Share

6. Kakak Baik Hati

Di bawah naungan langit yang sama, beda tempat dan beda suasana.

April tampil cantik dengan gaun sabrina hitam panjang, duduk manis di jok depan mobil Camry keluaran terbaru warna hitam. Sesekali ia menoleh ke arah kursi kemudi sambil tertawa mendengar ucapan pemuda gendut berkaca mata, keturunan Tiongkok berpipi tembem lucu yang memakai kemeja dengan rompi sweeter tanpa lengan. Dia Rafa Rafi, mau dipanggil Rafa bisa, Rafi juga tak apa.

"Your so beautiful," puji Rafa.

"Thank you."

"Jadi, buat apa nih, nyari editor?"

April menjelaskan duduk perkara pada Rafa, mulai dari Vivi yang aneh sampai masalah plagiat dan penulis novel. Rafa mendengar dengan baik sekali, kadang memberi tanggapan dengan anggukan tetap fokus pada jalan di depan.

"... gitu." April menutup curhat dengan helaan napas berat, lalu bertanya, "Bagaimana, bisa bantu enggak?"

"Bantu gimana?" Rafa diam cukup lama hingga ketika sampai di lampu merah, mobil berhenti, baru menjawab. "Aku punya kenalan penerbit, tapi novelnya harus ori dan bagus."

"Haduh, berat Fa, enggak punya jalan keluar yang lain, apa? Ayolah, kamu kan biasanya cerdas."

Cukup lama Rafa berpikir hingga nyaris lima menit baru dia memberi jawaban. "Kalau begitu coba aku kenalkan sama editor nomor satu di Indonesia."

"Hah? Emang ada peringkat editor di Indonesia?"

Rafa menggeleng sambil tertawa renyah. "Intinya dia tuh top markotop. Kamu tahu enggak, novel Kejora buku satu sampai dua, dia yang ngedit."

"Yakin, dia mau menolong Vivi?"

Rafa tak sempat menjawab pertanyaan itu karena Mobil mewah yang dikemudikan masuk ke lahan parkir. Di sana seorang tukang parkir meniup peluit sambil menggerak-gerakkan telapak tangan, membantu mobil untuk parkir. Cukup banyak mobil-mobil mewah berjajar di sana, dan banyak wanita bergaun pesta juga pemuda berpakaian formal berjalan menuju arah gedung megah.

Setelah selesai memarkir mobil, dengan penuh perhatian Rafa membukakan pintu untuk sang bidadari, tangan kanannya memayungi April supaya tidak kejedot ketika turun dari mobil. Keduanya bergandengan tangan masuk ke gedung mewah menuju ballroom.

Suara obrolan dan musik slow jazz menyambut keduanya. Beberapa gadis yang dikenal mendekat memeluk April selayaknya sahabat. Gadis yang tak kalah cantik memandang ujung sepatu hak tinggi hitam sampai ke wajah April.

"Duh, cantik banget pakai gaun begini, biasanya juga kaos oblongan ya," ujar Airin, dari nada bcara, gadis itu benar-benar tulus memuji.

"Biasanya enggak cantik, ya?" sindir pemuda kekar yang bersalaman dengan April, lalu menyalami Rafa.

"Bukan gitu, Nyet. Biasanya enggak pakai banget," sahut Airin.

Pemuda yang dipanggil Nyet menepuk-nepuk perut Rafa. "April, buruan nikah, sampai bunting gini, tanggung jawab!"

"Ye, bunting dibuat sendiri kok aku yang disalahi." April tertawa bersama mereka, teman-teman kuliah dan beberapa senior.

"Psst, jangan asal bacot," bisik Rafa. "Ntar dikira kita mengejek mempelai wanita, loh."

Mereka bungkam menutup mulut, memandang sekitar.

Hari ini pernikahan salah satu junior mereka, yang ... well, hamil duluan. Gadis itu anak pejabat, kaya raha, juga cantik, cowoknya seorang berandal, masih pakai anting gede yang membuat daun telinga berlubang bundar luas, berwajah burik. Jomplang banget. Kedua orang tua gadis itu juga tak merestui hubungan mereka hingga perut anaknya semakin besar.

 "Pinter yang cowoknya," ujar Nyet, berdiri dalam balut jas hitam sambil memasukkan satu tangan ke saku celana, lalu meneguk wine merah. Ia tak henti mengamati tubuh indah April, terutama kulit yang terpampang. "Kamu cantik sekali, Pril."

"Biasa aja. Airin juga cantik."

Keduanya mengamati Airin yang tengah mengambil makanan bersama Rafa.

"Well, tidak seterek macam kamu. Lihat badanmu, lekuk kurva dengan dada bundar indah. Pas di tanganku."

April mencubit keras pinggang si Nyet. Banyak cowok yang sependapat dengan Nyet, hanya saja April lebih memilih masa depan dari pada kesenangan dunia. Dia hafal cowok-cowok banyak yang bejat seperti mempelai pria di atas pelaminan. Rafa pun tidak berbeda, tapi setidaknya dengan badan buntal seperti itu April mampu menekan nafsu hingga sampai sekarang mereka tak pernah melebihi pegangan tangan, pelukan dan kecupan di bibir.

"Kapan nyusul nih?" tegur seorang gadis yang menghampiri April dari samping.

"Nyusul apaan?"

"Menyusul sama Rafa ke pelaminan. Pacaran mulu, cepetan nikah."

"Dia mau nikah sama aku, cuma sungkan sama Rafa mau mutusin, ye kan?" celetuk Nyet, gurauan yang menantang lirik dari Airin yang baru datang membawa makanan.

"Aku sih oke aja, kalau mau malah besok nikah juga enggak apa-apa, cuma calon mempelainya tuh," celetuk Rafa, berdiri di sebelah April sambil membawa piring penuh makanan.

"Dah enggak usah bercanda terus, fokus ke pesta." Begitu cara April mengalihkan pembicaraan. Terus terang dia masih enggan menikah. Banyak hal yang menjadi alasan, salah satunya masih ingin melajang.

ketika acara foto-foto, Rafa dan April duduk bersebelahan di kursi lipat di sudut ruang, menikmati hidangan sambil menyaksikan keurakan teman-teman yang memenuhi pelaminan.

"Masalah editor, menurutmu bagaimana, Fa?" tanya April.

"Vivi buat novel tentang apa?" Selidik Rafa.

April bingung harus menjawab apa. Di lain sisi ia ingin berbagi info, tapi di sisi lain juga malu. Novel yang ditulis adiknya amburadul seperti tempat pembuangan akhir sampah di DKI Jakarta.

Diamnya April mengundang Rafa untuk lanjut bicara, "Kalau mau dibantu, ya setidaknya harus terbuka, Pril. Tenang aja, Vivi sudah kuanggap sebagai adik sendiri sejak masih kuliah dulu. Ingat kan?"

April mengangguk kecil. Ia sangat ingat betapa sayangnya Rafa kepada keluarganya. Sejak dulu, setiap datang ke rumah, cowok ini selalu membawa hadiah untuk Ibu dan Bapak dan untuk Vivi selalu dihadiahi boneka, makanan, juga kaset-kaset DVD. Cara ampuh guna membuat keluarga April bertekuk lutut dan memuji Rafa sebagai anak baik.

"Semenjak lulus SMA Vivi keranjingan menulis di aplikasi online," jawab April.

"Bagus dong."

"Ya bagus kalau dia menulis dengan benar, tapi tulisannya tuh jelek banget. Tau sendiri, dia malas membaca, maunya serba instan. Lah kasarannya mau makan mie instan juga harus dimasak dulu, kan?"

"Ya enggak lah, aku loh sering makan mie instan cuma kuremas-remas, terus kasih bumbu ... ya, kamu benar, bahkan makan mie instan juga harus dimasuk dulu." 

"Vivi beberapa minggu terakhir mulai gila," ujar April.

"Loh, bukannya dulu pernah test ke rumah sakit jiwa hasilnya negatif?" Rafa kembali diam sesaat, khawatir akan lirikan tajam gadis di sebelahnya itu. "Terus-terus, gimana?"

"Ya gila aja, dia membuat banyak akun palsu, bukan cuma untuk promosi, tapi memfollow akun utama dia, memberi vote, dan menambah jumlah viewer. Aku enggak ingin dia terjebak dalam dunia halusinasi buatannya sendiri. Parahnya dia ... plagiat, mungkin sih."

"Plagiat, merampok karya orang lain, gitu? Jadi ceritamu tadi serius?"

April mengangguk. "Sebagai Kakak aku enggak mau dia menyesal kelak. Aku mau dia berusaha dengan sungguh-sungguh di jalan yang benar. Percuma banyak yang baca, banyak vote, tapi palsu, atau kelak jika sukses sekalipun pasti rasanya bakal hambar." 

Rafa mengangguk kecil. Melihat mata April mulai sayu, ia menggenggam telapak tangan gadis itu, sambil menjawab, "Kamu santai saja, semua bakal baik-baik saja. Kan ada aku di sini, ya."

"Makasih Fa, kamu emang cowok terbaik yang pernah kutemui. Jadi, kapan kita bisa bertemu dengan editor itu?"

"Tapi enggak gratis."

"Maksudmu?"

"Ya aku bisa mengenalkan Vivi dengan editor yang kubilang tadi, tapi kamu harus mau menikah denganku, minimal tunangan, lah."

"Kok gini sih." April menarik tangannya. "Kamu kan tau, aku ingin kuliah dulu, membangun karir."

"Iya tau, tapi kamu juga harus tau. Di dunia ini banyak serigala. Bagaimana kalau kamu dimakan? Aku bagaimana? Setidaknya ikat hubungan, tunangan. Kedua orang tua kita harus ketemu."

"Maksa--"

"Iya, aku maksa. Karena aku enggak mau kehilangan kamu, Pril."

Wajah Rafa benar-benar serius, tiada tekuk sedikit pun di kulit mengkilapnya. April was-was, bagaimana kelak jika terkekang? Terlebih untuk menikah. Dia bukan hanya menikahi Rafa, tapi juga keluarga Rafa.Terlepas dari itu hati kecil April berbunga-bunga. Kesungguhan cowok ini untuk membangun keluarga benar-benar berani.

April menjawab, "Well ... tunangan."

"YES!"

"Heh, malu." April memandang sekitar, banyak orang menoleh, berbisik-bisik pula. Ia kembali fokus pada Rafa. "Tapi tunangan dulu, enggak mau nikah buru-buru."

"Enggak apa-apa, yang penting ada ikatan dan kejelasan. Kalau sudah begini kan tandanya kamu serius--"

"Dan aku baru mau bertunangan jika editormu benar-benar mampu membuat Vivi sukses menulis novel. Bagaimana?"

Tanpa berpikir panjang Rafa menjawab, "Deal!"

Dengan begini Rafa berhasil mendapat apa yang dia mau, begitu pula dengan April. Sehabis bubar pesta, April benar-benar memanfaatkan keadaan. Dia membawa Rafa ke sebuah mall megah, membeli tas branded, baju branded, bahkan iphone terbaru, plus perhiasan mahal. Tak lupa dia membeli boneka kelinci raksasa juga makanan kesukaan ibu, getuk goreng. Rafa sendiri tak masalah akan hal ini, bahkan dia membelikan sepatu baru untuk April, Ibu, Vivi, juga Bapak. Orang yang sedang bahagia memang pemurah hatinya.

"Pril, kalau kamu mau nikah, aku udah siapin apartemen, mobil, sama uang tabungan. Nanti pesta kita di pulau private, terus bulan madu ke Bulan."

April terkekeh. "Ngarang ah, masak ke bulan."

"Serius. Sekarang ada tuh, tour bulan. Terus pulangnya, kita keliling dunia. Kemanapun kamu mau, akan kuturuti."

Keduanya pulang pada jam malam. Mobil berhenti di depan pintu gerbang rumah April. Rafa membawa nyaris semua barang bawaan bertemu Ibu yang langsung disalami tangannya. Tak lama-lama Rafa berada di sana, karena sudah malam.

"Salam buat Vivi, ya," ujar Rafa, memacu mobil sambil melambai kepada kedua wanita yang melambai di teras rumah. Setelah mobil menghilang dari jangkauan mata, Ibu dan April masuk ke rumah.

"Bu, Vivi mana? Kok rumah sepi banget? Sudah pulang, kan?" tanya April, sambil menutup pintu rumah.

"Sudah kok, dia di kamar tuh. Mau apa?"

"Ada deh."

"Jangan diganggu. Sepertinya dia sedang badmood."

"Oke."

April bergegas menuju kamar Vivi. Dia mengetuk beberapa kali pintu kamar, semakin kencang sampai berbunyi seperti orang menggedor pintu. "Vi, Kakak masuk ya! Ini ada hadiah nih buat kamu, dari Rafa. Vi? Beneran masuk loh ini."

Beruntung pintu tidak dikunci sehingga April bisa masuk. Dia menyalakan lampu kamar, menaruh boneka kelinci raksasa ke atas meja belajar. "Vi--ya Tuhan, kamu kenapa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status