Share

Merantau

Aku melongok dari kaca jendela mobil yang aku tumpangi, pandangan ku mengedar ke sekeliling jalanan berharap bisa bertemu ibu sebelum berangkat ke ibu kota. Dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat aku kenal menggendong bakul dan menjinjing box, tubuh kurusnya di balut gamis maroon yang lusuh dan kerudung bergo hitam. Dia adalah ibuku.

"Nab, Nab, itu ibu," ucapku, pandanganku tertahan ke arah ibu sambil menarik-narik tangan Nabila.

"Kak, berhenti! Silvi mau pamitan dulu pada ibunya!" pinta Nabila pada kakaknya. Mobil pun menepi di pinggir jalan dekat mushola. Aku membuka pintu dan segera keluar dari mobil.

"Ibu..." Panggil ku sambil berteriak dan berlari ke arahnya, aku takut ibu keburu jauh, ibu pun menghentikan langkahnya ia menatapku lalu meletakan box plastik di dekat kakinya.

"Silvi." Ibu merentangkan kedua tangannya ke arah ku, dengan cepat aku menjatuhkan tubuh ke pelukannya.

"Ibu,"

"Nak, kamu benar-benar akan pergi!" Aku mengangguk. 

Dada ibu naik turun nafasnya terengah, ku melihat dari raut wajahnya nampak begitu sedih karena akan ku tinggalkan. Kami saling mengurai pelukan, ibu menangkup kedua belah pipiku, menatap nanar bola mata ku.

"Silvi, jaga dirimu baik-baik! Ingat selalu pesan ibu! Ibu tidak mau kamu terjerembab ke jalan salah, mengingat di kota besar itu kejam, pergaulannya bebas," pesan ibu, menatap ku dengan tatapan cemas.

"Ibu, percaya sama aku! Aku akan selalu ingat pesan ibu." Aku menggenggam tangan ibu. "Ya udah Bu, aku berangkat!"

"Iya Nak, tapi sebelumnya, ibu mau bicara sebentar, sama kakaknya Nabila!" ucap ibu kami berdua menuju ke arah di mana mobil terparkir, Nabila dan kedua kakaknya nya keluar dari dalam mobil berjalan ke arah ku dan ibu.

Kami berlima berdiri saling berhadapan. "Nabila, ibu titip Silvi ya!" ucap ibu penuh harap. "Andri, Karina, Ma'af ya ibu sudah merepotkan kalian," sambung ibu.

"Gak apa-apa Bu, lagian kami juga senang bisa membantu Silvi dan ibu," ujar Mas Andri kakak ipar Nabila.

Pandangan ibu kembali ke arah ku. "Silvi, jangan merepotkan mereka ya! Kamu di sana jangan malas!" Ibu mengusap bahu ku.

"Ya udah Bu, kami berangkat dulu!" ucap Mas Andri seraya meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya, di susul oleh Mbak Karina, juga Nabila salaman dengan ibu bergantian, lalu mereka kembali ke dalam mobil.

"Hati-hati ya kalian!" ucap ibu dengan senyuman dan anggukan kecil.

Aku bergeser menghadap ibu, ku raih tangannya yang kurus urat-urat di tangannya nampak jelas, tangan renta ini lah yang selalu berjuang untuk menghidupi keluarga, kini saatnya aku membalas kebaikan ibu dan menggantikan perjuangan nya.

"Ibu, do'akan anak mu! Agar aku selalu dalam lindungannya! Dan di berikan rezeki yang melimpah!"

Ku peluk tubuh kurus ibu, tulang pundaknya menonjol dan teraba oleh ku, ku tatap lekat-lekat wajah itu yang sedikit keriput, kantung Matanya pun menghitam, pipi ibu sangat tirus, ya Tuhan... Hati ku teriris betapa besarnya beban yang di tanggung oleh ibu selama ini, sekuat tenaga ibu berjuang sendirian membesarkan ku dan Adik-adik.

Semenjak Ayah terkena sakit komplikasi 8 tahun yang lalu, Ibu lah yang menggantikan posisi ayah mencari nafkah untuk kami, ibu bekerja sendiri banting tulang peras keringat demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, saat itu keadaan Ayah kritis, kondisi keuangan kami benar-benar sedang terpuruk, biaya pengobatan Ayahpun dapat meminjam pada rentenir.

Kami berharap Ayah bisa sehat kembali, namun usaha Ibu sia-sia, penyakit Ayah tidak bisa di sembuhkan. Dan akhirnya Ayah meninggal dunia. Hutang kami masih menggantung pada rentenir itu, hingga saat ini belum terlunasi. Aku masih ingat kata-kata Ayah yang terakhir kalinya.

"Silvi, kamu harus jadi anak yang baik, dan bisa membuat Ayah bangga! Jaga Ibu dan Adik-adikmu Nak!" pinta Ayah dengan suara parau.

Ayah menggenggam tanganku erat, wajahnya pucat, bicarapun tercekat dengan gigi yang rapat dan mengerat. Genggaman tangan Ayah semakin kuat, lalu matanya perlahan menutup, dan tak terbuka lagi.

"Ayah," jerit ku. "Jangan tinggalkan kami!" ucapku di sela isak tangisan, Ibu dan juga Adik-adiku menangis suara jeritan kami memenuhi ruangan rumah sakit di mana ayah di rawat, dan mengembuskan nafas terakhirnya.

Kami semua sangat sedih dan sangat kehilangan, di tinggal pergi oleh Ayah untuk selama-lamanya. Kini aku tinggal punya ibu, orang tua tunggal yang sangat kuat dan hebat. Ibu selalu ikhlas menafkahi Anak-anak nya dan tak pernah kenal lelah demi sesuap nasi.

"Selamat tinggal Bu, aku sayang ibu." Ku peluk kembali tubuh ibu, rasanya berat hati ini meninggalkannya dan juga Adikku, tapi ini harus aku lakukan demi mereka.

"Iya Nak, jaga dirimu baik-baik!" selalu itu yang ibu ucapkan.

"Pasti Bu!" Aku meyakinkannya lagi, Mata ibu berkaca-kaca saat aku melepaskan pelukannya, tangannya terus memegang tanganku hingga mengendur, dan perlahan tangan kami terlepas.

Aku berjalan menuju mobil, ku tatap nanar wajah ibu yang sendu, gurat kesedihan nampak di wajahnya saat melepas kepergian ku dari sisinya, mungkin dalam waktu yang agak lama kami akan berpisah, tekad dalam hati ku sudah bulat, hingga mendorong ku untuk pergi mencari pekerjaan, aku pantang pulang sebelum menang dan berhasil.

"Selamat tinggal Bu! Aku pasti akan membahagiakan ibu, aku janji!" gumam ku sambil melangkah masuk ke dalam mobil, mataku tak lepas memandangi wajah sendunya.

Ibu melambaikan tangannya sambil terisak, melepas kepergian ku dengan deraian air mata, ku terus menoleh kebelakang menatap ibu. Sedih, iya memang aku sangat sedih, baru pertama kali ini aku jauh dari ibu, tak kuasa, melihat wanita paruh baya yang sangat ku sayangi, dia masih berdiri di tepian jalan, mengiringi kepergian ku, ku palingkan pandangan ke arah depan.

Ku tundukkan kepala, kedua telapak tangan menutupi wajah ini, mengusap air yang terus menetes di pipiku.

"Silvi, udah jangan nangis terus! Katanya kamu ingin kerja, biar bisa membantu ibumu! Aku tau, berat bagi mu, tapi kamu harus lihat kedepan, kamu harus bekerja untuk membahagiakan orang tua dan adikmu!" ujar Nabila seraya mengusap punggung ku.

"Iya, Nab, aku cuma sedih, kasian sekali ibu, dia sangat sedih aku tinggalkan." Aku mengusap sisa air yang masih menggenang di sudut mataku dengan ujung jari.

Aku menatap ke luar jalanan dari kaca jendela mobil yang ramai lancar, berbagai jenis kendaraan roda 4 dan lebih melintas di depan mataku, pandangan ku mengedar menatap ke atas gedung-gedung pencakar langit yang tinggi menjulang, apartemen dan perkantoran berjejer menghiasi kota besar ini.

Sekelabat terlintas dalam fikiran ku, rasanya ingin sekali aku tinggal di apartemen yang mewah, ataupun bekerja di gedung perkantoran, yang kata orang kerjanya enak, tinggal duduk di kursi empuk sambil memainkan jemari di keyboard komputer.

Ah, Silvi... Kamu mikir apa sih jangan mimpi terlalu tinggi, kalau jatuh sakit, ijasah saja cuma SMA mana mungkin bisa kerja di kantoran, paling banter juga jadi karyawan pabrik, atau pelayan toserba, hatiku terus saja bergumam.

"Silvi," panggil Mbak Karina menoleh ke belakang di mana aku duduk. Membuyarkan lamunanku.

"Iya Mbak, ada apa?" sahut ku terkejut, sambil menegakkan tubuh.

"Kamu laper gak? udah makan belum?" tanya nya.

"Udah Mbak, tadi pagi, kenapa emangnya?"

"Ini, ada roti mau gak?" tawarnya sambil menyodorkan sebungkus roti coklat ke arahku.

"Gak usah Mbak, aku masih kenyang," jelasku. Ku menoleh pada gadis bongsor di samping ku, dia masih asyik dengan aktivitasnya, memainkan jemarinya di layar gawai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status