Yang paling mencolok, Thea tidak sungkan menyindir hingga menghina orang yang dianggap tak selevel dengannya. Entah siapa yang memberi hak pada Thea untuk bersikap seperti itu. Aku adalah salah satu korbannya. Makanya tadi aku kaget saat dia menyapaku dengan gaya ramah yang sama sekali tak cocok dengan gadis itu.
Thea pernah menghinaku dengan kata-kata “cewek berselera rendah” setelah dia tahu bahwa aku suka berbelanja di toko loak. Gadis itu selalu punya kosakata untuk menghina orang lain. “Keterampilan” yang kadang membuatku takjub.
“Kamu tinggal di kos-kosan sekeren ini tapi malah hobi belanja di pasar loak. Ck ck ck, seleramu bikin aku merinding.” Itu salah satu hinaan yang pernah dilemparkan Thea ke wajahku. Biasanya, dia masih menambahkan dengan beberapa kalimat lainnya.
Aku terganggu, tentu saja. Namun aku memilih untuk berpura-pura tuli, mengabaikan semua kata-kata pedas yang tak pantas itu. Toh, Thea mustahil berubah. Lagi pula, aku sama sekali tidak berminat menjalin pertemanan dengan si perisak itu. Sindiran-sindiran Thea lebih baik dianggap serupa dengan dengungan lebah di kejauhan. Selalu ada makhluk pengganggu seperti Thea di dunia ini. Jika aku menunjukkan bahwa dia berhasil mengusikku, jangan-jangan dia makin bersemangat menggangguku.
Karena itu, sapaan ramahnya tadi terlalu mengejutkan. Rasanya, tak ada alasan rasional yang bisa kupikirkan. Selain kemungkinan bahwa Thea mengalami amnesia atau bertukar tubuh dengan seseorang. Ah, tapi untuk apa terlalu serius memikirkan Thea? Hanya membuang-buang energi saja. Ada banyak hal yang lebih penting di dunia ini untuk dipikirkan.
Aku menghabiskan waktu di kamar mandi lebih dari lima menit untuk membersihkan tubuhku yang lembap oleh keringat. Jumat ini menjadi hari yang melelahkan bagiku. Usai mandi, aku bersiap mengistirahatkan tubuhku yang letih. Namun, tentu aku harus mengisi perut terlebih dahulu.
Aku sedang menyisir rambut saat terdengar suara ketukan menginterupsi. Sambil melangkah ke arah pintu, aku sudah bisa menebak siapa yang akan kutemu. Pasti Lita, teman sebayaku yang juga tinggal di sini dan sehari-hari bekerja di sebuah butik eksklusif.
Saat tangan kananku merentangkan pintu, rasa heran kembali mendominasi. Bukan Lita yang berdiri di depan pintu, melainkan Thea. Senyum lebarnya yang belum pernah ditujukan padaku, terlihat menyilaukan. Hingga aku pun mengerjap sebanyak tiga kali.
“Kamu ada perlu sama aku?” tanyaku blak-blakan.
“Iya. Aku cuma pengin tahu, besok kamu bakalan datang ke acaranya Vicky, nggak?” Thea menyebut salah satu nama cewek populer yang berkarib dengannya tapi satu fakultas denganku. Andai memutar mata di depan orang lain tergolong sopan, pasti aku melakukannya.
“Vicky Kamala?” tanyaku sebagai penegasan. Alisku terangkat.
“Iya. Memangnya ada berapa Vicky yang kamu kenal di sini?” Thea tertawa kecil.
“Aku nggak diundang,” responsku kalem sembari menekan rasa heranku yang terus menggeliat. “Vicky bikin acara apa? Tunangan, ya?” tebakku asal-asalan.
“Nggaklah, dia belum punya pacar. Jadi nggak mungkin tunangan untuk saat ini. Vicky ulang tahun yang ke-22, acaranya di Hotel Rubidium.” Thea menyebut nama sebuah hotel trendi yang baru beroperasi beberapa bulan di kota Pematangsiantar ini. “Masa kamu nggak diundang? Kalian kan satu jurusan, pasti pernah satu kelas juga. Mustahil nggak saling kenal.”
Itu mungkin pertanyaan paling aneh yang kudengar dalam kurun waktu sebulan terakhir. “Kami memang satu jurusan, dan tentunya pernah beberapa kali satu kelas juga. Tapi, Vicky mungkin nggak kenal sama aku, Thea. Kalaupun kenal, ngapain dia ngundang aku di acara spesialnya? Kami bahkan nggak pernah mengobrol,” ucapku jujur.
“Mungkin kamu belum dapat undangan atau apalah. Maklum aja, Vicky pasti lagi sibuk menyiapkan acara spesialnya. Setauku, semua teman satu jurusannya diundang, kok!” Thea lagi-lagi tersenyum.
Aku makin merasa tak nyaman. Di kepalaku, keramahan dan senyum Thea mirip seperti alarm tanda bahaya. Sejak kapan dia bersedia beramah-tamah dengan warga kelas teri sepertiku? Bukan berarti aku minder dan tak percaya diri. Melainkan karena aku realistis dan sangat tahu gadis seperti apa yang sedang berdiri di depan pintu kamarku.
Lagi pula, argumen Thea sungguh tidak masuk akal bagiku. Meski aku tahu Vicky berasal dari keluarga kaya dan tak mustahil mengundang seluruh teman satu jurusannya. Masalahnya, apa iya Vicky benar-benar mau melakukan itu? Untuk apa mengundang orang-orang yang tak akrab atau dikenal baik, kan?
Namun, aku memilih untuk tidak membantah. Aku bersandar di kusen pintu dengan rasa bingung memelintir perut. Pesta Vicky yang sudah pasti mewah itu tidak ada hubungannya denganku. Aku pun tak tertarik untuk mencari tahu, apalagi ikut hadir.
Thea berdeham pelan, terkesan agak ragu untuk bicara. “Gini Nef, aku pengin ngajak kamu ke pestanya Vicky. Kalaupun misalnya kamu belum dapat undangan, nggak masalah. Kamu pergi bareng aku aja. Tapi, aku ada acara dari siang sampai sore. Setelah balik ke sini dan mandi, baru kita pergi.”
Ini benar-benar kejutan terbesar abad ini! Thea yang selama ini tak sudi mengobrol denganku kecuali untuk menyindir atau mengejek, mendadak mengajakku datang ke pesta ulang tahun teman baiknya? Ini bukan April Mop, kan? Karena saat ini bulan Desember.
“Aku nggak bisa, Thea. Maaf. Mending kamu pergi bareng yang lain,” tolakku.
“Karena kamu nggak diundang?” tebak Thea.
“Hmmm, iya,” jawabku tanpa sungkan.
“Aku kan tadi bilang, mungkin kamu cuma belum dapat undangan aja. Lagian, kita datang bareng. Kamu nggak perlu cemas soal itu,” bantah Thea, tidak mau menyerah. “Jadi, besok bisa, kan?” desaknya, mengabaikan penolakanku.
“Duh, tetap nggak bisa, Thea!” Otakku bekerja keras untuk menemukan alasan yang paling logis. “Aku nggak punya gaun pesta. Sementara acaranya besok, di hotel bagus. Nggak keburu kalau harus mencari gaun baru.” Nyaris kutambahkan kata-kata untuk menyindir Thea yang selalu merendahkan selera pakaianku, tapi kubatalkan di detik-detik terakhir. Dia sudah berusaha bersikap baik padaku, kan? Tak ada salahnya sedikit menghargai upaya Thea.
“Kamu nggak punya gaun? Itu bukan masalah, kok! Aku punya gaun yang cocok sama kamu. Masih baru dan belum pernah dipakai. Memang tadinya pengin kukasih buatmu, Nef. Karena kayaknya lebih cocok untukmu,” ujarnya. “Jadi, besok kita bakalan bersenang-senang.”
Seperti datangnya yang mengejutkan, Thea berbalik dan pergi dengan efek yang sama. Meninggalkanku dalam keheranan. Aku pun menutup pintu kamar sembari mencoba mencari alasan logis untuk sikap aneh Thea. Selain mengajakku ke pesta teman baiknya, dia juga berniat memberi baju yang belum pernah dipakai karena menurutnya lebih cocok untukku? Namun, hingga mataku terpejam malam itu, aku tak juga menemukan jawaban. Akhirnya, aku mengambil satu kesimpulan sambil lalu yang tidak benar-benar kuyakini.
Thea mungkin memang memiliki kepribadian ganda. Atau, ada masalah dengan kepala gadis itu hingga sikapnya berubah drastis.
Aku terbangun oleh dering ponsel, meluluhlantakkan tidur lelapku dengan kejam. Masih dengan mata setengah terpejam, tangan kananku bergerak pelan untuk menjangkau benda yang sudah mengganggu itu. Tanpa sengaja, gerakan yang tidak terkoordinasi dengan baik itu malah membuat ponselku terlempar ke lantai.Aku menggerutu pelan seraya memaksakan diri untuk membuka mata dan turun dari ranjang. Gawaiku masih bersuara kencang saat aku berhasil meraih benda itu. Untung saja telepon genggamku tidak rusak. Sambil mengerjap beberapa kali, aku membaca nama kakakku yang tertera di layar ponsel. Nike.Kalau boleh jujur, aku sangat ingin mengabaikan panggilan itu karena rasa kantukku masih memberati mata. Akan tetapi, aku tak bisa melakukannya. Karena kakakku itu takkan berhenti hingga berhasil mendengar suaraku. Nike memiliki kegigihan yang kadang membuatku merasa jengkel.“Kenapa Kakak nelepon jam setengah lima pagi, sih? Ini waktunya tidur untuk manusia normal,”
“Eh, tapi ini serius.” Lita mendadak berdiri dan memerhatikanku lebih saksama. “Gaun ini pasti mahal. Tapi yang jelas, bukan selera Thea. Dia kan ... apa ya?” Kening Lita dihiasi garis samar. “Hmmm ... Thea suka penampilan yang lebih dramatis. Lebih menarik perhatian.”“Alias heboh,” imbuhku. Aku berputar sekali lagi, memerhatikan efek dari pakaian yang kukenakan karena gerakan itu. “Terlepas dari sikapnya yang nyebelin, Thea memang pantas punya banyak fans. Cantik dan bergaya. Apa boleh buat, kita cuma bisa iri,” gurauku.“Tapi aku masih bingung lho, Nef! Kenapa Thea mendadak baik sama kamu, ya?” Lita kembali pada topik penuh misteri itu. Aku pun bertanya-tanya sejak kemarin dan belum menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati.“Kamu kira aku tau jawabannya?” Aku mengangkat bahu. Tanganku mulai membuka ritsleting gaun. “Kayaknya soal itu akan jadi misteri besar, Ta! Kamu p
Marco Narayana adalah cowok yang duduk di semester tiga fakultas hukum. Menurut desas-desus, cowok itu sempat kuliah di fakultas ilmu pengetahuan budaya hingga tiga semester. Lalu, mendadak Marco meninggalkan bangku kuliah, menganggur selama satu semester sebelum menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum. Entah apa penyebabnya.“Mungkin karena Marco baru ketemu passion-nya setelah buang-buang waktu kuliah di fakultas ilmu budaya.” Itu salah satu gurauan yang pernah kudengar. Tentunya dibisikkan di belakang Marco dan teman-temannya.Marco gampang dikenali karena beberapa hal. Yang paling mencolok, kehadiran tiga sahabatnya sejak SMA yang selalu berada di sekitar cowok itu. Levi, Yuma, dan Cliff. Kecuali Levi, yang lain adalah mahasiswa fakultas hukum. Sementara Levi menimba ilmu di fakultas ekonomi. Jika Marco masih semester tiga, teman-temannya sudah duduk di semester tujuh. Marco adalah cowok yang tergolong pendiam dan hemat kata, cuk
“Dari mana kamu dapat gaun ini?” desak Marco setelah aku termangu beberapa detik.Aku pun kembali mendongak. Di depanku, Marco sedang menatapku. Bukan jenis tatapan ramah yang bersahabat. Melainkan tatapan horor yang menjanjikan hal-hal menakutkan. Kepalaku mendadak kosong.“Hei, kamu kok malah memelototiku, sih?” tukas Marco tak sabar. Tangan kanan cowok itu digerak-gerakkan di depan wajahku. Seolah-olah aku setengah tak sadarkan diri.Kalimatnya membuat bibirku secara otomatis melantunkan makian. Kebiasaan lama yang kadang masih sulit untuk diredam. Efeknya, mata tajam Marco membulat. “Kamu bilang apa? ‘Sialan’?” sentaknya galak.Merasa tak ada gunanya berpura-pura, aku menjawab tegas. “Iya. Ada masalah?” Daguku terangkat, menunjukkan sikap menantang. “Kamu seenaknya mengajukan pertanyaan dengan cara nggak sopan. Nggak pakai basa-basi. Apa itu nggak pantas disebut ‘sialan’? Ha
Ubun-ubunku seakan terbakar. Aku tahu, penghargaan manusia paling idiot tahun ini baru saja kumenangkan. Seharusnya aku tak pernah percaya bahwa cewek seperti Thea bisa berubah manis tanpa alasan jelas. Ular selamanya tetap ular. Bahkan meski neraka menjadi sebeku Antartika di musim dingin.Namun, aku tahu jika tak boleh menampakkan emosi walau saat ini meninju wajah Thea adalah pilihan yang sangat menggiurkan. Aku tak mau harus berakhir di kantor polisi dan terpaksa menginap di penjara karena menganiaya anak orang. Karena itu, aku mati-matian berusaha tetap rasional dan menahan diri. Aku tak boleh melakukan kekerasan.Levi menyergah, “Thea, kenapa jadi begini? Seharusnya nggak perlu sampai heboh gini. Masalahnya juga jadi melebar ke mana-mana. Kalau kamu nggak....”“Lev, nggak usah ikut campur!” tukas Thea dengan nada tegas. “Ini nggak ada kaitannya sama kamu. Ini urusanku dengan Marco dan gadis ini,” ucapnya seraya menunjukk
“Hei, sakit, tau! Lepaskan tanganku!” bentak Thea sambil memelototiku. Dia berbalik untuk menghadap ke arahku.“Kamu kira aku ini pengemis? Aku nggak tertarik menerima sumbangan gaun bekas dari cewek sakit jiwa kayak kamu.” Untuk memberi efek dramatis, sengaja kutarik lengan Thea dengan kencang. Hingga gadis itu kembali mengaduh.Julie “Hei! Jangan....”“Kalau kamu berani maju, aku bakalan mencakar mukamu,” ancamku pada Julie. Lalu, aku menirukan kata-kata cewek itu tadi. “Kamu ada benarnya, Julie. Berkat kamu, aku bisa datang ke hotel sekeren ini dan ngerasain pakai baju yang dipesan khusus. Tapi, aku nggak mau ngetop sendirian. Kalian juga harus ikut terkenal. Senyum ya, ke arah kamera. Tuh, orang-orang sedang merekam kita,” kataku dengan nada manis yang palsu.Setelah kata-kataku tuntas, aku melepaskan cekalan tanganku di lengan Thea. Namun, aku masih belum selesai. Aku maju selangkah dengan t
Tahun ini, usiaku mencapai angka 23. Seharusnya, kuliahku sudah kelar. Akan tetapi, aku sempat menganggur usai menamatkan SMA. Setahun penuh aku mengikuti Mama yang pindah ke Perth setelah menikah untuk yang kedua kalinya dengan pria bernama Eddie Trevor.Ayah tiriku adalah pria bule berkewarganegaraan Australia yang berstatus lajang sebelum menikah dengan Mama. Uncle Eddie, begitu aku memanggilnya, kuanggap sebagai pria baik. Lelaki itu menyambut kehadiranku di rumahnya dengan tangan terbuka.Sayang, aku tidak betah di Perth. Niat untuk melanjutkan pendidikan di kota itu makin pupus seiring berjalannya waktu. Semangatku untuk tinggal dan berkuliah di Perth, kian mengempis saja. Hingga aku pun membuat keputusan drastis untuk kembali ke Indonesia.“Kak, aku nggak betah di sini. Aku pengin pulang ke Siantar,” aduku pada Nike, beberapa tahun silam. Dialah orang pertama yang kuminta opini sebelum bicara dengan Mama.“Kenapa? Padahal, kamu ka
“Mending nggak usah ngomong sama Thea kecuali ada di posisi antara hidup dan mati. Kadang, disapa baik-baik malah bikin dia punya bahan untuk ngeledek kita,” saran Lita ketika aku baru pindah ke Rumah Borju. Lita adalah orang pertama yang memperkenalkan diri dan mendatangi kamarku.Emosiku memang kadang masih gampang terpancing, seperti saat diprovokasi oleh Marco dan Thea. Walau saat ini aku sedang berjuang untuk menjadi orang yang lebih santai dan sabar. Akan tetapi, sebenarnya aku lebih dewasa dibanding usiaku yang sesungguhnya. Karena faktor keluarga dan lingkungan yang membentukku, kisah klise sebagai produk keluarga broken home.Ketika orangtuaku memutuskan bahwa perceraian adalah pilihan terbaik yang mereka punya, aku baru berusia sepuluh tahun. Tadinya, aku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Papa. Perceraian itu membuat duniaku berubah drastis. Semua yang kukenal, runtuh dan lenyap seketika.Dulu, aku berharap bisa tinggal be