Share

Gavin Dolorosa Marshall

Gavin Dolorosa Marshall, sesosok pria muda setinggi 180 centimeter dengan mantel cokelat panjang membungkus tubuhnya yang proporsional. Senyum berkelas yang dihadirkannya saat muncul dari balik pintu menandakan bahwa ia adalah seorang ekspatriat.

“Ah!” seru pria itu, menurunkan payung, membuka mantel dan memberikan keduanya kepada para pengawalnya. Ia tertunduk memandangi bercak-bercak air yang menetes dari ujung-ujung payung. “Aku tidak tahu akan hujan begini,” lanjutnya sumringah.

“Setelah bertahun-tahun menetap di Inggris, Anda tentu menjadi tidak terbiasa dengan cuaca Penthalpa yang murung ini, Mr. Marshall!” Lady Earlene menyahut. Ia mengulurkan tangannya kepada Gavin, “Selamat datang di The Great Alegra!”

Gavin tersenyum dan menyambut tangan Earlene dengan lembut, “Halo Ratu Alegra, Lady Earlene” Lalu Gavin mengulurkan tangan pada Frederich, “Halo Lord Frederich.’’ Kemudian,

“Lady Alexandrina.”

“Prince William.”

“Prince Adrien.”

“Lady Linda.”

Sampai dengan Luna, Gavin membuka kacamata hitamnya. Tampaklah sepasang mata hazel berkilauan dan bulu mata lebat melekuk indah. Untuk beberapa saat, Luna tercekat, berhenti bernafas.

 “Halo Lady Luna,” ucap Gavin, senyumnya semakin mengembang, manis seperti buah delima. Luna mengangguk pelan dan membalas salam formal.

“Dahulu kau masih kecil sekali ya, sekarang sudah menjelma menjadi seorang gadis,” Gavin berkelakar, “Ah, sekarang aku merasa tua.”

Semua tertawa.

*****

Mereka berjalan melintasi koridor sepi dan sampai di ruang makan. Meja panjang berlapis emas dan kursi-kursi berlengan yang juga terbuat dari emas, teronggok anggun di tengah-tengah ruangan. Di atas meja ada puluhan menu makanan dengan lilin-lilin mahkota menyala, menghias makanan menjadi terlihat sangat ekslusif. Gelas-gelas piala berjejer. Sendok dan garpu disusun sedemikian rupa. Inilah makan malam yang khusus diadakan untuk seorang Gavin; makan malam mahal yang harganya lebih mahal dengan gaji seluruh koki yang memasak makanannya.

Lady Earlene, Frederich, semua mengambil tempatnya masing-masing. Para pelayan menggeser kursi dan tiap-tiap anggota kerajaan duduk dengan santun di atas The Royal Red Chair. Tak ada celoteh apapun terdengar. Mereka melanjutkan acara makan dalam diam, seperti semuanya berada di dunia sendiri-sendiri.

“Dia tidak pernah berhenti memperhatikannya,” tukas Isadora, mengintip makan malam itu dari ujung pintu yang terbuka.

“Apa maksudmu tidak berhenti memperhatikannya?” Georgette bertanya.

“Tuan Muda Gavin, siapa lagi? Aku rasa dia menyukai Lady Luna.”

“Seluruh negeri menyukai Lady Luna,” Carter beralasan. “Entah bagaimana, Lady Luna memang memiliki pesona tersendiri diantara anggota yang lain. Di desaku, semua mengagumi Lady Luna. Kau sudah baca koran hari ini? Semua menulis tentang Lady Luna. Kau dengar radio? Lihat TV? Semua tentang Lady Luna. Dia begitu postif di hadapan rakyat. Aku rasa dialah magnet kerajaan.”

“Ironis sekali,” Rodrigue tiba-tiba datang dan berkomentar seperti ibu mertua. “Tapi dia tidak cukup disukai oleh ibu dan kakaknya sendiri.”

Semua pelayan menoleh, “Apa maksudmu?”

“Apa maksudku? Hei, dengar, aku sudah dua puluh tahun tinggal di istana ini. Saat Lady Luna lahir, aku pertama kali bekerja disini. Rasanya seperti Tuhan memang telah memilihku untuk menjadi pelayan bagi dirinya. Aku tahu betapa kesepiannya Lady Luna disini. Hidup sendirian di kompleks yang terlalu luas? Kau bisa bayangkan?”

“Yah, dia terlihat tidak bahagia,” Georgette menyimpulkan. “Tapi tentu dia gadis yang baik.”

“Dia baik sekali,” sambung Isadora. “Itulah sebabnya Tuan Muda Gavin menyukainya.”

“Ngomong-ngomong soal Tuan Muda Gavin,” serobot Rodrigue. “Aku pernah menyaksikan suatu pengalaman yang sangat indah antara dia dan Lady Luna.”

“Benarkah? Apa?”

Rodrigue tersenyum simpul. Melihat yang lain tidak sabar menunggu ceritanya, ia merasa seperti sedang memegang kartu undian. Hmm, ia berdehem. Dengan gaya seperti seorang pendongeng, ia berbicara,

“Jadi begini...”

***

Luna Alegra dan Gavin Marshall bukanlah sepasang manusia yang baru bertemu baru-baru ini. Jauh ketika Luna masih kecil, nama Gavin Marshall memang sudah menggaung lembut di telinganya. Pertama kali ketika Luna kecil melihat Gavin Marshall, Lord Alastairs mengintruksikan Luna untuk senantiasa hormat kepada pria itu. Maka Luna hormatlah sebagaimana titah ayahnya, tetapi ia tidak tahu mengapa harus demikian. Baru ketika ia mulai masuk dunia sekolah dan sedikit mampu mencerna kata-kata politik yang berat yang saat itu seperti kode tak terpecahkan, Luna paham mengapa Gavin Marshall harus sangat dihormati. Tak lain tak bukan adalah karena pria tampan itu merupakan keturunan Wangsa B.[1]

Gavin Marshall adalah pria Eropa berdarah Arab. Nama tengahnya, Dolorosa, adalah nama tempat kelahirannya di Jerusalem. Ia terkenal sebagai seorang politisi, pebisnis, musikus, seniman, dan model. Ia telah banyak melalang buana ke berbagai negara dan menancapkan pengaruhnya. Di The Great Alegra, ia adalah penyumbang dana terbesar untuk berbagai proyek dan kebijakan pemerintah, selain Leopold Sagan, Oswald Orben dan Nicholas Nietzsche. Bergelar The Grand Master of Duke of The Great Alegra, ketiganya juga sama-sama merupakan keturunan Wangsa B dan sama-sama merupakan barisan dari pria terkaya di negeri Alegra ini.

Waktu Luna kecil, sebenarnya sedikit sekali peristiwa yang terjadi yang melibatkan dirinya dengan Gavin Marshall. Namun karena sedikit itulah, peristiwa itu tetap terkenang. Semakin sedikit yang harus diingat, semakin kekal ingatan itu. Semakin banyak yang harus diingat, semakin buyar.

“Kalau tidak salah malam itu adalah peringatan hari Supermoon Berdarah (The Bloody Supermoon),” demikian Rodrigue mengorek-ngorek memorinya. “Iya, kalau tidak salah. Malam itu Lady Luna dan Gavin Marshall bertemu.”

Bloody Supermoon adalah sebuah pesta untuk mengenang tragedi berdarah, sebuah tragedi tentang pengkhianatan kelompok partai kiri “Revolusioner” terhadap pemerintah dan keluarga Alegra. Peristiwa tersebut telah terjadi sekitar belasan tahun yang lalu dan menelan lebih dari satu juta rakyat Alegra. Disebut tragedi “Bloody Supermoon” karena peristiwa tersebut berlangsung pada malam supermoon, suatu malam yang indah ketika jarak bumi dan bulan begitu dekat dari biasanya. Malam yang indah itu berubah menjadi neraka ketika darah-darah tak berdosa, darah dari bangsa Great Alegra, membanjiri sungai-sungai dan lautan di sepanjang negeri. Sebuah pembantaian paling mengerikan dalam sejarah Great Alegra. Oleh karena itu, untuk mengenang satu juta lebih rakyat Great Alegra yang menjadi korban dalam persitiwa tersebut, diadakanlah malam pesta sebagai sebuah peringatan.

“Saat itu aku sedang berada di lantai tiga dan mendengar Lady Luna dan Prince Adrien bertengkar,” Rodrigue mengenang peristiwa itu.

*****

“Bloody-Rubin, anak haram!” demikian Adrien meludah. Ia mengibaskan rambut emasnya angkuh dan berceloteh. “Kau tidak akan mendapatkan penghormatan dari keluarga Alegra seperti kehormatan yang aku dapatkan,” lanjutnya.

Ia melempar setumpuk surat kabar dengan potret dirinya sebagai sampul. Disitu dikabarkan bahwa Adrien Moritz Alegra, Sang putra mahkota, akan memerintah Great Alegra belasan tahun yang akan datang. Ini resmi. Terikat. Harga mati. 

“Akulah anak Lord Alastairs. Anak resmi. Anak satu-satunya. Tapi kau, Luna? Kau adalah seorang haram yang dengan haram menginjak istana ini dan mengubah keharmonisan keluarga Alegra menjadi neraka!”

“Aku tidak pernah bermaksud mengacaukan keluarga ini...” Luna melawan. Bahkan meski ia tidak mengetahui dengan pasti apa maksud Adrien menghina asal usulnya.

“Tapi kau telah mengacaukannya! Kau dengan ibumu si Pelacur-Rubin! Kau pikir kau akan diterima disini hanya karena ibumu-si pelacur-Rubin pernah tidur dengan ayahku? huh?”

“Ibuku bukan pelacur!”

“Seorang wanita tidur dengan seorang laki-laki lalu memeras sang lelaki, apalagi namanya kalau bukan pelacur? Bahkan sebutan pelacur saja tidak cukup untuk ibumu yang jahanam itu?!”

“Ibuku bukan pelacur, Adrien! bukan!”

 Luna mendorong Adrien hingga lelaki itu nyaris terjatuh. Adrien makin naik pitam dan dengan raut pembunuhan, membalas mendorong Luna hingga benar-benar jatuh. Suara berdebum keras terdengar. Luna mengaduh. Adrien menempeleng kepala anak kecil itu dan membuktikan siapa yang lebih berkuasa. Luna menangis sejadi-jadinya. Tangisan itu bergaung, memantul di seluruh sudut istana dan membuat resah suasana pesta yang tengah berlangsung.

Maka, Lady Earlene yang berada tak jauh dari ruangan tempat kakak-adik itu bertengkar, segera terhuyung menuju lokasi. Ketika mengetahui apa yang terjadi, ia langsung memisahkan mereka. Ia tarik tangan Adrien sehingga remaja itu berdiri dibelakang tubuh ibunya.

“Dia hampir membunuhku, mama. Dia telah memukul wajahku,” bisik Adrien, penuh nada menghasut.

“Dia menghinaku mama...” jawab Luna, seakan tahu bahwa kakaknya sedang menghasut Lady Earlene untuk berbuat kejam. Lady Earlene membungkuk mendekati Luna. Ia tatap wajah anak itu. Lama. Dingin.

 “Adrien akan menjadi raja di negeri ini, Luna. Malam ini, dan malam-malam selanjutnya adalah milik Adrien. Jadi lebih baik kau diam dan tidak mencari masalah dengannya.”

Untuk yang kesekian kalinya, air mata Luna mengalir hangat.

*****

[1] Wangsa B adalah salah satu keturunan paling berpengaruh di dunia, kepala dari keluarga Alegra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status