Marco Narayana adalah cowok yang duduk di semester tiga fakultas hukum. Menurut desas-desus, cowok itu sempat kuliah di fakultas ilmu pengetahuan budaya hingga tiga semester. Lalu, mendadak Marco meninggalkan bangku kuliah, menganggur selama satu semester sebelum menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum. Entah apa penyebabnya.
“Mungkin karena Marco baru ketemu passion-nya setelah buang-buang waktu kuliah di fakultas ilmu budaya.” Itu salah satu gurauan yang pernah kudengar. Tentunya dibisikkan di belakang Marco dan teman-temannya.
Marco gampang dikenali karena beberapa hal. Yang paling mencolok, kehadiran tiga sahabatnya sejak SMA yang selalu berada di sekitar cowok itu. Levi, Yuma, dan Cliff. Kecuali Levi, yang lain adalah mahasiswa fakultas hukum. Sementara Levi menimba ilmu di fakultas ekonomi. Jika Marco masih semester tiga, teman-temannya sudah duduk di semester tujuh.
Marco adalah cowok yang tergolong pendiam dan hemat kata, cuk
“Dari mana kamu dapat gaun ini?” desak Marco setelah aku termangu beberapa detik.Aku pun kembali mendongak. Di depanku, Marco sedang menatapku. Bukan jenis tatapan ramah yang bersahabat. Melainkan tatapan horor yang menjanjikan hal-hal menakutkan. Kepalaku mendadak kosong.“Hei, kamu kok malah memelototiku, sih?” tukas Marco tak sabar. Tangan kanan cowok itu digerak-gerakkan di depan wajahku. Seolah-olah aku setengah tak sadarkan diri.Kalimatnya membuat bibirku secara otomatis melantunkan makian. Kebiasaan lama yang kadang masih sulit untuk diredam. Efeknya, mata tajam Marco membulat. “Kamu bilang apa? ‘Sialan’?” sentaknya galak.Merasa tak ada gunanya berpura-pura, aku menjawab tegas. “Iya. Ada masalah?” Daguku terangkat, menunjukkan sikap menantang. “Kamu seenaknya mengajukan pertanyaan dengan cara nggak sopan. Nggak pakai basa-basi. Apa itu nggak pantas disebut ‘sialan’? Ha
Ubun-ubunku seakan terbakar. Aku tahu, penghargaan manusia paling idiot tahun ini baru saja kumenangkan. Seharusnya aku tak pernah percaya bahwa cewek seperti Thea bisa berubah manis tanpa alasan jelas. Ular selamanya tetap ular. Bahkan meski neraka menjadi sebeku Antartika di musim dingin.Namun, aku tahu jika tak boleh menampakkan emosi walau saat ini meninju wajah Thea adalah pilihan yang sangat menggiurkan. Aku tak mau harus berakhir di kantor polisi dan terpaksa menginap di penjara karena menganiaya anak orang. Karena itu, aku mati-matian berusaha tetap rasional dan menahan diri. Aku tak boleh melakukan kekerasan.Levi menyergah, “Thea, kenapa jadi begini? Seharusnya nggak perlu sampai heboh gini. Masalahnya juga jadi melebar ke mana-mana. Kalau kamu nggak....”“Lev, nggak usah ikut campur!” tukas Thea dengan nada tegas. “Ini nggak ada kaitannya sama kamu. Ini urusanku dengan Marco dan gadis ini,” ucapnya seraya menunjukk
“Hei, sakit, tau! Lepaskan tanganku!” bentak Thea sambil memelototiku. Dia berbalik untuk menghadap ke arahku.“Kamu kira aku ini pengemis? Aku nggak tertarik menerima sumbangan gaun bekas dari cewek sakit jiwa kayak kamu.” Untuk memberi efek dramatis, sengaja kutarik lengan Thea dengan kencang. Hingga gadis itu kembali mengaduh.Julie “Hei! Jangan....”“Kalau kamu berani maju, aku bakalan mencakar mukamu,” ancamku pada Julie. Lalu, aku menirukan kata-kata cewek itu tadi. “Kamu ada benarnya, Julie. Berkat kamu, aku bisa datang ke hotel sekeren ini dan ngerasain pakai baju yang dipesan khusus. Tapi, aku nggak mau ngetop sendirian. Kalian juga harus ikut terkenal. Senyum ya, ke arah kamera. Tuh, orang-orang sedang merekam kita,” kataku dengan nada manis yang palsu.Setelah kata-kataku tuntas, aku melepaskan cekalan tanganku di lengan Thea. Namun, aku masih belum selesai. Aku maju selangkah dengan t
Tahun ini, usiaku mencapai angka 23. Seharusnya, kuliahku sudah kelar. Akan tetapi, aku sempat menganggur usai menamatkan SMA. Setahun penuh aku mengikuti Mama yang pindah ke Perth setelah menikah untuk yang kedua kalinya dengan pria bernama Eddie Trevor.Ayah tiriku adalah pria bule berkewarganegaraan Australia yang berstatus lajang sebelum menikah dengan Mama. Uncle Eddie, begitu aku memanggilnya, kuanggap sebagai pria baik. Lelaki itu menyambut kehadiranku di rumahnya dengan tangan terbuka.Sayang, aku tidak betah di Perth. Niat untuk melanjutkan pendidikan di kota itu makin pupus seiring berjalannya waktu. Semangatku untuk tinggal dan berkuliah di Perth, kian mengempis saja. Hingga aku pun membuat keputusan drastis untuk kembali ke Indonesia.“Kak, aku nggak betah di sini. Aku pengin pulang ke Siantar,” aduku pada Nike, beberapa tahun silam. Dialah orang pertama yang kuminta opini sebelum bicara dengan Mama.“Kenapa? Padahal, kamu ka
“Mending nggak usah ngomong sama Thea kecuali ada di posisi antara hidup dan mati. Kadang, disapa baik-baik malah bikin dia punya bahan untuk ngeledek kita,” saran Lita ketika aku baru pindah ke Rumah Borju. Lita adalah orang pertama yang memperkenalkan diri dan mendatangi kamarku.Emosiku memang kadang masih gampang terpancing, seperti saat diprovokasi oleh Marco dan Thea. Walau saat ini aku sedang berjuang untuk menjadi orang yang lebih santai dan sabar. Akan tetapi, sebenarnya aku lebih dewasa dibanding usiaku yang sesungguhnya. Karena faktor keluarga dan lingkungan yang membentukku, kisah klise sebagai produk keluarga broken home.Ketika orangtuaku memutuskan bahwa perceraian adalah pilihan terbaik yang mereka punya, aku baru berusia sepuluh tahun. Tadinya, aku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Papa. Perceraian itu membuat duniaku berubah drastis. Semua yang kukenal, runtuh dan lenyap seketika.Dulu, aku berharap bisa tinggal be
Seperti tebakanku, berita tentang peristiwa di acara ulang tahun Vicky itu tersebar dengan kecepatan yang mengerikan. Lebih cepat dibanding epidemi. Lalu dibumbui hingga menjadi cerita yang dramatis.Hasilnya, beredar versi seru yang membuatku geleng-geleng kepala, antara tak berdaya sekaligus kesal. Tidak tahu harus marah pada siapa saat mendengar bahwa konon aku cuma mengenakan bra dan celana dalam usai membuka dan melempar gaun ke wajah Thea. Juga Marco yang konon mendorongku hingga terjengkang ke tanah karena tak suka melihatku yang sengaja menggodanya. Hah? Yang benar saja!Gosip yang beredar memang sinting. Namun aku memilih untuk tetap waras. Caranya? Mengabaikan semua rumor, menebalkan muka, dan berjalan di kampus dengan dagu terangkat. Seakan bukan aku yang sedang dijadikan bahan olok-olok.“Padahal, ada begitu banyak orang yang ngeliat drama kemarin. Ada juga yang merekam pakai po
“Kalau memang pengin jadi bankir, kamu harus lebih sukses dari Mama ya, Nef. Harus bisa jadi kepala cabang sebelum berumur tiga puluh tahun,” canda Mama.“Kalau Uncle Eddie yang punya bank, aku yakin bisa memenuhi harapan Mama,” balasku sambil tertawa. “Mungkin sebelum umurku tiga puluh tahun, aku udah pensiun.”Selama enam semester yang sudah berlalu, aku sudah bekerja cukup keras. Aku selalu mengambil minimal dua puluh dua SKS, kecuali semester pertama. Itu pun karena semua mahasiswa baru diwajibkan hanya boleh mengikuti kuliah dengan maksimal dua puluh SKS. Itu aturan yang berlaku di semua fakultas yang ada di Universitas Dwi Darma.“Kenapa sih getol maksimal belajarnya, Nef,” tanya Lita beberapa waktu lalu. “Memangnya ada yang dikejar? Kamu mau cepat nikah atau apa?”Sebenarnya, pertanyaan senada pernah diajukan oleh temanku yang lain. Jujur, aku malah heran karena mereka mempertanyakan keser
Setelah itu, aku mengalihkan perhatian pada Julie yang mencerocos tak jelas. Kalimat beraroma makian meluncur dari bibirnya dengan mulus. Cewek itu sibuk membersihkan wajah dengan tisu. Aku maju selangkah dan agak membungkuk di depan Julie. Tak ada rasa gentar sedikit pun. Apalagi malu. Walau seisi kantin sedang memperhatikan kelakuanku.Toh, berkelakukan baik pun tetap saja menjadi korban dari orang-orang tukang siksa seperti Julie dan teman-temannya. Jadi, kenapa tidak sekalian saja aku bersikap menyebalkan? Supaya lain kali Julie berpikir sejuta kali jika ingin membuat gara-gara denganku. Karena aku tak akan diam saja dan membiarkan Julie atau yang lain berlaku seenaknya.“Ini cuma peringatan aja, Panjul! Aku nggak akan diam aja kalau kamu sok jagoan lagi. Salah besar kalau kamu milih aku jadi korbanmu. Aku nggak takut sama kamu, tau. Besok-besok kalau masih bikin ulah, mungkin aku akan nyiram mukamu pakai air keras. Kalau nggak percaya, silakan