Di meja makan sudah tersaji nasi putih ayam goreng dan cumi pedas manis juga sup ayam jamur, sebagai pelengkap lalapan selada air mentimun dan sambal goreng, minumannya jus buah, dan untuk cuci mulut beberapa jenis buah tersedia di meja makan, mangga yang tadi kami kupas pun ikut serta di hadapan kami.
Jauh berbeda dengan menu setiap hari di rumah ku, setiap pagi aku sarapan nasi uduk sama bihun goreng, tempe orek, kerupuk udang, makan siang alakadarnya kalau ada telur sisa ibu jualan, ya kami makan telur meski satu butir di bagi dua, makan malam tumis-tumisan jarang sekali kami makan ayam apalagi lauk yang enak mungkin tidak pernah.
Ya Tuhan... Apa-apaan aku ini masih saja membandingkan kehidupan orang lain dengan kehidupan ku, yang jauh berbeda. Aku mengusap wajah, menyadarkan diri ini yang terhanyut dalam lamunan.
Masih beruntung aku bisa makan 3 kali sehari walaupun makan seadanya, di luaran sana masih banyak orang yang ketemu nasi hanya sekali sehari, bahkan mungkin ada yang tak bisa makan. Hah, aku harus selalu bersyukur atas apa yang di berikan oleh Tuhan, dan apa yang ku miliki.
"Silvi, ayo makan! Gak usah sungkan!" ucap Mbak Karina, membuyarkan lamunanku. Dia menyodorkan wadah berisi nasi ke hadapan ku, setelah dia menyendok nasi untuk Mas Andri dan dirinya.
"Iya Sil, gak usah canggung!" sambung Nabila, sambil menyendok cumi pedas manis dari mangkuk keramik, lalu ia bubuhkan di atas nasi panas yang masih mengepul.
"Makan, Sil! Dari tadi Mas perhati'in, kamu tuh melamun... aja emang mikirin apa sih?" tanya Mas Andri penuh selidik.
"Gak, mikirin apa-apa," sanggah ku seraya menggelengkan kepala.
"Ya udah, kalau gak mikirin apa-apa, kenapa dari tadi bengong aja," tanya Mas Andri lagi.
"Aku cuma inget Ibu, kasian dia, aku pergi gak ada yang membantu pekerjaannya,"
"Kan ada Adik-adikmu, masa gak pada mau bantuin ibunmu,"
"Moga aja sih," sahut ku, lalu menyendok nasi ke piring keramik putih yang ada di hadapanku.
Aku menghawatirkan ibu, takut adik-adikku tak mematuhi pesan ku, saat sebelum berangkat, aku meminta mereka untuk selalu membantu pekerjaan ibu, aku juga belum bisa memberinya kabar, aku tak punya handphone, meskipun pinjam pada Nabila untuk menghubungi ibu, ya sama saja di rumah juga tak ada handphone.
"Oh iya Sil, Karina udah ngomong belum sama kamu? Prihal pekerja'an untuk kamu?" tanya Mas Andri menatapku, lalu beralih pandangannya pada Mbak Karina.
"Eum, udah Mas, Mbak Karina udah ngomong sama aku,"
"Terus, gimana? kamu mau kerja di tempat lain?" tanya Mas Andri, di sela suapan nya.
"He'm, iya aku mau Mas, yang penting aku bisa kerja," sahutku. Nabila menatapku lalu beralih pandangannya ke arah Mbak Karina juga Mas Andri.
"Loh kok, terus Silvi, gak kerja di cafe Mbak?" sela Nabila menghentikan suapannya menatap Mbak Karina dengan alisnya yang bertaut.
"Gak Nab," jawab Mbak Karina.
"Emangnya, kenapa Mbak? Kok gitu sih? Mbak jangan PHPin orang dong!" tukas Nabila.
"Di cafe Mbak gak ada lowongan Nabila... Makanya, Silvi Mbak oper ke cafe teman Mbak, kebetulan dia butuh tambahan karyawan,"
"Terus, Silvi gak jadi tinggal di sini dong,"
"Gak lah Nab, kalau Silvi tinggal di sini, ke jauhan dia ke tempat kerjanya,"
"Hm." Nabila nampak kecewa wajahnya memberengut, "Aku tuh berharap Silvi tinggal di sini! Biar aku ada temennya," lanjutnya seraya melipat kedua tangannya di meja dengan bibir mengerucut.
"Kan ada si Chiko Bila, bilang gak ada temen,"
"Ah, Mbak Chiko kan kucing, gak bisa di ajak curhat, sama aku,"
"Curhat, Hm..." Mbak Karina tersenyum miring, mengejek Nabila, "Lah kamu, bilang gak ada temen curhat, kaya punya pacar aja."
Percakapan di meja makan membuat cair suasana, kami berempat tertawa renyah bersama keluarga kecil ini, dan aku merasa betah berada di tengah-tengah mereka meskipun jauh dari orang tua, seperti di dalam keluarga sendiri.
*
Pagi hari pukul setengah 9 setelah sarapan pagi, aku membatu Mbak Karina mencuci piring juga mengepel rumah, memang pekerjaan itu sudah biasa aku lakukan setiap hari, jika aku tak beraktivitas di pagi hari rasanya ada yang kurang, kini aku sudah siap, untuk pergi ke tempat yang di katakan oleh Mbak Karina. Hari ini aku mengenakan baju yang sedikit usang, memang aku tak punya baju yang bagus.
"Silvi, ayo berangkat!" ajak Mbak Karina, menepuk pundak ku, dari belakang sa'at aku sedang menjemur handuk bekas Nabila pakai di halaman belakang.
"Iya Mbak, sebentar ya! aku mau ngambil tas dulu," ucapku sambil berlalu ke kamar Nabila yang sudah ku rapikan sebelumnya, dia sudah pergi dari tadi pagi ke kampus katanya ada kelas.
Ku buka lemari plastik, dan mengambil tas ransel butut ku yang berada di dalam, lalu aku masukkan baju-baju ku yang kemaren siang aku tata di lemari, karena kemarin Nabila menyuruh ku, meletakkan nya di sana, karena menurut dia aku akan tinggal di sini, jika aku kerja di cafe Mbak Karina.
Lalu aku berdiri di depan meja rias, merapikan rambut, dan aku ikat panjang, dengan gerak cepat aku keluar dari kamar Nabila, takut Mbak Karina kelamaan menungguku.
"Mbak ayo!" ucap ku berdiri di dekat sofa ruang tengah.
Mbak Karina menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku mengerti, entah dia merasa aneh atau iba melihat penampilanku, dengan rok payung setengah betis, yang sudah lusuh, dan blouse warna peach bekas ibu, memang aku tak punya baju, hanya baju bekas ibu muda dulu, semuanya turun pada ku.
"Sil." Dia berdiri di samping ku, menatapku dari atas sampai bawah, sambil memegang pundak ku.
"Iya, ada apa Mbak?" sahutku polos.
"Sil, ini baju_" ucapannya terhenti. "Ma'af ya! Bukannya Mbak mau menghina, atau menyinggung perasaan kamu, tapi ini baju, udah jelek banget, ikut ke kamar Mbak yuk! Kita cari baju, yang udah gak muat di badan Mbak, siapa tau ada yang cocok di badan kamu?" ucap Mbak Karina berjalan menaiki undakan tangga, lalu masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua, akupun mengekorinya dari belakang.
Mbak Karina membuka lemari dan berjongkok aku hanya berdiri di ambang pintu. Dia mengeluarkan baju dari dalam lemari paling bawah.
"Silvi, sini!" panggil Mbak Karina menoleh padaku seraya menganggukkan kepalanya.
"Iya Mbak." Aku pun mendekat berdiri di samping nya.
Mbak Karina menyodorkan beberapa stel pakaian yang masih bagus, malah lebih bagus dari pada baju-baju, yang aku punya, yang menurut ku baju paling bagus sekalipun.
"Silvi, ini pilih sendiri mana yang muat di tubuh kamu, silahkan kamu ambil, mau 3, 4 kek, terserah!" ucap perempuan bertubuh gemuk dengan blouse lengan pendek warna merah maroon dan celana bahan warna hitam, tatanan rambut di Curly.
"Makasih Mbak," jawabku sambil mengulas senyuman. Lalu Mbak Karina melirik pada tas ransel yang masih ada di tanganku. Dia membalikkan badannya dan membuka lemari kayu jati samping tempat tidur, ia meraih sesuatu entah apa yang dia ambil, dan yang ia keluarkan.
"Silvi, pake ini aja ya! buat tempat baju kamu!" ucap Mbak Karina menyodorkan koper warna coklat lalu ia membuka nya.
"Gak usah Mbak!" sergah ku, aku tak enak hati Mbak Karina terlalu baik.
Sama seperti Nabila dia baik dulu waktu kami masih sekolah aku sering di beri baju bekas dia pakai, tentunya ya baju masih layak, namun tak pernah ada yang muat, Karena tubuh dia bongsor bajunya pun kegedean di badanku, bahkan buku tulis pun dia sering memberikannya.
"Silvi, gak usah nolak! itu tas udah rusak, mending Mbak buang sekalian!" tekannya. Aku pun mengangguk patuh. Dan akhirnya ku mengambil koper kecil pemberian Mbak Karina untuk tempat pakaian.
"Bawa baju-baju ini ke kamar Nabila, kamu ganti baju yang kamu pakai! Bukannya Mbak mau merendahkan kamu, namun Mbak gak mau ada orang yang mengejek mu, akrena pakaian mu sudah lusuh kaya gini,"
"Tapi Mbak,"
"Gak usah tapi-tapian! Sana bawa ini baju Mbak buat kamu salin!"
"Iya Mbak, makasih."
Akupun kembali ke kamar Nabila sambil membawa beberapa stel baju dan koper kecil yang di berikan oleh Mbak Karina. Ku masuk ke dalam kamar Nabila sambil membawa baju pemberian Mbak Karina.
Ku coba satu persatu dan ada satu yang muat di tubuh tinggi dan jenjang ini, dress warna pink pastel lengan pendek sangat pas membalut tubuh ini, ku berdiri di depan cermin menatap pantulan tubuh dan wajahku, aku sempat terperangah menatap diri ini, cantik dan modis. Akupun keluar dari kamar Nabila.
"Silvi." Mbak Karina menatapku dengan kagum, senyumnya merekah menghiasi wajah cantik nya. "Waw... Kamu cantik sekali, Mbak sampai pangling loh."
"Ah Mbak bisa aja," sergah ku aku tersipu malu di puji seperti itu.
15 menit perjalanan kami lalui, menuju tempat yang di janjikan oleh Mbak Karina. Mas Andri mengurangi laju kendaraannya, lalu membelokan mobilnya dan menepi di halaman sebuah bangunan. Aku melongok dari kaca jendela mobil mataku mengedar keluar, tempatnya sangat asing bagiku."Mbak, emang kita sudah sampai?" tanya ku pada Mbak Karina yang duduk di kursi depan samping Mas Andri.Mbak Karina memutar tubuhnya menoleh padaku, "Iya Sil, kita sudah sampai, sekarang kita turun yuk!" ajak Mbak Karina sambil menganggukkan kepala."Iya Mbak." Akupun membuka pintu mobil dan turun ku seret koper berisi baju-baju pemberian Mbak Karina, aku mendongak menatap papan nama yang terpampang di atas kanopi, (Maya coffe shop). Aku langsung menyimpulkan bahwa pemilik tempat ini bernama Maya.Kami bertiga berjalan menaiki undakan tangga menuju pintu. Aku berjalan paling belakang mengikuti Mbak Karina, Mas Andri mendorong pintu kaca yang masih ada tulisan tutup yang menempel di kaca.
Ku kenakan baju seragam kemeja lengan pendek hitam kombinasi warna merah di sisi kanan nya, dan celana jeans hitam, rambut panjang ku, ku ikat kuncir kuda, lalu ku buka pintu toilet, aku keluar berdiri di depan lorong toilet dan musholla. Ku pejamkan mata sejenak menetralkan rasa gugup, karena hari ini adalah hari pertama ku bekerja, dan akan berhadapan dengan orang banyak.Meski gaji yang di janjikan hanya 3,5 juta perbulan namun aku tetap bersyukur, tekad ku mencari kerja tak lain hanya untuk membahagiakan keluarga dan membatu ibu melunasi hutangnya ke rentenir, walaupun gajiku sebulan takkan cukup untuk membayar hutang, tapi aku akan fikirkan nanti, aku percaya semua masalah pasti ada jalan keluarnya, yang penting kita berusaha.Ku berdoa semoga di hari pertama ku ini bekerja, aku di berikan kelancaran oleh Tuhan, agar aku bisa menjalankan tugas dan melayani para pengunjung dengan baik, semoga saja aku bisa di percaya oleh Bu Maya yaitu Bos baru ku.Pukul 10 pag
"Bu," ucapku pada perempuan yang bertugas sebagai kepala bagian dapur, "Ini Bu, ada yang pesan lasagna!""Oh, iya," sahutnya menoleh ke arahku, dan mengambil kertas catatan dari tangan ku, dia pun menginformasikan kepada asisten chef, lalu ia kembali fokus mengecek makanan sebelum di antar oleh para waiters, ke meja pelanggan."Sil, antarkan dulu makanan ini ke meja Nomor 13! Sambil menunggu lasagna siap di sajikan!" titah kepala bagian."Baik Bu."Akupun mengangguk patuh, dan mengambil nampan dengan piring berisi kentang goreng saus keju, dengan toping keju parut di atasnya, juga segelas minuman dingin, dari tampilannya nampak begitu segar, rasanya ingin sekali aku meneguknya.Jangankan pernah meminumnya, melihatnya saja baru kali ini dalam seumur hidupku, rasanya seperti apa aku tak tau? membuat kerongkonganku semakin dahagaku. Aku hanya bisa menelan ludah.Aku keluar dari dapur sambil berjalan menuju meja Nomor 13, sesuai yang di perintahkan ol
Pukul 12.30 siang, tubuhku sangat lelah, dari pertama datang ke sini belum sempat istirahat walau sejenak, Sementara karyawan yang lain sudah istirahat bergantian, namun aku belum mendapatkan giliran, karena Bu Ema belum juga menyuruh ku.Aku tak berani meminta izin padanya karena aku anak baru, ya aku sedisuruh nya saja, meski letih namun aku harus menjalani pekerjaan ku dengan tuntas.Setelah mengantarkan pesanan aku kembali ke dapur, duduk menekuk lutut seraya menyenderkan punggung di tembok untuk menghilangkan rasa lelah, sambil melihat Bapak koki yang masih sibuk memasak."Silvi." Bu Ema datang menghampiri dan berdiri di samping ku."I, iya Bu." Aku terperanjat, berdiri dengan gerakan cepat, merapatkan tangan dan kakiku sambil merundukan kepala, "Apa, ada tugas lagi untuk saya Bu?""Gak ada, Sil, istirahat dulu sana! Kamu pasti sudah lapar kan?""Iya Bu,""Sil, Waktu istirahat kamu setengah jam ya, Pergunakan dengan baik! Hanya un
*Satu Minggu aku berkenalan dengan Mas Alex, dia orangnya sangat baik dan perhatian tak ayal jika aku pulang dari bekerja, shift 2 dia sering mampir membawakan makanan untuk ku.Aku selalu menolak, namun aku tetap tak bisa menolaknya, jika aku tak mau menerima dia selalu mengatakan, tak menghargai pemberian orang lain, dengan terpaksa aku menerima nya meskipun aku tak mau."Silvi," panggil Mas Alex dari luar seraya mengetuk pintu kontrakan ku."Iya Mas," gegas aku membuka pintu dan keluar dari kamar kontrakan, "Ada apa Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu."Sil, kita jalan yuk!" ajaknya."Kemana?""Ini kan malam Minggu, Aku ingin mengajakmu jalan! Ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu!" ucap Pria berkemeja putih dan celana jeans hitam penampilan sangat rapi dan wangi."Ya, ngomong aja! Disini juga gak apa-apa." Aku tergagap apa yang mau dia katakan, sampai mengajak aku pergi bersamanya."Sil, aku mau mengajakmu ke suatu tem
"Ini karyawan Ibu, tak mampu bekerja dengan baik," tukas Pria berjambang itu."Iya kami, merasa tak nyaman dengan pelayanan cafe ini, karena waitress anda kurang profesional, sebaiknya anda memilih karyawan yang bisa di andalkan!" timpal Pria berjas hitam tak memiliki jambang, namun tubuhnya sama-sama besar.Aku menarik nafas kesal, "Bu, kan biasanya kami para waiters, bekerja seperti yang sudah di perintahkan, dan sudah sesuai prosedur yang di tentukan,""Silvi, kamu jangan membantah dan jangan bersikap seperti itu pada Pak Devan dan Pak Reno! Kamu harus mengedepankan dan mengutamakan kenyamanan Pak Devan!" omel Bu Maya."Tapi Bu,""Kamu ikut, ke ruangan saya sekarang!" Bu Maya sepertinya marah besar padaku, dari sikapnya yang ketus, padahal aku tak membuat kesalahan, tapi kenapa dua Pria itu malah mengintimidasi ku, aku benar-benar tak mengerti.Ku melirik pada wajah dua Pria aneh itu, mereka saling menoleh dan tatapannya bertemu, sambil menunju
Kurapikan meja dan kursi bekas tempat duduk Devan dan Reno, makanan yang ia pesan tadi sama sekali belum ia sentuh dan di tinggal begitu saja."Dasar, orang kaya," gerutuku sambil meletakan dua piring berisi steak ke atas nampan, juga gelas berisi Orange jus yang masih penuh ku taruh di sudut meja."Mentang-mentang banyak uang, tak pernah menghargai makanan, dan kerja keras orang lain, kalau dia tak mau memakannya, ya udah, gak usah di pesan, untuk apa coba, dia memesannya padaku, kalau ujung-ujungnya gak di makan, hanya ingin mengerjai ku saja, gara-gara dia, kan aku di marahi sama Bu Maya," omel ku sambil bergumam.Aku tak peduli meski banyak pasang mata para pelanggan memerhatikan ku, karena aku terus saja bersungut-sungut, rasa kesal yang masih berkecamuk di dalam dada ini, membuatku tak puas-puasnya mengomel, gara-gara ulah Pria tampan tapi aneh tadi.Beberapa pengunjung ada yang menggeleng pelan, ada juga yang menatapku dengan tatapan bermacam art
"Mbak, jadi gak nganterin aku ke rumah Devan?""Ma'af ya Sil! Aku lupa, kalau aku gak bisa antar kamu, hari ini aku mau ke rumah Kakak ku, Ma'af ya sekali lagi!" ucap Mbak Ridha sambil menggenggam tanganku."Eum, ya sudah," jawabku sambil memberengut.Aku sedikit agak kecewa karena Mbak Ridha tidak jadi menemani ku ke rumah Devan, kemarin sore dia berjanji akan mengantarkan ku, namun karena dia ada urusan lain, akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.Sebenarnya aku sangat lelah dan mengantuk, ingin sekali aku merebahkan tubuh ini dan beristirahat sejenak, karena hampir semalaman aku terjaga mataku tak kunjung terpejam, di otakku terus berputar memikirkan perkataan Mbak Ridha, yang mengusulkan ku untuk menerima tawaran kerja dari Devan, agar aku bisa melunasi hutang ibu.Atas dorongan dari Mbak Ridha, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Devan, meski aku tak tau pekerjaan apa yang akan aku jalani nanti, memang ada sedikit keraguan di hati