Share

Listen to Your Heart [1]

“Hai, Nef! Baru pulang, ya? Kok sesore ini? Biasanya kan kamu hampir nggak pernah kuliah sore,” ucap seseorang.

Sapaan basa-basi itu membuat alisku terangkat seketika. Tidak ada orang lain yang dipanggil “Nef” selain aku, Nefertiti Kamelia. Akan tetapi, mengingat siapa pemilik suara, rasanya sangat tak masuk akal jika diriku yang disapa. Karena orang itu bukanlah sosok ramah yang selama ini menjadi teman baikku.

“Nef! Dipanggil kok diam aja, sih?” ulang si penanya dengan nada penasaran.

Mau tak mau, langkahku melamban dengan mata tertuju ke satu arah. Pada seorang cewek yang sedang duduk di salah satu bangku beton berpayung. Thea, namanya. Sungguh, aku benar-benar tidak yakin jika Thea sedang bicara denganku. Namun karena sekali lagi dia menyerukan namaku, aku pun tahu jika tidak sedang bermimpi.

“He-eh, terpaksa. Karena hari ini ada jadwal kuliah yang digeser,” balasku dengan suara tak jelas, antara menjawab dan berdeham. Bahkan aku mulai merasa mual dengan kalimat basa-basi yang meluncur dari bibirku. Hanya saja, aku terpaksa melakukan itu karena tak ingin dianggap menyalahi etika.

“Oh. Pantesan kamu pulang sesore ini. Kirain baru datang entah dari mana.” Thea tersenyum seraya mengangkat cangkir, menyesap isinya. Aku terperangah menatapnya. Barusan, Thea tersenyum padaku? Bagaimana bisa?

Jika memang ada keajaiban dunia ke delapan, mungkin inilah dia. Thea yang bersikap ramah padaku. Tak tahu harus menjawab apa, aku justru melihat kesempatan itu untuk pamit. Sungguh, sekujur tubuhku akan gatal-gatal bila terlalu lama mengobrol dengan gadis ini. Karena itu, aku pun berjalan dengan langkah cepat menuju kamar setelah mengangguk sopan. Kepalaku diriuhkan oleh ombak pertanyaan yang susul-menyusul.

Aku menjadi salah satu penghuni di tempat indekos itu selama tiga bulan terakhir. Selama itu pula dia nyaris tak pernah mendengar sapaan ramah Thea seperti tadi. Cewek itu cenderung bersikap menyebalkan, judes, dan suka menghina. Kalau kamu mengira tokoh-tokoh antagonis di sinetron Indonesia itu terlalu berlebihan, kamu akan meralat pendapatmu setelah bertemu Thea. Gadis ini memang luar biasa sombong dan mengesalkan.

“Thea itu mana punya perasaan, sih? Dia merasa makhluk spesial di muka bumi ini, yang lain cuma manusia rendahan. Harusnya dia hidup di masa Perang Dunia Kedua dan jadi asistennya Hitler. Mereka klop.” Komentar bernada kesal itu diucapkan oleh salah satu temanku yang pernah menjadi korban bully Thea dan pindah tempat tinggal karena gadis itu.

“Aku nggak pernah paham kenapa ada orang-orang yang bisa bersikap jahat ke orang lain? Memangnya menyiksa orang lain itu bisa bikin bahagia, ya?” timpal entah siapa, aku tidak benar-benar ingat. Maklumlah, kala itu aku masih penghuni baru dan belum nyaman terang-terangan mengutarakan opiniku. Bukan karena takut tapi karena ingin melihat situasi lebih dulu. Aku harus mengenali teman-teman baruku, kan?

Tempat indekos yang kutinggali itu cukup terkenal. Rumah Borju, itu julukan sinisnya. Meski bukan nama yang enak didengar, julukan itu telanjur populer. Tempat itu berjarak tak sampai setengah kilometer dari kampusku, Universitas Dwi Darma. Pemilik rumah, keluarga Patrianagara, membangun 32 kamar di halaman samping dan belakang yang luas.

Kamar-kamar dibangun menempati dua lantai dengan ukuran yang sama. Semuanya terisi penuh meski dibanderol dengan harga sewa yang cukup tinggi dan harus dibayar minimal untuk enam bulan ke depan sebelum pindah. Tiap kamar sudah diisi dengan perabotan berkualitas bagus dan dilengkapi kamar mandi. Aku menempati kamar di lantai bawah.

“Saya lebih suka tinggal di lantai dasar aja, Bu,” kataku pada pemilik indekos saat ditawari melihat kondisi kamar di lantai dua juga. “Saat pulang kuliah dan dalam kondisi capek, pasti malas naik tangga untuk menuju ke kamar,” imbuhku tanpa di minta.

Rumah Borju kupilih karena menyediakan privasi dan keamanan yang lebih dari cukup. Tempat indekos lamaku pernah kemalingan, salah satu penghuninya bahkan nyaris diperkosa. Itulah sebabnya aku memilih pindah walau di tempat lama sudah telanjur betah. Aku harus melakukan survei serius untuk memilih tempat tinggal yang baru sebelum memilih Rumah Borju. Karena aku tak mau menetap di tempat indekos yang keamanannya tidak terjamin.

Setiap kamar di Rumah Borju ini dilengkapi dengan ranjang, lemari, serta meja rias yang berfungsi ganda sebagai meja belajar. Semuanya barang-barang dengan merek ternama yang terjamin mutunya. Hanya satu yang kurang kusukai dari kamarku, warna jordy blue yang melapisi dindingnya. Buatku, warna itu terlalu gelap. Namun, aku tak bisa mengajukan keluhan dan menolak tinggal di situ hanya karena persoalan warna cat dinding.

“Kenapa kamu pindah ke Rumah Borju, Nef?” tanya salah satu teman kuliahku, Viera.

“Terpaksa, Vie. Tempat kosku yang lama, kemarin kemalingan. Sampai dua kali dalam waktu lima minggu. Yang terakhir, malah bikin merinding karena ada temanku yang hampir diperkosa,” aku bergidik.

“Ya Tuhan!” seru Viera. Gadis ini tinggal tak jauh dari tempat indekosku yang lama. Dulu, kami sering pulang berdua, hanya satu kali naik angkutan. “Barangmu ada yang hilang?”

Aku menggeleng. “Untungnya nggak ada. Tapi yang punya tempat kos terkesan kurang peduli sama masalah keamanan. Akhirnya, banyak yang mutusin untuk pindah,” beri tahuku.

“Oh, gitu. Ternyata ada alasan serius. Pantas aja kamu pindah ke Rumah Borju. Awalnya aku heran karena kayaknya tempat itu nggak cocok buatmu, Nef,” respons Viera.

Aku tertawa kecil. “Memang, Vie. Tapi, urusan keamanan, di Rumah Borju juaranya. Makanya aku pindah ke sana. Lagi pula, nggak terlalu jauh dari kampus. Bisa jalan kaki.”

“Hmmm, iya. Anggap aja olahraga tiap kali pulang dan pergi ke kampus ya, Nef,” gurau Viera sambil tertawa kecil.

Seperti yang kukatakan pada Viera, pemilik Rumah Borju memang sangat memperhatikan masalah keamanan. Buktinya, mereka mempekerjakan beberapa orang satpam yang berjaga bergantian. Hanya ada satu pintu untuk keluar masuk. Kamera CCTV pun dipasang di berbagai titik. Pendeknya, tempat indekos khusus untuk perempuan itu, cukup mirip dengan perkampungan kecil nan nyaman.

Selain masalah kemanan, pemilik Rumah Borju pun memberi lumayan banyak fasilitas yang menyamankan para penghuninya. Salah satu yang cukup mencolok, dibangunnya kolam renang sesuai standar olimpiade di halaman belakang, tak jauh dari kamarku. Juga tersedia jaringan Wi-Fi yang bebas dimanfaatkan selama 24 jam penuh.

Tak cuma itu, makanan pun mendapat perhatian khusus. Ada pihak ketiga yang melayani katering untuk kami semua. Cita rasa makanannya sudah jelas enak, dengan menu yang variatif. Selain itu, semua yang disediakan pun tergolong makanan bergizi.

Selain kamar yang nyaman, di halaman depan yang luas, dipasang beberapa bangku beton yang dibangun terpisah dan diteduhi oleh payung lebar. Taman di rumah itu cukup terawat dengan aneka tanaman yang aku sendiri  tidak tahu namanya. Jika ingin bersantai, bisa duduk di bangku beton atau menempati kursi-kursi malas di sekitar kolam renang.

“Biaya kos di Rumah Borju pasti mahal ya, Nef?” tanya Viera suatu kali.

Mau tak mau, aku mengangguk. “Iya,” sahutku tanpa berani menyebutkan angkanya. “Untungnya aku nggak harus bayar sendiri, Vie. Mamaku yang bayar,” selorohku.

“Kayak apa rasanya jadi teman satu kosnya Thea yang terkenal itu?” Viera ingin tahu.

“Biasa aja, Vie. Nggak istimewa,” sahutku dengan nada datar.

Bicara soal Thea, aku lebih tua setahun dibanding gadis itu. Akan tetapi, kami berkuliah di semester yang sama walau beda fakultas. Aku adalah mahasiswi fakultas ekonomi. Sementara Thea menjadi salah satu primadona fakultas hukum yang memang menawan mata. Ke mana pun gadis itu melangkah, perhatian para cowok ikut tersedot. Seolah sekujur tubuh Thea adalah medan magnet. Sayang, entah kebetulan atau tidak, seperti banyak cewek cantik lainnya yang sering tampil di film-film, Thea memiliki beberapa sifat buruk. Catat, beberapa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Momoy
Udah banyak 🌚
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status