Share

4. Selangkah lebih dekat

      Ponsel yang berdering terus menerus membuat Dave terusik dalam tidurnya, hingga mau tidak mau, ia membuka matanya. Dave mengambil ponsel di atas nakas samping tempat tidur, dengan malas ia pun mengangkatnya.

      “Dave, bagaimana kabarmu?” 

     Suara yang tak asing di telinganya, membuat Dave terduduk seketika. Ia menjauhkan ponselnya untuk melihat siapa si penelepon, unknown number. Seperti dugaannya, Dave kembali menempelkan ponsel tersebut.

      Namun, ingatan yang melintas di kepalanya membuat dia mematikan sambungan telepon itu. Rahangnya mengeras, matanya terlihat memancarkan aura penuh dendam, jangan lupakan tangannya yang terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.        

      Dave... Ayo kita pergi ke pantai.

      Dave, kau mau membelikanku ini?

   

       Dave meremas rambutnya dengan kuat, “Hentikan. Hentikan!” Kepalanya terus menggeleng, ingatan itu terus berputar seperti kaset rusak di kepalanya. “Hentikan!”

      Dave....

      Dave...

      Dave..

       “Hentikan!!” teriaknya. Dave melempar ponsel sembarangan, napasnya terengah-engah. Dari sekian banyak orang, kenapa harus orang itu yang menghubungi. Dave menggeram marah, setelah semua berhasil dirinya lewati, apa orang itu akan datang dan membuat hidupnya hancur kembali? Dave tertawa seperti orang gila, dia bukanlah Dave yang dulu.

~

      Dave menyugar rambutnya yang masih basah, dia baru saja menyelesaikan ritual mandi pagi. Ya, meskipun tidak bisa dikatakan pagi ketika matahari sudah mulai naik.

Pikiran dan hatinya yang kalut memang tidak begitu saja hilang setelah menenangkan diri dengan berendam di air hangat, tetapi setidaknya hal itu dapat merilekskan tubuhnya yang terasa kaku.

Ia berjalan menuju lemari putih, kemudian tangannya mulai memilah pakaian apa yang harus dikenakan. Pilihannya jatuh pada kemeja hitam dan jeans, lagi pula tidak banyak pilihan yang tersedia. Selain beberapa pakaian formal, dan beberapa kaos juga mantel berwarna gelap. Handphone yang bergetar di atas nakas membuat Dave menoleh, ia menghampiri lalu meraih ponselnya. 

        

        “Aku mengizinkanmu kabur ke Busan, katakan saja aku sedang berbaik hati memberimu libur.”

       Dave mendengus melihat isi pesan singkat dari ayahnya, dia sudah dewasa, tetapi mengapa kedua orang tua itu khawatir. Dave tertawa sinis, dia hampir lupa. Mereka tidak pernah khawatir kepadanya, mereka hanya khawatir dia membuat pekerjaan di perusahaan terbengkalai. Terlebih, mereka tidak mau perusahaan yang sudah payah dikembangkan itu, hancur dalam sekejap.

       Ting.

       Beberapa pesan masuk ke email-nya, Dave membuka satu file dan sesuai dugaan. Sang ayah mengiriminya file berisi pekerjaan. Benar, kan? Mereka hanya khawatir mengenai perusahaan. Dave keluar dari aplikasi Gmail, ia beralih menuju aplikasi pesan. Ia mulai mengetik sesuatu kepada salah satu bawahan, tetapi kemudian dia pun terdiam.

       Dave menghapus kembali pesan yang hendak ia kirim pada tangan kanannya, untuk saat ini tidak ada seseorang yang harus ia percaya. Tangan kanannya itu bisa saja bekerja sama dengan ibu atau ayahnya dan yang lebih parah adalah ketika kedua orang tuanya ikut campur, Dave menggeleng beberapa kali. Ia harus melakukannya sendiri, lagi pula mencari identitas seseorang bukan hal sulit untuknya, hal itu pernah ia lakukan.

      Dave memandang pantulan dirinya di dalam cermin seukuran tubuh, dada bidangnya terekspos tanpa ada kain yang menutupi. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan hingga memperlihatkan lengan kirinya, bekas luka bakar terlihat di belakang lengan atas kirinya.

      Dave menatapnya dingin, ia sangat membenci luka itu. Nyatanya, kesempurnaan yang selalu orang-orang agungkan kepadanya, sama sekali tidak ia miliki. Jika saja Dave bukanlah orang beruntung yang bisa mendapatkan segala kemewahan ini, ia sangat yakin orang-orang akan memalingkan wajah mereka. Dave mengambil kemeja hitam di ranjang, kemudian mulai mengenakannya. Ia melipat lengan panjang kemeja tersebut sampai ke siku, setelahnya keluar dari kamar apartemen.

~

       Langkah lebar yang terlihat tenang itu, nyatanya tak sesuai dengan pikirannya saat ini. Dave kalut, mimpi buruk terbesarnya itu seolah membelenggunya. Mengurungnya bersama tembok tak kasat mata, jika ada sebuah obat yang dapat membuat ia menghilangkan keresahannya, maka dengan senang hati Dave akan membelinya. Sekalipun dengan harga yang mahal, ia menghela napas kasar.

Kepalanya terasa pusing, Dave memejamkan mata sejenak. Sejauh ini, tidak ada hal yang dapat menenangkannya bagai anti-depresan maupun seperti analgesik atau painkiller.

       Dave memasuki mobilnya begitu dirinya tiba di parkir apartemen, mungkin dengan pergi ke klub untuk minum dapat membantunya meringankan pikirannya yang berantakan.

~

       Rasanya Dave ingin menertawakan dirinya sendiri, sejak kapan orang asing menjadi salah satu bagian dalam ingatannya. Restoran Choo merupakan restoran yang  dua hari ini dirinya kunjungi, ia tidak terlalu lapar, tetapi tangannya bergerak sendiri untuk mengendalikan setir mobil. Bahkan Dave mengingat dengan jelas ketika ia membelokkan arah mobilnya, padahal ia hampir saja tiba di klub.

        

      Pandangan Dave tidak pernah berpindah ke tempat lain, ia terus memperhatikan restoran tempat dirinya makan semalam. Sudah sedari dua puluh menit yang lalu, Dave duduk tenang di dalam mobil yang terparkir di tempat yang sama ia menunggu semalam. Tak berapa lama, seseorang yang sedari tadi ditunggunya muncul. Dave memajukan badannya sedikit, ia memfokuskan perhatian pada sosok asing yang berjalan di samping Bella. Mereka terlihat akrab, bahkan sesekali seseorang di samping Bella itu, mengelus rambut Bella. Satu hal yang mengganggunya, sosok itu adalah seorang pria. Tangannya terkepal kuat dengan rahang mengeras, tatapannya semakin dingin. 

      Dilihat sebanyak apa pun, Dave sangat yakin jika pria itu mempunyai tempat spesial dihati perempuan itu. Sepasang manusia itu memasuki restoran, Dave menghela napas pelan.

Apa pilihannya untuk ke sini adalah kesalahan, Dave rasa ia memang harus pergi ke klub. Tangannya baru saja bergerak memegang setir mobil, sebelum akhirnya satu hal hinggap di kepalanya. Dave kembali pada posisi awal, ia akan menunggu pria itu pergi.

       Entah sudah berapa lama Dave menunggu, ia beberapa kali melirik jam tangannya. Jarum jam selalu bergerak ketika matanya melihat, ia kembali memperhatikan pintu restoran. Sebuah napas lega dikeluarkannya, pria yang bersama Bella tadi, akhirnya keluar dari dalam restoran.

      

        Dave keluar dari dalam mobil ketika melihat pria yang bersama Bella benar-benar pergi, ia berjalan dengan langkah lebar memasuki restoran. Bella menoleh ke arah pintu yang terbuka, ia mengernyit saat melihat kehadiran sosok tak asing di retina matanya. Bella berdiri dan menghampiri, “Maaf, Tuan. Restoran buka pukul dua belas siang.” Dave tersenyum samar, dia tidak bodoh karena sebelumnya telah melihat papan kayu di luar restoran.

“Ah, benarkah? Aku berniat mencari sarapan,” sahut Dave. “Tetapi aku tidak terlalu paham dengan daerah sini, karena itu aku kembali ke sini.” Dave merutuki mulutnya yang masih pandai berbohong, lagi pula tanpa perlu susah payah mencari tempat makan, di apartemen telah disediakan segala hal yang dirinya butuh. Bella mengangguk paham, “Jika Anda ingin mencari restoran yang buka di pagi hari, sebaiknya Anda pergi ke kedai yang jaraknya hanya sekitar 290 meter dari sini.” 

      “Kau bisa merekomendasikan makanan yang enak di sana?” tanya Dave. Bella terdiam, sepertinya ia tidak mengerti maksud pria di depannya ini. “Maaf, saya tidak terlalu tau semua menu di sana. Jika Anda masih bingung, saya bisa mengantar Anda,” sahutnya.

Dave menaikkan sebelah alisnya, “Kau mau pergi bersamaku?” Dave rasanya ingin tertawa, tatapan polos dan bingung perempuan di depannya, sangat menarik untuk dilihat. “Apa kau... “ belum sempat Dave melanjutkan ucapannya, Bella terlebih dahulu memotongnya.

      “Ed!” seru Bella sembari berjalan melewati Dave. Dave mengikuti arah tubuh Bella, seorang pria yang ia kira sudah pergi, nyatanya kembali dengan kantung plastik di tangannya. Dave menatap datar Ed yang ikut menatapnya bingung, sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk Dave datang.

“Apa dia temanmu, Bella?” tanya Ed menunjuk Dave dengan dagunya. Bella mengikuti arah pandang Ed, kemudian menggeleng. “Dia hanya bertanya tentang restoran,” jawabnya berbisik. Ed mengangguk, keduanya kembali menghampiri Dave.

       “Tuan, mengenai perkataan Anda tadi. Anda bisa bertanya pada kekasih saya, dia yang selalu membawaku pergi ke kedai itu,” ujar Bella. Dave melirik Ed dengan tatapan datar, tetapi untuk seorang pria teliti seperti Ed. Dirinya sangat yakin melihat tatapan meremehkan pria itu, Ed sudah sering berhadapan dengan pria seperti pria di depannya.

Ed berdeham, “Ya, aku bisa merekomendasikannya.” Dave menoleh ke arah Bella, “Ah, aku ada urusan. Kita bisa bertemu lagi nanti, sampai jumpa.” Dave berlalu tanpa berniat merespons ucapan Ed, Bella memandangnya bingung.

        Bella menoleh pada Ed, “Ayo, kita duduk dulu.” Kemudian ia membawa Ed menuju salah satu meja, ia duduk di sana diikuti Ed. “Ada apa? Kenapa kau terus memandang pintu?” tanya Bella membuat Ed tersadar dan menoleh padanya. Pria itu menggeleng, “Tidak ada.”

Seolah teringat sesuatu, Ed mengambil kantung plastik kecil yang dibawanya tadi dan meletakkannya di atas meja. “Aku membelikan Cinnamon roll untuk makan siangmu,” kata Ed. Mata Bella berbinar cerah, perempuan itu meraih kantung plastik tersebut. “Terima kasih, Ed.”

~

     “Bella, kau kenal dia?” tanya Ed setelah suasana hening yang terjadi beberapa saat. Bella menoleh, lalu menggeleng. “Dia pria sombong yang membuatku terjebak di restoran malam kemarin,” jawabnya dengan malas. 

      “Sepertinya dia tertarik padamu,” kata Ed dengan wajah datar. Bella tersentak, “Itu tidak mungkin, Ed.” Ed meliriknya, “Kenapa tidak mungkin? Kau cantik dan manis, juga perempuan cerdas, dan pandai memasak.” Bella tertegun, ia memasang senyum malu. “Terima kasih sudah memujiku,” sahutnya.

“Aku tidak memujimu, aku hanya berkata sesuai fakta. Sekarang jawab, apa kau yakin tidak mengenal pria itu?” tanya Ed kembali. Bella menghela napas, “Ed, selama ini orang selalu berada di sampingku dan sangat.. sangat dekatku adalah dirimu. Jadi, apa kau pernah melihat aku dengan dia sebelumnya?”

Ed tersenyum tipis, “Maaf, sepertinya aku terlalu khawatir.”

Bella memandang tak mengerti kepada Ed, “Apa yang kau khawatir, kan?” Bella tersenyum jahil, “Ah.. apa kau khawatir dia akan merebutku darimu? Atau kau takut aku berpaling?” Ed tertawa geli, “Katakan saja iya.” Bella memandang tak percaya ke arah Ed, “Kau seperti tidak tulus mengatakannya.”

       “Lalu aku harus melakukan apa untuk membuktikan  jika ucapanku benar?” tanya Ed. “Jangan lepaskan tanganku,” sahut Bella dengan wajah merona merah. Ed melebarkan senyumnya, “Oke. Aku akan selalu menggenggam tanganmu.” “Bukan melepaskan yang seperti itu maksudku,” rajuk Bella. Ed tertawa, “Aku paham. Maksudmu itu... “ 

       “Bella!” panggil Madam Choo di dalam ruangannya. Bella mendengus, “Astaga, Madam. Padahal aku masih ingin mengobrol denganmu.” Bella berdiri, “Kau harus ke tempat kerja, kan? Pergilah, aku akan langsung pulang.” Ed mengangguk, “Oke. Aku akan melihatmu sampai ke ruangan madam dulu, setelah itu aku akan pergi.” Bella menggeleng-geleng tak percaya, kemudian berjalan pergi menuju ruangan madam Choo. Ed terus memperhatikan hingga Bella menghilang di balik pintu, kemudian ia berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.

       Ed menghembuskan napas kasar, ia memandang dingin ke arah sebuah mobil yang terparkir di depan restoran. Ed tau jika sedari tadi mobil tersebut telah berada di sana, si pemilik pun sepertinya memiliki ketertarikan pada Bella.

Hal serupa dilakukan oleh si pemilik mobil.

       Dave menghembuskan napas kasar melihat kedekatan Bella dan pria itu, ia tidak mengerti apa yang terjadi dengannya. Dave tidak pernah merasa kesal hanya karena seorang wanita, ia juga tidak pernah memperhatikan wanita seperti dirinya memperhatikan Bella. Dave mengacak rambutnya frustrasi, matanya menatap tawa Bella di dalam restoran. “Kau membuatku gila... “ lirihnya.

       Dave memasuki  apartemennya dengan langkah malas, ia mendudukkan dirinya di sofa. Punggung dan kepalanya bersandar pada sandaran sofa, matanya memandang lurus langit-langit ruangan. Hatinya terasa panas oleh hal yang tidak ia mengerti, Dave merasa malas melakukan apa pun. Derap langkah kaki membuat Dave menoleh ke asal suara, ia rasa mood-nya akan semakin memburuk sekarang.

       “Hai, Dave. Kau pasti tidak menyangka aku akan berada di sini,” ucap Theo kemudian mendudukkan dirinya di samping Dave. “Menyingkir dariku,” desis Dave sembari mendorong Theo dengan lengannya.

Theo berdecap kesal, kemudian menjauh sedikit dari Dave. “Kau sepertinya sedang dalam suasana hati yang buruk, ada apa? Apa ada yang membuatmu kesal di sini?” tanyanya. Dave mendengus, “Kenapa kau kemari?”

       “Astaga, kukira kau akan sedikit berubah setelah tidak bertemu denganku... “ keluh Theo. “.. aku kabur,” lanjutnya membuat Dave menoleh cepat padanya. Theo menahan tawa, tetapi sesaat kemudian dia pun tertawa keras. Theo baru menghentikan tawanya setelah mendapat delikan tajam Dave, ia berdeham.

“Aku tidak kabur, mana mungkin aku meninggalkan tanggung jawabku di sana,” sindirnya sembari melirik Dave yang memandangnya datar. Theo mendengus, “Kau ini tidak bisa di ajak bercanda.” Dia mengambil tas kerja di sampingnya, kemudian membuka dan mengeluarkan isinya.

Theo meletakkan beberapa dokumen penting di atas meja kaca, “Ini adalah proposal yang ayahmu kirim. Beliau juga yang mengirimku kemari untuk menemanimu, sekaligus beliau juga memberikanku libur selama 2 hari.”

       Dave mengambil satu dokumen, lalu mengeceknya. Dokumen yang diambilnya berisi tentang kerja sama dengan perusahaan luar, tandatangan sang ayah telah berada di sana. Dave kembali meletakkan dokumen itu di tempat semula, “Aku akan tandatangani nanti.”

Theo mengernyit, “Aku tau kau seorang pria yang dingin, tetapi kenapa kali ini aku merasa kau sangat dingin? Ada apa? Kau tidak menikmati masa kaburmu?” Dave mendengus, “Kau terlalu banyak bicara.” “Jangan katakan kau akan tidur di sini,” Dave memberikan tatapan permusuhan.

        Theo tertawa kaku, “Eum.. ya? Lagi pula apartemenmu besar dan punya tiga kamar, kan? Jangan pelit kepada teman kecil!” Dave melirik sekilas tanpa berniat membalas ucapan Theo, ada satu hal yang terpikirkan olehnya. Ia menoleh ke arah Theo, “Kau bisa memata-matai seseorang?” Theo mengernyit,

“Kenapa? Ada seseorang yang ingin kau dekati?” Theo bukanlah pria bodoh, dirinya dapat melihat ekspresi gelisah di wajah Dave. “Kalau begitu tidak perlu,” ujar Dave membuat Theo buru-buru menghampiri. “Kenapa tidak jadi? Katakan saja, siapa yang harus aku selidiki?” tanyanya.

        “Aku tidak bodoh, Theo. Kau pasti akan memberi tahukan semua kegiatanku di sini kepada ayahku, kan?” pertanyaan bernada curiga itu terdengar jelas ditelinga Theo. Pria itu meringis, kadang ia lupa berhadapan dengan siapa. Tujuan utamanya kemari memang seperti dugaan Dave, Theo sebenarnya bisa saja menolak, tetapi ini kesempatan dia libur kembali. “Astaga, maafkan aku. Oke, katakanlah apa yang kau mau. Aku akan melakukannya sebagai teman kecilmu,” tukasnya.

       Dave menatap Theo dengan datar selama beberapa saat, “Besok ikutlah denganku.” Mata Theo berbinar, “Kau mau mengajakku jalan-jalan?!” Dave mendelik tajam ketika mendengar seruan Theo, “Sekali lagi kau melakukannya, aku akan menendangmu keluar dari sini.”

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status