POV Silvi.
Perut ku sakit, seperti sedang di aduk rasanya tak bisa ku gambarkan lagi, entah kenapa ini? apa gara-gara Devan yang menggagahi ku hingga berkali-kali tadi malam, dan di susul barusan, dia melakukan aksinya lagi, hingga aku terkulai lemas. Dan perutku kini sakit, aku meringis meremas tangan Devan, menahan rasa sakit ku.
"Sayang... Kita ke Dokter saja ya! Biar dapat penanganan lebih lanjut," bujuk Devan, dengan nada khawatir, dia mengusap-ngusap punggung ku, aku muak di panggil sayang, namun panggilan sayangnya, tak mencerminkan, bahwa dia memang menyayangiku, dia hanya sayang dengan tubuhku, dan sesuatu yang ku punya.
"Gak mau, aku minta air hangat saja, sama minyak angin!" pinta ku, dengan nada ketus.
"Ya sudah, sebentar aku ambilkan air hangat, sekalian minta minyak anginnya, sama Bibi," ucap Devan bangkit dari duduknya, ku lepas tangannya dari genggaman ku.
"Iya, jangan lama-lama!" tukas ku tanpa menoleh ke arahnya, aku masih meringkuk me
POV Devan."Kenapa kamu menangis sayang? Ma'af, jika aku sudah menyakiti hati mu? Apa ada yang salah, dari ucapan ku?" tanya ku, seraya menatap wajah ayu Silviana. Ku usap bulir bening, yang keluar dari sudut matanya, dengan ujung jemari ku.Silvi menggeleng sambil menundukkan kepalanya."Tak usah minta Ma'af! Tak ada yang salah, dengan perkataan mu Tuan."Aku melepaskan tangan Silvi, dari genggaman ku, lalu dia turun sambil menyeret koper warna coklat miliknya."Sini ku bantu!" ucap ku merampas koper dari tangannya."Tidak perlu Tuan muda! Saya bisa sendiri!" jawab Silvi datar, dia menolak bantuan ku dan melengos pergi ke lantai dasar menuju kamar barunya.Hatiku terhenyak dengan sikap Silvi yang selalu dingin, aku tau dia memang tak mencintaiku, aku juga tau dia jijik padaku, karena perlakuan ku padanya.Sesungguhnya aku menginginkan Silvi tetap di kamarnya seperti semula, dan memakai baju-baju yang aku berikan, aku
POV Silvi.Malam sudah larut dan sunyi, di tengah keheningan aku bangkit dari tempat tidur karena mata ku tak kunjung terpejam, dan terjaga sepanjang malam hingga menjelang subuh.Di kamar berukuran sedang dengan temaram lampu tidur berukuran kecil. Ku lirik Bi Rika yang tengah terlelap di samping ku, tidur meringkuk membelakangi ku, hanya dia yang menjadi sandaran ku selama aku berada di sini.Aku tak punya tempat mengadu untuk meluapkan keluh kesah selain dia, dua bulan sudah aku tinggal di rumah mewah milik Devan.Semakin hari aku semakin tersiksa, bukan hanya perlakuan Devan yang kerap kali menggagahi ku, tanpa kenal waktu, jika ada kesempatan, di kala Mama nya tak ada di rumah. Kini Nyonya besar tinggal di rumah Devan.Nyonya Amelia juga sangat membenci ku, tak jarang aku di hina di depan semua orang, dan dia juga tak segan menampar ku dia di hadapan ART lain, membuat aku semakin buruk di depan semuanya.Makian dan cacian yang ter
POV Silvi.Perjanjian, itu kan dulu! Tapi kenapa hingga seterusnya aku harus melayani dia untuk menyalurkan hasrat padaku. Bakti kepada orang tua untuk mendapatkan banyak uang, dan membahagiakan mereka, iya itu tujuan utama hidup ku.Tapi bukan dengan cara seperti ini, menjual diri pada lelaki yang tak pernah puas. Aku menginginkan pekerja'an yang halal, aku sudah tak mau menjadi budak Devan lagi."Aku butuh kamu, kita ke kamar sekarang!" ajak Devan mencekal lengan ku.Dengan senyum tipis Yanga ia tampilkan, dia sangat tampan wajahnya begitu memesona, hidungnya yang mancung, juga bulu jambang menghiasi wajahnya yang maskulin dia Pria sejati, namun bobrok akhlak."Jangan Tuan...!" Aku memutar tanganku sekuat tenaga agar terlepas dari genggamannya."Ck, Tak usah banyak bicara!" Devan berdecak kesal seraya menarik tubuhku ke dalam pelukannya."Sudah ku katakan, aku tidak mau! Apa kau tuli Tuan!" sergah ku, mendorong tubuh Devan agar
POV Devan.Aku berdiri mematung sambil memeluk Silvi, ku dekap dia dengan erat, tubuhnya lemas dan hampir ambruk."Sayang, bangun! Kamu jangan bercanda," seruku seraya membelai pipinya dan menyingkirkan rambut yang menutupi wajah ayunya, apa Silvi benar pingsan ataukah dia hanya mengerjaiku."Hei.! Nona, buka mata mu!" Aku mengapit kedua belah pipinya dengan jemari tangan ku sambil mengguncang wajahnya. Namun dia bergeming. Rupanya dia tidak sedang mengerjaiku.Aku mulai cemas dengan keada'an gadis ini. Apa karena aku terlalu memaksa hingga dia syok dan tak sadarkan diri.Ku angkat tubuh mungilnya ke atas tempat tidur dan membaringkannya di sana. Ku tatap wajahnya lekat-lekat, dia begitu cantik sa'at matanya terpejam, wajahnya begitu damai, tanpa dosa.Bentuk wajah oval, bibirnya ranum, hidung bangir, bulu matanya lentik. Jika sedang memejamkan mata, dia tidak mirip Raya. Silvi lebih cantik wajahnya oriental, kulitnya putih mulus, tubuh ting
POV Silvi.Aku terkejut saat Dokter mengatakan kemungkinan aku hamil, itu tidak mungkin dan tak boleh terjadi, aku tidak mau mengandung anak Devan, Pria bejat dan pembohong.Ku tundukkan wajah sambil meremat selimut yang menutupi tubuhku."Aku tidak mau, di tes urine!" jawabku ketus."Kenapa Bu? Cuma tes urine saja, gak susah kok!" ucap Dokter pribadi keluarga Devan wajahnya menyimpan sebuah tanya sa'at menatapku, mungkin karena aku tak mau di periksa lebih lanjut."Sayang, tolong ya! Sebentar... saja, aku ingin tau, apa kamu benar-benar hamil? aku sangat bahagia, jika memang itu terjadi." Devan meraih tanganku, dia merajuk seraya menatapku penuh harap.Aku menatap sekilas wajah Devan dengan tatapan nyalang, sungguh aku membencinya."Untuk apa? Aku tak menginginkannya, aku berharap, hanya telat datang bulan saja, bukannya sedang mengandung anak mu!"Devan merengkuh pundak ku dan mendekatkan wajahnya di telinga ku."Tolong y
POV Silvi."Anak ini harus mati, aku gak mau mengandung benih Devan, aku ingin melenyapkannya."Tangan ku turun dari kepala, ku remas dan ku tekan perut ku, aku jijik pada diriku, ku angkat kepala, dan menengadahkan wajah, tatapan ku kosong, fikiran ku benar-benar kacau kali ini."Ibu, maafkan anak mu! Aku mengandung anak haram, tapi ini bukan kehendak ku, Bu... Aku sungguh malu, jika sampai ada yang tau so'al ini, aku hamil di luar nikah, aku tidak sanggup lagi menjalani hidup." Ku acak rambutku dengan kasar.Aku benar-benar frustasi, andaikan waktu bisa di putar kembali aku lebih memilih hidup sengsara, dari pada aku begini."Nona, ayo, cepat ke luar! Bagaimana hasilnya?" ucap Bi Rika dari depan pintu kamar mandi di barengi dengan ketukan."Iya, Bi," jawabku dengan suara serak. Aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Ku melangkah dengan kaki berat, tanganku menggerapai memegangi tembok untuk membantuku menopang tubuh."Non, apa ka
POV Silvi."Oh, iya Dok, kira-kira usia kandungan istri saya berapa Minggu?" ucap Devan, menatap wajah Dokter Hendri dengan serius."Eum, kalau di lihat dari hasil HPHT, sekitar tujuh Minggu,""Tapi, saya heran Dok, kenapa istri saya bisa begitu mual, dengan mencium aroma tubuh saya?" tanya Devan keheranan dengan tingkahku yang mendadak mual dan ingin muntah bila dekat dengannya."Itu hal yang wajar Pak Devan, karena di trimester pertama kehamilan, seorang wanita hamil mengalami peningkatan hormon, itulah yang menyebabkan istri Bapak, mual dan muntah," ujar Dokter panjang lebar.Devan begitu serius menanggapi penuturan Dokter Hendri."Saya faham Dok, tapi apakah ini berpengaruh terhadap janinnya? Apakah berbahaya?""Tidak, jika itu masih di batas wajar. Namun asupan nutrisi harus di perhatikan, meskipun Bu Silvi merasa mual, tapi harus di usahakan untuk tetap makan, meskipun sedikit, dan konsumsi susu emesis untuk mengurangi rasa mual,"
POV Devan.Aku sangat bahagia mendengar Silvi mengandung anakku, namun aku bingung dengan Mama, karena Mama tambah membencinya."Devan, kamu pilih Mama, atau perempuan itu, jika kamu lebih memilih dia, Mama akan angkat kaki dari rumah mu! Dan Mama takkan pernah, menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" sungut Mama menuding tangannya ke arah Silvi.Tak ada yang harus aku pilih, kedua wania itu sama-sama penting dalam hidupku. Aku kini berada di posisi yang sulit, jika aku memilih Silvi.Mama akan begitu marah pada ku, aku tak mau menjadi anak yang membangkang, tapi aku juga tak mungkin mencampakkan gadis yang sudah aku rusak masa depannya.Aku bersimpuh di hadapan Mama, yang sedang duduk di sofa menyilang kaki seraya menyedekapkan tangannya di depan dada dengan angkuh.Ku tundukan kepala di pangkuan Wanita bertubuh proporsional dengan balutan dress tunik lengan panjang warna coklat tua, berharap hatinya bisa sedikit terbuka untuk Silviana.