Share

Bab 01 - Rella yang Tak Rela Gemuk

Ini bukan kisah sesosok Tuan Putri dengan paras jelita. Melainkan, seorang manusia biasa yang selalu minder dan menyalahkan diri sendiri akan keberadaannya. Tubuh gempal dengan bobot mendekati angka 100 Kilogram alias satu kwintal, siapa yang tidak meng-capnya sebagai Karung Goni, Gorila, Kudanil, atau bahkan ... Babi? Tega? Alah, di dunia ini, manusia dengan rasa kepedulian tinggi bahkan bisa dihitung jari. Namun bagi Rella, satu cemoohan dan hinaan atas fisiknya, mampu merobohkan 1001 batu-bata kepercayaan diri di dalam dirinya.

[Malam ini nggak bisa tidur di kos, Mama kekeuh minta gue tidur di rumah. Sorry, malam ini lo sendiri. Dan, jangan lupa sleep well my princess Ella. Good night] -From Stella

Rella menghela napas panjang, sama sekali tidak ada guratan senang di wajahnya. Benda gold di tangan terlempar pelan, bagai tiada daya. Kembali mengambil napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan harapan, semua beban pikiran hilang.

Menelentangkan tubuh di kasur dengan ukuran dua kali lebih besar dari milik Stella, kedua mata Rella menerawang. Setetes kristal bening meluncur bebas di kedua pipi, selanjutnya terdengar isakan tangis memilukan.

"Kenapa hidup aku tidak seenak Stella? Kenapa harus aku yang merasakan? Kenapa tidak orang lain saja?"

Menangisi nasib yang dianggapnya buruk dan tak berkesudahan, seolah kalimat penyemangat sang ibu tidak ada gunanya. Hingga tanpa sadar, Rella terlelap pada jam 12 malam. Ditemani bunga tidur bertajuk mimpi, bersama pendar lampu yang setia menemani, Rella mendengkur di sela keheningan malam.

***

"Bangun, bangun, waktunya salat subuh ...! Bangun, kalau tidak salat subuh, ingat konsekuensinya! Satu kali meninggalkan, akan dimasukkan ke dalam neraka selama tiga puluh tahun yang sama dengan 60.000 tahun di dunia!"

Suara nyaring Rella yang keluar dari benda pipih berwarna gold itu tersetel berulang kali. Berawal dari tidak kunjungnya ia terbangun ketika menggunakan nada alarm biasa, sebab malamnya sering kali berkutat dengan benang, kain, dan teman-temannya hingga larut, membuat Rella berinisiatif untuk merekam suara sendiri yang berisi tentang ancaman atau hukuman bagi orang-orang yang tidak bangun untuk melaksanakan salat Subuh.

Mengerang, Rella meraba-raba sekitar. Tidak kunjung menemukan benda kesayangan, Rella segera membangunkan tubuh gempalnya. Gadis itu terduduk dengan netra mencari keberadaan gawai.

Dapat!

Alarm pertanda jam 4.40 pagi segera dimatikan. Selanjutnya, benda yang dicari Rella adalah cermin. Yap! Salah satu benda yang tidak pernah lepas dari kaum hawa.

Menatap dirinya dengan lekat, selang dua detik, mata Rella melebar. "Allahu akbar!" teriaknya histeris. "Wajah aku ... Wajah aku kenapa hancur begini?!"

Kantung mata tebal dan menghitam, ditambah dua pipi chubby yang kian melar. Ingatan Rella melayang ke kejadian beberapa jam lalu. Tepat pukul tiga dini hari, terbangun dari lelapnya karena perut keroncongan. Dua bungkus mie instan menjadi korban.

"Tidak ...! Kenapa aku malah makan mi?! Aish!" Berteriak sembari menjambaki rambut, Rella merasa tidak rela karena telah menelan habis dua bungkus makanan berkarbohidrat itu. Padahal, dia sudah berniat untuk menjalani diet ketat secara diam-diam. Lalu, semalam? "Ya Allah, bantu hamba-Mu ini memuntahkan makanan semalam. Hamba mohon ...."

"Ngapain muntahin makanan yang udah di dalam perut?" Suara dari arah pintu membuat Rella memutar leher. Sosok perempuan berwajah lesu itu berjalan mendekat, sampai akhirnya duduk di tepi ranjang yang bersebelahan dengan milik Rella. "Kok pintu nggak dikunci?"

Sejenak Rella termangu. "Eu ..., semalam aku ketiduran. Habisnya ngantuk banget, he he."

"El," panggil Stella dengan pandangan tertuju pada wajah Rella.

"Apa?"

"Itu mata lo kenapa? Habis nangis, atau gimana?"

"Oh ..., ini." Rella menyentuh kantung matanya, "semalam habis nonton drama korea, sedih banget ceritanya. Aku jadi ikutan nangis, deh." Ia terkekeh kecil di akhir kalimat.

Tatapan Stella berubah penuh selidik. "Setau gue, lo nggak suka drakor, El. Apalagi yang namanya K-Pop."

"Ya ..., mau gimana lagi. Di laptop kamu, kan, adanya cuma drama korea, paket data aku juga sudah habis. Aku kesepian tau."

"Astaga, sini gue peluk!"

"Eh, keburu mataharinya keluar, aku mau salat dulu!" Rella segera beranjak dari tempat, membuat Stella urung untuk memeluknya.

"Deuh, si embul," gerutu Stella sembari menggeleng-geleng.

***

"Kok, kamu pulangnya Subuh? Apa tidak dicari sama bokap-nyokap?" tanya Rella di sela kesibukan Stella mengeringkan rambut dengan hair drier.

"Males banget gue, El, ketemu cowok yang mau dijodohin sama gue. Makanya gue kabur Subuh tadi, mumpung masih pada molor."

"Cowok? Dijodohin?" heran Rella, kemudian terkekeh. "Kayak Siti Nurbaya saja."

"Makanya itu! Gue nggak mau dijodoh-jodohin! Apalagi sama orang yang nggak seagama dengan agama keluarga gue. Nggak habis pikir gue, bisa-bisanya Mama jodohin gue sama orang di luar Nasrani. Gimana nggak heran, coba?"

"Memang, cowoknya beragama apa?"

"Sama kayak lo. Ya ..., bukannya gue nggak suka sama agama Islam, tapi harusnya Mama ngertilah, masa iya cowok itu harus keluar dari agamanya, baru nikahin gue? Atau, gue sama tu cowok nggak terikat sama aturan, artinya sama-sama tetep berpegang teguh pada agama. Bukannya hal itu dilarang, ya, dalam agama lo?"

Rella tampak berpikir, kemudian menggeleng tanda mengiakan pertanyaan Stella. "Pada dasarnya, itu sangat dilarang oleh agama. Tapi dalam masalah kamu, yang seharusnya pindah agama itu dari pihak perempuan. Ya, itu setau aku."

"Tuh, kan, mending gue sama Kak Abil. Walaupun, kemungkinan besarnya Kak Abil nggak nerima gue, secara kriteria ceweknya nggak main-main." Stella menghentikan kegiatannya, beralih menyisir rambut. "Pastinya gue gagal kalo daftar jadi calon istrinya."

Menghela napas kecil, Rella berjongkok di sebelah Stella, membuat cermin di depan wajah mereka memantulkan dua sosok perempuan dengan fisik yang jauh berbeda.

"Kamu lihat kenyataan yang terpampang di cermin itu? Apa sekarang kamu masih merasa gagal untuk mendapatkan cowok seperti Kak Abil?"

Termangu, Stella dibuat memutar otak oleh Rella. Membuang napas kasar, gadis itu berkata, "Nggak seharusnya kita ngebandingin fisik satu sama lain, El. Papa selalu ngajarin gue buat ngehargain sesama umat manusia, bagaimanapun keadaannya. Entah itu fisiknya buruk atau ekonominya kurang. Mungkin aja dia yang dipandang rendah sama orang, punya kedudukan tinggi di hadapan Tuhan. Harusnya kita bersyukur udah dikasi kesempatan hidup di dunia yang penuh harta."

Mendengar pernyataan teman satu kos sekaligus sahabatnya, mata Rella memanas, hingga dua-tiga tetes kristal bening berjatuhan di pipinya. 'Kok, aku seperti orang tanpa iman? Stella benar, aku kurang bersyukur.'

***

Jilbab segi empat berwarna biru muda melekat menutupi kepala hingga dada. Baju kurung hitam dipadu rok longgar putih. Sepatu tali senada dengan warna baju menjadi pilihan. Rella menjangkau tas selempang biru muda dan tiga tumpukan buku miliknya di nakas, mengenakan tas, lalu berjalan ke arah yang tidak seharusnya. Dapur!

Membuka lemari bagian atas, tangannya terulur hendak mengambil bungkus snack ukuran besar. Namun, sebelum benar-benar tersentuh, Rella segera menyadarkan diri, lantas menarik tangannya menggunakan tangan yang satunya lagi. "Fokus Cinderella, kamu tidak boleh makan makanan cepat saji! Tidak baik untuk kelangsungan hidup kamu! Ingat itu!"

"El! Udah, belum? Berangkat, nih!"

Teriakan dari arah luar membuat Rella cepat-cepat menutup pintu lemari, kemudian mulai bertelepati-bukan-maksudnya berlari. Hal itu menciptakan suara gaduh pada lantai.

***

Mobil merah menyala memasuki area parkir khusus mahasiswa/i yang sudah dipadati kendaraan roda empat. Gadis di depan kemudi tampak kurang cekatan mengoperasikan kendaraan memasuki area kosong yang cukup sempit. Sementara gadis di sebelah sibuk memoles wajah tanpa menghiraukan sahabatnya yang kesulitan.

"Stel, sudah belum, sih? Ini aku tidak bisa parkirin si Rose, ruang kosongnya sempit banget. Lagian kenapa tidak make up-an dari rumah, sih?" keluh Rella merasa kehilangan percaya diri dan cemas berlebih. Terlihat dari peluh membasahi pelipisnya.

"Lagi pengen make up-an di mobil. Lagian ribet banget, sih, El, tinggal puter kemudi doang, masa lo nggak bisa? Kalo markirin Rose aja lo nggak bisa, mana bisa lo dapet SIM?"

"Aduh, Stel, gimana aku mau bikin SIM kalau kendaraan saja tidak punya? Memangnya kamu pernah lihat aku pegang uang lebih dari satu juta?" Bibir gadis bertubuh gempal itu maju lima senti.

"Surat Izin Menikah, maksud gue," balas Stella sambil nyengir kuda. Hal itu menimbulkan cebikan dari Rella. "Ya ampun, endut gue ngambek. Ya udahlah, cobain aja dulu. Rejeki, kita mana tau, iya, kan?" Keduanya saling menatap. Stella menaikturunkan sebelah alis, lain halnya dengan Rella yang memasang tampang kebelet pipis.

Tin ...! Tin ...!

Sebuah mobil sedan hitam membunyikan klakson. Artinya, Rose alias mobil Stella menghalangi jalan.

"Gawat, El! Ada mobil di belakang kita mau parkir. Gas, El! Percaya diri, dan berpikir kalo lo pasti bisa markirin Rose. Ayo ...!" Raut gadis itu tampak berbeda dari sebelumnya.

Dorongan Stella membuat Rella mau tidak mau harus mencoba. Padahal, perasaannya benar-benar runyam. Dengan tarikan dan embusan napas panjang, jari jemarinya mulai dieratkan. Seraya berdoa dalam pikiran, Rella memainkan kemudi. Perlahan, tetapi pasti, mobil mulai memasuki area kosong.

"Rem, El!" teriak Stella ketika mobil hampir menabrak kendaraan di depannya. Rella pun dengan cepat melakukan yang diperintahkan Stella. Mengembuskan napas lega, Rella kembali memutar stir.

Sedikit lagi dan ... tiba-tiba saja semuanya ambyar saat Rose menabrak mobil sedan yang berada di belakangnya. Jantung dari kedua gadis itu terasa hampir copot, lebih-lebih Rella.

"Oh, my God, El! Lo nabrak mobil Kak Abil!"

"APA?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status