Share

Rapat Nasional

Luna tidak yakin atas apa yang membangunkannya. Apakah sinar matahari yang redup? Apakah tarian tirai-tirai vinil di jendela? Atau panggilan dari kemegahan istana yang selalu menawarkan ruangan klasik berwarna krem, emas dan merah? Ah, ia tak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa ia telah tidur sangat nyenyak dan tubuhnya terasa enteng sekali saat terbangun.

Luna melihat Gavin masih pulas di atas sofa. Ia datangi pria itu dan ia duduk di sampingnya. Gavin Dolorosa Marshall, Luna membatin. Mengapa lelaki ini bisa ada disini? Lalu ia teringat peristiwa semalam dan hatinya sedikit muram.

Ia pandangi wajah lelaki itu, wajah separuh ras Eropa dan separuh ras Arab. Tidak banyak di The Great Alegra yang memiliki karakteristik wajah seperti Gavin. Wajah dengan mata hazel yang dalam, hidung mancung, alis tebal dan lekuk muka yang jelas tegas. Ia sangat rupawan sebenarnya, gumam Luna. Dan manis, lanjutnya. Tapi sayang, sifatnya benar-benar membuat Luna terluka. Maka dengan segala hormat, mengetahui bahwa Gavin Marshall masihlah seorang ekspatriat keturunan bangsawan ternama, Wangsa B, Luna pun menjauhkan dirinya dari pria itu, takut kalau-kalau Gavin bangun dan menuduh dirinya melakukan hal yang tidak sopan. Akhirnya, ia bangkit dan mencari kesibukan lain.

“Lady Luna,” gumam Gavin, sayu. Matanya masih lemah dibayangi mimpi.

Luna yang sedang duduk di meja riasnya tercekat. Dengan senyum manis bercampur rasa takut, ia menoleh, “Selamat pagi, Mr. Marshall.”

“Selamat pagi, Putri.”

Gavin membalas senyum Luna dengan lembut. “Ah, sudah berapa lama aku tertidur disini?” Gavin bangkit dan meregangkan otot-ototnya. “Hooaaahh, aku tidak pernah tahu kalau tidur di sofa di kamar seorang gadis ternyata enak juga.”

Gadis cantik itu tidak menjawab dan hanya menunduk.

“Sudahlah, jangan bersedih, Lady. Kau tahu asrama Honeysuckle itu sebenarnya sangat menyenangkan. Ah, aku tak sabar untuk ada disana," Gavin sumringah.

“Kau akan ada disana?” tanya Luna, pelan.

“Ya. Tentu saja. Aku akan menemanimu dan menuntunmu.”

“Aku tidak mengerti. Bagaimana caranya?”

“Nanti kau juga akan tahu sendiri.”

Gavin bangkit dan berjalan membuka gerendel pintu. Pintu terbuka. Gavin menoleh sekali lagi kepada gadis yang masih duduk di meja rias,

“Sebaiknya kau bersiap-siap, nona manis.”

Gadis bermata safir itu mengangguk pelan.

Gavin tersenyum lebar dan menutup pintu tanpa suara.

Hening.

*****

Dering telepon nyaring di sudut istana.

Seorang petugas mengangkatnya. Setelah mengucap halo dan mengangguk, ia memencet nomor lain. Dering telepon memekak di ruang lain. Seorang petugas lain mengangkatnya. Setelah mengucap halo dan mengangguk, ia memencet nomor lain lagi. Begitulah seterusnya sampai dering telepon menembus lapisan penjagaan ketujuh untuk akhirnya mengalun di telinga Lady Earlene.

Sesaat, dunia berhenti.

*****

Di dalam sebuah ruangan yang sangat besar, dengan langit-langit setinggi monumen, jendela besar-besar, arsitektur melengkung yang diberi banyak lukisan, dipoles sedemikian rupa, mereka disini: Adrien, Gavin, Frederich, Alexandrina, beberapa menteri serta seluruh anggota konggres. Mereka bergumul membicarakan berbagai kasus dan berdebat tentang cara penyelesaian yang paling ampuh. Konggres berlangsung sengit dan semakin sengit ketika rapat mulai menjurus ke permasalahan krisis dan inflasi.

“Konggres telah voting dan menolak kenaikan pajak sebagai solusi,’’ kata Guillaume Delbonel, ketua Konggres. Para anggota Konggres mengangguk-angguk. Adrien sedikit gusar. Ia bertanya meyakinkan Konggres dan sekali lagi, Guillaume Delbonel mengangguk.

“Sebagai gantinya, kami mengusulkan ditutupnya bank sentral, Prince Adrien,” lanjut Guillaume. “Para bankir itu yang lewat kegiatan peminjaman uang yang bergerak bebas sekarang ini benar-benar akan menghancurkan peradaban kita ke lembah hutang, Prince Adrien. Hemat saya...”

“Apakah ada yang pernah mendengar kisah Andrew Jackson?” potong Adrien. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, menguji intelektualitas semua pejabatnya. “Kalian berbicara tentang bank sentral seakan-akan kalian manusia suci. Jika kalian ingin menutup bank sentral, maka peredaran uang di Great Alegra juga harus dihentikan. Jika peredaran uang di Great Alegra dihentikan, maka kerajaan ini akan ambruk!”

“Apa kalian tidak mengerti?” Adrien bertanya di keheningan. “Apa yang ada dipikiran kalian ketika memutuskan hal ini?”

“Maaf, Yang Mulia,” seorang perempuan dari salah satu anggota Konggres, Marie Roose, berdiri. “Prince Adrien tentu tahu bahwa saat ini, dengan segala kesusahan, banyak rakyat kecil yang terpaksa meminjam uang ke bank dan menggadaikan tanah mereka demi bertahan hidup? Saya curiga atas apa yang telah dilakukan bank sentral dengan meminjamkan rakyat kecil uang yang banyak, dengan bunga yang besar, tetapi menyusutkan peredaran uang di masyarakat hampir dua kali lipat dari seluruh uang yang dipinjam rakyat dari bank tersebut. Bukankah sistem ini sama berlakunya di dalam keuangan negara? Kita telah menjual surat hutang pada bank sentral, dan ya, kita dapat uang dari itu semua. Lalu apa? Mereka menjatuhkan ekonomi kita, sehingga dengan begini kita akan kekurangan lagi dan meminjam lagi, kita meminjam tanpa kita tahu apakah kita bisa membayarnya atau tidak? Sekarang, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika harga pajak dinaikkan? Mengapa begitu sulit untuk menutup bank sentral?”

Adrien terkekeh, melecehkan. Bau anggur masih menyeruak dari mulutnya dan matanya masih sedikit berkunang-kunang.

“Marie Roose, memungut pajak dari masyarakat yang kesusahan memang hampir dicap sebagai kekejian. Tapi menutup bank sentral? Itu adalah bunuh diri massal!”

“Barangkali kita bisa melemparkan kepada Eropa untuk mencairkan dana talangan bagi negeri ini...’’ seseorang bernama Glen Moritz berdiri di Konggres.

“Tidak akan ada dana talangan dari Eropa karena mereka kurang percaya kepada kita bahwa kita dapat membayarnya,’’ Anna de Collins menjawab. “Lagipula memang negara-negara besar di Eropa seperti Perancis, Inggris, dan Jerman sedang dilanda krisis pasca perang, dan dunia kini terbelah menjadi blok barat dan blok timur. Menurut hemat saya, saudara-saudara, andai saja negeri ini mau memihak salah satu blok tersebut, keadaannya mungkin tidak sesulit ini.’’

“Memihak kepada salah satu blok tidak akan menyelesaikan masalah!’’ Marie Roose mulai hilang kesabaran. “Sejak awal Great Alegra konsisten untuk tidak pro barat ataupun pro timur, liberal ataupun komunis. Tidak boleh ada yang diubah dari itu semua, dan asal kalian tahu saja bahwa memihak salah satu dari mereka bukan berarti kita akan mendapatkan dana, kecuali kita punya pengaruh yang besar pada dunia. Jadi sesuai dengan kesepakatan anggota Konggres, Yang Mulia, kita semestinya membekukan bank sentral.”

“Kerajaan tidak akan pernah setuju Bank Sentral dibekukan!” Adrien menentang, mantap. Dengan isyarat matanya yang menyala, ia menyuruh Marie Roose untuk duduk dan diam. Marie Roose tertunduk tak berkutik. Ketegangan menyeruak.

“Jadi bagaimana kita akan mengatasi krisis?” tanya Guillaume. Adrien menyipitkan mata, memandang sinis kepada pria paruh baya itu. “Kerajaan akan memakai caranya sendiri.”

*****

Apakah cara yang dipakai Kerajaan? Semua orang bertanya-tanya. Saat itulah, Gavin yang sedari tadi hanya menyimak, mulai bersuara.

“Menaikkan pajak akan menimbulkan pemberontakan,” kata Gavin, serius. Seketika semua jadi teringat dengan kelompok bawah tanah, Rebelution, yang eksistensinya perlahan-lahan mulai menggerogoti pemerintah.

“Namun masalah negeri ini bukan hanya inflasi dan krisis ekonomi. Ada gerakan bawah tanah, menurunnya tingkat kepercayaan terhadap pusat, pembungkaman media dan...opium.” Gavin mengatakan semua ini dengan begitu tenang, bahkan ia sempat tersenyum meski seluruh manusia lainnya saling waspada.

“Apa solusi yang Anda tawarkan sebenarnya, Mr.Marshall?” Lord Frederich langsung bertanya ke pangkalnya. Gavin menoleh kepada Frederich, “Solusinya adalah pajak.”

“Tetapi tadi Anda bilang sendiri bahwa menaikkan pajak akan menimbulkan pemberontakan, Mr. Marshall!” Marie Roose naik pitam.

“Kita tidak perlu menyebutnya sebagai pajak, Mrs. Roose. Kita hanya perlu mengganti istilah dan sistemnya sedikit.”

Marie Roose menaikkan alisnya. Semua tampak berfikir.

“Oh baiklah, mungkin Anda belum memahaminya sekarang. Akan tetapi, percayalah, langkah ini bisa menjadi solusi yang bagus bagi kita semua.”

Tak ada anggukan. Tak ada gelengan. Tiba-tiba Adrien mengetuk palu. Rapat berakhir. Riuh rendah para anggota Konggres berbisik-bisik. Adrien mengetuk-ngetuk palunya lagi, menenangkan suasana. Gavin menoleh ke Adrien, tersenyum. Adrien yang masih setengah mabuk, hanya mengangguk pelan dan balik ke ruangannya tanpa suara. Alexandrina dan Frederich yang melihat kejadian ini hanya bisa menghela napas dan ikutan pergi. Perlahan, semua pergi, bubar jalan dengan tertib.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status