-jejer di tengah-tengah rerumputan yang berada di tengah jalan. Satu jalan besar itu di bagi menjadi dua, satu untuk masuk dan satu lagi untuk ke luar.
Mereka sampai di rumah paling elit dan paling besar di Blok B. Itu adalah rumah orang tua Ayuna, dan dia adalah pewaris utama.
Gerbang berwarna merah bata dan emas itu terbuka. Mobil yang di tumpangi Ayuna masuk ke dalam rumah. Mereka sampai di depan pintu, Emma membangunkan Ayuna.
“Sayang ayo bangun, kita sudah sampai!” Menggoyang-goyangkan tubuh Ayuna. Gadis itu sebenarnya tak tidur, ia hanya menutupi mata tapi belum tenggelam dalam mimpi. Ayuna membuka mata, turun dari mobil mengikuti Emma. langsung berjalan ke kamar. Menjatuhkan diri di kasur, menatap sudut kamarnya. Di sana ada sebuah laci. Ia ingat bahwa dulu pernah menyimpan album foto kenangan dengan ke dua orang tuanya.
Ayuna bangkit, mengambil album foto tersebut. Bersandar pada ranjang. Dan membuka setiap lembaran. Di lihat foto seorang wanita cantik sedang hamil besar lalu lelaki yang selama ini ia panggil Ayah memeluk dari belakang. Semua foto-foto ini meninggalkan kenangan membuat Ayuna tak kuasa menahan tangis. Air mata pun luluh dari kelopak mata.
***
Waktu tidak pernah berhenti. Detik itu akan selalu berputar walaupun sebagian orang membencinya. Tak terasa, hampir satu bulan lebih berlalu. Rasa kesedihan itu mau tak mau terkikis sedikit demi sedikit. Ayuna menata hidupnya sedemikian rupa agar terus maju. Jika ia tetap larut dalam kesedihan banyak orang yang kecewa termasuk ke dua orang tuanya yang ada di surga. Sambil memakai seragam sekolah. Ayuna berlari menuju meja makan. Memeluk Emma dari samping dan mengecup pipi Emma.
“Tan, nanti Yuna mau jalan-jalan ke mall dulu ya. Mau beli boneka jerapah."
Ayuna adalah gadis unik yang suka mengoleksi semua yang berbau jerapah. Semua pernah pernik berbau dengan jerapah, baik itu selimut, boneka-boneka lucu dan masih banyak lagi.
“Baiklah tapi jangan malam-malam loh!” Ayuna mengangguk lalu mengecup pipi Emma lagi, lalu gadis itu berlari meninggalkan Emma.
“Loh Sayang, makanannya?” Emma mengakat roti tawar yang sudah di lapisi selai coklat.
“Yuna mau makan di kantin aja Tan!” teriak Ayuna dari jauh. Membuat Emma tersenyum senang. Akhirnya Ayuna bisa kembali seperti sedia kala. Melupakan kesedihan yang melanda berminggu-minggu lamanya.
“Ayo berangkat Pak!” teriak Ayuna langsung melompat. Gadis itu sangat lincah. Pak Toni Sang Sopir mengangguk. Rambut kepang yang di tekuk hingga menjadi lingkaran itu berayun-ayuna mengikuti gerakan tubuh Ayuna.
“Ngebut Pak! Yuna terlambat ni,” runtuk Ayuna sambil melipat kaki lalu mengeluarkan majalah. Majalah Fashion. Gadis itu sangat suka melihat-melihat majalah Fashion karena cita-citanya menjadi model. Mereka pun sampai di sebuah sekolah menengah atas. Bangunan itu menjulang tinggi, terbuat dari kaca tebal dengan pinggiran coklat. Di depan sekolah sepi, hanya ada satpam. Tinggal Ayuna sendiri telat. Gadis itu menelan ludah. Gadis kecil itu keluar dari mobil sambil mengendap-ngendap. Ia mengirim pesan kepada dua temannya.
[Sista-sista, Yuna di luar. Kalian bantu Yuna dong]
[Oke Bu Boss!] Jawab Wanda
[Ayok beraksi SistaLove] Timpal Toby. Ayuna menunduk sambil menonton Pak Satpam sedang berjaga-jaga di luar. Mondar-mandir sambil memukul tongkat berwarna hitam ke tangan sendiri. Seperti Algojo yang menunggu tersangka untuk di siksa.
“Pak!” Wanda menghampiri Pak Satpam.
“Ada apa?”
“Ini loh Pak? Kok saya dengar ada suara aneh dari gedung belakang. Gimana kalau ada murid yang bolos Pak?” ujar Wanda dengan wajah polos.
“Mana?”
“Di sana!” Pak Satpam lalu berjalan menuju belakang sekolah. Warda mengikuti dari belakang. Seorang lelaki membuka gerbang tersebut secara diam-diam.
“Sttu!” bisik Toby. Ayuna yang melihat rencana temannya itu berhasil akhirnya keluar dari tempat persembunyian berjalan dengan gagah menuju gerbang sekolah. Akhirnya ia bisa masuk ke dalam gedung. Tiba-tiba saat mereka berjalan bergandengan beriringan, ada seorang guru BK yang menyadari keberadaan Ayuna.
“Ayuna!” teriak Bu Eda. Ayuna dan Toby melotot, lalu berlari secepat mungkin. Dua murid dan guru itu saling kejar kejaran seperti kucing dan tikus.
Ayuna berhenti saat melihat dua cabang lorong, Gadis itu menyuruh Toby untuk berlari ke sebelah kanan dan Ayuna di sebelah kiri. Agar Bu Eda terkecohkan. Ayuna berlari dengan langkah cepat, tak seaja ia melihat sebuah ruangan kosong.
“Kayaknya aku sembunyi di sini aja deh?” Ayuna pun masuk ke dalam ruangan gelap gulita itu. Gadis itu berjongkok, derup jantung itu berdegup sangat kencang. Nafasnya tak beraturan, keringat menetes dari pelipis. Suara derup jantung terpompa sangat cepat, saat derup langkah mendekat.
“Tuhan tolong aku!” batin Ayuna. Tangan dan kakinya gemetar.
***
Suara derup musik dan lampu kelap-kelip saling bersahutan satu sama lain. Para pemuda-pemudi saling berjoget di bawah sinar lampu klab malam. Seorang Alpha masuk, dia adalah anak dari perusahaan terbesar Negara C Eugene masuk ke dalam dengan mata merah menyala sambil mengepalkan tangan. Semua orang tak menghiraukan Eugene yang sedang sibuk mencari seorang gadis yang sangat ia cintai. Dia adalah Violet. Kekasihnya selama lima tahun. Eugene berjalan dengan tergesa-gesa. Menabrak satu dua orang yang berpapasan. Di lihat dari jauh, mata-mata yang ia suruh untuk memata-matai sang kekasih mendekat.
Seorang Pria mendekatkan telinga ke Eugene, “Gadis itu di sini Tuan Muda.”
Eugene menarik nafas dan mendobrka pintu yang berada di lantai atas bar.
Bruk!
Pintu coklat tua itu perlahan-lahan terbuka. Seorang mengedarkan pandang , lalu menunduk. Bu Eda melihat Ayuna jongkok di bawahnya. Ayuna mendongak melihat wajah Sang guru. “Eh Ibu guru, Engapain di sini?” Bu Eda melotot melihat wajah Ayuna yang tepat di bawahnya.“Berdiri Ayuna! Sekarang ikut saya ke lapangan,” bentak Bu Eda. Dengan cemberut, Ayuna berdiri dan mengikuti Bu Eda dari belakang. Semua lorong sangat sepi, karena jam pelajaran sudah di mulai berberapa jam lalu. Bukannya sedih, Ayuna semakin ceria. Ia berjalan dengan loncat-loncat.Bu Eda berhenti, menoleh ke belakang. Membuat Ayuna mengerem mendadak laju kakinya, hingga ia akan terhitung ke depan. “Ada apa Bu?”Bu Eda melotot, sia-sia memberi hukuman pada gadis seperti Ayuna. Karena gadis itu akan berulah kembali. “Ayuna, Saya pusing melihat tingkah lakumu. Agar kamu jera, kali ini ibu tidak ijin kan kamu masuk kelas." Bu Eda mengeluarkan surat peringatan. Berwarna merah. Ayuna menerima surat itu.
Pria beralih tebal itu mengamuk. Menyapu seluruh barang dengan lengannya yang kokoh. Membanting gelas kaca yang ada di atas meja. Kobaran api membara dari balik Manik berwarna amber, memancarkan letupan kemarahan yang berada di ubun-ubun. Panggilan Sang Kekasih menggema dari balik layar pipih. Meraih benda komunikasi canggih masa kini. Menatap nanar foto Sang Kekasih depan layar. Menyungging senyum kebencian dan melempar benda pipih itu ke lantai hingga pecah menjadi dua bagian.Eugene marah, lelaki itu adalah seorang polisi terkenal di kota A. Dan merupakan anak bungsu dari keluarga Smith. Eugene menjatuhkan pantat kasar di atas kursi. Memasukkan jemari berotot itu ke dalam rambut, mengacak-ngacak dengan kasar. Lalu memegang kepala karena penat, membayangkan Pengkhianatan Violet. Bayangan Sang Kekasih terlintas, Saat Violet bercumbu mesra dengan selingkuhannya tepat di depan mata Eugene. Padahal 2 hari lagi, ia berniat melamar Violet. N
Dua orang wanita berpakaian pelayan membukan pintu berwarna emas. Ayuna meneguk saliva, suasana dingin mencekam. Hawa dingin dari lubang-lubang Ac membuat Ayuna semakin ngeri. Gadis itu bertanya-tanya, kenapa orang tua Pria asing itu mencarinya. Kursi berwarna coklat yang membelakangi Ayuna berputar. Tampak lelaki berumur sekitar 60 tahun menatap lekat Ayuna sambil memegang album tua.“Lihatlah, putri kecil Robert sudah tumbuh besar,” ujar SmithAyuna mendelik, gadis bermata bening itu menoleh pada Pria di sampingnya. Namun, pria itu menatap luruh ke depan, seolah-olah mengabaikannya. “Pasti kau bertanya-tanya, kenapa lelaki tua ini bisa tahu namamu dan nama orang tua mu, bukan?” Ayuna yang polos itu mengangguk.Smith memegang kepala Ayuna, Ia tersenyum hangat. Lelaki tua itu seperti menemukan anak perempuannya kembali. “kau sangat mirip dengan ibumu, cantik.” Ucapan Ruth Smith membuat Ayuna bersemu merah. Pujian kecil itu, be
Hati-hati berganti dengan cepat. Tak terasa hari suci pernikahan Ayuna akan segera datang. Sepanjang hari, gadis itu tak henti-henti memikirkan cara untuk kabur dari rumah. Menghindari pernikahannya sendiri, tapi seluruh sisi rumahnya di jaga ketat oleh anak buah Ruth Smith. Membuat pergerakan Ayuna tak leluasa, bahkan untuk pergi bersama Wanda dan Toby saja sulit.Ayuna berdiri di depan ranjang, melihat sebuah kalender yang sudah di lingkarinya. “empat hari sebelum hari pernikahan, Yuna harus ngapain?” Ayuna mondar-mandir sambil menggigit ujung kukuk. Dengan wajah pucat dan berkeringat. Tiba-tiba bayangan video yang di perlihatkan Wanda terlintas. Ia tak bisa membayangkan adegan jorok seperti itu terjadi padanya. Baru pertama melihat, tapi mampu membuat bulu kuduk Ayuna berdiri. Gadis bermata besar dengan manik hanzel itu menggeleng-gelengkan kepala.“Oh tidak! Yuna kau mikirin apa sih.” Ayuna memukul-mukul kepala.Pintu kamar Ayuna ter
Gadis kecil itu pasrah saat tubuhnya di tarik Eugene. Ayuna mendongak menatap bola mata calon suaminya. Lelaki itu seperti membenci perempuan yang berada di depan pintu bioskop. Mereka sampai di loket, Eugene membeli dua tiket dan juga popcorn. “Om Yuna ke toilet dulu ya?” Lelaki itu mengangguk. Gadis itu bergegas pergi dari loket, menuju pintu keluar. Ayuna sudah memesan taksi di pintu keluar. Tak peduli dengan masalah Eugene. Yang terpenting ia harus pergi dari tempat ini. Untuk sementara, gadis itu akan mencari tempat menginap yang murah.Mata gadis itu berbinar saat melihat sebuah taksi sudah menunggu, “ Syukurlah semua berjalan lancar,” ujar Ayuna.“Apa yang lancar? Dan kau mau ke mana?” Ayuna menelan saliva. Saat suara bariton bertanya padanya. Ayuna memutar badannya, mantap Eugene. “Kau mau kabur?”“Mana mungkin,” tukas Ayuna. Eugene langsung merampas tas selempang Ayuna. Membuat gadi
Manik Hazel itu menatap keluar kaca mobil. Kedua jemari saling bertautan. Melirik seorang lelaki yang ada di sampingnya. Berkali-kali ia meneguk saliva, tenggorokan gadis itu terasa kering. Badan ramping itu menegang. Bunyi gawai membuatnya segera merogoh sakunya. Ia akan mencurahkan segala kegundahannya pada kedua Sang Sahabat.“Kenapa? “ suara bariton itu membuat Ayuna tersentak, hampir saja ia menjatuhkan smartphone miliknya.“Ah enggak papa,” cicit Ayuna sambil memasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku. Eugene semakin menancapkan gas, membuat wajah Ayuna semakin pucat. Jika lelaki itu berani menyentuh tubuhnya, ia akan menghajarnya habis-habisan. Tak berselang lama. Mobil berwarna perak itu sampai di depan hotel bintang lima. Seorang staff hotel membukakan pintu mobil untuk Ayuna dan Eugene. Ayuna dengan ragu keluar dari dalam mobil. Mereka tersenyum ramah, membuat Ayuna semakin kiku.“Selamat siang Tuan dan Nyonya, mari say
Matahari merangkak, subuh perlahan-lahan menampakkan cahaya sedikit demi sedikit. Seorang gadis meringkuk di atas tempat tidur. Selimut tebal menutupi tubuh kecilnya. Sekarang adalah hari pernikahannya. Hari di mana setiap wanita di belahan bumi mana pun menantikannya, tapi tidak dengan gadis kecil yang masih berusia 18 tahun, Yang masih menggunak,an seragam abu-abu.Perempuan berusia 38 tahun itu masuk, membuka tirai kamar. Cahaya mentari malu-malu masuk ke dalam kamar. Emma membalikkan badan, menatap gundukan selimut. Anak majikannya itu berada di dalam. Menggoyangkan tubuh Ayuna yang tertutup selimut tebal dan lembut.“Yuna! Ayo bangun. Nanti kau telat loh di acara pernikahanmu.”“Nanti dulu Tan, Yuna ingin tidur bentar lagi.” Suara parau dan serak, khas orang yang bangun tidur terdengar di telinga Emma. Perempuan berambut ikal itu melangkah keluar dari kamar. Pasti butuh waktu bagi Ayuna menata kembali hatinya. Karena sebentar lagi dia akan be
Eugene menarik ujung gagang pintu. Seorang gadis dengan gaun putih muncul, membuat pria itu menelan saliva kasar. “Om lama amat bukain pintunya, emang ada masalah di dalam?” Masuk ke dalam kamar di ikuti seorang pelayan yang membawa troli berisi kudapan. Eugene mendelik. Menatap makanan yang sangat banyak di atas troli, “Siapa yang memakan makanan sebanyak ini?”“Saya lah Om masak setan.”“Taruh di situ aja, terimakasih ya?” Pelayan hotel itu pergi meninggalkan Ayuna dan Eugene.“Apa-apaan ini Yuna?”“Yuna dari tadi laper Om, makanya Yuna pesan makanan banyak.” Ayuna mengambil pasta dan melompat di atas kasur. Memakan makanan tersebut, seperti gadis yang belum makan bertahun-tahun. Eugene menggeleng, ia jijik melihat cara makan Istrinya, “Jangan makan di kasur, bagaimana jika makanannya jatuh?” tegur Eugene, gadis itu tak bergeming. Membiarkan Sang Suami mengoceh.Ayuna mendongak, “Om mau juga?” tawar Sang Istri sambil mengangkat