Share

Listen to Your Heart [2]

Yang paling mencolok, Thea tidak sungkan menyindir hingga menghina orang yang dianggap tak selevel dengannya. Entah siapa yang memberi hak pada Thea untuk bersikap seperti itu. Aku adalah salah satu korbannya. Makanya tadi aku kaget saat dia menyapaku dengan gaya ramah yang sama sekali tak cocok dengan gadis itu.

Thea pernah menghinaku dengan kata-kata “cewek berselera rendah” setelah dia tahu bahwa aku suka berbelanja di toko loak. Gadis itu selalu punya kosakata untuk menghina orang lain. “Keterampilan” yang kadang membuatku takjub.

“Kamu tinggal di kos-kosan sekeren ini tapi malah hobi belanja di pasar loak. Ck ck ck, seleramu bikin aku merinding.” Itu salah satu hinaan yang pernah dilemparkan Thea ke wajahku. Biasanya, dia masih menambahkan dengan beberapa kalimat lainnya.

Aku terganggu, tentu saja. Namun aku memilih untuk berpura-pura tuli, mengabaikan semua kata-kata pedas yang tak pantas itu. Toh, Thea mustahil berubah. Lagi pula, aku sama sekali tidak berminat menjalin pertemanan dengan si perisak itu. Sindiran-sindiran Thea lebih baik dianggap serupa dengan dengungan lebah di kejauhan. Selalu ada makhluk pengganggu seperti Thea di dunia ini. Jika aku menunjukkan bahwa dia berhasil mengusikku, jangan-jangan dia makin bersemangat menggangguku.

Karena itu, sapaan ramahnya tadi terlalu mengejutkan. Rasanya, tak ada alasan rasional yang bisa kupikirkan. Selain kemungkinan bahwa Thea mengalami amnesia atau bertukar tubuh dengan seseorang. Ah, tapi untuk apa terlalu serius memikirkan Thea? Hanya membuang-buang energi saja. Ada banyak hal yang lebih penting di dunia ini untuk dipikirkan.

Aku menghabiskan waktu di kamar mandi lebih dari lima menit untuk membersihkan tubuhku yang lembap oleh keringat. Jumat ini menjadi hari yang melelahkan bagiku. Usai mandi, aku bersiap mengistirahatkan tubuhku yang letih. Namun, tentu aku harus mengisi perut terlebih dahulu.

Aku sedang menyisir rambut saat terdengar suara ketukan menginterupsi. Sambil melangkah ke arah pintu, aku sudah bisa menebak siapa yang akan kutemu.  Pasti Lita, teman sebayaku yang juga tinggal di sini dan sehari-hari bekerja di sebuah butik eksklusif.

Saat tangan kananku merentangkan pintu, rasa heran kembali mendominasi. Bukan Lita yang berdiri di depan pintu, melainkan Thea. Senyum lebarnya yang belum pernah ditujukan padaku, terlihat menyilaukan. Hingga aku pun mengerjap sebanyak tiga kali.

“Kamu ada perlu sama aku?” tanyaku blak-blakan.

“Iya. Aku cuma pengin tahu, besok kamu bakalan datang ke acaranya Vicky, nggak?” Thea menyebut salah satu nama cewek populer yang berkarib dengannya tapi satu fakultas denganku. Andai memutar mata di depan orang lain tergolong sopan, pasti aku melakukannya.

“Vicky Kamala?” tanyaku sebagai penegasan. Alisku terangkat.

“Iya. Memangnya ada berapa Vicky yang kamu kenal di sini?” Thea tertawa kecil.

“Aku nggak diundang,” responsku kalem sembari menekan rasa heranku yang terus menggeliat. “Vicky bikin acara apa? Tunangan, ya?” tebakku asal-asalan.

“Nggaklah, dia belum punya pacar. Jadi nggak mungkin tunangan untuk saat ini. Vicky ulang tahun yang ke-22, acaranya di Hotel Rubidium.” Thea menyebut nama sebuah hotel trendi yang baru beroperasi beberapa bulan di kota Pematangsiantar ini. “Masa kamu nggak diundang? Kalian kan satu jurusan, pasti pernah satu kelas juga. Mustahil nggak saling kenal.”

Itu mungkin pertanyaan paling aneh yang kudengar dalam kurun waktu sebulan terakhir. “Kami memang satu jurusan, dan tentunya pernah beberapa kali satu kelas juga. Tapi, Vicky mungkin nggak kenal sama aku, Thea. Kalaupun kenal, ngapain dia ngundang aku di acara spesialnya? Kami bahkan nggak pernah mengobrol,” ucapku jujur.

“Mungkin kamu belum dapat undangan atau apalah. Maklum aja, Vicky pasti lagi sibuk menyiapkan acara spesialnya. Setauku, semua teman satu jurusannya diundang, kok!” Thea lagi-lagi tersenyum.

Aku makin merasa tak nyaman. Di kepalaku, keramahan dan senyum Thea mirip seperti alarm tanda bahaya. Sejak kapan dia bersedia beramah-tamah dengan warga kelas teri sepertiku? Bukan berarti aku minder dan tak percaya diri. Melainkan karena aku realistis dan sangat tahu gadis seperti apa yang sedang berdiri di depan pintu kamarku.

Lagi pula, argumen Thea sungguh tidak masuk akal bagiku. Meski aku tahu Vicky berasal dari keluarga kaya dan tak mustahil mengundang seluruh teman satu jurusannya. Masalahnya, apa iya Vicky benar-benar mau melakukan itu? Untuk apa mengundang orang-orang yang tak akrab atau dikenal baik, kan?

Namun, aku memilih untuk tidak membantah. Aku bersandar di kusen pintu dengan rasa bingung memelintir perut. Pesta Vicky yang sudah pasti mewah itu tidak ada hubungannya denganku. Aku pun tak tertarik untuk mencari tahu, apalagi ikut hadir.

Thea berdeham pelan, terkesan agak ragu untuk bicara. “Gini Nef, aku pengin ngajak kamu ke pestanya Vicky. Kalaupun misalnya kamu belum dapat undangan, nggak masalah. Kamu pergi bareng aku aja. Tapi, aku ada acara dari siang sampai sore. Setelah balik ke sini dan mandi, baru kita pergi.”

Ini benar-benar kejutan terbesar abad ini! Thea yang selama ini tak sudi mengobrol denganku kecuali untuk menyindir atau mengejek, mendadak mengajakku datang ke pesta ulang tahun teman baiknya? Ini bukan April Mop, kan? Karena saat ini bulan Desember.

“Aku nggak bisa, Thea. Maaf. Mending kamu pergi bareng yang lain,” tolakku.

“Karena kamu nggak diundang?” tebak Thea.

“Hmmm, iya,” jawabku tanpa sungkan.

“Aku kan tadi bilang, mungkin kamu cuma belum dapat undangan aja. Lagian, kita datang bareng. Kamu nggak perlu cemas soal itu,” bantah Thea, tidak mau menyerah. “Jadi, besok bisa, kan?” desaknya, mengabaikan penolakanku.

“Duh, tetap nggak bisa, Thea!” Otakku bekerja keras untuk menemukan alasan yang paling logis. “Aku nggak punya gaun pesta. Sementara acaranya besok, di hotel bagus. Nggak keburu kalau harus mencari gaun baru.” Nyaris kutambahkan kata-kata untuk menyindir Thea yang selalu merendahkan selera pakaianku, tapi kubatalkan di detik-detik terakhir. Dia sudah berusaha bersikap baik padaku, kan? Tak ada salahnya sedikit menghargai upaya Thea.

“Kamu nggak punya gaun? Itu bukan masalah, kok! Aku punya gaun yang cocok sama kamu. Masih baru dan belum pernah dipakai. Memang tadinya pengin kukasih buatmu, Nef. Karena kayaknya lebih cocok untukmu,” ujarnya. “Jadi, besok kita bakalan bersenang-senang.”

Seperti datangnya yang mengejutkan, Thea berbalik dan pergi dengan efek yang sama. Meninggalkanku dalam keheranan. Aku pun menutup pintu kamar sembari mencoba mencari alasan logis untuk sikap aneh Thea. Selain mengajakku ke pesta teman baiknya, dia juga berniat memberi baju yang belum pernah dipakai karena menurutnya lebih cocok untukku? Namun, hingga mataku terpejam malam itu, aku tak juga menemukan jawaban. Akhirnya, aku mengambil satu kesimpulan sambil lalu yang tidak benar-benar kuyakini.

Thea mungkin memang memiliki kepribadian ganda. Atau, ada masalah dengan kepala gadis itu hingga sikapnya berubah drastis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status