Share

Joyride [1]

Aku terbangun oleh dering ponsel, meluluhlantakkan tidur lelapku dengan kejam. Masih dengan mata setengah terpejam, tangan kananku bergerak pelan untuk menjangkau benda yang sudah mengganggu itu. Tanpa sengaja, gerakan yang tidak terkoordinasi dengan baik itu malah membuat ponselku terlempar ke lantai.

Aku menggerutu pelan seraya memaksakan diri untuk membuka mata dan turun dari ranjang. Gawaiku masih bersuara kencang saat aku berhasil meraih benda itu. Untung saja telepon genggamku tidak rusak. Sambil mengerjap beberapa kali, aku membaca nama kakakku yang tertera di layar ponsel. Nike.

Kalau boleh jujur, aku sangat ingin mengabaikan panggilan itu karena rasa kantukku masih memberati mata. Akan tetapi, aku tak bisa melakukannya. Karena kakakku itu takkan berhenti hingga berhasil mendengar suaraku. Nike memiliki kegigihan yang kadang membuatku merasa jengkel.

“Kenapa Kakak nelepon jam setengah lima pagi, sih? Ini waktunya tidur untuk manusia normal,” gerutuku tanpa basa-basi. Aku sedang menguap saat mendengar Nike tertawa pelan.

“Jangan malas gitu, Nef! Ini udah siang, tau! Dan ini bukan jam setengah lima, tapi hampir setengah enam. Kamu udah salat Subuh, belum?”

“Belum,” jawabku jujur. Dibanding kakakku yang cukup taat beribadah, aku adalah si pemalas. Aku sangat suka menunda-nunda salat hingga waktunya mepet.

“Kakak lagi di Medan? Atau mau pamer kalau sekarang lagi berada di luar negeri?” Aku sengaja menyelipkan nada kesal di suaraku. Tawa kakakku terdengar lagi. Aku kembali melemparkan diri ke atas kasur yang empuk.

“Aku lagi di Jakarta, kok! Hari ini bakalan pulang ke Medan. Tapi kita belum bisa ketemu karena masih ada urusan kerjaan. Nanti kalau waktuku agak luang, aku bakalan pulang ke Pematangsiantar,” janjinya. “Aku merindukan adikku.”

“Ish, memangnya siapa yang pengin ketemu sama Kakak?” usikku, berlagak jual mahal. “Aku sehat dan baik-baik aja, andai Kakak pengin tahu dan harus bikin laporan ke Mama. Aku cuma kesal karena harus bangun sepagi ini.”

Nike terkekeh seraya menggumamkan beberapa kalimat yang isinya tak berubah sejak aku memilih kuliah di Pematangsiantar dan harus indekos. Sederet nasihat yang kadang membuatku merasa jengkel karena merasa diperlakukan seperti cewek bodoh yang pelupa.

“Ingat ya Nef, jaga makan dan jangan keluyuran kalau nggak penting-penting amat. Minum air putih yang banyak, selalu jaga kesehatan dan jangan sampai telat makan. Vitamin C yang aku kasih masih ada, kan? Minggu depan aku beliin lagi. Sa....”

“Oke, aku hafal daftar panjang petuahmu, Kak. Udah ah, aku nggak mau dengar. Pagi-pagi dibangunin dan diceramahi itu sama sekali nggak asyik,” protesku.

Namun, meski mulutku mengomel, aku bersyukur karena ada Nike dalam hidupku. Kakak yang begitu sabar menghadapiku meski kadang adiknya ini bicara lugas dengan nada tajam. Nike juga menjadi contoh panutan yang sempurna. Pramugari yang berdedikasi tanpa melepaskan perhatian kepada adiknya. Setelah orangtuaku bercerai, kakakku menjadi salah satu penopang penting dalam hidupku.

Dulu, Nike bersikeras agar aku melanjutkan kuliah di Medan. Tujuannya supaya kami bisa tinggal serumah. Namun, aku tetap lebih mencintai kota kelahiranku ini. Medan terlalu panas dan macet untukku. Apalagi, di Pematangsiantar ada universitas swasta yang cukup bagus. Aku bukan orang yang tergila-gila dengan kota besar dan ingin menjadi bagiannya.

“Ya udah, kututup dulu. Jangan lupa salat, Nef,” Nike mengingatkan.

Ketika kakakku mengakhiri teleponnya, kami mengobrol sekitar lima menit. Setelah itu, aku pun mengambil air wudu dan salat Subuh. Karena tidak mungkin kembali tidur, kuputuskan untuk membersihkan kamar. Aku bahkan sempat meminta bantuan salah satu satpam yang berjaga  untuk mengubah letak ranjang dan meja rias. Perabotan yang berubah tempat membuat kamar tampak berbeda. Aku sibuk hingga menjelang jam makan siang.

Kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan. Tubuhku lumayan letih karena sejak pagi nyaris tak berhenti bergerak. Akan tetapi, ada interupsi yang berasal dari ketukan di pintu. Aku pun kembali kaget karena berhadapan dengan Thea.

“Katanya kamu ada acara siang ini,” ucapku begitu saja. Aku heran karena gadis ini cukup rajin mendatangi kamarku sejak kemarin. Mataku tertuju pada tangan kanan Thea.

“Iya, aku mau pergi sebentar lagi. Temanku udah di jalan, mau ngejemput.” Thea menyerahkan benda yang dipegangnya ke arahku. “Nih, kamu pakai gaun ini untuk acaranya Vicky nanti malam. Pasti kamu bakalan makin cantik. Aku jemput jam setengah enam.”

Aku melongo. Barusan Thea menyebut kata “makin cantik”? “Hei, aku nggak ikutan ... Thea! Thea!” Aku berusaha memanggil Thea yang sudah membalikkan tubuh dan berjalan menjauh begitu gaun berwarna plum itu berpindah tangan. Aku bahkan sampai keluar kamar.

“Jangan kelamaan dandannya,” ucap Thea dari balik bahu kirinya. Akan tetapi, cewek itu tidak menghentikan langkahnya sama sekali. Aku terperangah dengan bibir terbuka.

“Kamu dan Thea sekarang udah jadi teman baik ya, Nef? Bersahabat?”

Komentar bernada sindiran itu berasal dari balik punggungku. Ketika berbalik, aku berhadapan dengan Lita yang sedang mengerutkan alis. Keheranan tergurat jelas di wajahnya.

“Jangan tanya, Ta! Aku pun sama bingungnya kayak kamu.” Aku memberi isyarat, mengundang Lita masuk ke kamar. Gadis itu menurut.

“Dia ngasih baju ini buatmu?” Lita membungkuk untuk mengelus gaun yang kuletakkan di atas ranjang.

“Aku mandi dulu, ya. Udah bau keringat. Gosipnya ditunda sebentar.”

Tanpa menunggu repons Lita, aku pun buru-buru menuju kamar mandi. Guyuran air membuatku merasa segar kembali setelah sejak tadi merasakan tubuh lengket oleh keringat.

Setelah aku keluar dari kamar mandi, Lita menuntutku untuk menggenapi janji. Sambil mondar-mandir di kamar, aku pun bercerita. Seperti biasa, Lita yang cenderung bereaksi heboh untuk sesuatu yang mengejutkannya, ber-wow entah berapa juta kali.

“Ta, nggak usah lebay gitu! Thea memang aneh karena mau ngobrol sama aku. Makin aneh karena ngajakin ke pesta Vicky yang selama ini sama sombongnya. Aku mendadak naik kasta dari rakyat jelata jadi bangsawan.” Aku tergelak sendiri karena ucapanku. Aku memasukkan sisir ke dalam laci, menatap ke arah kaca untuk terakhir kalinya. Ketika berbalik, Lita masih mengagumi gaun itu, kali ini sambil duduk di tepi ranjang.

“Nggak pengin nyoba gaunnya, Nef? Aku penasaran, pengin liat kamu pakai ini.”

“Aku nggak punya niat untuk ikut ke acara pesta kaum jetset,” tolakku sembari menggeleng. Aku duduk di sebelah Lita sambil menyapukan losion di kedua lutut.

“Istilah itu masih harus diperdebatkan. Kita kan penghuni Rumah Borju. Di mata dunia, kita juga termasuk golongan jetset,” gurau Lita. “Nah, sekarang kita abaikan dulu keanehan Thea yang memang nggak masuk akal itu.” Lita memindahkan gaun itu ke atas pangkuanku. “Mending cobain, Nef. Nggak ada ruginya, kan?”

Glabelaku berkerut. “Ngapain aku nyoba gaunnya Thea? Kurang kerjaan!”

“Jangan lihat Thea-nya, tapi gaunnya. Bagus gini. Sekali-kali, aku juga pengin lihat kamu pakai gaun. Nggak cuma celana jins yang dibeli di tukang loak. Ganti selera sesekali itu nggak dosa, lho! Siapa tau malah lebih cakep.”

Tawaku pecah. “Apa boleh buat, Ta. Baju loak itu justru unik dan beda. Nggak pasaran.” Aku akhirnya berdiri. “Okelah, nggak ada ruginya pakai gaun cantik sekali-kali.”

Ketika akhirnya aku berdiri di depan cermin dan berputar pelan, harus kuakui betapa bagus gaun itu. Tepukan tangan dari Lita pun mengukuhkan penilaianku. Tak hanya bahannya yang lembut dan halus. Melainkan juga modelnya yang sederhana sekaligus elegan.

Gaun itu hanya beberapa sentimeter melewati lutut, bermodel lurus. Ada bordiran cantik berbentuk bunga yang tersebar di beberapa bagian. Lehernya berbentuk persegi,  berlengan pendek, dengan sepasang dress clip yang terpasang di bagian bawah pundak.

“Duh, cantiknya! Setelah melihatmu....”

“Aku tau kamu mau bilang apa,” sergahku. “Sekarang kamu baru nyadar kalau aku cewek tulen, kan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status