Alvin memandang heran gadis dihadapannya. Terlalu tua untuk menjadi Vivi dan terlalu muda untuk menjadi Tante. Jelas hanya satu sosok yang tersisa, yaitu April, si galak yang dulu selalu jahil menutup hidung kala bertemu sambil mengejek bau tai kucing baru keluar dari bokong. Sekarang sosok itu menjadi gadis berbody sekelas peragawati dan berparas cantik. Pastinya Vivi tak jauh beda dari kakaknya.
"I-ini ... ini bukan mimpi kan?" tanya April, memegang kedua pipi. Mulutnya menganga lebar.
"Bukan lah. Ini Kak, ada oleh-oleh buat Kakak. Semoga masih suka empek-empek Palembang."
Alvin menyodorkan kantong plastik berukuran besar bergambar salah satu produsen empek-empek terkemuka. Dia membeli online barang itu karena tak sempat mampir ke Palembang.
April bengong gagal kedip melihat sosok di depan. Sosok yang biasanya hanya bisa dilihat di tv, sekarang bisa dipegang-pegang lengannya, dicubit, dielus, perut pun bisa dielus dan ditepuk-tepuk. April me
Senyum manis itu membuat Vivi tak bisa memberi jawab. Bukan hanya begitu menggoda dan rasa gemas ingin mencubit pipi Alvin, tapi dia tak ingin menyakiti hatinya. Lagi pula jika menerima cinta Alvin, bagaimana dengan Anjas? Andai Alvin datang lebih cepat semua pasti lebih mudah. Kenapa baru datang sekarang setelah rasa cinta lain tumbuh. "Gimana Vi?" tanya Alvin. "Kamu belum punya pacar, kan?" Vivi menggeleng dengan cepat. "Belum sih, cuma--" "Aduh, kenapa mereka bisa kemari?" "Mereka? Mereka siapa?" Tiba-tiba beberapa pria berjaket kulit hitam nampak melangkah cepat di ujung jalan. Vivi menoleh ke belakang, lalu memandang Alvin. Wajah imutnya pucat pasi. Dia bangkit menggandeng gadis di sebelah untuk berdiri. "Ayo kabur." "Heh?" Vivi bingung, memandang mereka bergantian. "Kenapa kabur? Mereka siapa?" "Udah, ayo kabur aja." Keduanya berlari menuju arah lain dari datangnya para pria aneh. Sesekal
Setiap hari bertambah buruk. Anis berhasil membuat Efendi untuk step out bicara tentang pengalamannya ketika Vivi membajak karyanya. Kali ini banyak support untuk Efendi, dan Vivi tersudut. Dia berusaha cuek akan masalah ini, tapi tidak bisa. Apalagi ketika Anis mengaitkan masalah Efendi dengan masalah Bunga, dengan kalimat, "Sekali kamu melakukan plagiat, pasti bakal melakukanya lagi dan lagi."Vivi mencoba menutup mata juga telinga, tapi iklan buku Bunga ada di mana-mana. Ketika Vivi menuju ke kampus, spanduk di toko buku membuatnya muak. Buku Bunga lagi dan lagi. Di kampus Vivi berusaha menonton Youtube untuk ketenangan, tapi iklan bodoh itu muncul, membakar dirinya sampai ke ubun-ubun. Setiap adegan di sana benar-benar membuatnya ingin teriak, menghujat Bunga, sosok yang tak dia kenal apalagi lihat sebelumnya.Tekanan mulai bertambah berat. Ketika pergantian mata kuliah Vivi berjalan bersama teman-teman. Teman-teman di kampus yang biasanya tak peduli pada hal berba
Setelah Vivi pulih, Anjas mengajak bertemu langsung dengan pihak penerbit super mayor EmangZituOkey yang bakal menjadi penerbit buku milik Bunga. Tempat pertemuan mereka berada di salah satu ruang penerbit Rayon, penerbit mayor Rayon, yang bakal menerbitkan buku Vivi. Vivi duduk berbagi sofa panjang dengan Sasa, Mimi dan April. Sementara Rafa duduk di sofa tunggal karena badannya terllau besar untuk nyempil. Mereka menonton debat Anjas dengan orang publisher EmangZituOkey. Anjas dan pria gendut itu duduk di kursi lipat bersebelahan, menghadap tiga orang wakil penerbit Rayon. Suara tinggi Anjas menggema seantero ruang, bahkan Vivi yakin orang-orang di luar bisa mendengar suaranya. "Ini enggak mungkin. Aku sendiri yang membimbing Vivi menulis novel. Dan kalimat itu aku yang koreksi, aku yang bantu memilih kalimat. Jadi dia jelas bukan seorang plagiat. Yang ada malah Bunga yang plagiat novel Vivi, karena semua kata-kata itu milik kami, mengerti?" P
Sebelum menyerang ke sarang serigala, harus punya senjata. Begitu kata Mimi. Idenya membuat viral video klarifikasi masalah Efendi. Menurutnya Anis dan Bunga pasti bakal memakai masa lalu Vivi sebagai amunisi kelak ketika berdebat. Dengan membuat klarifikasi langsung bersama Efendi, Anis kelak tak bisa memakai masalah ini sebagai amunisi.Vivi berdiri di depan auditorium kampus bersama Sasa. Beberapa Mahasiswa dan Mahasiswi sibuk menata kursi lipat juga meja. Beberapa dosen mengobrol di sudut ruang sambil sesekali memandang Vivi."Udah, kamu tenang aja, semua sudah diatur," ujar Mimi. Kaosnya basah keringat, begitu juga wajah. Semerbak aroma tak sedap memaksa Vivi dan Sasa menutup hidung. Melihat ini Mimi mencium ketiaknya sendiri dan hidungnya mengkerut. "Ntar sore acaranya mulai, aku mandi dulu, ntar ke sini lagi sama Efendi.""A-apa?" Sasa bingung. "Efendi ... Efendi yang korban Vivi? Kok bisa?""Bisa lah, Mimi gitu loh. Dah dulu, aku mau m
Beberapa hari berlalu. Vivi menumpang mobil Rafa bersama April, Mimi dan Sasa. Selama perjalanan mereka menonton berita di TV kecil yang berdiri di dashboard. Seorang gadis wartawan melakukan liputan langsung. 'Miracle never die menggoyang Medan. Ribuan penonton memenuhi Stadion Teladan. Penampilan terbaik malam ini membuat para penonton puas dan ...' Tiba-tiba kamera menyorot muka Alvin, pemuda itu bertepuk tangan dua kali, kebiasaan ketika bakal bicara sesuatu yang penting, seperti pengumuman dan sebagainya. 'Untuk gadis yang kusayang. Aku masih menanti jawabmu.' Sontak semua penonton bersorak histeris. Terlebih Alvin pakai mengedip satu mata. Wartawan mengambil alih perhatian kamera. 'Demikian berita dari saya. Kita kembali ke saudara Hermansyah untuk berita-berita selanjutnya.' "Busyet dah, Vi, Vivi, Alvin tanya apaan?" ujar Mimi sambil mendorong lengan Vivi yang duduk di bangku tengah, tepat di sebelahnya. Vivi terdo
Seisi ruang gaduh. Para wartawan membombardir pihak penerbit EmangZituOkay dan Bunga dengan beratus pertanyaan. Suara gaduh mereka tak mempengaruhi Anis yang dengan cueknya duduk tertunduk, tak peduli pada sekitar, memilih merenung, hanyut dalam pikiran sendiri. Semua ucapan tentang Anjas kembali menyerang. Dia tak bermaksud berkata seperti tadi. Hanya saja banyak orang penerbit EmangZituOkay, membuat ucapan tentang anjas terlontar begitu saja. Ia takut jika menentang penerbit, maka untuk buku selanjutnya bakal susah untuk terbit di sana. Bibir bergetar. Ia meremas celana bagian dengkul. "Kau yang salah Njas. Kenapa memulai ...," gumamnya dengan lirih. Tiba-tiba telapak tangan Ismed mendarat di kepalan tangannya. Begitu hangat dan lembut menggenggam kepalan. "Semua sudah berakhir," bisiknya. "Yang sudah berlalu, biarkan menjadi kenangan, Nis. Sekarang lihat ke depan. Bangun masa depan. Jadikan semua ini sebagai pembelajaran." A
Anis berdiri bersandar daun pintu. Kemeja kebesaran kusut menjadi satu-satunya pakaian yang ia kenakan. Kaki seksi itu terpampang jelas, rambut kusut, dan sekarang ia menguap lebar."Kalau enggak ada yang mau dibicarakan, mending pergi.""Heh, Jalang, ngapain kau di sini?" sentak Mimi hendak melabrak, tapi Vivi menahannya."Ini kan apartremen pacarku, ya bebas dong. Oh iya, maaf ya, kemarin aku terlalu kasar sama kalian. Oh iya, mau masuk? Tapi maaf, apartemennya berantakan, tadi malam kami habis ... kamu tahu kan, Anjas stalion yang hebat di ranjang, jadi lemes banget nih."Telinga vivi terbakar amarah. Hatinya terendam kesedihan, kekecewaan. Ia mencoba tersenyum ketika mata berkaca-kaca. "Sampaikan salam buat Kak Anjas. Permisi." Dia angkat kaki dengan tergesa dari sana."vi? Vivi!" Mimi menuding muka Anis. "Ada ya, manusia sepertimu?""Yang cantik? Yang cerdas?" Anis tertawa kecil. "Mending kejar sahabatmu, siapa tau dia mau b
Suara gemercik air jatuh menggema dalam ruang. Hangat air shower mengguyur badan. Uap menutup bagian tubuh indah kekar. Perlahan aliran air di bawah kaki membawa pergi sisa busa sabun. Anjas merenung mengingat kejadian tadi malam sebelum pergi dengan Anis. Perlahan menutup mata dan semua muncul secara nyata ...Anjas menendang tong sampah di lahan parkir. Benda itu menggelinding. Beberapa sampah makanan ringan, kaleng kosong, berhamburan di jalan berpaving. Ia berusaha mengatur napas yang tak beraturan."Aku enggak percaya dia bicara seperti itu di depan umum." Ia berbalik menghadap Rafa. Pemuda gendut itu duduk merenung di pinggir trotoar, tertunduk lemas. "Kamu tahu kan, aku berjuang untuk Anis dulu. Kejora satu, kejora dua, semua aku yang mengedit dan seenak udel dia bilang--""Paham, aku tahu, aku melihatnya juga," ujar Rafa. "Sekarang bagaimana? Pernikahanku dengan April bisa gagal kalau buku cerita Vivi gagal terbit.""Kamu kira aku enggak kena masa