Share

Wedding

Matahari merangkak, subuh perlahan-lahan menampakkan  cahaya sedikit demi sedikit. Seorang gadis meringkuk di atas tempat tidur. Selimut tebal menutupi tubuh kecilnya. Sekarang adalah hari pernikahannya. Hari di mana setiap wanita di belahan bumi mana pun menantikannya, tapi tidak dengan gadis kecil yang masih berusia 18 tahun, Yang masih menggunak,an seragam abu-abu.

Perempuan berusia 38 tahun itu masuk, membuka tirai kamar. Cahaya mentari malu-malu masuk ke dalam kamar. Emma membalikkan badan, menatap gundukan selimut. Anak majikannya itu berada di dalam. Menggoyangkan tubuh Ayuna yang tertutup  selimut tebal dan lembut.

“Yuna! Ayo bangun. Nanti kau telat loh di acara pernikahanmu.”

“Nanti dulu Tan, Yuna ingin tidur bentar lagi.” Suara  parau dan serak, khas orang yang bangun tidur terdengar di telinga Emma. Perempuan berambut ikal itu melangkah keluar dari kamar. Pasti butuh waktu bagi Ayuna menata kembali hatinya. Karena sebentar lagi dia akan berstatus sebagai istri. Menutup pintu pelan. Saat pintu sempurna tertutup kembali, Ayuna sedikit membuka selimut yang menutup semua wajahnya. Wajah cuby  itu terlihat sempurna.

Kaki kecil itu memukul kasur berkali-kali, mengacak selimut. Berteriak-teriak histeris. Tak menyangka hari yang paling terburuk telah tiba. Menatap nanar langit -langit kamar. Penuh dengan hiasan bintang-bintang. Meraih boneka jerapah di sampingnya.

“Ulli...Yuna takut, bentar lagi Yuna bakalan jadi istri!” curhat Ayuna pada boneka jerapah dengan satu bola mata. Boneka tersebut adalah boneka yang paling di sukai Ayuna, karena boneka pertama pemberian orang tuannya. Padahal bentuknya sudah tak karuan, berbau busuk karena tak pernah di cuci, warnanya pun pudar tapi Ayuna sangat menyayanginya melebihi dirinya sendiri.

Suara gagang pintu bergerak, membuat Ayuna langsung menutup kembali tubuhnya dengan selimut.  Berharap siapa pun yang masuk segera pergi.

Sebuah kaki menendang Ayuna dengan sangat keras, membuat ia hampir mencium lantai marmer. “Eh kebo bangun! Loe ni, enggak waktu berangkat sekolah, hari pernikahan loh. Sama aja molor.”

Wanda memukul bahu Toby, “ Lo Ni, kasihan loh Yuna loe tendang-tendang. Emang  yuna kantong beras apa?” bela Wanda tak terima dengan sikap Toby.

“Oke Mak Kunti, gue bakalan diam.” Menatap Wanda sebentar lalu melengos.

Ayuna membuka selimut, dengan wajah lusuh dan terlihat tak bersahabat. “ Astaga naga, loe habis ngapain? Kok mata loe kayak panda jelek jelmaan Kunti.”

“Toby!” Wanda berucap dengan suara lantang, membuat pria itu menutup mulut lalu seolah-olah menarik retsleting yang berada di antara dua kantuk bibir.

Wanda menjatuhkan pantat di pinggiran kasur. Sedangkan Toby melompat ke ranjang Ayuna. Membuat kasur empuk itu bergoyang-goyang. “Toby!”

“Ih Wan, loe emak-emak PMS  Hah! kok dari tadi gue salah mulu di mata loe.”

Wanda memicingkan mata, menatap kembali Ayuna yang lusuh. Biasanya gadis itu selalu  nimbrung ocehan Wanda Dan  Toby, tapi sekarang ia hanya diam. “Loe kenapa? Bentar lagi loe mau nikah loh.”

“Gue takut wan, dari tadi malam gue enggak bisa tidur. Mungkin pas subuh baru tidur, terus jam 5 udah ke bangun gara-gara ingat lagi kalau gue mau nikah.”

“Salah loe sendiri, langsung  iyain  waktu di suruh Nikah.”

“Loe tahu, Ibunya Om Eugene galak banget. Nanti kalau Gue di marahi terus gimana?”

“Ya sabar.”

“Makanya, kalau jadi cewek jangan polos-polos amat. Jadi gini kan!”

Ayuna mengambil bantal, dan melempar ke arah Toby. Lelaki itu dengan sigap menangkis. “Loe itu resek banget sih, bukannya ngasih semangat malah jatuhin  gue,” runtuk Ayuna. Wanda kembali melirik sinis ke Toby.

“Sorry, tapi menurut gue nikah enak kok. Jangan di buat ribet, kalau loe enggak mau buat gua aja.”

Sekarang  Wanda dan Ayuna melempar bantal pada Toby. “Loe ini Gay hah? Jijik amat gue punya teman kayak loe.”

“Maaf gue salah omong, maksud gue, Biar wanda aja yang nikah sama calon suami loe. Pasti dia mau.”

“Enak aja, emang gue tempat pembuangan!”

“Mungkin.” Wanda geram, ia memukul-mukul Toby berkali-kali dengan bantal berwarna putih hingga lelaki itu menjerit kesakitan. Ayuna melihat dua tingkah sahabatnya langsung tertawa renyah.

***

“Sudah selesai, Anda terlihat sangat cantik,” puji penata rias Ayuna, namun gadis bermata Hazel itu hanya tersenyum getir. Mereka semua pergi meninggalkan Sang mempelai sendirian. Ayuna berdiri, melihat pantulan tubuhnya di depan cermin. Riasan itu sangat tebal, bulu mata panjang dan sepatu heels  tinggi, membuatnya sulit bergerak. Gaun berwarna putih itu menghiasi tubuh kecil Ayuna. Pintu terbuka, dua sahabat Ayuna masuk. Mereka seperti melihat orang lain.

“Loe Putri Ayuna Marisa?” Toby memegang bahu Ayuna. Gadis dengan tiara di atas kepala itu langsung menginjak kaki Toby menggunakan  heelsnya. “Aww...sakit tahu!” jerit Toby sambil memegang  kakinya yang sakit.

“Udah ah, semuanya udah pada nunggu,” potong Wanda lalu menggandeng Ayuna keluar dari kamar. Derup jantung berdetak begitu kencang. Setiap langkah menambah volume jantung Ayuna.

Sebuah mobil  dengan rangkaian bunga di bagian depan mobil, berpadu dengan pita terparkir di depan rumah, “Ayo masuk!” Perintah Wanda, gadis itu ragu. Jemari Wanda menggenggam erat jemari Ayuna. Lalu menyuruh  gadis itu masuk ke dalam mobil. Toby duduk di samping Pak Sopir.

Mobil itu bergerak, melaju kencang menuju lokasi acara pernikahan. Derup jantung Ayuna berdegup sangat kencang. Bahkan tangan  dan kakinya terasa dingin, keringat  bercucuran. Wanda berkali-kali mengelap keringat Ayuna dengan tisu.

“Tenang Yun, kayak mau ketemu malaikat izroil aja." Toby menoleh ke belakang. Wanda melotot pada Toby.

Dua jam berlalu, mereka sampai di pinggir pantai. Pernikahan Ayuna dan Eugene di gelar outdoor. Mengundang sedikit orang saja. Mobil itu berhenti tepat di depan karpet putih yang membentang panjang sampai ke panggung kecil pelaminan. Ayuna keluar di pimpin Wanda, gadis itu membenarkan posisi gaun Sang Sahabat. Lalu membimbing Ayuna berjalan  melewati karpet dengan taburan bunga-bunga berwarna  merah bercampur  putih.

Semua tamu undangan berdiri, dengan iringan musik romantis. Ayuna melangkah pelan menuju panggung pernikahan. Di sana ada dua kursi berwarna putih yang sudah di hiasi.

Eugene dengan malas berdiri. Namun, perintah Papanya  membuat ia berdiri menyambut, ia membalikkan badan ke belakang. Melihat Sang mempelai pengantin berjalan mendekatnya. Saat pertama menatap Ayuna, bola mata Eugene tak berkedip melihat perubahan Ayuna. Gadis itu terlihat berbeda dari biasanya. Semakin cantik dan dewasa. Membuat ritme  jantung Eugene berdegup kencang. Menelan saliva kasar.

“Kenapa Om?” bisik Ayuna, membuat tubuh pria itu tersentak. Eugene kembali duduk di bangku dengan gugup. Entah kenapa, ada sesuatu perasaan  aneh muncul.

Acara Akad berlangsung, saat Eugene mengucapkan ijab  kabul. Sekarang Gadis kecil itu sekarang sudah sah menjadi Istri Eugene. Acara berlanjut dengan ucapan selamat oleh para tamu undangan. Gadis itu berdiri di depan panggung kecil dan hiasan buang bersama Sang Suami. Acara berlangsung hingga jam 3 sore. Lalu kaki Ayuna terasa bengkak karena kelamaan berdiri. Cacing-cacing di perut rata itu berteriak-teriak minta di kasih makan.

Emma datang, memberikan  roti pada Ayuna. Sadar bahwa Ayuna saat ini kelaparan. Mereka berdua beralih posisi duduk. Karena tamu sudah mulai habis, “Tan, Yuna enggak boleh makan bakso atau makanan apa gitu yang bikin kenyang?”

“Ini acara pernikahan Yuna, makanannya nanti.”

“Tapi  Tan, Yuna lapar.” Emma menggeleng lalu meninggalkan Ayuna. Eugene melirik sinis, memandang Sang Istri  sebagai gadis aneh yang tak patut untuk di cinta.

Pernikahan mewah itu telah usai, Ayuna dan Eugene di jemput mobil pengantin. Mereka masuk, kemudian mobil itu membawa pasangan pengantin baru ke hotel. Eugene pergi lebih dahulu menuju kamarnya. Sedangkan Ayuna masih ada urusan di lobi.  Di dalam kamar, perasaan Eugene tak menentu. Darah mengalir dengan deras, suasana sangat panas. Melepas jas, dan melempar sembarangan. Lalu membuka dasi kupu-kupu. Menelan ludah, tiba-tiba membayangkan  tubuh Ayuna melintas. Menelan saliva kasar, walaupun pikiran menolak rasa aneh itu. Namun, batin Eugene berkata sebaliknya.

Eugene berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel, perasaannya kacau. Bayangan  Ayuna kembali muncul, lelaki itu menggeleng keras. Menepis perasaan aneh miliknya yang tiba-tiba hadir.

Ting tung!

Sontak mata Eugene mendelik. Memandang ke arah pintu kamar hotel. “Apa dia Yuna?”

Jangan Lupa Vote dan koment  agar Autor rajin Up....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status