Share

Keluarga Alegra

“Kalau kau ingin mencari uang, disinilah tempatnya. Tapi sayang, disini tidak ada kehidupan.” seru Rodrigue, sesaat setelah ia dan Isadora sampai di dapur. Oh sebuah perjuangan yang panjang! Butuh melewati berlapis pemeriksaan untuk akhirnya tiba di dapur utama. Untunglah tadi sempat ada Lady Luna yang membuat hatinya terasa adem dan tentram.

“Lord Alastairs, Lady Earlene, Prince Adrien dan Lady Luna, dan saudara-saudaranya, mereka semua hampir tidak pernah berbicara lebih dari lima menit terhadap sesamanya,” sambungnya, ia sangat semangat ketika obrolan sudah menjurus ke arah gosip-gosip keluarga kerajaan. Setelah tengok kanan dan kiri dan merasa aman bahwa cctv atau alat pengintai semacam itu tidak akan mencurigai tingkahnya dan Lady Luna yang tengah berada di istana utama tidak akan mendengar obrolan ini, ia mencondongkan wajahnya ke arah Isadora dan berbicara dengan serius,

“Bohong kalau media bilang mereka semua tinggal di istana utama ini. Nyatanya, hanya Lord Alastairs saja, sedangkan Lady Earlene, Prince Adrien, Lady Luna dan saudara-saudaranya tinggal di kastil pribadi mereka masing-masing. Jika tidak ada acara kenegaraan, sebetulnya mereka jarang bertemu.”

Langit menjelang sore di Penthalpa masih sesuram waktu subuh. Sepi menggelayut. Hanya angin dan angin yang lalu lalang di sepanjang kompleks. Aroma musim semi nyaris tak tercium, tergulung oleh mendung yang menghadirkan dingin dan kesedihan.

“Aku hanya ingin bekerja saja disini,” tutur Isadora, pasrah. Melihat langit murung, ia seakan melihat akhir dari masa depannya. Rodrigue menggeleng-geleng, “Beruntungnya dirimu sempat memperkenalkan diri kepada Lady Luna. Dia adalah gadis yang baik.”

“Iya ya, dia sangat baik,” Isadora girang bukan main. Ia mengenang pertemuannya dengan Luna. Oh rambut merahnya yang alami, strawberry blond. Oh mata birunya sedalam samudera, seindah safir. Hidung mancung sempurna. Bibir tipis serwarna delima. Kulit mulus dan bersih. Garis wajah yang lembut. Luna bahkan lebih cantik dari penampakannya di koran-koran dan majalah nasional.

“Jelita sekali, melebihi rembulan manapun,” jelas Isadora. “Lady Luna Lavina Alegra adalah perwujudan dari kesempurnaan seorang gadis!” Ia mengulanginya sampai tiga kali, sampai Carter datang dengan lelah. Tak lama, Suzanne, Georgette, Julian, dan para pelayan lain juga sudah berkumpul untuk bersama-sama membentuk paduan suara demi menceritakan pengalaman mereka kepada Isadora.

“Yah, Lady Luna Lavina Alegra, dia adalah yang terbaik,” seru Carter, “Ia yang paling murah senyum dan paling tidak merepotkan kita. Sebenarnya ia hanya kurang beruntung,” Carter mengingat kejadian tadi pagi dengan Adrien, “Sayang, Prince Adrien tidak terlalu menyukainya.”

“Kalau aku jadi ibunya, aku pasti sudah sangat menyayanginya,” Rodrigue berandai-andai. Ia adalah seorang ibu dari pulau Gullviva[1]. Ia terobsesi menjadi perempuan sejati karena dahulu orang tuanya terobsesi memiliki anak laki-laki sehingga latah memanggilnya, “Rodrigue”. Ia perempuan, tapi namanya Rodrigue. Sekarang, anak semata wayangnya di Gulviva adalah seorang gadis, dan Rodrigue memanggilnya Julia. Ia berharap Julia dapat memiliki pasangan seperti Julius, sahabat terdekat Lady Luna.

“Sebenarnya apa yang menimpa Lady Luna?” Isadora penasaran.

Para pelayan saling berpandangan. Satu detik. Dua detik.

Hanya gelengan kepala yang bereaksi.

“Aku sering melihat Prince Adrien ribut dengan Lady Luna dan ia mengata-ngatai Lady Luna dengan ucapan ‘anak haram’, ‘pelacur’, ‘perusak rumah tangga orang’, semacam itulah. Tapi kami tidak tahu apa masalahnya.”

“Itu pasti rahasia yang sangat rahasia ya.”

Semua orang sepakat.  “Iya, obrolan ini juga rahasia ya.”

Tiba-tiba semua jadi takut atas kerahasiaan ini dan ngeri membayangkan kalau-kalau ada intel yang menyelinap secara rahasia ke dalam obrolan rahasia mereka dan secara rahasia pula, melaporkan obrolan rahasia mereka ke Lord Alastairs. Atas pertimbangan itu, majelis akhirnya bubar.

*****

Bayang-bayang senja pelan-pelan merayap menyapu bumi. Di kompleks istana, sinar melembut dan lampu-lampu dinyalakan, menghadirkan kehidupan malam yang lambat. Semua orang dibenam kelelahan. Luna telah kembali dari Kastil Frederich ke istana utama. Kali ini ia datang bersama Lady Earlene, Prince Adrien, Lady Alexandrina, Lord Frederich dan William-anak tunggal Frederich. Para prajurit, pelayan, dan petugas istana berbaris hormat kepada mereka hingga mereka sampai ke ruang utama. Patuh. Tertib. Formal. Kaku. Semua orang menjadi waspada atas sedikit tingkah yang dilakukannya, kalau-kalau hal itu memalukan atau membuat gaduh ruangan.

“Benar-benar pemandangan yang luar biasa,” gumam Isadora. Ia yang berasal dari keluarga miskin di ujung pulau Cottonmouth, diam-diam merasa tersanjung karena di hari pertamanya bekerja, hampir semua anggota kerajaan berkumpul. “Benar-benar cantik,” bisiknya lagi saat melihat Lady Luna. Sebentuk gaun panjang menyapu lantai dengan detail elemen beads yang sewarna dengan korsase mawar merah yang menghiasi rambut Sang Lady. Harga pakaian Luna pastilah tidak sebanding dengan gajinya disini, pikir Isadora.

“Ssst,” Rodrigue menyuruh Isadora berhenti berbicara. “Apa kau ingin dipecat?” tegurnya. Beberapa orang yang mendengar terkikik pelan.

“Letakkan lukisan itu disana,” tutur Lady Earlene, dingin. Maka beberapa petugas dengan sigap memindahkan lukisan sebesar tembok itu ke tempat yang Lady Earlene perintahkan.

“Letakkan piano dan biola disini,” sambungnya lagi.

“Apakah itu akan banyak berarti?” tanya Adrien, sangsi.

“Tentu saja,” Lady Earlene membalas. “Aku dengar Tuan Marshall menyukai lukisan dan biola. Lebih dari itu, ia menyukai keistimewaan. Meletakan apa yang disukainya adalah sebuah keistimewaan.”

“Oh apa aku terlambat? Maafkan aku ya,” seru seorang gadis berambut cokelat yang tergopoh-gopoh memasuki ruang utama. Ia memberi salam dengan heboh kepada seluruh anggota kerajaan sambil terus menghamburkan kata maaf. Lady Earlene melenguh panjang.

“Tenanglah, sweetheart. Dia belum datang,” William menenangkan dengan manja. Gadis yang dipanggil sweetheart itu adalah Lindyana Eyleen Pearce, anak dari bangsawan Pearce. Namun orang-orang lebih akrab memanggilnya Linda. Setelah resmi bertunangan dengan William Wermelinger Alegra, Linda mulai aktif ikut serta dalam kegiatan internal kerajaan-walau kadang kala Lady Earlene dan Alexandrina protes karena gadis itu selalu membuat heboh dengan tingkah konyolnya. Sangat tidak bangsawan, demikian singkatnya Lady Earlene menyimpulkan.

“Apa yang akan dia lakukan disini?” Adrien memecah keheningan. Namun semua mengangkat bahu hingga keheningan yang pecah berubah menjadi semakin hening.

“Mungkin, dia akan makan malam bersama kita,” Lord Frederich memberi tanda-tanda kehidupan. “Setelah itu adalah tergantung apa yang akan dia sampaikan kepada kita.”

“Aku pernah dengar dia bertanya tentang Luna,” tukas William. Semua memandang kepada Luna. Gadis itu tampak terkejut.

“Apa yang dia tanyakan?” Alexandrina penasaran.

William mengangkat bahu, “Hanya sebuah keformalan seperti biasa, tentang kabar dan remeh-temehnya.”

“Yah, dari hal-hal biasa yang ditanyakan itu, dia memilih Luna,” Adrien  kesal. “Tidakkah aneh bahwa dia tidak bertanya bagaimana kabar Lord Alastairs terlebih dahulu melainkan menanyakan si anak haramnya?”

Luna tercekat. Tapi seperti biasa, ia hanya membisu. Tidak ada yang akan membelanya di keluarga ini, semua sepakat dengan ucapan Adrien, betapapun menyakitkannya. Hidup di kalangan yang amat mengagungkan keturunan, Luna nyaris tak memiliki kans untuk membela asal usulnya.

“Luna gadis yang baik,” kata Alexandrina, satu-satunya orang yang bersimpati. Maksudnya ingin membela, tapi ia sendiri tidak bisa berbuat banyak. Linda tersenyum, tak tahu bagaimana harus bersikap. Senyum, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk Luna ketika kebanyakan dari yang lain bersikap dingin.

*****

Lonceng berdentang. Bergema ke seluruh kompleks istana. Di luar pintu istana utama, berbaris ratusan prajurit berseragam lengkap dengan senjata laras panjangnya. Karpet merah digelar membungkus aspal. Bendera raksasa berkibar, diangkat oleh ratusan prajurit, menghadap ke arah patung Lord George, pendiri kerajaan The Great Alegra dan patung Lord Alastairs, Raja The Great Alegra saat ini. Seorang pria gagah perkasa berdiri di tengah lautan prajurit, di dekat raksasa air mancur yang ditengahnya berkibar pula dengan amat sangat tinggi, bendera The Great Alegra, The Holy Flag.[2]Ia berteriak lantang, memberi komando. Serentak, semua bergerak sesuai arahan.

Lonceng berdentang-dentang lagi dan terlihatlah, di langit angkasa, sebuah helikopter bergerak menuju istana. Cepat, sigap, helikopter itu berhenti di ujung karpet merah yang telah disiapkan. Baling-baling berhenti berputar, pintu terbuka. Dalam beberapa detik, keluarlah... ia yang ditunggu-tunggu.

*****

“Dia datang!” seru salah satu prajurit, tegas berlari menuju istana utama. Seluruh anggota kerajaan siap siaga menunggu di balik pintu.

Satu menit. Dua menit. Lima menit. Waktu berlalu. Terdengar bunyi geluduk dan tetes-tetes hujan membintik di kaca jendela. Kilat bersambaran. Hawa semakin dingin. Suasana semakin sepi. Kegelapan, kebekuan, ditanam oleh dinding sedalam beberapa kaki.

“Barangkali ia memutuskan untuk berteduh dulu,” Linda berkomentar dari balik pintu istana.

“Ada limosin yang siap membawanya kemari,” Lady Earlene menjawab telak. Ia memandang teguh kepada pintu masuk setinggi dan selebar monumen. Menit-menit semakin meninggalkan waktu dan akhirnya, akhirnya... pintu raksasa itu berderik melengking. Semua terkesiap.

[1] Salah satu pulau di selatan Great Alegra. Terkenal dengan kereligiusannya, Gulviva memiliki berbagai bangunan keagamaan, dari masjid, gereja, kuil, vihara, hingga sinagog serta makam-makam para tokoh agama berpengaruh. Oleh karena itu, Gulviva dianggap sebagai pusat spiritual nasional.

[2] Bendera Resmi Great Alegra, berwarna Putih dengan gambar burung merpati di tengah dan mahkota keluarga kerajaan Alegra di atas kepala burung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status