Pertemuan demi pertemuan terjadi. Vivi patuh pada ajaran Anjas karena belum mengerti teknik menulis yang benar. Jangankan KBBI, beda narasi dan dialog tag saja belum paham. Syukur berkat skill dan kesabaran di atas rata-rata, Anjas berhasil membimbing.
Anjas pula memuji draft milik Sasa, hingga membuatnya berani mengirim draft ke publisher Mayor.
Semua berjalan dengan mulus hingga memasuki bagian proses meracik plot dan karakterisasi tokoh dalam cerita yang Vivi tulis. Mulai tercipta riak diantara mereka.
Vivi merasa ini kisah nyata berbasis kejadian masa lalu, dia lebih mengenal diri sendiri juga cowok yang ada di masa lalu. Ia juga lebih paham kejadian apa yang terjadi kala itu dan menganggap Anjas sok tahu karena mengatur ini dan itu. Proses ini melelahkan, dua kali pertemuan mereka seperti berjalan di tempat.
Hari ini pun tak berbeda dengan kemarin. Keduanya debat hingga menyita banyak perhatian dari pengunjung juga pelayan.
"Yang benar dong ka
Hari ini Vivi menemui Anjas seorang diri di restoran tempat biasa mereka berkumpul. Ia duduk di kursi, berayun kaki sambil menonton TV. Suara senandung lembut keluar dari mulut ketika kepala bergerak pelan ke kiri dan kanan.Band Miracle Never Die sedang tampil di TV. Bukan hanya Vivi, beberapa gadis pengunjung juga gadis pelayan fokus ke layar menikmati penampilan mereka. Anggota band terdiri dari vokalis, gitaris, keyboardis, drummer, semua tampan dan keren. Yang menjadi sorotan utama adalah Alvin. Vokalis muda yang memiliki suara merdu. Ia bernyanyi dengan lepas. Selain itu juga penampilan mirip aktor Korea muda membuat pamor melesat seperti roket menuju bintang di angkasa. Ia juga ditawari main di film layar lebar.Namun, yang membuat pemuda itu menjadi idola Vivi karena nama. Alvin Alvaro, nama yang sama dengan cowok masa lalu cinta pertama. Nama itu pasaran, kan? Lagi pula seingatnya Alvin dulu kurus dan berkulit warna sawo mata
Cahaya hangat matahari pagi menyusup melalui sela pintu kaca koridor yang terbuka sedikit menerpa kulit kuning langsat Vivi. Suara senandungnya menggema pelan ketika ia memilih pakaian. Beberapa helai kemeja milik Kakak terkapar di kasur. Beberapa lagi berada di atas meja belajar.Dia mencoba memakai baju blouse besar lengan panjang sutera berwarna vanila yang membuat penampilan tambah imut di depan kaca. Ini date pertama dengan seorang cowok spesial, seseorang yang dikagumi pada pandangan pertama.Ia tahu jika mungkin Anjas melakukan hal ini ada maksud lain. Mungkin untuk memanas-manasi Anis. Siapa yang peduli? Bukan salahnya jika kelak pemuda itu takluk akan kemanisannya. Memikirkan hal itu membuat Vivi tersenyum sinis."Gayamu Vi, kek tokoh antagonis mau nyiksa protagonis.""Apaan sih!" keluh Vivi kepada Kakaknya yang berdiri bersandar daun pintu kamar."Pake tabir surya." Sebotol lotion April lempar ke muka adiknya. "Ntar mau main ke mana aja?"
Keheningan dalam mobil sesekali pecah oleh dengus nafas kencang Anis.Apa yang dia lihat sangat menyayat hati. Dari matahari merangkak naik hingga tenggelam, hanya keromantisan menjijikkan Anjas dan Vivi. Harusnya dia yang berada di posisi Vivi, karena dua telah lama mengenal Anjas. Satu tahun bersama, beratus kenangan indah tercipta. Kenapa sekarang harus Vivi?"Sekarang maumu apa?" tanya Ismed, ketika mobil yang ia kendarai terjebak kemacetan. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai dia menghindarimu?""Aku juga enggak tahu. Semenjak buku kejora terbit, dia seperti itu." Jari telunjuk tangan Anis menulis sesuatu di jendela pintu. "Ketika menulis Kejora tiga, dia menjauh. Gadis itu harus membayar perbuatannya.""Vivi enggak tahu apa-apa, loh. Dia hanya--""Kau ada di pihak mana?""Nis, aku hanya tak ingin kelak kamu menyesali--""Aku mendapat info menarik tentang gadis bernama Vivi," ujar Anis. "Gadis itu pernah terlibat kasus plagiat."
Cinta memang tak pernah datang mengetuk terlebih dahulu, tapi langsung mendobrak seperti SWAT team masuk ke ruang penuh penjahat bersenjata. Begitu yang Vivi rasakan. Cintanya tiba-tiba datang di toko buku. Walau bermula dari sebuah insiden yang sebenarnya tak perlu terjadi, sekarang dia malah sering bersama-sama dengan pemuda idaman.Anjas. Menyebut namanya saja membuat Vivi tersenyum. Setiap malam kala sepi, bibir mungilnya selalu menyebut nama itu sambil terlentang di atas kasur. Pemuda itumemang bukan cinta pertama, tapi yang paling dominan.Mungkin faktor umur juga mempengaruhi.Akan tetapi ketika memikirkan kejadian bersama Anis, semua bayang indah mengenai cinta sirna. Jiwanya menjadi hampa. Seperti semangka yang isinya disedot keluar sampai sebiji-bijinya. Ia tak bisa menutup mata dengan sempurna. Bahkan tak bisa bertahan berada di atas kasur lama-lama.Dia hapal setiap jengkal bagian kamar. Gelap bukan halangan untuk
Hari demi hari berganti. Vivi mengupload buku yang dia tulis untuk mengikuti lomba. Kali ini rasa puas benar-benar membuatnya tersenyum lepas. Ini rasa yang hanya bisa didapat ketika mengerjakan sesuatu dengan kemampuan dan usaha sendiri. Rasa yang tak mungkin dia cicipi dengan melakukan plagiat cerita atau membuat ribuan akun kloningan.Semakin banyak orang membaca cerita yang dia tulis karena Mimi selalu mengiklankan novel di IG. Bahkan Mimi menyuruh para follower untuk menyebar pesan berantai.Sementara itu, Sasa menanti janji dari Anis. Berkali-kali dia mengirim pesan ke nomor yang diyakini milik penulis terkenal itu, akan tetapi boro-boro di balas, dibaca saja tidak. Merasa tak sabar ia nekat menghubungi pihak penerbit ABC yang katanya mengurus naskahnya.Ia menanti telepon diangkat sambil duduk seorang diri di gazebo taman kampus. Dan beruntung seseorang mengangkat telepon."Penerbit ABC, ada yang bisa dibantu?" Suara pemuda
Takdir siapa yang tahu. Banyak manusia bicara kalau ini semua sudah takdir, tapi mereka tetap berusaha. Walau ... enggak semua berusaha dengan benar, seperti Vivi. Siapa yang bisa menebak jika sekarang dia menjadi terkenal.Dahulu dia sombongan, urakan, bahkan ada yang bilang gila. Sekarang setelah paham akan susahnya menulis dan berhasil. Dia semakin menjadi-jadi.Pagi-pagi sekali Vivi datang ke kampus, membayar orang untuk memasang spanduk. Setelah selesai memasang, dia membayar orang-orang itu pakai uang jajan yang ditabung selama seminggu."Eh, itu Mahasiswi sini,kan?" bisik seseorang yang melintas di belakang Vivi. "Kok ada spanduk segala? Apa dia menang sesuatu?""Dibaca, Kak, cibaca tulisan di spanduk," keluh Vivi, berdiri bersila tangan tanpa menoleh.Sebuah spanduk besar membentang di atas gapura lahan parkir kampus, menyambut semua orang yang memasuki area itu. Kebanyakan dari mereka cuek. Akan tetapi beberapa orang sempat ber
Hari ini Vivi bertemu dengan Anjas di kebun bibit. Sasa dan Mimi ikut bersama mereka. Alasan Mimi mau membuat instastory dan Sasa membantunya. Setidaknya mereka berada jauh di dekat danau membiarkan Vivi berdua dengan Anjas duduk di foodcourt teduh nan ramai pengunjung.Sesekali embusan angin segar menerpa wajah Vivi. Suara obrolan pengunjung juga suara berita terdengar dari tv tabung tak mengusiknya. Ia terlalu fokus duduk manis memperhatikan Anjas.Sesekali dia tersenyum mendengar Anjas membaca komentar-komentar dalam cerita yang diupload ke aplikasi menulis. Suaranya lembut tak bosan didengar.Sesekali lesung tipis muncul menghias pipi Anjas. Kebiasaan lain yang Vivi hafal ialah jari telunjuk panjang sering mendarat ke bawah hidung. Pemuda itu sering bersandar santai ketika menikmati bacaan. Kacamata baca yang ia kenakan seperti dinding yang berusaha menyembunyikan mata yang kadang menyipit kala tertawa.Vivi menerka apa Anis juga melihat semua i
Vivi memandang jengah kedua sahabatnya yang sedang girang memakai helm, naik ke motor masing-masing. "Kalian kenapa ikut?""Kan diajak," sahut Mimi."Betul betul betul, diundang enggak boleh nolak," jawab Sasa."Boleh kok, tolak aja, lebih bagus," ujar Vivi, memasang raut jutek."Emang situ siapa?" jawab Sasa, cekikikan. "Lagian kalau kamu berangkat sendiri, nanti malah terjadi hal yang enggak diinginkan. Dosa."Memang itu yang Vivi inginkan. Berdua dengan Anjas, cuddling, mencoba menggali lebih jauh siapa sosok pemuda itu, dan mencari kesempatan untuk memastikan hubungan apa yang mereka bentuk.Motor sport Anjas berhenti di dekat motor mereka. Pengemudinya membuka helm menyapa dengan senyum. "Kalian kalau nanti ketinggalan sampai nyasar, langsung gas aja ke daerah Lida Wetan, dekat Universitas Surabaya. Tahu kan?""Oh tahu lah Kak, Kampus yang dulu IKIP dan masuk sepuluh kampus terbaik seindonesia, kan?" tanya Mimi, mendapat anggukan dari A