Aku terbangun oleh dering ponsel, meluluhlantakkan tidur lelapku dengan kejam. Masih dengan mata setengah terpejam, tangan kananku bergerak pelan untuk menjangkau benda yang sudah mengganggu itu. Tanpa sengaja, gerakan yang tidak terkoordinasi dengan baik itu malah membuat ponselku terlempar ke lantai.
Aku menggerutu pelan seraya memaksakan diri untuk membuka mata dan turun dari ranjang. Gawaiku masih bersuara kencang saat aku berhasil meraih benda itu. Untung saja telepon genggamku tidak rusak. Sambil mengerjap beberapa kali, aku membaca nama kakakku yang tertera di layar ponsel. Nike.
Kalau boleh jujur, aku sangat ingin mengabaikan panggilan itu karena rasa kantukku masih memberati mata. Akan tetapi, aku tak bisa melakukannya. Karena kakakku itu takkan berhenti hingga berhasil mendengar suaraku. Nike memiliki kegigihan yang kadang membuatku merasa jengkel.
“Kenapa Kakak nelepon jam setengah lima pagi, sih? Ini waktunya tidur untuk manusia normal,” gerutuku tanpa basa-basi. Aku sedang menguap saat mendengar Nike tertawa pelan.
“Jangan malas gitu, Nef! Ini udah siang, tau! Dan ini bukan jam setengah lima, tapi hampir setengah enam. Kamu udah salat Subuh, belum?”
“Belum,” jawabku jujur. Dibanding kakakku yang cukup taat beribadah, aku adalah si pemalas. Aku sangat suka menunda-nunda salat hingga waktunya mepet.
“Kakak lagi di Medan? Atau mau pamer kalau sekarang lagi berada di luar negeri?” Aku sengaja menyelipkan nada kesal di suaraku. Tawa kakakku terdengar lagi. Aku kembali melemparkan diri ke atas kasur yang empuk.
“Aku lagi di Jakarta, kok! Hari ini bakalan pulang ke Medan. Tapi kita belum bisa ketemu karena masih ada urusan kerjaan. Nanti kalau waktuku agak luang, aku bakalan pulang ke Pematangsiantar,” janjinya. “Aku merindukan adikku.”
“Ish, memangnya siapa yang pengin ketemu sama Kakak?” usikku, berlagak jual mahal. “Aku sehat dan baik-baik aja, andai Kakak pengin tahu dan harus bikin laporan ke Mama. Aku cuma kesal karena harus bangun sepagi ini.”
Nike terkekeh seraya menggumamkan beberapa kalimat yang isinya tak berubah sejak aku memilih kuliah di Pematangsiantar dan harus indekos. Sederet nasihat yang kadang membuatku merasa jengkel karena merasa diperlakukan seperti cewek bodoh yang pelupa.
“Ingat ya Nef, jaga makan dan jangan keluyuran kalau nggak penting-penting amat. Minum air putih yang banyak, selalu jaga kesehatan dan jangan sampai telat makan. Vitamin C yang aku kasih masih ada, kan? Minggu depan aku beliin lagi. Sa....”
“Oke, aku hafal daftar panjang petuahmu, Kak. Udah ah, aku nggak mau dengar. Pagi-pagi dibangunin dan diceramahi itu sama sekali nggak asyik,” protesku.
Namun, meski mulutku mengomel, aku bersyukur karena ada Nike dalam hidupku. Kakak yang begitu sabar menghadapiku meski kadang adiknya ini bicara lugas dengan nada tajam. Nike juga menjadi contoh panutan yang sempurna. Pramugari yang berdedikasi tanpa melepaskan perhatian kepada adiknya. Setelah orangtuaku bercerai, kakakku menjadi salah satu penopang penting dalam hidupku.
Dulu, Nike bersikeras agar aku melanjutkan kuliah di Medan. Tujuannya supaya kami bisa tinggal serumah. Namun, aku tetap lebih mencintai kota kelahiranku ini. Medan terlalu panas dan macet untukku. Apalagi, di Pematangsiantar ada universitas swasta yang cukup bagus. Aku bukan orang yang tergila-gila dengan kota besar dan ingin menjadi bagiannya.
“Ya udah, kututup dulu. Jangan lupa salat, Nef,” Nike mengingatkan.
Ketika kakakku mengakhiri teleponnya, kami mengobrol sekitar lima menit. Setelah itu, aku pun mengambil air wudu dan salat Subuh. Karena tidak mungkin kembali tidur, kuputuskan untuk membersihkan kamar. Aku bahkan sempat meminta bantuan salah satu satpam yang berjaga untuk mengubah letak ranjang dan meja rias. Perabotan yang berubah tempat membuat kamar tampak berbeda. Aku sibuk hingga menjelang jam makan siang.
Kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan. Tubuhku lumayan letih karena sejak pagi nyaris tak berhenti bergerak. Akan tetapi, ada interupsi yang berasal dari ketukan di pintu. Aku pun kembali kaget karena berhadapan dengan Thea.
“Katanya kamu ada acara siang ini,” ucapku begitu saja. Aku heran karena gadis ini cukup rajin mendatangi kamarku sejak kemarin. Mataku tertuju pada tangan kanan Thea.
“Iya, aku mau pergi sebentar lagi. Temanku udah di jalan, mau ngejemput.” Thea menyerahkan benda yang dipegangnya ke arahku. “Nih, kamu pakai gaun ini untuk acaranya Vicky nanti malam. Pasti kamu bakalan makin cantik. Aku jemput jam setengah enam.”
Aku melongo. Barusan Thea menyebut kata “makin cantik”? “Hei, aku nggak ikutan ... Thea! Thea!” Aku berusaha memanggil Thea yang sudah membalikkan tubuh dan berjalan menjauh begitu gaun berwarna plum itu berpindah tangan. Aku bahkan sampai keluar kamar.
“Jangan kelamaan dandannya,” ucap Thea dari balik bahu kirinya. Akan tetapi, cewek itu tidak menghentikan langkahnya sama sekali. Aku terperangah dengan bibir terbuka.
“Kamu dan Thea sekarang udah jadi teman baik ya, Nef? Bersahabat?”
Komentar bernada sindiran itu berasal dari balik punggungku. Ketika berbalik, aku berhadapan dengan Lita yang sedang mengerutkan alis. Keheranan tergurat jelas di wajahnya.
“Jangan tanya, Ta! Aku pun sama bingungnya kayak kamu.” Aku memberi isyarat, mengundang Lita masuk ke kamar. Gadis itu menurut.
“Dia ngasih baju ini buatmu?” Lita membungkuk untuk mengelus gaun yang kuletakkan di atas ranjang.
“Aku mandi dulu, ya. Udah bau keringat. Gosipnya ditunda sebentar.”
Tanpa menunggu repons Lita, aku pun buru-buru menuju kamar mandi. Guyuran air membuatku merasa segar kembali setelah sejak tadi merasakan tubuh lengket oleh keringat.
Setelah aku keluar dari kamar mandi, Lita menuntutku untuk menggenapi janji. Sambil mondar-mandir di kamar, aku pun bercerita. Seperti biasa, Lita yang cenderung bereaksi heboh untuk sesuatu yang mengejutkannya, ber-wow entah berapa juta kali.
“Ta, nggak usah lebay gitu! Thea memang aneh karena mau ngobrol sama aku. Makin aneh karena ngajakin ke pesta Vicky yang selama ini sama sombongnya. Aku mendadak naik kasta dari rakyat jelata jadi bangsawan.” Aku tergelak sendiri karena ucapanku. Aku memasukkan sisir ke dalam laci, menatap ke arah kaca untuk terakhir kalinya. Ketika berbalik, Lita masih mengagumi gaun itu, kali ini sambil duduk di tepi ranjang.
“Nggak pengin nyoba gaunnya, Nef? Aku penasaran, pengin liat kamu pakai ini.”
“Aku nggak punya niat untuk ikut ke acara pesta kaum jetset,” tolakku sembari menggeleng. Aku duduk di sebelah Lita sambil menyapukan losion di kedua lutut.
“Istilah itu masih harus diperdebatkan. Kita kan penghuni Rumah Borju. Di mata dunia, kita juga termasuk golongan jetset,” gurau Lita. “Nah, sekarang kita abaikan dulu keanehan Thea yang memang nggak masuk akal itu.” Lita memindahkan gaun itu ke atas pangkuanku. “Mending cobain, Nef. Nggak ada ruginya, kan?”
Glabelaku berkerut. “Ngapain aku nyoba gaunnya Thea? Kurang kerjaan!”
“Jangan lihat Thea-nya, tapi gaunnya. Bagus gini. Sekali-kali, aku juga pengin lihat kamu pakai gaun. Nggak cuma celana jins yang dibeli di tukang loak. Ganti selera sesekali itu nggak dosa, lho! Siapa tau malah lebih cakep.”
Tawaku pecah. “Apa boleh buat, Ta. Baju loak itu justru unik dan beda. Nggak pasaran.” Aku akhirnya berdiri. “Okelah, nggak ada ruginya pakai gaun cantik sekali-kali.”
Ketika akhirnya aku berdiri di depan cermin dan berputar pelan, harus kuakui betapa bagus gaun itu. Tepukan tangan dari Lita pun mengukuhkan penilaianku. Tak hanya bahannya yang lembut dan halus. Melainkan juga modelnya yang sederhana sekaligus elegan.
Gaun itu hanya beberapa sentimeter melewati lutut, bermodel lurus. Ada bordiran cantik berbentuk bunga yang tersebar di beberapa bagian. Lehernya berbentuk persegi, berlengan pendek, dengan sepasang dress clip yang terpasang di bagian bawah pundak.
“Duh, cantiknya! Setelah melihatmu....”
“Aku tau kamu mau bilang apa,” sergahku. “Sekarang kamu baru nyadar kalau aku cewek tulen, kan?”
“Eh, tapi ini serius.” Lita mendadak berdiri dan memerhatikanku lebih saksama. “Gaun ini pasti mahal. Tapi yang jelas, bukan selera Thea. Dia kan ... apa ya?” Kening Lita dihiasi garis samar. “Hmmm ... Thea suka penampilan yang lebih dramatis. Lebih menarik perhatian.”“Alias heboh,” imbuhku. Aku berputar sekali lagi, memerhatikan efek dari pakaian yang kukenakan karena gerakan itu. “Terlepas dari sikapnya yang nyebelin, Thea memang pantas punya banyak fans. Cantik dan bergaya. Apa boleh buat, kita cuma bisa iri,” gurauku.“Tapi aku masih bingung lho, Nef! Kenapa Thea mendadak baik sama kamu, ya?” Lita kembali pada topik penuh misteri itu. Aku pun bertanya-tanya sejak kemarin dan belum menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati.“Kamu kira aku tau jawabannya?” Aku mengangkat bahu. Tanganku mulai membuka ritsleting gaun. “Kayaknya soal itu akan jadi misteri besar, Ta! Kamu p
Marco Narayana adalah cowok yang duduk di semester tiga fakultas hukum. Menurut desas-desus, cowok itu sempat kuliah di fakultas ilmu pengetahuan budaya hingga tiga semester. Lalu, mendadak Marco meninggalkan bangku kuliah, menganggur selama satu semester sebelum menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum. Entah apa penyebabnya.“Mungkin karena Marco baru ketemu passion-nya setelah buang-buang waktu kuliah di fakultas ilmu budaya.” Itu salah satu gurauan yang pernah kudengar. Tentunya dibisikkan di belakang Marco dan teman-temannya.Marco gampang dikenali karena beberapa hal. Yang paling mencolok, kehadiran tiga sahabatnya sejak SMA yang selalu berada di sekitar cowok itu. Levi, Yuma, dan Cliff. Kecuali Levi, yang lain adalah mahasiswa fakultas hukum. Sementara Levi menimba ilmu di fakultas ekonomi. Jika Marco masih semester tiga, teman-temannya sudah duduk di semester tujuh. Marco adalah cowok yang tergolong pendiam dan hemat kata, cuk
“Dari mana kamu dapat gaun ini?” desak Marco setelah aku termangu beberapa detik.Aku pun kembali mendongak. Di depanku, Marco sedang menatapku. Bukan jenis tatapan ramah yang bersahabat. Melainkan tatapan horor yang menjanjikan hal-hal menakutkan. Kepalaku mendadak kosong.“Hei, kamu kok malah memelototiku, sih?” tukas Marco tak sabar. Tangan kanan cowok itu digerak-gerakkan di depan wajahku. Seolah-olah aku setengah tak sadarkan diri.Kalimatnya membuat bibirku secara otomatis melantunkan makian. Kebiasaan lama yang kadang masih sulit untuk diredam. Efeknya, mata tajam Marco membulat. “Kamu bilang apa? ‘Sialan’?” sentaknya galak.Merasa tak ada gunanya berpura-pura, aku menjawab tegas. “Iya. Ada masalah?” Daguku terangkat, menunjukkan sikap menantang. “Kamu seenaknya mengajukan pertanyaan dengan cara nggak sopan. Nggak pakai basa-basi. Apa itu nggak pantas disebut ‘sialan’? Ha
Ubun-ubunku seakan terbakar. Aku tahu, penghargaan manusia paling idiot tahun ini baru saja kumenangkan. Seharusnya aku tak pernah percaya bahwa cewek seperti Thea bisa berubah manis tanpa alasan jelas. Ular selamanya tetap ular. Bahkan meski neraka menjadi sebeku Antartika di musim dingin.Namun, aku tahu jika tak boleh menampakkan emosi walau saat ini meninju wajah Thea adalah pilihan yang sangat menggiurkan. Aku tak mau harus berakhir di kantor polisi dan terpaksa menginap di penjara karena menganiaya anak orang. Karena itu, aku mati-matian berusaha tetap rasional dan menahan diri. Aku tak boleh melakukan kekerasan.Levi menyergah, “Thea, kenapa jadi begini? Seharusnya nggak perlu sampai heboh gini. Masalahnya juga jadi melebar ke mana-mana. Kalau kamu nggak....”“Lev, nggak usah ikut campur!” tukas Thea dengan nada tegas. “Ini nggak ada kaitannya sama kamu. Ini urusanku dengan Marco dan gadis ini,” ucapnya seraya menunjukk
“Hei, sakit, tau! Lepaskan tanganku!” bentak Thea sambil memelototiku. Dia berbalik untuk menghadap ke arahku.“Kamu kira aku ini pengemis? Aku nggak tertarik menerima sumbangan gaun bekas dari cewek sakit jiwa kayak kamu.” Untuk memberi efek dramatis, sengaja kutarik lengan Thea dengan kencang. Hingga gadis itu kembali mengaduh.Julie “Hei! Jangan....”“Kalau kamu berani maju, aku bakalan mencakar mukamu,” ancamku pada Julie. Lalu, aku menirukan kata-kata cewek itu tadi. “Kamu ada benarnya, Julie. Berkat kamu, aku bisa datang ke hotel sekeren ini dan ngerasain pakai baju yang dipesan khusus. Tapi, aku nggak mau ngetop sendirian. Kalian juga harus ikut terkenal. Senyum ya, ke arah kamera. Tuh, orang-orang sedang merekam kita,” kataku dengan nada manis yang palsu.Setelah kata-kataku tuntas, aku melepaskan cekalan tanganku di lengan Thea. Namun, aku masih belum selesai. Aku maju selangkah dengan t
Tahun ini, usiaku mencapai angka 23. Seharusnya, kuliahku sudah kelar. Akan tetapi, aku sempat menganggur usai menamatkan SMA. Setahun penuh aku mengikuti Mama yang pindah ke Perth setelah menikah untuk yang kedua kalinya dengan pria bernama Eddie Trevor.Ayah tiriku adalah pria bule berkewarganegaraan Australia yang berstatus lajang sebelum menikah dengan Mama. Uncle Eddie, begitu aku memanggilnya, kuanggap sebagai pria baik. Lelaki itu menyambut kehadiranku di rumahnya dengan tangan terbuka.Sayang, aku tidak betah di Perth. Niat untuk melanjutkan pendidikan di kota itu makin pupus seiring berjalannya waktu. Semangatku untuk tinggal dan berkuliah di Perth, kian mengempis saja. Hingga aku pun membuat keputusan drastis untuk kembali ke Indonesia.“Kak, aku nggak betah di sini. Aku pengin pulang ke Siantar,” aduku pada Nike, beberapa tahun silam. Dialah orang pertama yang kuminta opini sebelum bicara dengan Mama.“Kenapa? Padahal, kamu ka
“Mending nggak usah ngomong sama Thea kecuali ada di posisi antara hidup dan mati. Kadang, disapa baik-baik malah bikin dia punya bahan untuk ngeledek kita,” saran Lita ketika aku baru pindah ke Rumah Borju. Lita adalah orang pertama yang memperkenalkan diri dan mendatangi kamarku.Emosiku memang kadang masih gampang terpancing, seperti saat diprovokasi oleh Marco dan Thea. Walau saat ini aku sedang berjuang untuk menjadi orang yang lebih santai dan sabar. Akan tetapi, sebenarnya aku lebih dewasa dibanding usiaku yang sesungguhnya. Karena faktor keluarga dan lingkungan yang membentukku, kisah klise sebagai produk keluarga broken home.Ketika orangtuaku memutuskan bahwa perceraian adalah pilihan terbaik yang mereka punya, aku baru berusia sepuluh tahun. Tadinya, aku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Papa. Perceraian itu membuat duniaku berubah drastis. Semua yang kukenal, runtuh dan lenyap seketika.Dulu, aku berharap bisa tinggal be
Seperti tebakanku, berita tentang peristiwa di acara ulang tahun Vicky itu tersebar dengan kecepatan yang mengerikan. Lebih cepat dibanding epidemi. Lalu dibumbui hingga menjadi cerita yang dramatis.Hasilnya, beredar versi seru yang membuatku geleng-geleng kepala, antara tak berdaya sekaligus kesal. Tidak tahu harus marah pada siapa saat mendengar bahwa konon aku cuma mengenakan bra dan celana dalam usai membuka dan melempar gaun ke wajah Thea. Juga Marco yang konon mendorongku hingga terjengkang ke tanah karena tak suka melihatku yang sengaja menggodanya. Hah? Yang benar saja!Gosip yang beredar memang sinting. Namun aku memilih untuk tetap waras. Caranya? Mengabaikan semua rumor, menebalkan muka, dan berjalan di kampus dengan dagu terangkat. Seakan bukan aku yang sedang dijadikan bahan olok-olok.“Padahal, ada begitu banyak orang yang ngeliat drama kemarin. Ada juga yang merekam pakai po