Share

Kamar Baru

"Silahkan masuk Nona! Ini kamar Anda," 

"Iya, terimakasih Bi," jawabku pada perempuan berbadan gemuk rambut pendek sebahu, dengan baju putih tulang dan rok span setengah betis, namanya Bi Rika, sebelum mengantar ku ke kamar ini, aku di kenalkan oleh Devan, dia adalah kepala asisten rumah tangga.

"Ayo masuk! Tak usah sungkan!" serunya ramah, sambil membukakan pintu kamar, yang berada di lantai dua, rumah Devan yang luas dan megah.

"Iya Bi," angguk ku dengan rasa canggung, aku berjalan masuk ke kamar yang di tujukan untuk ku, aku mendongak, pandangan ku mengedar ke seluruh ruangan.

"Non, silahkan istirahat dulu! Kalau mau ganti baju, silahkan ambil! di dalam lemari yang sudah tersedia, Tuan muda sudah mempersiapkan semua kebutuhan Non Silvi, di sini!" ucapnya ramah.

"Terimakasih banyak, Bi," ucapku, tak ada kata lagi yang harus aku ucapkan selain kata itu.

"Non, bila mau mandi, kamar mandinya di sebelah sana!" ucapnya lagi menunjukkan jarinya ke dinding sudut kamar tapat di belakang lemari.

Aku tertegun melihat kamar ini sangatlah luas, jika di bandingkan dengan rumahku luasnya mungkin sama, namun bentuk dan penampakannya yang jauh berbeda, rumahku kumuh dan jelek sementara kamar ini mewah dan megah, furniture di seluruh ruangan pun semuanya nampak elegan.

"Saya permisi dulu, ya Non!" pamit Bi Rika sambil merundukan kepalanya, pertanda hormat pada ku, "Non, kalau perlu apa-apa, tinggal panggil saja Bibi!" lanjutnya lalu berjalan menuju pintu keluar, dan menutup kembali rapat.

Aku hanya balas tersenyum di barengi anggukkan tanpa bicara, aku bingung, dan tak mengerti kenapa aku di perlakukan seistimewa ini oleh para pelayan, sepeti halnya melayani nyonya besar, padahal aku inikan hanya asisten baru Devan.

Aku berjalan menuju lemari pakaian tiga pintu, dengan ukiran Jepara yang di poles cat plitur, untuk menambah kesan estetik, di setiap bagian kanan dan kiri pintunya, sedangkan di bagian tengah dengan cermin besar. Ku putar kunci, lalu ku tarik pintunya, hingga terbuka lebar.

Ya Tuhan... Aku mengaga dengan mata membeliak, melihat isi lemari ini, baju-baju dan gaun yang menggantung di dalam lemari hadapanku, semua bagus-bagus sepertinya, harganya juga majal-mahal, ini baju bukan dari pasar apa lagi dari toko ecek-ecek, hah, Devan benar-benar baik, batin ku terus memuja dan menyanjung kebaikan Devan, yang sudah memberiku segalanya.

"E'ehm," ada yang mendehem di belakang ku, membuatku terlonjak dan berjingkat kaget, "Apa, kamu suka Nona?" tanya Pria di belakangku, dia masuk ke kamar ini tanpa mengetuk apa lagi permisi.

"Eh, Tuan." Aku langsung merundukkan kepala merapatkan tangan dan kakiku.

"Apa kamu suka?" tanyanya lagi, Pria berkemeja putih dan celana bahan warna hitam, dia duduk di tepian ranjang dengan menyilang kaki.

"Tu-Tuan saya, Ma'af saya lancang!" Aku tergagap, berdiri mematung, di hadapan Devan.

"Nona, itu semua untuk mu!"

"Tapi, ini terlalu banyak Tuan," sergah ku.

"Kamu mau menolak, pemberian saya!" ucapnya dengan nada dingin.

"Tapi Tuan, ini sangat berlebihan, saya ini hanya asisten di sini, dan kerja juga belum mulai,"

"Apa salah, jika saya ingin memberikannya padamu? Saya sangat menghargai pegawai saya! terutama wanita cantik sepertimu,"

"Terimakasih Tuan!"

"Iya." Devan mengangguk, "Sini duduk!" pintanya seraya menepuk kasur di sampingnya, menyeruku.

"Baik Tuan," dengan perasa'an canggung dan gugup, aku duduk di sampingnya ku tundukkan kepala, tak berani menatapnya.

"Kenapa? Tak usah takut! Saya hanya menyuruh kamu duduk! Tak ada maksud lain,"

"Ma'af." Aku benar takut kali ini berdua dengan Pria tampan yang usianya jauh lebih dewasa dari pada aku.

"Nona, saya kesini hanya mau bertanya dan memastikan, apakah kamar ini nyaman bagi mu?"

"Sangat nyaman Tuan,"

"Bagus, kalau kamu suka?"

"Saya, sangat suka Tuan,"

"Ya sudah, kamu istirahat dulu! Nanti saya akan panggil kamu lagi, jika waktu makan malam tiba, kamu pasti sangat lelah kan, apa lagi setelah perjalanan pulang kampung, tadi siang,"

"Iya Tuan, terimakasih."

Devan bangkit dan berlalu dari hadapan ku, dia keluar dari kamar yang ku tempati. Aku bernafas lega karena dia keluar dari kamar ini, sempat terfikir bahwa dia akan berbuat macam-macam padaku, tapi dugaan ku salah, dia hanya bicara hal yang biasa. 

Aku memang sangat lelah karena tadi sore aku baru tiba, setelah menemui ibu dan Adik-adikku di kampung, mereka sangat riang gembira atas kedatangan ku, apalagi Devan membelikan semua keinginan Adikku dari mulai ponsel dan baju-baju yang bagus untuk mereka.

"Terimakasih kak, karena kakak kami punya HP seperti teman-teman," ucap Seno dan Sandi antusias, aku sangat bahagia melihat mereka bahagia.

"Sil, terimakasih ya, berkat kamu hutang-hutang kita lunas," ucap Ibu dengan tatapan berbinar, ku melihat perasa'an lega dari raut wajah wanita paruh baya yang sangat aku sayangi.

"Iya Ibu, ini semua kebaikan dari majikan ku. Tuan Devan,"

"Silvi, Ibu pesan sama kamu, jangan berbuat kesalahan pada majikan sebaik dia! Dan jangan membuatnya kecewa!" pinta Ibu penuh harap sembari memegang tanganku, lalu di tariknya tubuh ku ke dalam pelukannya.

Ake merasa punya hutang Budi atas kebaikan Devsn, uang DP yang di berikan dia kemarin, ku serahkan pada Ibu seluruhnya untuk membayar semua hutang.

"Iya Bu, Aku pasti akan menjadi pegawai yang baik dan bertanggung jawab!" Aku meyakinkan Ibu.

"Silvi, apa boleh uang sisa bayar hutang, untuk memperbaiki rumah kita! Agar lebih layak,"

"Tentu boleh Ibu, nanti aku kirim lagi uang, setelah Pak Devan memberikan ku, sisa gaji,"

"Iya Nak."

Hutang ku kini sudah lunas, dan tak ada lagi beban hidup, kini aku harus fokus dengan pekerjaan ku, yang akan ku mulai besok pagi, lelah kini menyergap tak sabar aku ingin segera tidur.

 

Aku menjatuhkan tubuh ini ke atas kasur yang sangat empuk, berbalut bedcover warna putih motif bunga mawar. Seumur hidupku baru kali ini merasakan kasur yang empuk dan nyaman seperti ini.

Tatapan ku lurus ke depan menatap langit-langit kamar ini, tak terasa pandang ku menjadi kabur, mata ku terpejam dalam hitungan detik, aku sudah berada di alam mimpi, di tengah lelapnya tidur. Ku merasa ada tangan halus menyentuh pipi ini, membuatku mengerjap dan membuka mata seketika, jantung ku berdetak kencang dan hampir mencelos. 

"Tuan Devan, anda mau apa?" Aku tersentak dan mundur kebelakang, sambil memegangi pipiku yang telah di sentuhnya barusan.

"Saya, hanya ingin mengajak mu ngobrol!"

"Tapi, jangan di sini! Kita hanya berdua, saya takut, terjadi sesuatu yang tidak saya inginkan!"

"Hm." Dia tersenyum miring, "Saya menginginkan nya." Dia duduk di tepian ranjang menghadap ke arah ku.

Aku benar-benar takut kali ini, takut yang amat sangat luar biasa, tatapan mata Devan begitu tajam, seperti harimau yang kelaparan, dan akan segera menerkam ku.

"Maksud anda, apa Tuan?" pekik ku. Aku mundur lagi menjauhi Devan, sambil menutupi bagian dadaku dengan mencengkram kerah baju kemeja putih yang membalut tubuhku.

"Kamu cantik." Devan merangkak ke arahku mendekatkan wajahnya ke wajah ku, aku tak sanggup membayangkan apa yang akan dia lakukan.

"Tolong Tuan! Jangan sentuh saya!" pekikku, ku palingkan wajah dari Devan yang hampir mencium ku.

"Kamu sangat cantik, dan menggoda," nafas hangat nya mengenai telingaku, dan pangkal bulu janggutnya menempel di ceruk leherku, nafasku benar-benar sesak dan tak bisa bernafas dengan normal.

"Kenapa? Saya sudah membayar mu, saya berhak sepenuhnya atas tubuh kamu!" Laki-laki itu mengapit dagu seraya menengadahkan wajahku, nafas ku berhenti untuk beberapa detik, saat bibirnya menepi di bibir ku.

"Aku mohon, jangan Tuan!" Ku pincingkan mata, kedua tangan ku menyilang menutupi area dada.

"Kamu tak usah malu-malu!"

"Tolong... Tolong..." jeritku. Ku duduk meringkuk menyenderkan punggung di sandaran kepala ranjang.

Aku tak pernah menyangka akan ada hal seperti ini.

"Silahkan teriak, sekencang mungkin! Takkan ada yang mendengar, kamar ini kedap suara, meskipun ada yang mendengar, mereka takkan peduli," ucapnya pelan dengan tekanan setengah berbisik di telingaku.

Ya Tuhan... Apa ini ku kira Devan benar-benar baik, tapi ternyata dia menjebak ku, aku takut, aku tak mau dan tak Sudi di sentuh olehnya.

"Kau ingat Nona, Ibu mu berpesan, agar kau melayani ku dengan baik!"

Ku dorong tubuhnya sekuat tenaga hingga berjarak.

"Dengar Tuan!" Aku menunjuk jarinya ke wajah Devan, "Jika ibu ku tau, Pekerja'an seperti ini yang akan ku jalani, aku yakin ibuku memilih hidup susah dan menyerahkan rumahnya ke rentenir, ibuku pasti lebih memilih tinggal di kolong jembatan, dari pada membayar hutang dengan hasil menjual tubuh ku!" bentak ku.

Ku pandang wajahnya dengan tatapan tajam, nafas ku tersengal-sengal, gigiku menggertak, menahan rasa takut bercampur amarah.

"Nona, jika kamu marah, wajahmu semakin cantik, membuatku semakin bergairah," dengkurnya dengan suara serak yang tengah di landa birahi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status