Share

Sahabat Lama

Aku masih berkutat dengan pekerjaan rumah, menjemur pakaian baru saja selesai, mentari lumayan terik, sehingga keringat pun bercucuran sebesar biji jagung, ku mengusap pipi tirus ku yang basah dengan keringat. 

"Huh, capek." Ku bergumam sendiri menumpu satu tangan di pinggang, tanganku yang lain menyibak anak rambut, dan ku selipkan di belakang telinga.

"Tinggal nyapu lah," ucap ku sambil berjalan menuju samping rumah, untuk mengambil sapu lidi dan pengki yang teronggok di pinggir tembok rumah. Ku menyapu halaman yang masih sedikit basah sisa hujan semalam.

Daun ceremai yang gugur karena terpaan air hujan dan angin kencang membuat daun keringnya berserakan di mana-mana, baru saja setengah halaman aku sudah letih, ku berdiri dan meletakkan kedua tangan di pinggang sambil menggerakkan badan.

"Ini daun... Kurang ajar amat sih," umpat ku sedikit berteriak. Aku kesal karena susah di sapu tanahnya basah daunnya menempel dan lengket hingga sangat sulit untuk di sapu, menghabiskan waktu dan tenaga.

Aku sebal sendiri jadinya, ku taruh sapu dan pengki di bawah pohon Cermai di samping bale yang aku duduki, bale bambu buatan tangan ibu, ku duduk selonjoran beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa lelah.

 Duduk melamun sambil berfikir bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang, untuk bayar hutang ibu, ku menimbang-nimbang apa aku nekat saja pergi ke kota besar mencari kerja, apapun akan kulakukan demi keluarga, meskipun kerja sebagai pembantu rumah tangga atau apalah yang penting aku bisa dapat uang.

Sudah jam 10 siang menurut analisis ku dari cahaya mentari yang terik dan sudah tinggi, namun ibuku belum pulang juga, aku sangat khawatir dengan ibu. Mataku mengedar menatap ke jalanan, dan rumah tetangga yang lumayan bagus-bagus, hanya rumahku saja yang paling jelek di antara rumah-rumah yang lain.

Ku melihat ada sebuah kendaraan roda dua melaju ke arahku, entah siapa dia, aku bertanya-tanya dalam hati ini, tibalah sepeda motor matic merah menepi di hadapan ku, 

dia memati kan mesin motornya, lalu membuka helm yang ia kenakan.

"Hai Sil?" sapanya. "Kamu lagi ngapain pagi-pagi udah bengong sendirian?" tanya dia wajahnya tak asing di mataku, perempuan bertubuh bongsor rambutnya di bop, tubuh nya di balut switer merah dan celana jeans panjang berwarna hitam.

Aku langsung turun dari bale dan menghambur pada nya, dia Nabila teman SMA ku dulu.

"Nabila," ucapku sambil mengulas senyum bahagia.

 Ia mengulurkan tangannya, aku mencuci tangan di ember bekas tempat cucian baju bersih, lalu ku mengusap-usap telapak tangan ku yang agak basah, untuk mengeringkan nya, sebelum menerima uluran tangan Nabila, ku mengelap tangan pada rok hitam semi payung yang aku kenakan

"Silvi, kamu apa kabar?" sapanya lagi di tengah jabatan tangan lalu kami saling berpelukan dan cipika-cipiki, Nabila memang ramah, dia sahabatku dari dulu.

"Baik," jawab ku. "Kamu sendiri bagaimana?" sambung ku.

"Ni, aku sehat walafiat, kamu lagi ngapain, tadi di situ bengong sendirian, kaya lagi mikirin apa..? Gitu,"

"Nab, kita ngobrol nya di dalam aja yuk!

"Ayo!" Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk bersampingan di kursi kayu dengan tangan saling bertautan tatapan mata kami saling bertemu, melepaskan rasa kangen pada sahabat satu sama lain.

Nabila sahabatku dari dulu namun nasib kita jauh berbeda, dia orang berada sementara aku hanya orang yang tak punya, dia masih menempuh studi S1 di salah satu universitas di kota besar, tak seperti aku hanya bisa sampai tamat SMA.

Ijazah pun baru ku tebus Minggu yang lalu karena kendala biaya, itu juga hasil tabungan ku selama berbulan-bulan, uang jatah jajan dari ibu setiap hari, tapi aku masih bersyukur sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas, mungkin di luar sana masih banyak orang yang lebih kurang beruntung dari pada aku.

"Nab, sebentar ya, aku ambil minum dulu!" ucapku berdiri, Nabila menahan tanganku sambil mendongak.

"Gak usah, aku udah minum kok, tadi di warung Pak haji, sebelum sampe ke sini," ujar Nabila, menarik tanganku, aku pun duduk kembali.

"Oh, iya Sil, kamu belum jawab pertanyaan ku loh!" ucapnya seraya menatap wajah ku penuh tanya. Aku menatap sekilas lalu ke beralih pandang ke arah bawah.

"Eum, gak, gak ada apa-apa," jawabku sambil menggeleng pelan.

"Sil, aku lihat kamu lagi punya masalah? Kamu kaya lagi bingung gitu?" telisiknya. "Ngomong sama aku! Sebagai sahabat kamu, siapa tau aku bisa bantu!"

Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskan nya. Ku tatap wajah chubby Nabila dengan penuh keraguan. Aku malu dan tak enak hati kalau bicara masalah pada dia, Nabila terlalu banyak membantu sedari dulu, aku tak mau merepotkan nya lagi.

"Gak ada apa-apa." Aku tetap bergeming. Nabila mengguncang pundakku. "Sil, bicara sama aku! Jangan bikin aku bingung!" desaknya. Aku menghela nafas.

"Nab, Sebenarnya aku lagi butuh pekerja'an,"

"Kerja," ucap Nabila. "Silvi, kebetulan banget loh, kakak ku semalam bicara sama aku bahwa dia sedang butuh pelayan di cafe nya," ujar Nabila. Aku mengembangkan senyuman.

"Nab, serius!" tanya ku antusias sambil memegang tangannya.

"Iya, kalau kamu mau, besok kita berangkat ke kota! Kamu tinggal minta izin dulu sama ibu kamu! Boleh apa enggaknya, kalau udah di izinin, kamu hubungi aku yah!"

"Hubungi lewat mana?" tanya ku.

"Lewat HP lah! Tapi aku minta nomor WA kamu!"

"Hm, aku gak punya HP," jawab ku jujur.

Jangan kan HP Android yang canggih dan mahal, HP jadul saja aku tak punya, boro-boro ke beli benda seperti itu, untuk makan pun kami susah.

"Sil, Ma'af ya! Aku gak bermaksud nyinggung perasa'an kamu!"

"Aku tak tersinggung, Eum... Gini aja, setelah aku ngomong sama ibu, dan di beri izin sama beliau, tar sore aku langsung ke rumah kamu."

 "Ya udah kalau gitu, tapi Sil, Ibu mu kemana?" Nabila mengedarkan pandangannya ke seluruh rumah ini.

"Biasa, ibuku masih jualan, Nab, sebenarnya aku gak tega melihat ibu bekerja sendirian, setiap hari dia menggendong bakul uduk yang berat, keliling kampung, sukur-sukur dagangannya habis, kalau enggak, yah, ibuku nombok," terang ku dengan wajah memberengut.

"Kasian ibu kamu Silvi." Nabila mengusap pundak ku.

Setelah kami puas melepas kangen dan bercengkrama hampir satu jam kami ngalor-ngidul berbicara tentang kehidupan kami masing-masing.

"Silvi, aku pulang dulu ya! Salam buat ibu kamu, nanti sore aku tunggu ya di rumah aku." Nabila bangkit aku pun berdiri, kami berdua menuju pintu keluar aku mengantarkan nya sampai depan rumah.

*

Pukul 2 sore Ibu sedang beristirahat menghilangkan lelahnya selepas berjualan keliling kampung, ibu duduk selonjoran di kursi panjang terbuat dari kayu, aku duduk di tepian kursi yang sempit dengan kaki menopang bokong, di samping kiri tubuh ibu.

"Ibu, tadi Nabila Kesini," ucapku pada ibu.

"Oh iya, apa kabar dia?"

"Baik, Bu... tadi Nabila nawarin kerja'an sama aku, katanya kakaknya butuh orang buat kerja di cafe, boleh gak Bu!" Aku merajuk agar di beri izin.

"Hm." Ibu menarik nafas. "Gimana ya Silvi, ibu kok khawatir ya sama kamu, ibu takut kamu di kota besar nanti kamu_" ucapan ibu menggantung, lalu ibu menarik tubuhnya dan membenahi posisi duduk menegakkan tubuh, aku bergeser duduk di sampingnya.

"Kenapa Bu?" Aku menggenggam tangan Ibu.

"Ibu takut, terjadi apa-apa sama kamu,"

"Bu, aku janji! Aku akan selalu ingat pesan ibu, jangan bergaul atau pacaran sampai di luar batas, aku takkan mengecewakan hati ibu!" jelas ku.

"Ya udah kalau gitu, ibu izinin kamu merantau ke kota, tapi jangan sampai gak ada kabar ya! Nanti kalau kamu sudah di sana, kamu kirim surat lewat pos!"

"Iya Bu." Aku mengangguk lalu aku memeluk tubuh perempuan setengah baya ini, ku peluk dengan penuh kasih. "Bu aku mau nyiapin pakaian untuk di bawa ke sana, aku tinggal ya Bu!"

Aku melepas pelukan dan berlalu, ku sibak kain penutup lemari kayu, lemari ini sudah tak berpintu, ku ganti dengan kain jarik yang aku sematkan dengan paku payung di ujung atasnya.

Tak ada pakaian yang bagus, hanya ada 2 stel yang masih agak cerah warnanya, baju bekas lebaran 2 tahun lalu, yang di belikan oleh istri pak RT karena aku membantunya mencuci piring di rumahnya sewaktu dia mengadakan hajatan, pernikahan anaknya.

"Kak, kamu lagi ngapain?" tiba-tiba Sandi anak bertubuh jangkung kurus, masuk ke dalam kamarku.

"Kakak lagi beresin baju," jawab ku tanpa menoleh.

"Emang kakak mau kemana? Kok masukin baju ke dalam tas?" tanyanya lagi penasaran.

"Kakak mau merantau,"

"Merantau ke mana, sama siapa?" Sandi masih penasaran.

"Ke kota, sama kak Nabila, bolehkan Sandi, kakak pergi untuk cari uang!"

"Boleh, asalkan kakak beli'in aku HP kalau kakak udah gajian," rajuknya.

Aku menoleh pada adikku, lalu memegang tangannya. "Sandi, jika kakak udah punya uang, apapun yang kamu minta kakak akan berikan,"

"Serius kak?" Sandi antusias.

"Iya." Aku mengangguk seraya mengulas senyuman.

"Kak, aku juga mau HP!" timpal adik bungsuku dari ruang tengah dan berlari masuk ke kamar ku, dengan penuh semangat, dia duduk di sampingku.

"Iya, kakak akan belikan, tapi, kalian harus janji sama kakak!"

"Janji aps,?" jawab Sandi menatapku.

"Kalian, jangan nakal! Bantuin pekerjaan ibu setiap hari! Bangunnya jangan kesiangan, kasian ibu!"

"Iya kak, kami janji!" jawab mereka serentak.

Aku bertekad untuk mencari uang sebanyak banyaknya untuk membahagiakan Orang tua dan keluarga ku. Setelah aku beres dengan urusan baju, aku meminta Seno dan Sandi ke rumah Nabila untuk memberi kabar jika aku sudah di beri izin oleh ibu, pergi dengannya ikut ke kota besar.

*

Pagi tiba setelah aku membantu menyiapkan dagangan ibu, untuk jualan hari ini aku beberes rumah dengan gerak cepat takut Nabila dan kakak nya keburu datang, pekerjaan pun selesai. Ku mendengar suara deru mobil terparkir di halaman rumah.

(Tok, tok, tok) suara pintu di ketuk di barengi ucapan salam, aku pun membuka pintu ternyata benar saja Nabila sudah ada di depan rumah.

"Silvi, kamu udah siap? Ayo kita berangkat!" ucap perempuan bertubuh bongsor itu.

"Tar ya, aku ganti baju dulu!"

Ku tinggalkan Nabila di depan rumah duduk di bale bawah pohon Cermai, dengan segera ke kamar dan mengenakan celana pensil yang sudah tak zaman lagi, dan kaos hitam lengan panjang ku ikat rambutku dengan simpul. Aku kembali ke depan rumah menemui Nabila.

"Silvi, kamu gak pamitan sama ibu kamu?" tanya Silvi.

"Nanti aja, ini baru jam 8 biasanya ibu masih di depan SD kita kesana dulu ya! Aku mau ketemu ibu dulu!" pinta ku. Nabila mengangguk.

"Iya tenang aja, sekalian aku juga mau bertemu ibu kamu," pungkas Nabila.

Kami masuk ke dalam mobil Toyota Agya putih milik kakak Nabila, mobil yang ku naiki pun berlalu meninggalkan pekarangan rumah, aku melongok ke kursi depan laki-laki bertubuh gemuk memakai kemeja biru, dia kakak ipar Nabila sedang mengemudi mobil, di sampingnya perempuan agak gemuk seperti tubuh Nabila mengenakan dress lengan pendek.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status