Share

Joyride [2]

“Eh, tapi ini serius.” Lita mendadak berdiri dan memerhatikanku lebih saksama. “Gaun ini pasti mahal. Tapi yang jelas, bukan selera Thea. Dia kan ... apa ya?” Kening Lita dihiasi garis samar. “Hmmm ... Thea suka penampilan yang lebih dramatis. Lebih menarik perhatian.”

“Alias heboh,” imbuhku. Aku berputar sekali lagi, memerhatikan efek dari pakaian yang kukenakan karena gerakan itu. “Terlepas dari sikapnya yang nyebelin, Thea memang pantas punya banyak fans. Cantik dan bergaya. Apa boleh buat, kita cuma bisa iri,” gurauku.

“Tapi aku masih bingung lho, Nef! Kenapa Thea mendadak baik sama kamu, ya?” Lita kembali pada topik penuh misteri itu. Aku pun bertanya-tanya sejak kemarin dan belum menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati.

“Kamu kira aku tau jawabannya?” Aku mengangkat bahu. Tanganku mulai membuka ritsleting gaun. “Kayaknya soal itu akan jadi misteri besar, Ta! Kamu pikir aku nggak bingung? Tapi, meski udah mikir sampai otakku terasa mau melepuh, tetap nggak tau jawabannya.”

Lita menjawab kalem. “Otak melepuh, ya?” Gadis itu menyeringai.

Mungkin istilah itu memang agak berlebihan. Namun aku memang tak mengerti alasan di balik perubahan sikap Thea yang begitu drastis. Apalagi sorenya ketika cewek itu kembali mengetuk pintu kamarku untuk ketiga kalinya dalam waktu 24 jam. Rekor yang luar biasa untuk orang yang selama ini bahkan tak sudi menatap wajahku. Apalagi tersenyum padaku.

“Firasatku nggak salah, ternyata. Untung aku buru-buru pulang. Sekarang udah lewat jam empat dan kamu belum dandan. Jangan-jangan, belum mandi juga.” Thea menerobos masuk sebelum aku melebarkan daun pintu dengan sempurna.

“Aku nggak ikut ke pestanya Vicky, Thea! Kemarin kan aku udah bilang. Jadi, ngapain aku dandan segala?” cetusku tanpa basa-basi.

“Kamu nggak punya acara, kan? Ketimbang di kamar doang, mending ikut sama aku. Pokoknya, malam ini kita bakalan bersenang-senang. Aku janji, Nef, kamu nggak bakalan ngelupain acara hari ini. Jadi, kamu nggak punya alasan untuk nolak.”

Itu bukan kalimat yang ingin kudengar. Aku bukan cewek penyuka pesta. Apalagi pesta yang digelar oleh seseorang yang nyaris tak kukenal. Thea meletakkan sesuatu di atas ranjang. Saat itulah aku baru menyadari jika tamuku membawa peralatan make-up.

 “Aku nggak bakalan ikut kamu ke pesta siapa pun, Thea!” Aku berusaha membuat suaraku terdengar tegas. “Lagian, kayak yang aku bilang kemarin, aku dan Vicky bisa dibilang nggak saling kenal. Aku nggak mau diusir dari pesta seseorang karena datang tanpa diundang.”

Upayaku untuk menolak ajakan Thea yang memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam kategori sewenang-wenang, gagal total. Thea jelas-jelas mengabaikan protesku. Semua penolakanku seakan memantul di udara dengan sia-sia. Thea seakan tak mendengar sepatah kata pun. Cewek itu malah memintaku duduk di tepi ranjang dan tak boleh bergerak. Karena Thea akan merias wajahku. Ya ampun!

Andai tadi pagi diminta membuat daftar hal mustahil yang terjadi dalam hidupku, dipinjami gaun dan dirias oleh Thea adalah dua di antaranya. Siapa sangka jika keduanya terjadi di hari ini? Aku sungguh tidak nyaman dengan perubahan sikap mencolok yang ditunjukkan cewek itu. Apa yang dilakukan Thea padaku cuma terjadi di antara dua teman baik. Dan kami sama sekali tidak dekat dengan kategori itu.

Aku memiliki semiliar keberatan. Namun ternyata saat ini Thea jauh keras kepala dibanding diriku. Rasa tak nyaman yang bergelung di perut sejak Thea mulai merias wajahku tadi, kembali menggeliat. Meski aku tidak bisa membenci pantulannya di depan cermin. Thea mendandaniku dengan porsi yang pas. Padahal cewek itu adalah pencinta tampilan glamor yang mencolok. Namun dia membubuhi riasan tipis-tipis di wajahku.

“Kamu serius mau pergi bareng Thea?” gugat Lita saat melongok ke kamarku. Thea baru pamit untuk mandi dan berganti pakaian. Sementara aku yang sudah mengenakan pakaian bermodel kemben yang dibelikan Nike saat berada di Hong Kong, meraih gaun milik Thea. “Lho, baju sebagus itu kok malah dijadiin pakaian dalam, sih?” protes Lita lagi.

“Terlalu pendek dan terbuka. Kalau aku nekat pakai ini, udah pasti akan jadi tontonan.” Aku menunjuk ke arah dada dengan tangan kanan sembari memakai gaun pinjaman itu. “Bajunya Thea sih bagus, tapi agak tipis. Karena aku nggak punya pakaian dalam sewarna kulit, ini pilihan yang paling aman.”

Lita melebarkan daun pintu tapi memilih bersandar di kusen. Tidak ada tanda-tanda jika cewek itu akan masuk ke dalam kamar. “Sebenarnya, ngapain sih Thea berambisi ngajakin kamu ke pesta temannya? Makin dipikir kok malah makin aneh rasanya. Kamu pun mau aja.”

Itu juga yang kurasakan. Namun aku cuma berujar, “Anggap aja dia baru dapat pencerahan. Cuma itu alasan yang paling masuk akal. Nggak tau lagi mau komen apa.” Aku kembali berputar di depan cermin, memastikan penampilanku sudah cukup bagus.

Lita belum sempat merespons karena suara Thea terdengar. Cewek itu memberi tahu bahwa kami akan segera berangkat. Thea hanya melambai saat melewati ambang pintu, tak menoleh pada Lita yang juga berdiri di sana.

“Selamat bersenang-senang, Nef! Kudoain semua berjalan lancar,” ucap Lita. Aku  menangkap embusan napas yang mengakhiri kalimatnya. “Selamat cuci mata.”

“Jangan sedih gitu, Ta! Aku nggak akan ninggalin kamu lagi di malam minggu lainnya. Ini pertama dan terakhir kalinya. Sumpah!”

Lita terkekeh sembari membuat gerakan mengusir dengan tangan kanannya. “Hei, jangan ngomong sembarangan! Nggak lucu kalau nanti muncul gosip baru. Ada pasangan sesama jenis di Rumah Borju. Hih, kita bisa-bisa dilaknat dunia.”

Aku menyambar envelope bag yang sudah dipilihkan Lita. Lalu, kukecup kedua pipi gadis itu sembari menekankan bibirku lebih kencang dibanding seharusnya, sehingga meninggalkan bekas lipstik. Lita yang menyadari keisenganku, buru-buru menyeka pipinya dengan punggung tangan.

“Carilah cowok keren yang bisa dijadiin sasaran ciuman ganasmu itu. Jangan aku,” omelnya. “Aku masih lebih suka cowok, Nef. Kamu nggak masuk hitungan sebagai makhlyk yang bikin aku naksir.” Aku cuma terkekeh sembari menepuk bahu Lita sebelum berlalu.

Thea sudah tidak terlihat. Beberapa penghuni Rumah Borju yang berpapasan denganku, menunjukkan aneka ekspresi. Namun semuanya menyiratkan satu hal, kaget. Dengan beragam alasan. Mulai dari penampilanku yang berbeda hingga rencana pergi ke pesta bersama Thea. Tampaknya, wabah pun kalah cepat menularnya dibanding perkembangan gosip di tempat ini.

Thea sudah menunggu di dekat pos satpam. Cewek itu sedang bicara di telepon saat aku mendekat. Dengan tangan kanannya yang bebas, Thea menunjuk ke arah sebuah sedan gelap yang diparkir di dekat pintu gerbang. Aku mengenali pemilik mobil itu, Julie. Aku pun menahan napas seketika. Namun, aku sudah tak bisa mundur sekarang.

Jika Thea tak pernah bersikap ramah dan beberapa kali menyindirku dengan kalimat tak enak di telinga, Julie justru lebih parah. Cewek itu bahkan pernah sengaja mendatangi mejaku saat aku makan di kantin fakultas hukum. Lalu, Julie mengoleskan saus sambal di bagian depan kemejaku tanpa basa-basi Alasannya?

“Kemejamu norak. Aku nggak suka karena bikin sakit mata,” komentar Julie.

Dan peristiwa itu baru terjadi dua minggu silam! Mungkin, gadis ini terlalu banyak menonton sinetron kejar tayang yang isinya tentang gadis-gadis kaya nan sombong dan suka menindas orang. Lalu, merasa bahwa mengaplikasikannya dalam keseharian adalah hal yang keren tiada tara. Karena memang bukan aku saja yang pernah dirisak oleh Julie.

“Halo, Nef! Kamu cantik hari ini.” Sapaan ramah dari sang pengemudi itu terdengar begitu aku membuka pintu belakang. Thea yang sudah lebih dulu duduk di depan, sedang memasang sabuk pengaman.

“Makasih. Kamu juga cantik,” balasku sopan sembari menahan mual karena sudah menjadi manusia munafik.

Aku sempat menangkap senyum tipis di bibir Julie. Aku berusaha menyamankan diri di tempat duduk, menghalau rasa tak nyaman yang meremas tulang-tulangku. Aku mulai mempertanyakan akal sehatku. Bagaimana bisa aku semobil dengan dua orang yang sudah menunjukkan ketidaksukaan padaku dalam beberapa kesempatan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status