Share

Awal Mula

 “Mengapa aku harus terjebak ke dalam tempat hampa seperti ini?” keluh Adrien, sambil memperhatikan pemandangan diluar jendela limosinnya. Carter, sang pelayan yang tengah menyupir, tersenyum lembut,

“Barangkali karena memang sudah saatnya Anda memiliki pasangan, Tuan Muda. Bukankah dalam waktu satu tahun lagi Anda akan resmi menjadi Raja menggantikan Lord Alastairs? Anda tentu membutuhkan seorang perempuan untuk menjadi Ratu...”

“Apakah kita benar-benar memerlukan seorang Ratu, Carter?” potong Adrien, ingatannya berlabuh kepada ibundanya yang duduk sendirian di kelam hari, Lady Earlene. Menjadi Ratu mungkin adalah pekerjaan paling menyedihkan bagi perempuan di negeri ini, pikirnya.

“Ada banyak wartawan yang meminta konfirmasi dariku, Tuan Muda,” Carter mencoba menjelaskan dengan sangat sopan. “Mereka bertanya tentang kisah asmara...siapa yang Pangeran Adrien cintai...siapa yang akan menjadi Ratu...dan...ada beberapa perempuan juga, mantan kekasih Tuan Muda, yang menghubungiku dan memastikan siapa yang akan menempati kursi di samping Pangeran...”

“Aku tidak ingin menikah,” potong Adrien, tegas. Tatapannya tetap mengarah keluar jendela, kepada kastil-kastil dan taman-taman yang sudah ribuan-bahkan jutaan kali ia lewati.

“Baiklah, Tuan Muda,” kata Carter, tak berani untuk membantah perkataannya.

Hening.

Limosin terus melaju di kesunyian. Adrien menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dan memejamkan mata. Gerimis malas mengiringi pagi yang meskipun sudah pagi, tak nampak ada matahari. Hawa dingin menusuk-nusuk tulang. Kabut bergelayut. Sekilas larik-larik mimpi nampak menari-nari di kepalanya, membuat mata birunya terasa nyaman dalam kantung tertutup. Ia mengingat warna-warni pelangi dan harum aroma tanah basah, segar hijau dedaunan dan kabut dingin di atas bukit yang turun ke bawah melahap semua. Percik-percik salju di pucuk gunung cadas. Bunga-bunga liar di pinggir sungai dan ia sampai di jalanan setapak dekat minaret jam. Tiba-tiba tubuhnya menjadi ringan dan seakan tertarik ke atas, ia terbang menjangkau dinding langit, melayang-layang laksana debu. Ia berputar-putar indah dan syutt, saat kakinya hendak mendarat di balkon kastil, ia terjatuh.

Boom!

“Aduh, maaf-maaf, tuan, maafkan aku...” seorang gadis berseru ketakutan. Adrien segera tersadar dari tidurnya dan melihat apa yang terjadi. Oh seorang pelayan istana menyebrang jalan sembarangan! Hampir saja limosinnya rusak karena menabrak gadis itu!

“Apa yang kau lakukan disitu? Heh!” Adrien membentak, Di dalam mulutnya sudah bersiap keluar sumpah serapah karena kehadiran gadis itu jelas-jelas telah merusak tidurnya.

“Maafkan aku, Tuan, aku tidak sengaja,” ujarnya sambil terus menundukkan kepala. Adrien tak bergeming dan hanya buang muka. Ia mengisyaratkan Carter dengan tangannya untuk segera membereskan masalah ini.

Carter langsung keluar dari mobil.

“Aduh, ya ampun, Isadora! Lain kali kalau jalan hati-hati,” seru Carter pernuh peringatan. Ia membungkuk memunguti barang-barang yang terjatuh dari genggaman Isadora. “Disini bukan taman yang bisa kau lewati seenaknya...” dan Carter mulai berbisik “Masih baik Prince Adrien hanya membentakmu.”

“Aku tahu, maafkan aku, aku tersesat,” Isadora memohon-mohon.

“Astaga! Kau baru sampai disini kurang dari satu jam dan sudah tersesat? Dimana yang lain? Kenapa tidak menemanimu?”

“Aku tidak tahu. Tadi kabutnya sangat tebal dan aku berpisah dari rombongan. Ya Tuhan, aku takut sekali... aku baru pertama kali bekerja disini tapi sudah membuat kacau...”

Kata-kata tak beraturan itu keluar dari mulut Isadora begitu saja, membuatnya tampak menyedihkan di bawah langit kelabu. Carter mengalirkan napas panjang. Sepasang matanya mulai memandang iba kepada gadis di depannya. Ia menoleh sebentar ke arah Adrien dan mendapati sang Tuan Muda tak bergeming sama sekali. Matanya yang sedalam samudera menatap tajam kepada Carter dan Isadora secara bergiliran, tapi tak ada sesuatu pun yang dikatakannya. Raut mukanya sulit dideteksi.

“Maafkan aku... aku tak akan mengulanginya...”

“Sssst!” serobot Carter. “Sudah-sudah, ini...” Carter memberikan barang bawaan Isadora yang terjatuh, “Cepatlah kembali ke istana dan bekerjalah dengan profesional...jangan pernah keluar sendirian sebelum kau benar-benar hapal jalanan ini, mengerti?”

Isadora mengangguk. Kemudian, ia berjalan pelan ke pinggir jalan, lalu menunduk dengan tegang di tepian. Ia mempersilahkan limosin super mewah itu untuk lewat, dan tanpa memperhatikan keadaannya, limosin itu melaju cepat.

*****

Oh, hampir saja, pikir Isadora seraya bernafas lega.

“Oii Isadora!!” seorang wanita bertubuh gempal memanggilnya di kejauhan. Isadora bersorak bukan main melihat siapa yang datang. Ia berlari mendekati sang wanita dan bahkan, sebelum ia benar-benar sampai, kata-kata penuh resah berhamburan dari mulutnya.

“Rodrigue, apakah aku akan dipecat atas insiden tadi?”

“Tenanglah, tenang,” demikian Rodrigue, sang Kepala Pelayan Istana Utama menenangkan. “Prince Adrien tidak seburuk yang kau pikirkan, tetapi dia memang tak suka melihat kesalahan.”

“Apakah kabut turun setiap hari, Rodrigue?” Isadora langsung mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau mengingat kejadian mengerikan itu lagi.

Rodrigue tersenyum ramah. “Yah, kau harus mulai terbiasa dengan iklim Penthalpa yang berkabut dan...emm...sedikit kelam.”

“Ah,” keluh Isadora. Kekecewaannya sangat dalam. “Ternyata memang tidak lebih baik daripada kampungku di Cottonmouth. Disana bahkan saat musim panas, salju bisa turun setiap hari!”

Rodrigue setengah tertawa, setengah menggeleng-gelengkan kepala menanggapi ucapan gadis itu. Kemudian, dituntunnya sang gadis kembali menuju Istana Utama, tempat dimana ia bekerja dan memulai hidup barunya. Selama perjalanan, Rodrigue menjelaskan satu per satu tentang kastil-kastil di Istana, tentang tikungan jalan yang membingungkan, tentang taman hiburan, stasiun kereta dan bangunan-bangunan klasik lain yang entah untuk apa saja digunakan

Suaranya semakin lama semakin rendah dan rendah, dan akhirnya menghilang dibelokan jalan setapak.

Pada suatu titik di langit, terdengar suara seekor burung bersenandung, suara sayap lebar yang mengepak seperti baling-baling.

*****

Sementara itu, saat siang semakin murung dan sepi, Luna berjalan tergesa-gesa menuju ruang utama di istana utama. Tangis di mata safirnya telah mengering, menimbulkan bekas dan rasa kantuk yang berat. Angin sepoi-sepoi, menarikan rambut panjangnya yang pirang kemerah-merahan. Gadis cantik itu seakan ingin menyerah kepada kelembutan mimpi. Namun ia tidak bisa melakukannya. Sebab dering telepon dari seberang telah berdering dan dalam satu tarikan, Luna segera menjumpai Alexandrina, salah satu penasihat keluarga kerajaan sekaligus istri dari Frederich Ford Alegra, adik dari Lord Alastairs.

“Dia akan datang malam ini, Alexa,” sahut Luna, terengah-engah.

“Siapa?” Alexandrina tidak mengerti. “Dia?”

Luna mengangguk. “Charles Rosenblum menelpon tadi. Aku tidak menyangka akan mendadak seperti ini. Kenapa tidak ada yang memberitahuku sebelumnya?”

 “Ssstt,” Alexandrina mengingatkan. Matanya memutar keliling ruangan, takut-takut kalau ada yang mendengar percakapan mereka. “Jangan panik,” nada suaranya memelan. “Aku pikir Adrien dan Ratu sudah memberitahumu.”

Luna terdiam. Bekas air mata yang mengering telah menjawabnya. Alexandrina paham maksudnya. Ia menghela napas.

“Apakah Tuan Marshall benar-benar akan membawaku ke Asrama Honeysuckle sekarang?” Luna bertanya dengan nada cemas. “Lord Alastairs tidak ada disini. Apa yang harus aku lakukan, Alexa?”

“Tenanglah, sayang,” Alexandrina menenangkan. “Aku akan pergi sebentar menemui Adrien dan Lady Earlene untuk mendiskusikan ini semua. Aku juga akan menelpon Lord Alastairs secepatnya.” Ada jeda sejenak. “Aku juga akan memberitahu mereka kau keberatan dengan misi ini, jika kau mau.”

Lalu, tanpa basa basi, Alexandrina pergi. Tinggalah Luna sendirian dan dengan letih, ia terduduk di sofa. Ia menangkupkan seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Ia tampak berpikir keras. Satu menit, dua menit, sepuluh menit berlalu. Tidak ada ide bagus muncul di kepalanya. Sekali lagi, Luna menangkupkan seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Lelah.

“Permisi, nona, mau aku bawakan segelas teh?” Rodrigue, Sang Kepala Pelayan yang baru saja sampai bersama Isadora, menawarkan bantuan.

“Ya, terima kasih,” Luna tersenyum. Tetapi tetap saja tak mampu menghilangkan gelisah di raut wajahnya. Rodrigue yang telah mengenal Luna sejak gadis itu masih bayi pun merasa bersimpati.

“Anda terlihat kurang sehat, nona. Apa ingin aku bawakan sesuatu lagi, nona? Makanan atau buah-buahan misalnya?”

“Tidak perlu, Rodrigue. Aku hanya akan duduk istirahat sebentar,” Luna mengalirkan napas panjang. “Seharusnya aku sudah terbiasa dengan ini.”

“Barangkali ini hanya hari yang buruk, nona, tetapi bukan hidup yang buruk,” Luna menoleh kepada Isadora dan Isadora menunduk dengan segala hormat. Luna mengulum senyum manis.

“Oh kau pasti temannya Rodrigue ya,” serunya. Isadora mengangguk. Di dalam hati, ia kagum betapa Lady Luna menghargainya. Alih-alih berkata bahwa ia adalah pelayan baru, Luna justru mengatakan teman.

“Namaku Isadora Deirde. Aku datang dari Cottonmouth, nona.”

“Nama yang bagus,” puji Luna, tulus. “Aku Luna. Senang bertemu denganmu,” Luna mengulurkan tangannya dengan sangat ramah, senyum di wajahnya tak memudar. Isadora menyambut tangan itu penuh kelembutan. Ia ikut tersenyum dan Rodrigue juga tersenyum. Sesaat, berhentilah segala kesusahan yang baru saja dialami mereka dan berganti menjadi keceriaan persahabatan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status