POV Silvi.
Hati ku sakit benar-benar sakit. Devan begitu kasar padaku, memang aku sudah membuatnya kesal, tapi tak sebanding jika di sama kan dengan perlakuannya pada ku. Dia sudah merusak hidupku, juga sudah menghancurkan masa depan ku. Silvi yang selalu ceria, kini sudah tidak ada lagi tinggal Silvi yang terpuruk di dalam kesedihan.
Ku tarik selimut dan ku tutupi seluruh tubuhku, lalu ku peluk erat baju yang Devan lepas dengan paksa. Terdengar suara kunci di putar lalu pintu kamar pun terbuka, aku tak menoleh juga tak bergerak, aku masih menangis tergugu sambil mencengkram baju serta selimut yang ada dalam dekapan ku.
Kasur yang aku tiduri melesak, aku membuang nafas kasar, sudah pasti itu Devan, dia menyentuh bahuku yang telanjang, karena aku belum sempat mengenakan pakaian kembali.
"Nona," panggil Devan. Aku tak mau menjawab panggilannya, aku hanya diam dan menikmati sisa tangisan ku.
"Nona, ini ibu mu menelpon!" Devan menyodorkan ponsel
POV Devan 1Hati ku terhenyak mendengar pesan ibunya Silvi, sa'at mereka bercakap lewat via telepon barusan, dia berkali-kali menasehati anak gadisnya agar selalu menjaga diri. Aku benar-benar merasa tertampar dan merasa sangat bersalah, karena aku sudah merusak kehormatan anaknya.Aku masih duduk di samping gadis yang baru sehari semalam menemani sepi ku! Aku belum sempat mengatakan bahwa ada beberapa chat dari ibunya yang belum ia baca. Namun belum saja aku bicara dia sudah duluan memaki, dan menantang ku, membuat kekesalan di hati ini muncul kembali.Awalnya aku menyesal karena telah menodainya, aku memohon ma'af pada Silvi, dan juga berjanji takkan menyentuh dia lagi, lantas ucapan gadis ini membuat aku geram, ku urungkan niat baik di hati ini, otak ku mulai kotor kembali, karena dia terus menerutuki ku.Lebih baik aku segera pergi ke kantor, dari pada aku tersulut emosi, oleh umpatan Silvi. Kondisi dia juga sudah mulai membaik, aku bisa lebih tenang meni
POV SilviAku benar-benar tak berdaya saat Devan merobek baju ku, sengaja tadi siang aku meminta Bi Rika membawakan jarum dan benang. Aku pun menjahit switer dan celana jadi satu, agar Devan tak bisa membukanya, tetapi perkira'an ku salah besar.Dia tetap bisa mendobrak pertahanan ku, apalagi dia merengek dan merajuk padaku, seperti anak kecil yang meminta di belikan mainan oleh orang tuanya.Kali ini dia berjanji takkan menyentuhku lagi setelah malam ini. Dan sebelum ada ikatan suci pernikahan di antara kami. Semoga ucapannya benar dan bisa di percaya.Aku seperti terhipnotis olehnya dan tak bisa menolak keinginan Devan, saat dia menempelkan keningnya di keningku, dia menatap mataku dengan tatapan yang penuh arti.Meskipun aku terus menolak dan pada akhirnya akupun luluh dan menyerah begitu saja. Walau hati kecil ku menolak, tapi aku tak mengerti tanpa sadar tubuhku menerima setiap serangannya.Kewarasan ku benar-benar hilang, s
POV Devan.Aku belingsatan berlari menuju ke kamarku, sebelum Mama menemukan ku, dengan keadaan seperti ini, meskipun kelakuan ku kurang baik, namun aku tetaplah anak Mama, dia pasti marah jika anak semata wayangnya membawa gadis ke dalam rumah dan malah sudah aku tiduri. Aku sangat takut jika ke tahuan bahwa aku semalam aku habis tidur bersama wanita yang bukanlah istri ku di rumah ini.Aku berjalan celingukan pandangan ku mengedar kesekeliling, seperti maling yang takut teretangkap warga. Ya kalau di fikir, tak ada bedanya aku dengan seorang maling, aku sudah aku mencuri keperawanan seorang gadis."Selamat." Aku menepuk-nepuk dada seraya menarik nafas lega, karena berhasil masuk ke dalam kamar tanpa bertemu Mama terlebih dahulu."Sorry Ma! Anak mu bosan menduda, aku tau, cara ini memang salah." Aku bergumam sendiri sambil merapikan kerah kemeja putih yang ke kenakan, ku lipat di kedua belah lengannya, celana bahan warna hitam untuk setelanny
POV SilviAku dan Bi Rika menoleh serentak ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka lebar, kami sangat terkejut dengan kedatangan dua orang, yang sedang berdiri di ambang pintu. Dia adalah Devan dengan seorang wanita paruh baya, namun penampilannya masih terlihat sangat cantik."Nyonya besar," sapa Bi Rika ramah, seraya menyunggingkan senyuman, di barengi anggukan.Wanita itu merangsek maju ke arah ku dengan wajah di penuhi amarah kedua tangannya mengepal, suara hentakan sepatu high heels berdentum seiring langkahnya yang setengah berlari perpijak di lantai marmer kamar ini, menyerbu ke arah ku.Di susul oleh Devan wajahnya begitu gusar, dan berusaha menghalangi jalan wanita itu."Mah, tunggu dulu Mah!" ucap Devan wajahnya panik, sambil terus menahan wanita yang di panggilnya Mama, namun ucapan Devan tak di hiraukan nya."Kau, berani-beraninya menginjakan kaki lagi, di rumah anak saya, hah! Setelah apa yang kamu lakukan, dasar perempuan murahan!
POV DevanDuga'an ku benar, Mama sangat membenci Silvi sama halnya seperti dia membenci Raya, awalnya aku berharap Mama bisa menerima kehadiran Silvi di rumah ini. Di lain hari aku akan pelan-pelan mengungkapkan yang sebenarnya pada Mama, bahwa aku mencintai gadis itu.Namun perkira'an ku tak sesuai yang di harapkan, belum saja aku mengatakan apapun tentang Silvi, Mama sudah lebih dahulu menemui dia dan melabraknya, bahkan mencaci maki gadis itu.Tak puas dengan mencaci-maki, Mama melayangkan tamparan tangannya, dengan keras, sehingga membekas kemerahan di pipi Silvi, amarah Mama semakin membuncah sa'at aku melerai dan berusaha menenangkannya.Tak sampai di situ tangan Mama mencengkram rambut Silvi begitu kuat, hingga beberapa helai rambutnya yang hitam dan panjang pun ikut terbawa di jemari Mama.Seakan tak puas dengan aksinya menyakiti Silvi, dia mendorong tubuh gadis itu hingga tersungkur ke lantai, Silvi terduduk seraya memegangi kepalanya, ak
POV Silvi.Aku berjalan dengan langkah pelan, ku tarik nafas dalam-dalam sebelum melangkah meninggalkan kamar yang biasa aku tempati.Hati ku begitu sakit mendengar hina'an yang keluar dari mulut Nyonya besar. Memang aku ini orang miskin, tapi aku juga punya hati, sama seperti mereka.Benar aku ini tidak pantas memakai baju semewah ini, aku juga tak pantas tidur di kamar itu, namun caranya dia bicara yang membuat hati ku perih.Nyonya besar memang sangat benar aku lebih cocok jadi pembantu dari pada jadi asistennya Devan.Aku juga tak menginginkan menjadi asisten Putra tunggalnya, yang hanya memanfaatkan kelemahan dan ketidak berdaya'an ku, bukannya jadi asisten pribadi, melainkan tempat menyalurkan hasratnya.Tapi lebih baik seperti ini, bekerja sebagai asisten rumah tangga, dari pada aku menjadi pemuas nafsu majikan ku. Devan Biantara.Laki-laki itu sangat tampan dan begitu sempurna, wajahnya bisa menghipnotis para wanita, uang dan
POV Devan."Jangan menolak ku, sayang! Aku mau! Tubuh mu begitu hangat, dan menggoda, membuat ku selalu menginginkannya!" ucap ku tersenyum sambil menaikan alis dengan tatapan genit."Maksud mu? Ku kira janji mu semalam itu sungguh-sungguh, tapi ternyata kau menipu ku lagi!" tukas Silvi, dia mundur seraya meremat sprei warna biru pembungkus kasur, yang ia duduki. Wajahnya menengadah menatapku dengan tatapan murka."Iya, aku masih ingat, dengan janjiku semalam, dan aku juga sudah bersumpah pada diri sendiri, namun, hati ku tak mengizinkan aku bersumpah, karena itu sungguh akan menyiksa batinku."Aku membuka kancing kemeja yang ku kenakan dengan gerakan cepat, dan ku lempar ke sisi tubuh Silvi, juga melepas seluruh pakaian yang melekat di tubuh ku."Diam kau! Jangan mendekat! Aku tidak mau lagi Tuan! Semalam aku sudah melakukan yang kau minta, aku sudah memuaskan mu, hingga menjelang subuh," hardik Silvi sembari melempar bantal ke arahku. Ku tangkis banta
POV Silvi.Perut ku sakit, seperti sedang di aduk rasanya tak bisa ku gambarkan lagi, entah kenapa ini? apa gara-gara Devan yang menggagahi ku hingga berkali-kali tadi malam, dan di susul barusan, dia melakukan aksinya lagi, hingga aku terkulai lemas. Dan perutku kini sakit, aku meringis meremas tangan Devan, menahan rasa sakit ku."Sayang... Kita ke Dokter saja ya! Biar dapat penanganan lebih lanjut," bujuk Devan, dengan nada khawatir, dia mengusap-ngusap punggung ku, aku muak di panggil sayang, namun panggilan sayangnya, tak mencerminkan, bahwa dia memang menyayangiku, dia hanya sayang dengan tubuhku, dan sesuatu yang ku punya."Gak mau, aku minta air hangat saja, sama minyak angin!" pinta ku, dengan nada ketus."Ya sudah, sebentar aku ambilkan air hangat, sekalian minta minyak anginnya, sama Bibi," ucap Devan bangkit dari duduknya, ku lepas tangannya dari genggaman ku."Iya, jangan lama-lama!" tukas ku tanpa menoleh ke arahnya, aku masih meringkuk me