Vivi memandang jengah kedua sahabatnya yang sedang girang memakai helm, naik ke motor masing-masing. "Kalian kenapa ikut?"
"Kan diajak," sahut Mimi.
"Betul betul betul, diundang enggak boleh nolak," jawab Sasa.
"Boleh kok, tolak aja, lebih bagus," ujar Vivi, memasang raut jutek.
"Emang situ siapa?" jawab Sasa, cekikikan. "Lagian kalau kamu berangkat sendiri, nanti malah terjadi hal yang enggak diinginkan. Dosa."
Memang itu yang Vivi inginkan. Berdua dengan Anjas, cuddling, mencoba menggali lebih jauh siapa sosok pemuda itu, dan mencari kesempatan untuk memastikan hubungan apa yang mereka bentuk.
Motor sport Anjas berhenti di dekat motor mereka. Pengemudinya membuka helm menyapa dengan senyum. "Kalian kalau nanti ketinggalan sampai nyasar, langsung gas aja ke daerah Lida Wetan, dekat Universitas Surabaya. Tahu kan?"
"Oh tahu lah Kak, Kampus yang dulu IKIP dan masuk sepuluh kampus terbaik seindonesia, kan?" tanya Mimi, mendapat anggukan dari A
Kedua tangan Ismed bersembunyi dalam saku celana panjang kain hitam. Ia tertunduk memandang ujung sepatu pantofel kulit hitam mengkilat, bingung harus mulai dari mana. Menghadapi sosok yang dibenci tentu tak mudah.Anjas tahu kehadirannya bukan untuk sekedar bertamu. Pasti ada hubungan dengan Anis, apa lagi yang membuat si sial datang kemari jika bukan karena itu. Cukup lama dia menanti Ismed untuk membuka mulut, tapi yang ia dapat hanya raut wajah dingin penuh misteri.Anjas menoleh ke kiri dan kanan. "Mana Nonamu? Apa kau keluar kandang seorang diri?" Hinaannya tetap gagal memancing suara Ismed terdengar. "Kalau enggak ada yang ingin dibicarakan, pulanglah. Aku sibuk, banyak tamu di dalam, jangan ganggu lagi--""Ini tentang Anis," sela Ismed, mengangkat kepala.Anjas menyeringai berbalik badan hendak membuka pintu. "Pulanglah, jaga Nonamu dengan baik dan jangan pernah datang kemari lagi.""Begitu? Masalah ini berhubungan dengan
Anjas lemah dengan air mata. Tembok besar benteng hati ambruk begitu melihat kriptonite itumengalir di pipi gadis. Memakai cara itu Anis menang, membuatnya mau membantu mengedit draft. Tempat pertemuan mereka di rumah Anis, gadis itu yang menentukan sepihak.Cahaya matahari menerpa motor Anjas yang terparkir di depan gedung apartemen. Ia duduk di motor hendak memakai helm, hingga hp bergetar membuatnya terdiam sejenak. Sebuah pesan masuk dari Vivi.[Kak, bisa anterin enggak? Penting nih, butuh Kakak]Ia tersenyum kecil sesaat. Anjas telah membuat janji terlebih dahulu bersama Anis. Tak mungkin dia membatalkan sepihak dan mendadak. Lagi pula Vivi bisa berangkat sendiri dengan motor sendiri, menurutnya gadis itu hanya manja.[Maaf enggak bisa. Minta temani Sasa atau Mimi aja.]Setelah menyimpan hp ke saku kemeja, ia segera memakai helm, memacu motor pergi dari sana.Anjas melalui jalan yang sama seperti beberapa bulan yang lalu. Ja
Alvin memandang heran gadis dihadapannya. Terlalu tua untuk menjadi Vivi dan terlalu muda untuk menjadi Tante. Jelas hanya satu sosok yang tersisa, yaitu April, si galak yang dulu selalu jahil menutup hidung kala bertemu sambil mengejek bau tai kucing baru keluar dari bokong. Sekarang sosok itu menjadi gadis berbody sekelas peragawati dan berparas cantik. Pastinya Vivi tak jauh beda dari kakaknya."I-ini ... ini bukan mimpi kan?" tanya April, memegang kedua pipi. Mulutnya menganga lebar."Bukan lah. Ini Kak, ada oleh-oleh buat Kakak. Semoga masih suka empek-empek Palembang."Alvin menyodorkan kantong plastik berukuran besar bergambar salah satu produsen empek-empek terkemuka. Dia membeli online barang itu karena tak sempat mampir ke Palembang.April bengong gagal kedip melihat sosok di depan. Sosok yang biasanya hanya bisa dilihat di tv, sekarang bisa dipegang-pegang lengannya, dicubit, dielus, perut pun bisa dielus dan ditepuk-tepuk. April me
Senyum manis itu membuat Vivi tak bisa memberi jawab. Bukan hanya begitu menggoda dan rasa gemas ingin mencubit pipi Alvin, tapi dia tak ingin menyakiti hatinya. Lagi pula jika menerima cinta Alvin, bagaimana dengan Anjas? Andai Alvin datang lebih cepat semua pasti lebih mudah. Kenapa baru datang sekarang setelah rasa cinta lain tumbuh. "Gimana Vi?" tanya Alvin. "Kamu belum punya pacar, kan?" Vivi menggeleng dengan cepat. "Belum sih, cuma--" "Aduh, kenapa mereka bisa kemari?" "Mereka? Mereka siapa?" Tiba-tiba beberapa pria berjaket kulit hitam nampak melangkah cepat di ujung jalan. Vivi menoleh ke belakang, lalu memandang Alvin. Wajah imutnya pucat pasi. Dia bangkit menggandeng gadis di sebelah untuk berdiri. "Ayo kabur." "Heh?" Vivi bingung, memandang mereka bergantian. "Kenapa kabur? Mereka siapa?" "Udah, ayo kabur aja." Keduanya berlari menuju arah lain dari datangnya para pria aneh. Sesekal
Setiap hari bertambah buruk. Anis berhasil membuat Efendi untuk step out bicara tentang pengalamannya ketika Vivi membajak karyanya. Kali ini banyak support untuk Efendi, dan Vivi tersudut. Dia berusaha cuek akan masalah ini, tapi tidak bisa. Apalagi ketika Anis mengaitkan masalah Efendi dengan masalah Bunga, dengan kalimat, "Sekali kamu melakukan plagiat, pasti bakal melakukanya lagi dan lagi."Vivi mencoba menutup mata juga telinga, tapi iklan buku Bunga ada di mana-mana. Ketika Vivi menuju ke kampus, spanduk di toko buku membuatnya muak. Buku Bunga lagi dan lagi. Di kampus Vivi berusaha menonton Youtube untuk ketenangan, tapi iklan bodoh itu muncul, membakar dirinya sampai ke ubun-ubun. Setiap adegan di sana benar-benar membuatnya ingin teriak, menghujat Bunga, sosok yang tak dia kenal apalagi lihat sebelumnya.Tekanan mulai bertambah berat. Ketika pergantian mata kuliah Vivi berjalan bersama teman-teman. Teman-teman di kampus yang biasanya tak peduli pada hal berba
Setelah Vivi pulih, Anjas mengajak bertemu langsung dengan pihak penerbit super mayor EmangZituOkey yang bakal menjadi penerbit buku milik Bunga. Tempat pertemuan mereka berada di salah satu ruang penerbit Rayon, penerbit mayor Rayon, yang bakal menerbitkan buku Vivi. Vivi duduk berbagi sofa panjang dengan Sasa, Mimi dan April. Sementara Rafa duduk di sofa tunggal karena badannya terllau besar untuk nyempil. Mereka menonton debat Anjas dengan orang publisher EmangZituOkey. Anjas dan pria gendut itu duduk di kursi lipat bersebelahan, menghadap tiga orang wakil penerbit Rayon. Suara tinggi Anjas menggema seantero ruang, bahkan Vivi yakin orang-orang di luar bisa mendengar suaranya. "Ini enggak mungkin. Aku sendiri yang membimbing Vivi menulis novel. Dan kalimat itu aku yang koreksi, aku yang bantu memilih kalimat. Jadi dia jelas bukan seorang plagiat. Yang ada malah Bunga yang plagiat novel Vivi, karena semua kata-kata itu milik kami, mengerti?" P
Sebelum menyerang ke sarang serigala, harus punya senjata. Begitu kata Mimi. Idenya membuat viral video klarifikasi masalah Efendi. Menurutnya Anis dan Bunga pasti bakal memakai masa lalu Vivi sebagai amunisi kelak ketika berdebat. Dengan membuat klarifikasi langsung bersama Efendi, Anis kelak tak bisa memakai masalah ini sebagai amunisi.Vivi berdiri di depan auditorium kampus bersama Sasa. Beberapa Mahasiswa dan Mahasiswi sibuk menata kursi lipat juga meja. Beberapa dosen mengobrol di sudut ruang sambil sesekali memandang Vivi."Udah, kamu tenang aja, semua sudah diatur," ujar Mimi. Kaosnya basah keringat, begitu juga wajah. Semerbak aroma tak sedap memaksa Vivi dan Sasa menutup hidung. Melihat ini Mimi mencium ketiaknya sendiri dan hidungnya mengkerut. "Ntar sore acaranya mulai, aku mandi dulu, ntar ke sini lagi sama Efendi.""A-apa?" Sasa bingung. "Efendi ... Efendi yang korban Vivi? Kok bisa?""Bisa lah, Mimi gitu loh. Dah dulu, aku mau m
Beberapa hari berlalu. Vivi menumpang mobil Rafa bersama April, Mimi dan Sasa. Selama perjalanan mereka menonton berita di TV kecil yang berdiri di dashboard. Seorang gadis wartawan melakukan liputan langsung. 'Miracle never die menggoyang Medan. Ribuan penonton memenuhi Stadion Teladan. Penampilan terbaik malam ini membuat para penonton puas dan ...' Tiba-tiba kamera menyorot muka Alvin, pemuda itu bertepuk tangan dua kali, kebiasaan ketika bakal bicara sesuatu yang penting, seperti pengumuman dan sebagainya. 'Untuk gadis yang kusayang. Aku masih menanti jawabmu.' Sontak semua penonton bersorak histeris. Terlebih Alvin pakai mengedip satu mata. Wartawan mengambil alih perhatian kamera. 'Demikian berita dari saya. Kita kembali ke saudara Hermansyah untuk berita-berita selanjutnya.' "Busyet dah, Vi, Vivi, Alvin tanya apaan?" ujar Mimi sambil mendorong lengan Vivi yang duduk di bangku tengah, tepat di sebelahnya. Vivi terdo