Share

Kecewa

Tahun 2007.

Kata-kata yang bagai disembunyikan namun menusuk. Melukaiku lagi. Membuatku berpikir berulang-ulang. Apa ini kesalahanku lagi?

Terkadang berada di dalam kamar ini membuatku tertekan. Saat aku berharap ditopang, aku semakin goyah. Saat aku menguatkan diri sendiri, seluruh tubuhku rasanya sakit.

Tapi, kecewa mungkin masih terjadi. Aku khawatir karena tidak bisa dihindari. Hidup ini masih berlanjut.

Usiaku lima belas kala itu.

Aku ingin apa yang aku ketahui itu mimpi. Sudah berhari-hari aku tidak ke luar rumah. Sebagian besar ku habiskan di kamar. Entah, sudah berapa lama.

Kata-kata mereka hanya berlalu. Tidak membuahkan hasil, karena hatiku bagai hancur. Aku bahkan lelah meneteskan air mata yang sulit dikendalikan. Aku takut mengenang. Kenangan yang membuatku tambah menyesal. Semakin aku teringat, aku ingin menemuinya.

Ibu mengetuk pintu kamarku sebelum membukanya. Membawakan sepiring nasi dan lauk pauk untuk membujukku makan. Namun, ibu kembali dari kamarku membawa sisa makanan yang hampir utuh.

Aku kembali berbaring dan tertidur.

Mungkin Ad sudah lama duduk di sana. Aku juga tidak tau kapan dia datang. Melihatku bangun, Ad mendekat lalu merapihkan rambutku. Namun yang aku rasakan, seperti belaian di kepalaku. Aku perlahan berani menatapnya.

Dia mengambil segelas air minum di atas meja belajar, lalu memberikan padaku. Aku melihat tas ransel sekolahnya ada di kursi belajar. Ad mengeluarkan beberapa buku pelajaran. Dia memberitahuku tugas-tugas dari guru selama aku tidak masuk sekolah. Dia juga mengajariku cara mengerjakannya.

Waktu terus berjalan selama kami mengerjakan tugas. Ternyata, untuk sesaat aku terlupa.

"Ini soal yang terakhir," katanya.

Aku coba mengerjakan seperti yang dia ajarkan. Akhirnya semua tugas selesai. Buku Fisika jadi yang terakhir ditutup.

"Waktu itu gue janji bawain lo yang baru. Ini gue udah dapet," satu lagi buku di keluarkan.

Setelah beberapa hari ini, aku tersenyum kecil.

"Kejar Daku Kau Ku Jitak," kataku membaca judul buku. "Dapet juga cetakan yang lama."

Ad mengangguk.

"Sini gue bacain bab pertama," katanya mengambil kembali buku series Lupus dari tanganku.

Aku bersandar ke dipan tempat tidur. Teringat bertahun-tahun lalu. Pertama kali membaca series Lupus di rumahnya. Kami menemukan beberapa, saat membatu membereskan buku-buku lama milik bapaknya Ad.

Dari situ, kami berdua mulai mengumpulkan series Lupus bersama. Terkadang saling membacakan isi cerita. Senyum-senyum dan tertawa saat membaca tingkah konyol kharakter utama dan teman-temannya.

Ad. Terpatri di berbagai kenangan hidupku. Sedih, senang, dan lainnya. Bagaimana aku bisa berhenti memikirkannya? Walau aku mampu, aku masih tidak ingin berhenti.

Di saat aku ingin Ad ada di hadapan dan membacakan isi setiap bab. Aku membuka buku-buku miliknya.

"Besok sekolah kan?" tanya Ad.

Aku mengangguk.

"Besok pagi gue jemput," katanya.

Aku heran, "naik apa?"

"Angkot."

"Iyahh," sahutku.

Ad. Dia jelas melihat sembab di kedua mataku. Mungkin juga tau apa yang terjadi. Tapi Ad, tidak memintaku menjelaskan sebab. Dia seakan tau. Waktu yang ku butuhkan untuk menceritakan padanya adalah keputusanku.

Ad tersenyum di balik bukunya. Aku tau dia terus berusaha untuk memahamiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status