Share

5. Buku Diary Lino

Buku diary itu telah berada di tangan Lino. Setelah terjadi pertarungan sengit dengan mamanya itu. Dengan cepat, Lino langsung melesat pergi ke kamar, meninggalkan Citra yang saat ini tengah senyum-senyum tidak jelas.

"Aishh, dasar anak itu! Apa karena pas hamil, aku ngidam peluk kucing ya, sampai-sampai Lino bisa malu-malu meong gitu sikapnya," lirih Citra sembari terkikik pelan.

Ia pun sontak melangkahkan kakinya ke arah pintu. Melihat keadaan di luar rumah, kemudian bergegas menutup pintu itu kembali. Dikarenakan langit masih cerah, Citra tidak jadi mengangkat jemuran pakaiannya.

***

Di sisi lain, Lino langsung mengunci pintu kamarnya. Jujur saja, jantungnya langsung berdegup kencang. Sesaat kemudian, diamatinya lekat benda berbentuk kotak tersebut. Buku yang menjadi saksi, kisah percintaannya yang sangat suram.

"Perasaan buku ini pernah gue buang ke tong sampah, kok bisa ada di Mama sih! Arghh, Mama pasti udah baca semua tulisan menjijikkan itu! Astaga!" keluh Lino sembari menjambak rambutnya dengan penuh rasa kesal.

Setelah puas merutuki dirinya, ia pun segera bergegas melangkahkan kakinya ke arah cermin. Memandangi wajahnya yang semakin lama terasa semakin membosankan.

"Lino, sadar, lo ganteng! Lo gak buluk kok! Amel aja yang katarak ngatain lo buluk di sosial media lo!" pekik Lino pada bayangannya di cermin.

DRETT! DRETT!

Lino seketika mengeluarkan sesuatu yang bergetar di saku celananya. Sebuah benda berbentuk kotak, dengan ukuran lebih kecil ketimbang buku diary. Benda berbentuk kotak yang ajaib.

"Rendi? Ngapain dia nelpon gue? Tumben!" lirih Lino.

Tanpa menunggu basa-basi lagi, ia langsung menerima panggilan telepon dari Rendi. Rendi ini merupakan sahabat dekat Lino sewaktu SMP. Mereka juga merupakan sepupu jauh. Bahkan di saat keluarga besar Lino berkumpul, pasti Rendi juga diundang untuk datang.

Lino lantas mengecek jam di tangannya sembari menganggukkan kepalanya. Bibir Lino lantas tertarik membentuk sebuah ukiran senyum. Seperti tertarik dengan ajakan Rendi.

"Oke, gue ke sana sekarang," sahut Lino sembari menutup sambungan teleponnya.

***

Lino sudah duduk berhadapan dengan Rendi. Diamatinya semua hidangan yang sudah dipesan oleh Rendi itu. Cukup menggiurkan. Sepertinya Rendi memang benar-benar mengerti tentang selera makanannya.

Lino lantas berdehem pelan, kemudian, ia bergerak mengalihkan pandangannya ke arah Rendi.

"Kira-kira, lo ngapain telepon dan ngajak gue ke sini? Ada yang penting kah? Sampai lo relain dompet lo menipis buat traktir gue segala?" Satu alis milik Lino terangkat begitu saja. Mendengar hal itu, Rendi malah terkekeh pelan.

"Santai, gue kan kaya dari orok, mau traktir lo berbulan-bulan juga gak bakal berubah jadi kismin," sahut Rendi santai. Ini bukanlah jawaban yang diinginkan oleh Lino.

"Bisa gak to the point aja? Gue keburu pengen menyantap makanan yang ada di depan gue nih!" keluh Lino. Satu cengiran lebar langsung tercetak di bibir Rendi.

"Kok lo gak bilang sih kalau udah mau nikah. Heh, pas SMP dulu kan kita pernah taruhan kalau yang nikah bakalan gue dulu. Lihat deh wajah gue, wajah-wajah orang yang pengen dimiliki kaum hawa, kenapa jadi elo duluan yang mau nikah?!" pekik Rendi. Tersirat ketidakterimaan di dalamnya.

"Terpaksa, Ren, kan Mama yang minta," sahut Lino sembari menghela napasnya.

"Terpaksa puser lo! Yang mau lo nikahin itu Amel kan? Amel! Gila! Bukannya lo dari dulu emang suka ya sama Amel!" ceplos Rendi. Lino yang bahkan baru sempat menyeruput minuman warna orennya itu seketika membelalakkan matanya. 

"Eitss, jangan semprot gue, muka gue ganteng-ganteng gini masa mau di semprot!" Langsung saja, satu telapak tangan, Rendi dekatkan ke wajah Lino. Membuat Lino terlihat susah payah untuk menelan jus yang akan ia semprotkan ke Rendi.

"Kata siapa gue suka sama Amel, ngarang lo! Bukannya gue selalu cerita ke elo, kalau gue benciiiiii banget sama Amel! Lagian cewek sok gitu, ngapain juga gue sukain!" pekik Lino tidak terima. Detik itu juga, terdengar kekehan kecil dari bibir Rendi.

"Lo itu suka sama Amel, kalau lo gak suka, gak bakalan lo mau pas tahu mau dijodohin sama Amel. Percaya deh sama gue, dalam hati lo tuh sebenernya ada gelombang-gelombang cinta yang bergejolak," cetus Rendi. Mendengar hal itu, Lino langsung memutar bola matanya malas.

"Ngapain gue harus percaya sama lo, sedangkan lo aja sering menyesatkan gue! Lagian lo sok puitis bener sih jadi orang! Juga sok tahu banget, lo mau jadi titisan cenayang apa gimana sih, Ren?" Muka masam Lino seketika membuat Rendi tersenyum puas.

"Gue kan kemarin kemarinnya lagi dikirimin undangan pernikahan lo sama Amel sama nyokap lo. Nah, gue kan kepo dong, setahu gue lo sama Amel kan musuhan, kenapa tiba-tiba nikah? Dan lo tahu, nyokap lo jawab apa?" ucap Rendi. Detik itu juga, pandangan Lino menjadi antusias untuk mendengarkan jawaban dari Rendi.

"Nyokap gue bilang apa ke elo?" tanya Lino.

"Nyokap lo bilang, itu sebuah takdir," sahut Rendi sembari meledakkan tawanya. Mendengar hal itu, Lino malah mendengus kesal.

"Heh, apaan sih, bilang aja, gue ketemu dan ngomongin hal yang gak jelas bareng lo sekarang juga dibilang takdir!" keluh Lino.

"Ya emang takdir kan? Takdir lo ketemu gue sekarang hahaha!" sahut Rendi.

"Gak ding, gue mau serius. Sebenarnya nyokap lo kemarin tuh bilang sama gue, kalau sebenarnya lo itu ada rasa sama Amel. Nah, setelah gue pikir-pikir, gue percaya aja sih. Menurut ilmu cocoklogi gue, lo itu emang sebenarnya udah suka kan sama Amel, ngaku lo!" Kini, Rendi beralih menunjukkan jari telunjuknya ke arah Lino. Detik itu juga, Lino tanpa segan menginjak kaki Rendi.

"Lo kalau ngomong jangan asal ya, ya kali gue suka sama Amel!" keluh Lino sembari membuang pandangannya ke sembarang arah.

"Gue tahu, lo bukan tipikal orang yang langsung pasrah gitu aja. He, udah berapa tahun gue jadi sahabat lo. Otak lo ini rada encer, lebih encer ketimbang otak gue. Ya kali, gak ada satupun cara buat menghindar kalau lo emang bener-bener gak ada rasa sama dia," sahut Rendi, mencoba berpikir realistis.

"Ya, gimana, gue kan juga pengen berbakti sama bokap nyokap. Ngelanggar perintah mereka tuh dosa tahu," keluh Lino. Senyum seringaian pun perlahan muncul di wajah Rendi.

"Yaelah biasanya juga lo udah sering durhaka kok sama nyokap bokap lo. Ngelawan mulu kerjaannya, gak usah sok cari alasan deh lo. Tinggal jujur aja ke gue, kalau lo tuh sembunyi di balik rasa benci biar rasa cinta lo gak ketahuan. Iya kan?" cetus Rendi. 

"Sekali gue bilang, gak, endingnya ya tetap gak! Udah deh, lo ke sini mau ngajakin gue makan atau ngajakin gue ribut sih sebenarnya?!" pekik Lino kesal. Langsung saja, kekehan tawa terdengar di indera pendengaran milik Lino.

"Gue mau ngajakin lo ribut, kenapa?" Rendi seketika tersenyum miring ke arah Lino.

"Gue tuh lama-lama ragu loh, Ren, sebenarnya lo tuh sahabat gue atau bukan? Jangan-jangan, lo tuh squipper yang nyamar jadi Rendi, biar gak dikejar-kejar sama Dora mulu, iya kan? Ngaku!" Sorot mata Lino mulai menajam. Langsung saja, Rendi memutar bola matanya malas.

"Waras lo gak ada obat, No!" pekik Rendi sembari bergegas menikmati hidangan di hadapannya tersebut.

"Ya emangnya sejak kapan, orang waras butuh obat, Rendi! Lama-lama, otak lo jadi terlalu pinter ya!" keluh Lino.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status