“Eh, tapi ini serius.” Lita mendadak berdiri dan memerhatikanku lebih saksama. “Gaun ini pasti mahal. Tapi yang jelas, bukan selera Thea. Dia kan ... apa ya?” Kening Lita dihiasi garis samar. “Hmmm ... Thea suka penampilan yang lebih dramatis. Lebih menarik perhatian.”
“Alias heboh,” imbuhku. Aku berputar sekali lagi, memerhatikan efek dari pakaian yang kukenakan karena gerakan itu. “Terlepas dari sikapnya yang nyebelin, Thea memang pantas punya banyak fans. Cantik dan bergaya. Apa boleh buat, kita cuma bisa iri,” gurauku.
“Tapi aku masih bingung lho, Nef! Kenapa Thea mendadak baik sama kamu, ya?” Lita kembali pada topik penuh misteri itu. Aku pun bertanya-tanya sejak kemarin dan belum menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati.
“Kamu kira aku tau jawabannya?” Aku mengangkat bahu. Tanganku mulai membuka ritsleting gaun. “Kayaknya soal itu akan jadi misteri besar, Ta! Kamu pikir aku nggak bingung? Tapi, meski udah mikir sampai otakku terasa mau melepuh, tetap nggak tau jawabannya.”
Lita menjawab kalem. “Otak melepuh, ya?” Gadis itu menyeringai.
Mungkin istilah itu memang agak berlebihan. Namun aku memang tak mengerti alasan di balik perubahan sikap Thea yang begitu drastis. Apalagi sorenya ketika cewek itu kembali mengetuk pintu kamarku untuk ketiga kalinya dalam waktu 24 jam. Rekor yang luar biasa untuk orang yang selama ini bahkan tak sudi menatap wajahku. Apalagi tersenyum padaku.
“Firasatku nggak salah, ternyata. Untung aku buru-buru pulang. Sekarang udah lewat jam empat dan kamu belum dandan. Jangan-jangan, belum mandi juga.” Thea menerobos masuk sebelum aku melebarkan daun pintu dengan sempurna.
“Aku nggak ikut ke pestanya Vicky, Thea! Kemarin kan aku udah bilang. Jadi, ngapain aku dandan segala?” cetusku tanpa basa-basi.
“Kamu nggak punya acara, kan? Ketimbang di kamar doang, mending ikut sama aku. Pokoknya, malam ini kita bakalan bersenang-senang. Aku janji, Nef, kamu nggak bakalan ngelupain acara hari ini. Jadi, kamu nggak punya alasan untuk nolak.”
Itu bukan kalimat yang ingin kudengar. Aku bukan cewek penyuka pesta. Apalagi pesta yang digelar oleh seseorang yang nyaris tak kukenal. Thea meletakkan sesuatu di atas ranjang. Saat itulah aku baru menyadari jika tamuku membawa peralatan make-up.
“Aku nggak bakalan ikut kamu ke pesta siapa pun, Thea!” Aku berusaha membuat suaraku terdengar tegas. “Lagian, kayak yang aku bilang kemarin, aku dan Vicky bisa dibilang nggak saling kenal. Aku nggak mau diusir dari pesta seseorang karena datang tanpa diundang.”
Upayaku untuk menolak ajakan Thea yang memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam kategori sewenang-wenang, gagal total. Thea jelas-jelas mengabaikan protesku. Semua penolakanku seakan memantul di udara dengan sia-sia. Thea seakan tak mendengar sepatah kata pun. Cewek itu malah memintaku duduk di tepi ranjang dan tak boleh bergerak. Karena Thea akan merias wajahku. Ya ampun!
Andai tadi pagi diminta membuat daftar hal mustahil yang terjadi dalam hidupku, dipinjami gaun dan dirias oleh Thea adalah dua di antaranya. Siapa sangka jika keduanya terjadi di hari ini? Aku sungguh tidak nyaman dengan perubahan sikap mencolok yang ditunjukkan cewek itu. Apa yang dilakukan Thea padaku cuma terjadi di antara dua teman baik. Dan kami sama sekali tidak dekat dengan kategori itu.
Aku memiliki semiliar keberatan. Namun ternyata saat ini Thea jauh keras kepala dibanding diriku. Rasa tak nyaman yang bergelung di perut sejak Thea mulai merias wajahku tadi, kembali menggeliat. Meski aku tidak bisa membenci pantulannya di depan cermin. Thea mendandaniku dengan porsi yang pas. Padahal cewek itu adalah pencinta tampilan glamor yang mencolok. Namun dia membubuhi riasan tipis-tipis di wajahku.
“Kamu serius mau pergi bareng Thea?” gugat Lita saat melongok ke kamarku. Thea baru pamit untuk mandi dan berganti pakaian. Sementara aku yang sudah mengenakan pakaian bermodel kemben yang dibelikan Nike saat berada di Hong Kong, meraih gaun milik Thea. “Lho, baju sebagus itu kok malah dijadiin pakaian dalam, sih?” protes Lita lagi.
“Terlalu pendek dan terbuka. Kalau aku nekat pakai ini, udah pasti akan jadi tontonan.” Aku menunjuk ke arah dada dengan tangan kanan sembari memakai gaun pinjaman itu. “Bajunya Thea sih bagus, tapi agak tipis. Karena aku nggak punya pakaian dalam sewarna kulit, ini pilihan yang paling aman.”
Lita melebarkan daun pintu tapi memilih bersandar di kusen. Tidak ada tanda-tanda jika cewek itu akan masuk ke dalam kamar. “Sebenarnya, ngapain sih Thea berambisi ngajakin kamu ke pesta temannya? Makin dipikir kok malah makin aneh rasanya. Kamu pun mau aja.”
Itu juga yang kurasakan. Namun aku cuma berujar, “Anggap aja dia baru dapat pencerahan. Cuma itu alasan yang paling masuk akal. Nggak tau lagi mau komen apa.” Aku kembali berputar di depan cermin, memastikan penampilanku sudah cukup bagus.
Lita belum sempat merespons karena suara Thea terdengar. Cewek itu memberi tahu bahwa kami akan segera berangkat. Thea hanya melambai saat melewati ambang pintu, tak menoleh pada Lita yang juga berdiri di sana.
“Selamat bersenang-senang, Nef! Kudoain semua berjalan lancar,” ucap Lita. Aku menangkap embusan napas yang mengakhiri kalimatnya. “Selamat cuci mata.”
“Jangan sedih gitu, Ta! Aku nggak akan ninggalin kamu lagi di malam minggu lainnya. Ini pertama dan terakhir kalinya. Sumpah!”
Lita terkekeh sembari membuat gerakan mengusir dengan tangan kanannya. “Hei, jangan ngomong sembarangan! Nggak lucu kalau nanti muncul gosip baru. Ada pasangan sesama jenis di Rumah Borju. Hih, kita bisa-bisa dilaknat dunia.”
Aku menyambar envelope bag yang sudah dipilihkan Lita. Lalu, kukecup kedua pipi gadis itu sembari menekankan bibirku lebih kencang dibanding seharusnya, sehingga meninggalkan bekas lipstik. Lita yang menyadari keisenganku, buru-buru menyeka pipinya dengan punggung tangan.
“Carilah cowok keren yang bisa dijadiin sasaran ciuman ganasmu itu. Jangan aku,” omelnya. “Aku masih lebih suka cowok, Nef. Kamu nggak masuk hitungan sebagai makhlyk yang bikin aku naksir.” Aku cuma terkekeh sembari menepuk bahu Lita sebelum berlalu.
Thea sudah tidak terlihat. Beberapa penghuni Rumah Borju yang berpapasan denganku, menunjukkan aneka ekspresi. Namun semuanya menyiratkan satu hal, kaget. Dengan beragam alasan. Mulai dari penampilanku yang berbeda hingga rencana pergi ke pesta bersama Thea. Tampaknya, wabah pun kalah cepat menularnya dibanding perkembangan gosip di tempat ini.
Thea sudah menunggu di dekat pos satpam. Cewek itu sedang bicara di telepon saat aku mendekat. Dengan tangan kanannya yang bebas, Thea menunjuk ke arah sebuah sedan gelap yang diparkir di dekat pintu gerbang. Aku mengenali pemilik mobil itu, Julie. Aku pun menahan napas seketika. Namun, aku sudah tak bisa mundur sekarang.
Jika Thea tak pernah bersikap ramah dan beberapa kali menyindirku dengan kalimat tak enak di telinga, Julie justru lebih parah. Cewek itu bahkan pernah sengaja mendatangi mejaku saat aku makan di kantin fakultas hukum. Lalu, Julie mengoleskan saus sambal di bagian depan kemejaku tanpa basa-basi Alasannya?
“Kemejamu norak. Aku nggak suka karena bikin sakit mata,” komentar Julie.
Dan peristiwa itu baru terjadi dua minggu silam! Mungkin, gadis ini terlalu banyak menonton sinetron kejar tayang yang isinya tentang gadis-gadis kaya nan sombong dan suka menindas orang. Lalu, merasa bahwa mengaplikasikannya dalam keseharian adalah hal yang keren tiada tara. Karena memang bukan aku saja yang pernah dirisak oleh Julie.
“Halo, Nef! Kamu cantik hari ini.” Sapaan ramah dari sang pengemudi itu terdengar begitu aku membuka pintu belakang. Thea yang sudah lebih dulu duduk di depan, sedang memasang sabuk pengaman.
“Makasih. Kamu juga cantik,” balasku sopan sembari menahan mual karena sudah menjadi manusia munafik.
Aku sempat menangkap senyum tipis di bibir Julie. Aku berusaha menyamankan diri di tempat duduk, menghalau rasa tak nyaman yang meremas tulang-tulangku. Aku mulai mempertanyakan akal sehatku. Bagaimana bisa aku semobil dengan dua orang yang sudah menunjukkan ketidaksukaan padaku dalam beberapa kesempatan?
Marco Narayana adalah cowok yang duduk di semester tiga fakultas hukum. Menurut desas-desus, cowok itu sempat kuliah di fakultas ilmu pengetahuan budaya hingga tiga semester. Lalu, mendadak Marco meninggalkan bangku kuliah, menganggur selama satu semester sebelum menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum. Entah apa penyebabnya.“Mungkin karena Marco baru ketemu passion-nya setelah buang-buang waktu kuliah di fakultas ilmu budaya.” Itu salah satu gurauan yang pernah kudengar. Tentunya dibisikkan di belakang Marco dan teman-temannya.Marco gampang dikenali karena beberapa hal. Yang paling mencolok, kehadiran tiga sahabatnya sejak SMA yang selalu berada di sekitar cowok itu. Levi, Yuma, dan Cliff. Kecuali Levi, yang lain adalah mahasiswa fakultas hukum. Sementara Levi menimba ilmu di fakultas ekonomi. Jika Marco masih semester tiga, teman-temannya sudah duduk di semester tujuh. Marco adalah cowok yang tergolong pendiam dan hemat kata, cuk
“Dari mana kamu dapat gaun ini?” desak Marco setelah aku termangu beberapa detik.Aku pun kembali mendongak. Di depanku, Marco sedang menatapku. Bukan jenis tatapan ramah yang bersahabat. Melainkan tatapan horor yang menjanjikan hal-hal menakutkan. Kepalaku mendadak kosong.“Hei, kamu kok malah memelototiku, sih?” tukas Marco tak sabar. Tangan kanan cowok itu digerak-gerakkan di depan wajahku. Seolah-olah aku setengah tak sadarkan diri.Kalimatnya membuat bibirku secara otomatis melantunkan makian. Kebiasaan lama yang kadang masih sulit untuk diredam. Efeknya, mata tajam Marco membulat. “Kamu bilang apa? ‘Sialan’?” sentaknya galak.Merasa tak ada gunanya berpura-pura, aku menjawab tegas. “Iya. Ada masalah?” Daguku terangkat, menunjukkan sikap menantang. “Kamu seenaknya mengajukan pertanyaan dengan cara nggak sopan. Nggak pakai basa-basi. Apa itu nggak pantas disebut ‘sialan’? Ha
Ubun-ubunku seakan terbakar. Aku tahu, penghargaan manusia paling idiot tahun ini baru saja kumenangkan. Seharusnya aku tak pernah percaya bahwa cewek seperti Thea bisa berubah manis tanpa alasan jelas. Ular selamanya tetap ular. Bahkan meski neraka menjadi sebeku Antartika di musim dingin.Namun, aku tahu jika tak boleh menampakkan emosi walau saat ini meninju wajah Thea adalah pilihan yang sangat menggiurkan. Aku tak mau harus berakhir di kantor polisi dan terpaksa menginap di penjara karena menganiaya anak orang. Karena itu, aku mati-matian berusaha tetap rasional dan menahan diri. Aku tak boleh melakukan kekerasan.Levi menyergah, “Thea, kenapa jadi begini? Seharusnya nggak perlu sampai heboh gini. Masalahnya juga jadi melebar ke mana-mana. Kalau kamu nggak....”“Lev, nggak usah ikut campur!” tukas Thea dengan nada tegas. “Ini nggak ada kaitannya sama kamu. Ini urusanku dengan Marco dan gadis ini,” ucapnya seraya menunjukk
“Hei, sakit, tau! Lepaskan tanganku!” bentak Thea sambil memelototiku. Dia berbalik untuk menghadap ke arahku.“Kamu kira aku ini pengemis? Aku nggak tertarik menerima sumbangan gaun bekas dari cewek sakit jiwa kayak kamu.” Untuk memberi efek dramatis, sengaja kutarik lengan Thea dengan kencang. Hingga gadis itu kembali mengaduh.Julie “Hei! Jangan....”“Kalau kamu berani maju, aku bakalan mencakar mukamu,” ancamku pada Julie. Lalu, aku menirukan kata-kata cewek itu tadi. “Kamu ada benarnya, Julie. Berkat kamu, aku bisa datang ke hotel sekeren ini dan ngerasain pakai baju yang dipesan khusus. Tapi, aku nggak mau ngetop sendirian. Kalian juga harus ikut terkenal. Senyum ya, ke arah kamera. Tuh, orang-orang sedang merekam kita,” kataku dengan nada manis yang palsu.Setelah kata-kataku tuntas, aku melepaskan cekalan tanganku di lengan Thea. Namun, aku masih belum selesai. Aku maju selangkah dengan t
Tahun ini, usiaku mencapai angka 23. Seharusnya, kuliahku sudah kelar. Akan tetapi, aku sempat menganggur usai menamatkan SMA. Setahun penuh aku mengikuti Mama yang pindah ke Perth setelah menikah untuk yang kedua kalinya dengan pria bernama Eddie Trevor.Ayah tiriku adalah pria bule berkewarganegaraan Australia yang berstatus lajang sebelum menikah dengan Mama. Uncle Eddie, begitu aku memanggilnya, kuanggap sebagai pria baik. Lelaki itu menyambut kehadiranku di rumahnya dengan tangan terbuka.Sayang, aku tidak betah di Perth. Niat untuk melanjutkan pendidikan di kota itu makin pupus seiring berjalannya waktu. Semangatku untuk tinggal dan berkuliah di Perth, kian mengempis saja. Hingga aku pun membuat keputusan drastis untuk kembali ke Indonesia.“Kak, aku nggak betah di sini. Aku pengin pulang ke Siantar,” aduku pada Nike, beberapa tahun silam. Dialah orang pertama yang kuminta opini sebelum bicara dengan Mama.“Kenapa? Padahal, kamu ka
“Mending nggak usah ngomong sama Thea kecuali ada di posisi antara hidup dan mati. Kadang, disapa baik-baik malah bikin dia punya bahan untuk ngeledek kita,” saran Lita ketika aku baru pindah ke Rumah Borju. Lita adalah orang pertama yang memperkenalkan diri dan mendatangi kamarku.Emosiku memang kadang masih gampang terpancing, seperti saat diprovokasi oleh Marco dan Thea. Walau saat ini aku sedang berjuang untuk menjadi orang yang lebih santai dan sabar. Akan tetapi, sebenarnya aku lebih dewasa dibanding usiaku yang sesungguhnya. Karena faktor keluarga dan lingkungan yang membentukku, kisah klise sebagai produk keluarga broken home.Ketika orangtuaku memutuskan bahwa perceraian adalah pilihan terbaik yang mereka punya, aku baru berusia sepuluh tahun. Tadinya, aku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Papa. Perceraian itu membuat duniaku berubah drastis. Semua yang kukenal, runtuh dan lenyap seketika.Dulu, aku berharap bisa tinggal be
Seperti tebakanku, berita tentang peristiwa di acara ulang tahun Vicky itu tersebar dengan kecepatan yang mengerikan. Lebih cepat dibanding epidemi. Lalu dibumbui hingga menjadi cerita yang dramatis.Hasilnya, beredar versi seru yang membuatku geleng-geleng kepala, antara tak berdaya sekaligus kesal. Tidak tahu harus marah pada siapa saat mendengar bahwa konon aku cuma mengenakan bra dan celana dalam usai membuka dan melempar gaun ke wajah Thea. Juga Marco yang konon mendorongku hingga terjengkang ke tanah karena tak suka melihatku yang sengaja menggodanya. Hah? Yang benar saja!Gosip yang beredar memang sinting. Namun aku memilih untuk tetap waras. Caranya? Mengabaikan semua rumor, menebalkan muka, dan berjalan di kampus dengan dagu terangkat. Seakan bukan aku yang sedang dijadikan bahan olok-olok.“Padahal, ada begitu banyak orang yang ngeliat drama kemarin. Ada juga yang merekam pakai po
“Kalau memang pengin jadi bankir, kamu harus lebih sukses dari Mama ya, Nef. Harus bisa jadi kepala cabang sebelum berumur tiga puluh tahun,” canda Mama.“Kalau Uncle Eddie yang punya bank, aku yakin bisa memenuhi harapan Mama,” balasku sambil tertawa. “Mungkin sebelum umurku tiga puluh tahun, aku udah pensiun.”Selama enam semester yang sudah berlalu, aku sudah bekerja cukup keras. Aku selalu mengambil minimal dua puluh dua SKS, kecuali semester pertama. Itu pun karena semua mahasiswa baru diwajibkan hanya boleh mengikuti kuliah dengan maksimal dua puluh SKS. Itu aturan yang berlaku di semua fakultas yang ada di Universitas Dwi Darma.“Kenapa sih getol maksimal belajarnya, Nef,” tanya Lita beberapa waktu lalu. “Memangnya ada yang dikejar? Kamu mau cepat nikah atau apa?”Sebenarnya, pertanyaan senada pernah diajukan oleh temanku yang lain. Jujur, aku malah heran karena mereka mempertanyakan keser