Share

Satu Atap
Satu Atap
Penulis: IamBlueRed

1. Annoying Boy

"ARES!!!"

Lisa berteriak marah pada pemuda di depannya, melotot tajam. Ia sungguh emosi. Rasanya Lisa ingin sekali menendang kaki Ares agar pemuda itu berhenti mengacak-acak sampah ruang kelas yang telah ia sapu dan kumpulkan di depan pintu. Sudah menyapu sendiri, ia malah membuat Lisa mengulang tugasnya lagi. Menyebalkan!

"Sorry. Nggak liat kalau ada sampah," ujarnya santai, kembali melangkah tetapi dengan kaki yang menendang beberapa sampah sehingga kembali berserakan.

Lisa menghela napas. Darah di tubuhnya sudah mendidih sebenarnya, tapi ia mencoba sabar. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan tingkah Ares yang menyebalkan. Dia memang perusuh dan pengganggu tingkat akut. Terlebih dalam urusan menganggu Lisa sang ketua kelas.

"Mau kemana?!" Lisa merentangkan sebelah tangannya, menghadang tubuh Ares yang akan keluar pintu.

"Pulanglah. Mau ikut?"

"Nggak! Kamu piket hari ini, Res! Jangan main kabur! Nih serokin sampahnya terus buang." Lisa mengulurkan sapu beserta serok yang ia pegang pada Ares.

Bukannya menerima uluran Lisa, pemuda bernama lengkap Ares Reigara itu malah merogoh saku celananya, mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan.

"Nih. Denda. Sepuluh ribu kan? Sisanya buat sumbangan kas kelas." Ares menaruh uang tadi ke atas meja di dekatnya, kembali melangkah. Lisa langsung merentangkan tangan, mencegah Ares pergi untuk kedua kalinya.

"Nggak bisa, Res! Kalau piket ya piket. Nggak peduli kamu mau denda dua ratus ribu atau satu juta," ujar Lisa. Dia tidak suka anak orang kaya yang seenaknya bertingkah. Menukar segala yang ia inginkan dengan kekayaan milik orangtuanya.

Jika saja Ares tahu, Lisa mungkin lebih kaya darinya. Perusahaan ayahnya makin membesar hingga memiliki cabang di beberapa luar kota. Tapi bundanya selalu mengingatkannya agar tidak sombong dengan harta yang dimiliki. Jadilah orang yang biasa-biasa saja. Dari situlah Lisa tidak pernah menonjolkan kekayaannya pada teman-teman sekelasnya. Bahkan nyaris tidak ada yang tahu apa pekerjaan ayahnya sebenarnya.

"Yang lain nggak. Kenapa aku harus?" Ares masih bersikeras tidak mau piket.

"Karena mereka udah kabur duluan. Makanya aku nggak bisa paksa mereka," jawab Lisa. Tadi ia harus menyalin catatan Sejarah yang luar biasa banyaknya terlebih dahulu, lalu diperintah Miss Kyra mengantar buku tulis Bahasa ke meja gurunya di kantor. Maklum, tugas ketua kelas. Sekembalinya dari kantor, kelasnya sudah kosong. Hanya menyisakan banyak sampah yang berserakan di lantai serta Ares yang asik bermain game. Empat orang lain yang piket hari ini sudah menghilang entah kemana.

"Yaudah, aku kabur sekarang, ya," ujarnya.

Lisa menghela napas lelah. "Nggak boleh. Kamu harus piket. Apa susahnya sih serokin sampah terus buang ke tempatnya? Cuma sebentar. Nggak sampai semenit juga."

Ares malah ikut menghela napas lelah. "Iya-iya, aku piket. Sini sapunya," ujar pemuda di depan Lisa pada akhirnya. Lisa tersenyum, mengulurkan sapu dan serok pada Ares. Ia bersedekap dada di depan pintu, menunggui Ares agar sungguhan piket. Kenapa tidak sedari tadi?

Ares menyeringai, "Kalau mau berduaan bilang aja kali. Nggak perlu marah-marah kayak tadi."

Lisa menyeringai jijik, tetapi tetap diam tidak menggubris ucapan pemuda yang lebih tinggi darinya itu. Ares itu sebenarnya tampan. Jika kelakuan dan sifatnya waras sedikit, mungkin Lisa tidak akan sering marah-marah bahkan sampai membentak seperti tadi. Tetapi Ares tetaplah Ares. Dia itu pengganggu sekali.

"SA, DI KELAS SEBELAH, SA!" Ares tiba-tiba berseru seraya menunjuk sesuatu di belakang Lisa. Lisa menoleh ke belakang, mencari sesuatu yang ditunjuk pemuda itu hingga tiba-tiba badannya terdorong ke depan karena tersenggol Ares yang bergerak cepat keluar dari kelas. Sial! Lisa baru menyadari jika dirinya dibohongi.

Ares yang berdiri beberapa meter cukup jauh dari Lisa tertawa keras, berteriak, "ADA DINDING MAKSUDNYA!!" ia kembali tertawa kencang, mengejek Lisa karena dengan mudahnya dikelabuhi olehnya.

"AKU PULANG DULU, SAA! DAAHH!!" Ares melambaikan tangan, lalu melayangkan flying kiss pada Lisa sebelum akhirnya sosoknya hilang karena menuruni tangga.

Lisa mengepalkan tangan, menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.

Sial.

Ares itu benar-benar menyebalkan. Lisa pikir ia sudah mengalahkannya!

***

Satu-satunya hal yang membuat Lisa menyesal terlahir menjadi anak orang kaya adalah perjodohan.

Lisa menghela napas panjang, menyenderkan punggungnya ke kursi belajar. Ia mendongak ke atas, menatap langit-langit kamarnya yang dicat warna biru.

Baru sehari yang lalu bundanya datang ke kamar, memberitahu perihal perjodohannya dengan anak rekan bisnis papa yang akan disegerakan. Jika dipikir-pikir, rasanya ia seperti barang yang diperjualbelikan demi kepentingan bisnis orangtuanya. Tapi mau bagaimana lagi? Lisa bukan anak yang suka membangkang. Jadi ia menuruti segala permintaan kedua orangtuanya tanpa penolakan.

Sebenarnya Lisa juga tidak terlalu kaget mendengar kabar itu. Bundanya telah mewanti-wantinya sejak dulu. Lebih tepatnya sejak ia menginjak bangku SMP. Itu perjodohan yang telah direncanakan lama sekali. Lisa hanya mengangguk mengiyakan saat itu. Tidak bertanya lebih lanjut siapa yang akan dijodohkan dengannya. Lagipula Lisa bukan tipe gadis yang suka menjalin hubungan khusus dengan seseorang. Jadi dari segi hati tidak ada yang terlalu dipermasalahkan. Jika takdirnya memang berjodoh dengan seseorang yang telah dipilih kedua orangtuanya, yasudah. Ia tidak akan ambil susah dengan kabur, bunuh diri, atau melakukan tindakan tak bermutu semacamnya.

Tapi tetap saja, rasanya geli jika memikirkan ia akan bertunangan di umur tujuh belas. Itu terlalu muda! Yang Lisa ingin lakukan sekarang hanyalah belajar sungguh-sungguh, naik ke kelas tiga, lalu lulus SMA dengan nilai memuaskan. Hanya itu. Tapi yasudahlah...

Karena pening, Lisa menutup buku Sejarah di depannya. Rencananya ia ingin mengerjakan PR dan belajar. Tapi memikirkan masalah perjodohan tadi membuatnya jadi tidak mood. Kepala dan tubuhnya penat. Sepertinya ia perlu refreshing sebentar untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya.

Dapat ide, Lisa segera beranjak berdiri, melangkah keluar kamar menuju garasi rumah. Ia mengeluarkan sepeda warna biru yang terparkir di pojokkan, tidak lupa memakai helmnya. Ia tersenyum lalu menaiki sepeda itu. Jalan-jalan di sore hari sepertinya menyenangkan.

Bersambung.


Hai, aku penulis cerita Satu Atap ini! Mohon dukungannya untuk cerita ini, ya! 

Komen (7)
goodnovel comment avatar
yanuarnoah 1977
lumayan dapet jodoh walaupun dijodohkan tapi klo sy lihat Ares dah jodoh km cucok
goodnovel comment avatar
yanuarnoah 1977
parah masih bingung jalan ceritanya
goodnovel comment avatar
Arrida Sani
ceritanya ringan dan menyenangkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status