Share

3. Pergi ke Butik

Amel mengendap-endap menjauh dari area kampus. Ia berusaha mencari tempat yang setidaknya tidak banyak orang di sana. Saat tengah melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja, seseorang memelankan laju motor sport merahnya. Ia berusaha mengimbangi langkah yang diambil oleh Amel.

"Ssssttt, cepetan naik!" seru orang yang tengah melakukan motor sport-nya secara pelan. Detik itu juga, Amel membelalakkan matanya.

"Gue udah bilang, tungguin gue di tikungan sana! Cepat lo jalan ke sana deh, gue gak mau ada seorang pun yang ngeliat lo boncengin gue nanti!" keluh Amel dengan tatapan penuh kekesalan.

"Ashh ribet amat sih lo, Mel!" cibir orang itu, Lino.

Lino pun segera melajukan motornya dan berhenti di area tikungan. Di sana, nyaris tidak ada seorang mahasiswa pun yang lewat. Melihat Lino sudah memberhentikan motornya di area tikungan, membuat Amel buru-buru mempercepat langkah kakinya.

Sesampainya di sana, Lino segera mengulurkan sebuah helm kepada Amel. Tanpa basa-basi lagi, Amel bergegas memakaikan helm tersebut ke area kepalanya. Setelah memakai helm, ia segera membonceng di belakang Lino.

"Heh, No, lo gak ada niat buat batalin perjodohan kita apa?" tanya Amel ketika motor sport merah Lino telah melaju membelah jalan raya.

"Niat sih ada. Bahkan setiap detik, gue berdoa supaya gue gak berjodoh sama lo!" ceplos Lino. Sontak saja, Amel memukul punggung Lino.

"Rese amat sih lo jadi cowok! Gue juga pengennya sih, batalin perjodohan ini. But, gue gak bisa. Ah, kenapa gue bernasib buruk gini sih!" keluh Amel. Mendengar hal itu, Lino segera terkekeh pelan.

"Nasib lo baik karena yang bakal nikah sama lo tuh orangnya ganteng dan famous kek gue. Yang harusnya menyesal tuh gue, kenapa juga gue harus nikah sama cewek nyebelin, jelek, gak famous, suka ngeluh, dan gak ada bagus-bagusnya. Rugi tahu gak?!" pekik Lino. 

"Ih rese amat sih lo!" omel Amel sembari memukul-mukulkan tangannya ke punggung Lino.

CHIIITTTT!

Detik itu juga, Lino langsung mengerem motornya secara mendadak. Nyaris saja, ia menabrak seorang penjual cireng keliling yang tengah menyebrangi jalan.

"Ah maaf, Pak, maaf!" seru Lino kepada penjual cireng tersebut. 

Namun, penjual cireng itu hanya menatap Lino sekilas dengan pandangan jengkel. Ia pun segera melanjutkan perjalanannya sembari merutuki Lino yang menunggangi motor secara sembarangan.

Saat akan melanjutkan perjalanannya, sekilas,  Lino merasakan bahwa dadanya seperti sesak. Seseorang memeluknya erat dari belakang. Langsung saja, Lino mengalihkan pandangannya ke area perut. Benar saja, bisa ia lihat, tangan Amel tengah melingkari bagian perutnya.

"Kesempatan amat sih lo pakai meluk-meluk gue segala!" cibir Lino.

Detik itu juga, Amel langsung menyadari sesuatu. Ia segera mengambil alih kedua tangannya dan beralih mendorong Lino dengan penuh rasa kesal.

"Kalau boncengin gue tuh hati-hati! Gue itu barang paling berharga di keluarga gue, jadi jangan macam-macam apalagi sampai bikin gue lecet!" marah Amel. Mendengar hal itu, Lino pun langsung menolehkan kepalanya dan melemparkan tatapan tajamnya ke arah Amel.

"Kalau lo berharga, gak mungkin keluarga lo pakai acara-acara jodohin lo sama gue segala," tandas Lino.

"Ya karena gue berharga, jadi gue disuruh buat menstabilkan kondisi keuangan di keluarga gue dengan nikah sama lo!" cerocos Amel dengan perasaan penuh tidak terima. 

"Nah kan! Nah kan! Bener dugaan gue! Lo pasti mengincar sesuatu dari keluarga gue! Fiks, bakal gue bilangin Mama gue, rasain lo!" pekik Lino. Sontak saja, Amel menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya.

"Awas lo, kalau sampai bilang-bilang ke nyokap lo, gue bakal—"

"Tapi tenang, gue gak akan bilang apapun asalkan lo mau kerja sama dengan gue," cetus Lino dengan memotong pembicaraan Amel. Detik itu juga, Amel langsung mengernyitkan dahinya.

"Apa-apaan! Lo mau kerja sama apa dengan gue? Jangan macam-macam ya!" ancam Amel. Namun, Lino hanya terkekeh pelan.

"Gak macam-macam kok, Mel. Gue cuma minta satu syarat doang, pas kita udah nikah, biarin gue selingkuh sama Lina. Gue bakal bawa Lina ke rumah kita nanti, dan tugas lo, lo harus merawat Lina dengan baik, kalau sampai lo ngusir Lina, gue bakal bongkar niat jahat lo itu ke Mama gue, deal?!" Lino mengulurkan jemari kelingkingnya ke arah Amel.

"What? Lo mau bawa pelakor ke rumah? Gak! Itu mah enak di elo, suram di gue!" tolak Amel mentah-mentah.

"Ya udah, sekarang gue bilangin ke Mama," cetus Lino. Mendengar hal itu, Amel langsung bergidik ngeri.

"Lebih sereman jadi gembel sih, entar kalau Lino selingkuh beneran ya gue selingkuhin balik aja biar adil," pikir Amel sembari tersenyum miring.

"Oke, deal!" sahut Amel dengan mantap.

"Gue biarin tuh cewek yang namanya Lina menginap bersama kita. Lagipula dengan begini, rumah bakalan aman kan, gak bakal ada kejadian aneh-aneh," ceplos Amel. Sontak saja, Lino melemparkan tatapan tajamnya ke arah Amel.

"Aneh-aneh gimana? Wah pikiran lo dah lari kemana nih? Gue kan udah bilang, gue gak tertarik sama lo!" pekik Lino sembari menjulurkan lidahnya.

Sesaat kemudian, Lino pun mulai menyalakan mesin motornya. Kemudian, ia segera membawanya ke jalanan dengan lebih berhati-hati.

Diam-diam, Amel pun mulai berpikir. Setahu dia, Lino itu hanya pernah dekat dengan seorang gadis bernama Yia. Setahu Amel juga, setelah Lino putus dengan Yia, Lino belum memiliki pacar lagi. Kira-kira gadis dari universitas mana yang bernama Lina itu?

Amel tampaknya terlalu sibuk dalam pikirannya. Hingga ia tak menyadari, bahwa kini, motor Lino telah berhenti tepat di depan sebuah butik. 

"Yuk!" ajak Lino.

Ia bahkan berjalan meninggalkan Amel begitu saja. Tanpa melihat kondisi Amel yang saat ini tengah kesulitan melepaskan sabuk helm-nya.

"LINO!" teriak Amel. Namun, Lino masih saja berjalan masuk ke dalam butik.

"Ah terpaksa deh!" pasrah Amel.

Amel kemudian melangkahkan kakinya, menapaki jalanan yang sudah ditapaki oleh Lino terlebih dahulu. Ia segera masuk ke dalam butik. Hingga kedua matanya bisa menyaksikan Lino yang saat ini tengah bercengkrama dengan seorang pegawai butik.

"Ini calon istrinya, Mas?" tanya pegawai itu sembari menunjuk ke arah Amel. Langsung saja, Lino menganggukkan kepalanya.

"Emm, maaf, Mbak, tapi kalau mau mencoba baju pengantin, tolong helm-nya dilepas dulu ya!" pinta pegawai butik itu. 

Detik itu juga, Lino memusatkan pandangannya ke arah Amel, kemudian meneloyor pelan kepala Amel yang terbungkus oleh sebuah helm tersebut.

"Ngapain helm lo pakai dibawa masuk segala sih?" tanya Lino dengan raut wajah kesal. Namun, dari sorot matanya, ia tengah menahan malu setengah mati.

"Ya salah elo! Udah tau gue panggil-panggil, eh malah nyelonong ke butik duluan! Rasain! Ikut malu kan lo?!" tandas Amel sembari mengerucutkan bibirnya.

Secara tiba-tiba, seorang pegawai butik yang sedari tadi bercengkrama dengan Lino dan Amel pun meledakkan tawanya. Hal itu tentu mengundang Lino dan Amel untuk memberikan tatapan bingungnya ke pegawai butik tersebut.

"Ada masalah?" tanya Lino dengan sorot mata tajamnya.

"Ah tidak-tidak, hanya saja, hubungan kalian harmonis dan sangat romantis. Jarang-jarang ada pasangan se-friendly kalian," sahut pegawai butik tersebut.

Detik itu juga, Amel dan Lino langsung melemparkan tatapannya ke satu sama lain. Amel pun lantas mengangkat tempurung telapak kakinya, berjinjit, hingga posisi bibirnya bisa berada persis di dekat telinga Lino.

"Dia sedang memuji kita," bisik Amel dengan nada penuh takjub. 

"Bukan, dia nyindir kita, ogeb!" bisik Lino balik dengan nada kesal.

Lino pun seketika mendekatkan wajahnya ke arah Amel. Kemudian, kedua tangannya sibuk membantu Amel untuk melepaskan helm tersebut dari kepala wanita itu. Diam-diam, Amel memandangi wajah Lino dari dekat.

"Wajahnya sama, auranya juga masih sama, tapi situasinya sudah berbeda," lirih Amel dalam benaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status