“Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.
“Aku pikir kita akan pulang?”
Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”
“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.
“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”
“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”
Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.
Namun, di baw
Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan
Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para
SEPULUH DOSA BESAR. Demikian batu tulis raksasa itu mengukir diri, tegak berdiri berhadapan dengan gerbang emas setinggi tiga meter. Di bawah judul adalah rentetan dosa yang dimaksud,Pengkhianatan terhadap negaraNasionalisme tanpa pengorbananHukum tanpa keadilanSuara tanpa kebebasanIlmu tanpa moralitasPendidikan tanpa karakterManusia tanpa kemanusiaanMenyerah tanpa berusahaMeminta tanpa memberiHidup tanpa prinsip.Inilah filsafat hidup Negeri The Great Alegra. Masyarakat dunia menyebutnya prasasti. Tetapi rakyat Alegra lebih senang memanggilnya secara lebih nyentrik, “Monumen batu berukir”. Artinya semata-mata karena batu itu diukir dan dipoles membentuk huruf-huruf yang menjadi tiang-tiang dasar negara.Monumen itu terpajang ditengah-tengah air mancu
“Mengapa aku harus terjebak ke dalam tempat hampa seperti ini?” keluh Adrien, sambil memperhatikan pemandangan diluar jendela limosinnya. Carter, sang pelayan yang tengah menyupir, tersenyum lembut,“Barangkali karena memang sudah saatnya Anda memiliki pasangan, Tuan Muda. Bukankah dalam waktu satu tahun lagi Anda akan resmi menjadi Raja menggantikan Lord Alastairs? Anda tentu membutuhkan seorang perempuan untuk menjadi Ratu...”“Apakah kita benar-benar memerlukan seorang Ratu, Carter?” potong Adrien, ingatannya berlabuh kepada ibundanya yang duduk sendirian di kelam hari, Lady Earlene. Menjadi Ratu mungkin adalah pekerjaan paling menyedihkan bagi perempuan di negeri ini, pikirnya.“Ada banyak wartawan yang meminta konfirmasi dariku, Tuan Muda,” Carter mencoba menjelaskan dengan sangat sopan. “Mereka bertanya tentang kisah asmara...siapa yang Pangeran Adrien cintai...siapa yang akan menjadi Ratu...dan..
“Kalau kau ingin mencari uang, disinilah tempatnya. Tapi sayang, disini tidak ada kehidupan.” seru Rodrigue, sesaat setelah ia dan Isadora sampai di dapur. Oh sebuah perjuangan yang panjang! Butuh melewati berlapis pemeriksaan untuk akhirnya tiba di dapur utama. Untunglah tadi sempat ada Lady Luna yang membuat hatinya terasa adem dan tentram.“Lord Alastairs, Lady Earlene, Prince Adrien dan Lady Luna, dan saudara-saudaranya, mereka semua hampir tidak pernah berbicara lebih dari lima menit terhadap sesamanya,” sambungnya, ia sangat semangat ketika obrolan sudah menjurus ke arah gosip-gosip keluarga kerajaan. Setelah tengok kanan dan kiri dan merasa aman bahwa cctv atau alat pengintai semacam itu tidak akan mencurigai tingkahnya dan Lady Luna yang tengah berada di istana utama tidak akan mendengar obrolan ini, ia mencondongkan wajahnya ke arah Isadora dan berbicara dengan serius,“Bohong kalau media bilang mereka semua tinggal di istana utam
Gavin Dolorosa Marshall, sesosok pria muda setinggi 180 centimeter dengan mantel cokelat panjang membungkus tubuhnya yang proporsional. Senyum berkelas yang dihadirkannya saat muncul dari balik pintu menandakan bahwa ia adalah seorang ekspatriat.“Ah!” seru pria itu, menurunkan payung, membuka mantel dan memberikan keduanya kepada para pengawalnya. Ia tertunduk memandangi bercak-bercak air yang menetes dari ujung-ujung payung. “Aku tidak tahu akan hujan begini,” lanjutnya sumringah.“Setelah bertahun-tahun menetap di Inggris, Anda tentu menjadi tidak terbiasa dengan cuaca Penthalpa yang murung ini, Mr. Marshall!” Lady Earlene menyahut. Ia mengulurkan tangannya kepada Gavin, “Selamat datang di The Great Alegra!”Gavin tersenyum dan menyambut tangan Earlene dengan lembut, “Halo Ratu Alegra, Lady Earlene” Lalu Gavin mengulurkan tangan pada Frederich, “Halo Lord Frederich.’’ Kemudian,
Gelas-gelas saling bersulang. Sampanye. Wine. Brendi. Cocktail. Chocolat glace. Apalagi? Biskek. Salad. Daging kambing. Daging kuda. Makanan Perancis. Makanan Inggris. Skotlandia. Italia. Keju belanda. Oh jangan lupa, roti strada-makanan khas dari Alegra, semacam roti isi sayur dan daging yang dicampur dengan rempah-rempah. Macam-macam selai dan saus. Macam-macam perhiasaan. Macam-macam alunan musik. Pesta yang indah! Sungguh! Luar biasa!“Rodrigue! Tolong isi lagi gelas-gelas ini!” tukas Lady Earlene kepada Rodrigue yang sudah turun ke bawah mengikuti sang Ratu. Rodrigue mengangguk dan segera mendekati Lady Earlene berserta para bangsawan lainnya.Ha! Lord Alastairs disalami semua pejabat penting. Tertawa. Basa basi. Tertawa lagi. Terlena oleh hiruk pikuk pesta dan hanyut oleh kenikmatan.“Dimana Adrien?” tanya seorang pria tua berambut putih, Charles Rosenblum. Ia adalah ketua partai tunggal “Mata Angin&
“Mr. Marshall, bolehkah aku ikut denganmu? Bolehkah aku tinggal bersamamu?” tanya Luna, tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Gavin seketika tercengang.“Boleh ya? Aku tidak ingin berada disini, ibu dan Adrien tidak menyukaiku.”“Bukan begitu, Luna,” Gavin mengelus rambut Luna, mencoba memberi pengertian.“Kau menyukaiku kan?” tanya Luna, polos. Gavin hanya menatap gadis kecil itu, bibirnya bergetar. Luna bertanya sekali lagi, Gavin tetap tak mengatakan apa-apa.“Kenapa kau tidak menjawab, Mr. Marshall? Jika kau menyukaiku, tolong bawa aku pergi dari sini.”“Kau tak akan pergi kemana-mana, Luna,” serobot Lady Earlene, secara mengejutkan sudah berdiri di belakang Luna dengan ekspresi sedingin es.Gavin dan Luna sama-sama tercekat.Lady Earlene menarik lengan gadis itu.“Kau jangan membuat keadaan menjadi buruk, gadis kecil. Pergilah ke kamarmu dan tidur!