Share

2. Penulis Burik

Kalau tidak salah satu minggu telah berlalu, kurang lebih sih begitu. Setelah pertemuan pertama dengan 'calon Imam' pilihan Vivi, gadis itu baper abis. Ya, namanya juga Vivi. Melihat cowok bening sipit langsung jatuh hati. 

Akan tetapi rasa bapernya itu sedikit ternistakan oleh banyak hal.

Sekarang dia duduk di kursi putar di dalam kamar menutup buku Kejora. 

"Apaan nih buku, kok beda banget sama seri satu dan dua." Dia cemberut setelah membaca buku yang kata orang bagus tapi ... "Bagusan kisah cintaku dan Om Mas Ganteng di toko buku."

Vivi tersenyum ala bunga puteri malu. Padahal hanya disentuh oleh angin pagi, kedua tangannya menutup menyangga dagu, mendongak, sambil senyum sendiri. Semua gara-gara kenangan itu. Wajahnya ganteng banget, badan juga atletis abis, mana suaranya itu loh membuat Vivi berdebar-debar. Yup, Vivi sedang mengagumi cowok di toko buku. "Mungkin dia sedang di sana lagi."

Buru-buru Vivi ke toko buku, hal yang sangat jarang dia lakukan. Padahal belum mandi tapi Vivi PD saja. Sesampainya di toko buku dia memandang sekitar. Tidak ada yang di cari, malah mendengar keluh kesal beberapa orang penjaga toko. 

"Bukunya jelek, nyesel aku beli," ujar seorang penjaga toko.

"Sudah mahal, eh begitu saja isinya. Padahal seri satu dan dua bagus loh." 

"Iya," Vivi ikut nimbrung, sok kenal sok dekat. "Nyesal banget kemarin tuh sampai antri panas-panasan, eh isinya cuma seperti itu."

Kedua penjaga toko pada awalnya bersikap biasa-biasa saja, tapi mereka mulai ingat siapa Vivi. Keduanya bertindak cepat menggiring Vivi keluar dari toko.

"Apaan sih Mbak!" keluh Vivi cemberut. Masak dia didorong pakai sapu seperti kecoa mati.

"Eh Mbak, Mbak tuh ada di daftar blacklist kami," ujar penjaga pertama. "Mana bau lagi, belum mandi ya?" 

"Masak?" Vivi dengan santainya menjawab. "Kalian salah orang kali, kan dede cewek baik, enggak pernah--"

"Cewek baik apaan, tuh!" Petugas kedua menuding tembok. Di sana terpajang pigura foto Vivi sedang cubit-cubitan pipi sama Sasa. "Masih mau bilang apa lagi?"

"Waduh, dede pemes. Enggak mau minta tanda tangan, Mbak--"

"udah sana pulang, minta digetok nih bocah!" keluh petugas yang membawa sapu membuat Vivi buru-buru kabur naik motor kembali ke sarangnya.

Vivi sampai di rumah melangkah lemas seperti mayat hidup kembali ke kamar. Dia melempar buku yang tadi berada di meja ke atas kasur, lalu bersiap untuk menulis. "Kalau penulis buku burik saja bisa pemes, kenapa aku tidak bisa pemes dengan mahakaryaku ini?" gumamnya sembari membuka laptop siap melanjut menulis buku cerita. 

Dia mengecek jumlah follower di akun baca-tulis. Mendapati jumlah follower berkurang satu membuatnya mendesah lemas. Dia hafal jumlah follower karena angkanya kemarin cuma sembilan dan sekarang menjadi tujuh. Eh, berarti kurang dua biji! "Cepet banget unfollow. Padahal mereka kan yang minta follow, nanti follow balik. Kampret."

"Kenapa, Vi? Kok pagi-pagi sudah berkicau? Laper?" April menyelonong masuk seperti di kamar sendiri duduk di tepi kasur. "Pinjam buku, ya." Dia langsung memangku buku Kejora seri tiga.

Vivi menoleh sebentar ke sana lalu kembali cemberut memandang layar laptop. Mood-nya menulis hilang, bawaan ingin menghujat tapi menghujat siapa?

Oh iya, lupa. April itu Kakak kandung yang sangat beda jauh dari adiknya. Badannya mirip peragawati, langsing, dada kencang, kulit kuning langsat terawat, rambut hitam panjang, dan pinggang aduhai. Vivi yakin besok kalau besar juga pasti akan memiliki body seperti itu walau dia malas berolah raga, tidak bisa berenang, dan malas diet. Dia yakin badan itu faktor gen. Walau kata orang bukan, Vivi tetap yakin! Pokoknya dia besok juga pasti akan menjadi idaman cowok, entah kapan.

"Sudah selesai baca bukunya?" tanya April.

"Sudah."

"Wih, cepat banget."

"Belum tamat, males, burik soalnya." Kepala Vivi jatuh ke atas meja tertarik gravitasi.

"Kenapa sih, kok lemas banget?" selidik April bertambah kepo. "Baru diputusin pacar? Oh sorry, jomblo mana punya pacar." tawanya terdengar lugas seperti dedemit. Sayang sekali usahanya memancing masalah gagal. "Kenapa Vi? Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri, nanti berpengaruh pada kejiwaan. Curhat saja, biar plong, biar lega, enteng."

Vivi mau curhat apa? salah-salah malah dijadikan amunisi untuk ejekan. 

April mendekatinya berdiri di belakang kursi sambil mengamati laptop. Begini-begini dia sayang kok sama Vivi. Suara tawa kecil April mulai terdengar mengusik ketenteraman. "Widih, keren. Jadi kamu menulis cerita?"

"Iya." Vivi menghela napas pendek. "Menurut Kakak bagaimana ceritaku, apa yang kurang?"

"Sebentar aku baca dulu." April melepas charger laptop memangku benda itu sambil duduk bersila kaki di atas kasur Vivi. Dengan mata sipitnya ia membaca tulisan Vivi yang mampu merubah senyum menjadi rengutan sempurna. 

"Bagaimana Kak, bagus? Bagus dong, buatanku kok." tanya Vivi. "Apa mungkin yang baca kurang karena kurang promo?"

April menaruh laptop ke samping lalu memijat kening sembari memejamkan mata. Vivi menebak ini akan menjadi hal buruk, tapi siapa tahu April cuma bercanda melakukan hal ini. 

"Bagaimana, Kak?"

"Kamu mau jawaban jujur apa jawaban normal?"

"Apaan jujur, normal, bedanya apa?"

"Kalau normal, wah, tulisannya bagus banget. Semangat ya! Begitu, komentar normal orang malas baca ketika dipaksa untuk komentar."

Rata-rata Vivi membaca komentar seperti itu dari teman-teman yang dia paksa untuk membaca mahakaryanya. Apa mereka benar-benar membaca? "Terus yang komentar jujur?"

"Novel apaan nih! Jelek bangeti. Tulisan murid SD lebih rapi susunan kalimatnya. Plot cerita amburadul, POV saja tidak jelas pakai yang mana, dan nama karakter bisa berubah sendiri, dari pertama Ahmed jadi Memed."

Vivi tertampar lahir dan batin hingga bengong gagal kedip memandang Kakaknya bangkit menaruh laptop ke meja.

"Kalau memang niat menulis cerita, perbanyak baca, minimal paham apa itu dialog, narasi, juga jelas mau menulis apa, dikira gampang apa menulis cerita—"

"Sok tahu." Vivi kebakaran jenggot. "Emang Kakak penulis? Emang Kakak editor? Emang Kakak pernah buat buku cerita? Sudah terbit berapa kali? Belum kan? Kalau begitu enggak usah sok ngajarin deh, sendirinya juga enggak punya skill apa-apa, sombong banget!"

Mata April berputar di tempat. "Nyesel Kakak baca tulisanmu. Bukannya dapat senang malah sekarang jadi pusing." Nyaris dia berhasil keluar dari sana dengan membawa buku, tapi Vivi merebut buku yang ia pegang. "Lah, kok diambil lagi?"

"Bodo amat, salah siapa mengejek orang seenak udel sendiri! Dah sana keluar! Nggak usah pinjam bukuku lagi! Dasar Kakak jelek!" Dengan kasar Vivi mendorong April ke lorong lalu membanting pintu dengan keras sebelum mengunci rapat benda itu. Mau bagaimana lagi, April tidak sengaja membakar Vivi hidup-hidup dengan ucapannya tadi.

April menggedor-gedor pintu dari luar sambil berteriak, dia tidak akan menyerah begitu saja sebelummendapat buku itu. "Vivi! Pinjam! Yaelah pelit banget jadi orang. Sumpahin bisulan kau!"

"Biarin! Kakak jelek, sumpahin semeblit sampai besok pagi!"

Menurut Vivi Kakaknya bodoh, tidak paham apa yang dia mau. Padahal Vivi benar-benar ingin menjadi penulis hebat. Dia mencurahkan semua kemampuan ke dalam cerita yang dia tulis. Baginya, novel tersebut adalah bayi, tidak ada yang boleh menghina bahkan Kakak sekalipun. 

Dia duduk merengut sambil bersila tangan di depan dada, memandang tulisan di laptop. Apa seburuk yang April kata? Ah bukan, semua karena kurang promosi saja, bukan karena tulisannya jelek. 

Hari berganti dengan normal. Di kampus, Vivi masih terjebak perang dingin dengan Sasa. Mimi jadi korban terjebak di antara dua sahabat,mending kalau dua sahabatnya itu cowok ganteng, lah ini dua cewek pecicilan.

Sebagai pihak netral Mimi bagai burung merpati pengantar pesan, bolak-balik menyalurkan ucapan kedua sahabat karena walau mereka selalu bersama, tapi saling tidak mengakui keberadaan lawan.

"Mimi, sudah dapat kelompok buat tugas Pengantar Ilmu Hukum, belum?" tanya Vivi, biasanya Sasa menawari, tapi sekarang dia terpaksa mencari kelompok.

Mimi mengangguk. "Sama Sasa. Kurang satu member, mau ikut?"

"Mimi, kamu ngomong sama siapa?" Sasa menaik turunkan kaca mata lalu mengendus-endus sesuatu di sekitar Vivi. "Kok bau tai ayam, ya? Ada berak berjalan."

Vivi tidak mau kalah. "Mi, kamu dengar? Seperti ada lubang pantat bicara, bau mencret."

Seisi kelas suka banget menonton acara seperti ini, mereka memang hobi melihat drama.

Dengan kasar Mimi menggebrak meja hingga suaranya mengundang mata dari seluruh penghuni kelas menoleh ke arahnya. Sambil mengelus telapak tangan yang memerah, dia memandang bergantian Vivi dan Sasa. "Ayo baikan! Dikira enak apa, terjebak dalam perang dua kampret. Ayo baikan atau kalian bisa ucapkan selamat tinggal pada persahabatan!"

Sasa dan Vivi saling pandang tapi keduanya berat mengangkat tangan. Biasa, ego.

"Kalau enggak mau baikan, aku bakalan menganggap kalian sudah punah, mengerti?" bisik Mimi, dia berhasil membuat keduanya bersalaman selama sedetik lalu

Mimi manggut-manggut. "Nah, begini kan enak. Tenteram."

"Yah, bubar," keluh teman-teman, mereka kecewa tontonan tadi telah usai anti klimaks.

Buku Kejora menjadi senjata untuk memulai percakapan. Vivi tadi membawa Buku itu ke kampus supaya tidak dikuasai Kakak. Sekarang dia menaruh benda itu ke atas meja, mendorong mendekati Sasa. 

"Apaan nih?" Sasa bingung mendapati buku itu.

"Buat kamu. Maaf."

Sasa mengambil buku, buru-buru memasukan dalam tas. Sepertinya buku itu obat manjur untuk mengembalikan hubungan persahabatan. "Santai aja, aku juga salah kemarin."

"Sa, kemarin di toko buku kamu membahas masalah promo."

"Oh, cara promo yang baik dan benar?" Sasa berdeham biar terdengar keren. "Ada triknya. Begini, di aplikasi itu, satu akun bisa promo sepuluh kali ke wall orang. Kamu juga bisa gabung grup kepenulisan di f******k, promo di sana. Sudah buat akun promo?" Sasa berbaik hati meminjamkan akun-nya. "Pakai itu aja, sudah tidak aku pakai lagi."

Mendapat akun baru Vivi langsung promo. Ketika asik-asiknya promo pakai akun baru, tidak sengaja jarinya menekan tombol vote ke novel miliknya sendiri, jumlah vote di novelnya bertambah. Vivi merenung sesaat. Otak yang biasanya cuma dipakai menghalu hal-hal tentang cowok ganteng sekarang  berpikir keras hingga senyum nakal muncul di bibir. Dia menekan follow dan jumlah follower-nya berkurang, lalu dia menekan lagi follow, jumlah followernya bertambah.

"Oh, jadi begini cara kerjanya. Kok tidak kepikiran dari kemarin, ya?"

"Apaan, kok cengar-cengir sendiri?" selidik Sasa, belum paham maksud Vivi.

WarmIceBoy

Jangan ditiru ya, tingkah si Vivi.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status