Pukul 12.30 siang, tubuhku sangat lelah, dari pertama datang ke sini belum sempat istirahat walau sejenak, Sementara karyawan yang lain sudah istirahat bergantian, namun aku belum mendapatkan giliran, karena Bu Ema belum juga menyuruh ku.
Aku tak berani meminta izin padanya karena aku anak baru, ya aku sedisuruh nya saja, meski letih namun aku harus menjalani pekerjaan ku dengan tuntas.
Setelah mengantarkan pesanan aku kembali ke dapur, duduk menekuk lutut seraya menyenderkan punggung di tembok untuk menghilangkan rasa lelah, sambil melihat Bapak koki yang masih sibuk memasak.
"Silvi." Bu Ema datang menghampiri dan berdiri di samping ku.
"I, iya Bu." Aku terperanjat, berdiri dengan gerakan cepat, merapatkan tangan dan kakiku sambil merundukan kepala, "Apa, ada tugas lagi untuk saya Bu?"
"Gak ada, Sil, istirahat dulu sana! Kamu pasti sudah lapar kan?"
"Iya Bu,"
"Sil, Waktu istirahat kamu setengah jam ya, Pergunakan dengan baik! Hanya untuk makan dan melaksanakan ibadah, Nanti, kamu masuk kembali pukul 13.00, mengerti!"
"Baik Bu,"
"Kamu ambil jatah makan siang dulu, Satu box ya! di meja yang sudah di sediakan untuk para pegawai," ujarnya seraya menunjuk jarinya ke arah meja pojok dapur.
"Iya Bu." Aku mengangguk lalu mengambil box plastik jatah makan siang ku.
"Bu, saya mau minta izin!"
"Izin apa?"
"Apa boleh, saya membawa box ini ke musholla? Dan makan di sana?" ucap ku ragu.
"Silahkan, tapi jangan sampai mengotori area musholla, dan mengganggu orang, yang melaksanakan ibadah ya!"
"Baik Bu." Aku membawa box ke musholla yang temboknya berdampingan dengan tembok dapur.
Aku masuk ke musholla yang sepi, hanya ada satu karyawan perempuan sedang melaksanakan ibadah, lalu ku duduk di belakang perempuan itu, di pinggir tembok dekat koper coklat milikku.
Perut ku sangat lapar, ku buka dengan segera benda kotak berwarna merah yang berada di hadapan ku. Menu makanan yang lumayan enak bagiku, aku bersyukur karena mendapatkan jatah makan siang, yang cukup.
Jatah makan siang sebanyak ini untuk makan sendiri, sedangkan aku di rumah biasanya lauk segini di bagi tiga dengan Adik-adikku, Nasi putih telor dadar yang ukurannya cukup tebal dan besar, dan sayur lodeh, tempe tahu goreng, juga ada buah semangka satu potong, untuk cuci mulut.
Aku teringat saat dulu Ibu ku sedang sakit dan tak berjualan berhari-hari, tak ada pemasukan sama sekali, bahkan modal jualan Ibu pun sudah habis, bahan makanan sehari-hari saja sudah tak ada.
Masih terngiang di telinga ku hingga kini, rengekan si bungsu yang baru pulang sekolah, dia merebahkan tubuh kurusnya di bale bambu yang ada di dapur tempat aku duduk kala memotong dan meracik sayuran untuk bahan jualan Ibu.
"Kak, aku lapar," ucap Seno sambil mengusap-usap perutnya yang cekung dan terdengar bunyi perut kosong meminta isi.
"Nanti ya Dek!" ucapku menenangkannya, aku duduk di pinggir bale samping tubuhnya, lalu ku usap kepalanya sambil ku sodorkan gelas berisi air putih.
"Aku pengen makan Kak!, bukan mau minum," rengeknya lagi. Aku pun berjalan menuju sudut dapur, berjongkok di dekat tempat penyimpanan beras.
"Sabar ya Dek! Kakak mau masak nasi dulu!"
Ku buka tutup gentong tempat menyimpan beras, dan aku keruk dengan tempurung kelapa yang ibu gunakan sebagai literan, ku keruk hingga beberapa kali agar berasnya terkumpul semua, dada ku sesak melihat Adikku yang kelaparan, namun beras hanya tinggal satu mangkuk saja.
Gegas aku mencucinya dan ku masak di atas panci yang terjerang di atas tungku terbuat dari tanah liat, ku campur dengan air satu gayung agar menjadi banyak dan ku masak dengan api besar ku aduk terus menerus supaya cepat matang.
Setelah beberapa saat beras pun menjadi lunak sengaja ku membuatnya menjadi bubur agar kebagian semua, dan kami bisa makan, ku taburkan garam secukupnya untuk menambah rasa, setelah matang aku bagi empat mangkuk dan sisanya untuk makan malam.
Dari semua pengalaman hidup ku yang sulit dan serba kekurangan, apa lagi ibu mempunyai hutang ke rentenir, yang harus segera aku lunasi, aku tak ingin rumah peninggalan ayah kami di sita oleh Bu Tati untuk menutupi seluruh hutang.
Aku tak mau kami tidak punya tempat tinggal, hingga aku bertekad ingin membahagiakan Ibu dan Adik-adikku, dan membawa mereka keluar dari kemiskinan, apapun caranya aku akan berjuang demi mereka.
Dua hari aku jauh dari keluarga, aku merasakan kerinduan yang amat dalam kepada mereka, namun aku tepis demi cita-cita.
"Mbak," panggil perempuan yang baru selesai beribadah dia menghampiri ku.
"Iya," sahut ku terkejut, aku menoleh suaranya membuat aku tersadar dari lamunan.
"Kamu, baru makan Mbak?" tanyanya lalu duduk di samping ku, perempuan berambut sebahu di kuncir satu, wajahnya bulat pipi chubby, tubuhnya agak gemuk tinggi sekitar 154 cm. Usia kira-kira 20.
"Iya Mbak, aku baru kebagian jatah istirahat,"
"Oh, Kamu karyawan baru kayanya ya, Mbak?"
"Iya, aku baru hari ini, Mbak udah lama kerja di sini?" Aku balik tanya.
"Baru, satu Minggu,"
"Eum... berarti kita sama-sama karyawan baru, cuma beda dikit," ucapku sambil tersenyum, "Oh iya Mbak, makan bareng yuk!"
"Terimakasih, aku udah makan," tatapan mata perempuan itu tertuju pada koper di samping ku, "Mbak, kok bawa koper segala?"
"Iya, aku baru sampai kemaren sore, dan langsung dapat pekerjaan, tapi belum mendapatkan kos-kosan atau rumah kontrakan,"
"Eum, gini aja, mau gak tinggal sama aku? Dan kita bayarnya separuh-separuh!"
"Mau Mbak," jawabku antusias, "Tapi di mana tempatnya, jauh gak dari sini?"
"Deket kok, cuma 10 menit, jalan kaki juga sudah sampai,"
"Oh, aku mau banget,"
"Nama kamu Siapa? Kita belum berkenalan, loh,"
"Aku Silvi, terus nama Mbak siapa?" Ku balik bertanya.
"Panggil aja Ridha, Ya udah sekarang kamu makan dulu! Nanti jam 3 setelah pekerjaan kita beres, kamu tunggu aku di depan pintu, kita sekalian pulang ke rumah kontrakan ku!"
"Iya Mbak."
"Aku duluan ya," ujarnya menepuk bahuku dan berlalu dari musholla.
Aku senang akhirnya aku akan mendapatkan kos-an, jadi aku takkan merepotkan Bu Maya untuk tinggal di rumah nya, Walaupun dia mengizinkan ku untuk tinggal di rumahnya untuk sementara waktu, tapi aku tetap tak mau lebih banyak lagi merepotkan Beliau, di beri pekerjaan saja aku sudah cukup dan bersyukur.
*
Pukul 3 siang waktunya karyawan shift pagi pulang, setelah serah terima pekerjaan dengan karyawan shift 2 masuk, terlebih dahulu aku berpamitan pada Bu Maya sebelum pulang bahwa aku sudah mendapatkan kos-an, dia pun mengiyakan nya. Aku berdiri di depan cafe menunggu Ridha teman baruku datang.
"Hai, Sil," ucap Mbak Ridha menepuk pundak ku. Aku pun menoleh padanya.
"Iya Mbak,"
"Sil, Ayo kita pulang!"
"Yuk!"
Kamipun menyebrang jalan yang lumayan ramai lalu lintas, masuk ke sebuah gang kanan kirinya rumah-rumah besar dan bagus, hanya beberap menit kami sampai di tempat tujuan, mataku mengedar ke sekeliling aku berdiri di depan rumah petak dinding tembok warna kuning.
"Sil, kita sudah sampai, ayo masuk!" ajak Mbak Ridha seraya membuka pintu kayu bercat biru.
"Iya Mbak." Aku membuka sepatu dan meletakkan nya di undakan teras lalu aku masuk ke dalam sambil menyeret koper.
Rumah kontrakan yang tak begitu besar namun cukup untuk kami tinggal berdua di sini, ruang depan ada TV 14 inci di atas rak kayu, lalu aku masuk ke ruang tengah tak banyak perabotan hanya ada kasur lantai dan lemari plastik berwarna merah dan kipas angin gantung di atas plafon.
"Duduk Silvi!"
"Iya Mbak." Aku pun duduk sambil meletakkan koper di dekat dinding tembok.
"Sil, kamu mau mandi duluan, atau aku dulu?"
"Mbak aja dulu, kan Mbak pemilik rumah ini,"
"Ini kan, rumah kamu juga,"
"Iya Mbak, tapi aku pengen ngadem dulu di teras," ucapku.
Ku duduk selonjoran di tembok pembatas teras sambil menyenderkan punggung, memerhatikan anak-anak yang sedang bermain petak umpet, di halaman kontrakan membuat aku teringat dengan Adik-adik ku.
Sa'at aku sedang melamun tiba-tiba ada suara deru motor menepi di jalan tepat di hadapan ku, aku tak memperdulikannya, tatapanku lurus pada anak-anak yang riang bermain bersama kawannya.
"Hai Sil, ternyata kamu tinggal di sini ya?" Suara itu membuat aku terkesiap. Aku menegakkan tubuh seraya menurunkan kedua kaki ku ke lantai.
"I, iya." Aku gugup ternyata Pria yang di cafe tadi pagi, dia yang menemukan dompet ku.
"Sil, boleh saya ikut duduk?" ucapnya sambil turun dari sepeda motor Ninja merah.
"Boleh, silahkan duduk!" Dia berjalan menuju ke arah ku, lalu dia pun duduk di tembok pembatas di samping ku.
"Kenalin, saya Alex," ucapnya seraya mengulurkan tangannya. Aku pun membalas uluran tangannya. Sambil mengangguk kecil, dan kutarik kembali tangan ku.
"Sil, kamu baru tinggal di sini ya?" tanyanya sambil menatap wajah ku.
"Iya Mas, aku di ajak sama Mbak Ridha, tinggal di sini." Aku menundukkan wajah dari tatapan mata Mas Alex, sambil menautkan kedua tanganku dan ku di pangkal dengkul ku.
Ku melihat ada sesuatu dari sorot matanya sejak awal kami bertemu, entah apa arti dari tatapannya itu.
*Satu Minggu aku berkenalan dengan Mas Alex, dia orangnya sangat baik dan perhatian tak ayal jika aku pulang dari bekerja, shift 2 dia sering mampir membawakan makanan untuk ku.Aku selalu menolak, namun aku tetap tak bisa menolaknya, jika aku tak mau menerima dia selalu mengatakan, tak menghargai pemberian orang lain, dengan terpaksa aku menerima nya meskipun aku tak mau."Silvi," panggil Mas Alex dari luar seraya mengetuk pintu kontrakan ku."Iya Mas," gegas aku membuka pintu dan keluar dari kamar kontrakan, "Ada apa Mas?" tanyaku berdiri di ambang pintu."Sil, kita jalan yuk!" ajaknya."Kemana?""Ini kan malam Minggu, Aku ingin mengajakmu jalan! Ada sesuatu yang harus aku katakan sama kamu!" ucap Pria berkemeja putih dan celana jeans hitam penampilan sangat rapi dan wangi."Ya, ngomong aja! Disini juga gak apa-apa." Aku tergagap apa yang mau dia katakan, sampai mengajak aku pergi bersamanya."Sil, aku mau mengajakmu ke suatu tem
"Ini karyawan Ibu, tak mampu bekerja dengan baik," tukas Pria berjambang itu."Iya kami, merasa tak nyaman dengan pelayanan cafe ini, karena waitress anda kurang profesional, sebaiknya anda memilih karyawan yang bisa di andalkan!" timpal Pria berjas hitam tak memiliki jambang, namun tubuhnya sama-sama besar.Aku menarik nafas kesal, "Bu, kan biasanya kami para waiters, bekerja seperti yang sudah di perintahkan, dan sudah sesuai prosedur yang di tentukan,""Silvi, kamu jangan membantah dan jangan bersikap seperti itu pada Pak Devan dan Pak Reno! Kamu harus mengedepankan dan mengutamakan kenyamanan Pak Devan!" omel Bu Maya."Tapi Bu,""Kamu ikut, ke ruangan saya sekarang!" Bu Maya sepertinya marah besar padaku, dari sikapnya yang ketus, padahal aku tak membuat kesalahan, tapi kenapa dua Pria itu malah mengintimidasi ku, aku benar-benar tak mengerti.Ku melirik pada wajah dua Pria aneh itu, mereka saling menoleh dan tatapannya bertemu, sambil menunju
Kurapikan meja dan kursi bekas tempat duduk Devan dan Reno, makanan yang ia pesan tadi sama sekali belum ia sentuh dan di tinggal begitu saja."Dasar, orang kaya," gerutuku sambil meletakan dua piring berisi steak ke atas nampan, juga gelas berisi Orange jus yang masih penuh ku taruh di sudut meja."Mentang-mentang banyak uang, tak pernah menghargai makanan, dan kerja keras orang lain, kalau dia tak mau memakannya, ya udah, gak usah di pesan, untuk apa coba, dia memesannya padaku, kalau ujung-ujungnya gak di makan, hanya ingin mengerjai ku saja, gara-gara dia, kan aku di marahi sama Bu Maya," omel ku sambil bergumam.Aku tak peduli meski banyak pasang mata para pelanggan memerhatikan ku, karena aku terus saja bersungut-sungut, rasa kesal yang masih berkecamuk di dalam dada ini, membuatku tak puas-puasnya mengomel, gara-gara ulah Pria tampan tapi aneh tadi.Beberapa pengunjung ada yang menggeleng pelan, ada juga yang menatapku dengan tatapan bermacam art
"Mbak, jadi gak nganterin aku ke rumah Devan?""Ma'af ya Sil! Aku lupa, kalau aku gak bisa antar kamu, hari ini aku mau ke rumah Kakak ku, Ma'af ya sekali lagi!" ucap Mbak Ridha sambil menggenggam tanganku."Eum, ya sudah," jawabku sambil memberengut.Aku sedikit agak kecewa karena Mbak Ridha tidak jadi menemani ku ke rumah Devan, kemarin sore dia berjanji akan mengantarkan ku, namun karena dia ada urusan lain, akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri.Sebenarnya aku sangat lelah dan mengantuk, ingin sekali aku merebahkan tubuh ini dan beristirahat sejenak, karena hampir semalaman aku terjaga mataku tak kunjung terpejam, di otakku terus berputar memikirkan perkataan Mbak Ridha, yang mengusulkan ku untuk menerima tawaran kerja dari Devan, agar aku bisa melunasi hutang ibu.Atas dorongan dari Mbak Ridha, akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Devan, meski aku tak tau pekerjaan apa yang akan aku jalani nanti, memang ada sedikit keraguan di hati
"Sudah Tuan, saya sudah fikirkan semuanya, dan saya akan berhenti dari pekerjaan, saya, besok saya akan kirim surat pengunduran diri,""Eum, baik kalau begitu, jadi, Anda bersedia bekerja dengan saya? Menjadi asisten pribadi saya!" tanyanya lagi meyakinkan."Iya, Tuan, saya bersedia,""Apa Anda bersedia, dengan pekerjaan apapun yang akan saya perintahkan, dan akan Anda turuti! Menjalankannya dengan baik!""Iya,""Nona Silvi, apa Anda sungguh-sungguh?" tanya Devan lagi, itu pertanyaan sudah kesekian kalinya yang keluar dari mulutnya."Siap Tuan," jawabku tegas. Devan menoleh pada Pak Reno seraya menganggukkan kepala di barengi dengan kedipan mata.Aku tak tau maksudnya apa? Dan aku juga tak tau itu kode apa, yang di berikan oleh Devan pada Pak Reno. Devan bangkit dia menggerakkan kepalanya, Pak Reno pun mengambil alih posisinya. Dia duduk di kursi yang barusan di duduki oleh Devan, Pria yang di panggil Bos itu pun berdiri menyaksikan kami.
"Silahkan masuk Nona! Ini kamar Anda,""Iya, terimakasih Bi," jawabku pada perempuan berbadan gemuk rambut pendek sebahu, dengan baju putih tulang dan rok span setengah betis, namanya Bi Rika, sebelum mengantar ku ke kamar ini, aku di kenalkan oleh Devan, dia adalah kepala asisten rumah tangga."Ayo masuk! Tak usah sungkan!" serunya ramah, sambil membukakan pintu kamar, yang berada di lantai dua, rumah Devan yang luas dan megah."Iya Bi," angguk ku dengan rasa canggung, aku berjalan masuk ke kamar yang di tujukan untuk ku, aku mendongak, pandangan ku mengedar ke seluruh ruangan."Non, silahkan istirahat dulu! Kalau mau ganti baju, silahkan ambil! di dalam lemari yang sudah tersedia, Tuan muda sudah mempersiapkan semua kebutuhan Non Silvi, di sini!" ucapnya ramah."Terimakasih banyak, Bi," ucapku, tak ada kata lagi yang harus aku ucapkan selain kata itu."Non, bila mau mandi, kamar mandinya di sebelah sana!" ucapnya lagi menunjukkan jarinya k
Devan membungkukkan badannya kaki dia mulai naik lagi ke atas tempat tidur, mendekati ku satu tangan menumpu, di sisi kanan tubuhku."Saya suka, dengan gadis seperti mu, malu-malu kucing, berpura-pura menolak, padahal kamu menginginkannya bukan? Hm."Tangannya meraih pipi ku, lalu jemarinya menyisir rambut. Dia menarik kepalaku mendekatkan wajahnya dengan wajahku kembali. Nafasku semakin sesak, aku tak tau harus berbuat apa, tanganku mengepal seraya memegang kerah bajuku dengan kuat, satu tanganku meremas sprei putih motif mawar, pembungkus kasur busa yang aku duduki.Tubuhku gemetar, keringat dingin pun bercucuran membasahi pelipis, kakiku lemas, rasanya aku ingin sekali berlari, dan meloloskan diri dari cengkeramannya, namun apalah daya. Aku tak bisa berbuat apa-apa tubuhku seakan membeku, tak ada kekuatan dalam diri ku, untuk melawan Pria bejat di hadapan ku ini."Tolong Tuan, lepaskan saya!" Aku tak bosan-bosannya meminta belas kasih darinya agar di
Aku sangat letih, tenggorokan kupun rasanya sangat haus. Tanganku bertumpu di lantai untuk membantu ku bangkit, lalu ku duduk di tepian ranjang. Aku meraih gelas bening berisi air mineral, dan meminumnya dengan segera hingga tak bersisa, rasanya segar menjalari tenggorokan ku.Ku usap wajah ini, dari atas sampai leher masih terasa bekas ciuman baj*ngan itu, aku sangat jijik benar-benar jijik. gegas ku berlari ke kamar mandi yang berada di seberang tempat tidur, di balik tembok dekat lemari pakaian.Ku putar keran dan air pun mengalir, aku menadahnya dengan tangan, ku basuh muka sampai ke leher, dan mengambil sabun wajah yang berada di depan cermin, ku tuangkan ke telapak tangan dan menggosoknya ku usapkan ke wajah ini hingga berbusa.Wangi dari aroma sabun sangat menyegarkan membuat diri ini rileks, sejenak aku melupakan kejadian yang tadi ku alami, berharap si Devan tak kembali lagi ke dalam kamar ini, setidaknya sampai besok malam, atau beberapa jam kedepan.