Share

Bab 02 - Gertakan Berujung Sesal

Suasana area parkir kampus tampak sepi, hanya ada cctv bergentayangan merekam setiap kejadian di tempat yang penuh dengan kendaraan roda dua dan empat. Termasuk kecelakaan kecil yang terjadi antara sedan merah dengan hitam.

Selepas parkir-memarkir selesai, laki-laki semampai berjaket hitam yang baru saja keluar dari sedan hitam, tampak mendesah kesal tatkala melihat bumper mobilnya lecet karena kecelakaan kecil beberapa detik lalu. Aura kemarahan terpancar jelas di wajah ovalnya. "Bokap pasti marah besar kalau sampai tau. Aish!"

Mata tajam itu beralih pada dua perempuan yang keluar dari kendaraan penyebab kerusakan bumper mobilnya. Mengetahui siapa gerangan mereka, Yongki Gabriel, alias Abil tampak mengeratkan rahang. "Yang megang kemudi, gue minta tanggung jawabnya." Tatapannya dingin, tetapi menyeramkan.

Rella dan Stella, kedua gadis itu terlihat ketakutan dengan salah satu tangan mereka saling mengait. Lidah terasa kelu saking takutnya, bahkan Rella sampai berkeringat dingin karena tahu pasti siapa yang tengah menghunuskan tatapan tajam itu. Laki-laki yang gambarnya terpampang di setiap sudut kampus dengan senyum lebar. Namun untuk pertama kalinya, ia perlihatkan aura menakutkan. Siapa pun mungkin akan kaget mengetahui sosok Abil ternyata bisa menampakkan sisi tersebut.

Kembali menghela napas kasar, bibir Abil mulai meluncurkan lengkingan yang memekak. "Yang megang kemudi ... gue minta tanggung jawabnya! Lo budek?!"

'Mampus, gue!'

"Ini semua salah aku, Kak!" seru Stella lebih dulu, membuat Rella dan Abil mengalihkan pandangan padanya dengan tatapan berbeda. "Aku yang punya mobil, jadi ini salah aku dan aku bakal ganti rugi, berapa pun itu."

"Bukan lo yang nyetir, mana mungkin gue nyalahin orang yang nggak bersalah?" timpal Abil sedikit ketus bercampur kesal mendengar perkataan Stella. Lebih tepatnya, jengkel? "Yang salah, tetap yang megang kemudi."

"Tapi, Kak–"

Rella menarik lengan Stella, membuat ucapan gadis itu menggantung. Kepala Rella menggeleng, disertai mimik kepasrahan. Netranya beralih menatap Abil yang masih diam di tempat.

"Saya mengaku salah dan akan ganti rugi."

"Bagus."

"Tapi tidak sekarang."

"Gue maunya sekarang."

Menganga tidak percaya, Rella merutuk dalam hati. "Tapi kalo sekarang tidak ada, Kak."

"Gue nggak mau tau dan nggak peduli."

Memejam kuat menahan amarah, lantas menghela napas sabar. Rella menarik leher ke samping, menatap penuh tanya pada Stella yang tiba-tiba mengguncang lengannya. "Kenapa?"

"Pake uang gue aja, lagian gue juga yang salah udah nyuruh lo ngemudiin Rose. Ya?" bisik Stella, sengaja agar tidak didengar Abil.

Menggeleng keras, tanda Rella tidak setuju. "Jangan, dong, uang kamu itu buat biaya kuliah. Orang tua kamu sudah cape-cape nyari uang, malah mau dipakai buat nebus kesalahan yang aku perbuat? Tidak, aku tidak ikhlas kalau sampai kamu diam-diam ganti rugi ke Kak Abil. Sampai hati kamu melakukannya, kamu bukan sahabat aku lagi."

Stella terdiam, tidak berani mengucap satu patah kata penolakan jika Rella sudah menggunakan hubungan persahabatan mereka sebagai senjata.

"Woi, nggak usah ngerumpi, buang-buang waktu."

Keduanya beralih menghadap Abil. Rella menarik, lalu membuang napas, lantas berkata, "Karena kelas sebentar lagi dimulai, jadi ada baiknya masalah ganti rugi kita bahas nanti, setelah jam kuliah selesai. Kakak setuju?"

Dahi Abil mengeriting. "Nanti? Masalah itu nggak bisa nanti-nanti, harus sekarang. Atau, jangan-jangan lo mau menghindar dari tanggung jawab?"

Rella benar-benar dibuat kesal bercampur takut. 'Ya, Allah, ini orang punya hati apa tidak, sih? Ternyata aslinya seperti ini? Mahasiswa paling disiplin di kampus? Hh.'

"Tuh, kan, El ... mending pake uang gue aja. Paling cuma satu jutaan, nggak lebih, kok."

Seketika mata Rella membulat mendengar bisikan Stella. "Satu jutaan? Tidak salah? Yang lecet, kan, hanya bumper mobilnya, itu pun tidak terlalu kentara lecetnya. Gila, apa? Itu tidak sedikit, Stel."

"Ekhem," dehem Abil, spontan keduanya bersamaan mengalihkan perhatian. "Time is money." Menunjuk-nunjuk arloji hitam di pergelangan kirinya.

Lama-lama Rella jengah dengan sikap Abil yang tidak memikirkan orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri. "Kakak bisa, tidak, menghargai ketidakmampuan orang lain? Iya, saya memang salah dan sepatutnya menebus kesalahan saya sendiri. Kakak seharusnya sadar dengan sikap tidak mau tau Kakak, meski sebenarnya TAU sama ketidakmampuan saya untuk ganti rugi detik ini juga. Kalau sampai ketua universitas tau, Kakak bisa lengser dari kedudukan Kakak di kampus ini.

"Cctv merekam semuanya, dengan sikap Kakak yang keluar dari kategori panutan, Kakak bisa saja kehilangan nama baik di seantero kampus ini."

Terbungkam, Abil bagai tersambar petir mendengar ceramah dadakan Rella. Gadis gemuk itu berjalan selangkah, kemudian berkata, "Kalau Kakak tidak mau label Mahasiswa Paling Disiplin dicabut, cukup setujui usulan saya. Nanti sehabis jam kuliah, saya tunggu di cafe dekat kampus. Bukan untuk menebus ganti rugi, tapi untuk merundingkan masalah saya dengan Kakak. Ingat, harus memakai unsur musyawarah dan mufakat, tidak boleh ada unsur memaksa."

Abil benar-benar dibuat tercengang oleh usulan sepihak dari adik tingkat, jurusan fashion design yang sudah memasuki semester empat itu. Sampai-sampai, untuk menolak pun ia tidak bisa, lebih tepat lagi, tidak berani mengambil risiko. Terlalu bahaya bagi kelangsungan hidupnya di rumah.

"Baik, karena Kakak diam, saya anggap Kakak setuju. Kalau begitu, kami permisi, assalamualaikum." Rella buru-buru menarik tangan Stella, enyah dari hadapan Abil yang sepertinya sebentar lagi akan meledak.

"Sh*t!" umpat Abil seraya menendang bumper mobil setelah kepergian dua gadis menyebalkan itu.

***

"What the h*ll?! Gue bener-bener nggak nyangka Kak Abil punya sifat super duper tempramen! Lo tau nggak, sih? Kaki sama tangan gue gemetaran, asli!"

Dua gadis yang baru saja sampai di ruangan belajar-mengajar itu duduk di satu tempat-bagian ketiga dekat tembok. Desain kayu berbentuk persegi panjang, baik meja maupun kursi dengan warna cokelat kilap menjadikan suasana tampak hidup. Penempatan meja-kursi yang semakin belakang, kian ke atas, bertujuan untuk memperluas area penglihatan, baik bagi dosen pun pelajar.

"Gila aja, nyali gue buat deketin Kak Abil makin ciut, kayak kata lo, mungkin sisanya cuma segede biji ziroh," imbuh Stella berceloteh.

"Zarrah, Stel, bukan ziroh," komentar Rella memperbaiki. Tampaknya, gadis itu kehabisan gairah untuk sekadar membahas tentang Abil. Maklum saja,sejak kejadian di parkiran tadi, sampai sekarang dia masih tidak percaya mengeluarkan kalimat demi kalimat yang bahkan berisi ancaman itu pada laki-laki penyandang gelar 'paling disiplin' di kampus.

"El," panggil Stella pelan, mencipta gumaman lirih dari Rella. "Gue minta maaf, sumpah gue nggak bermaksud bikin lo kena masalah serumit ini."

"It's okey, aku tidak pa-pa, lagian, salah aku juga yang kurang paten memarkirkan Rose," timpal Rella dengan seulas senyum terpaksa.

"Lo mau, ya, pake uang gue buat ganti rugi? Tapi jangan putusin hubungan persahabatan kita. Ya? El ... Please ...."

"Tidak, Stel. Satu kali berkata, tidak boleh diseleweng, karena perkataan adalah doa." 'Dan aku tidak mau hubungan persahabatan kita putus di tengah jalan.' Sambung Rella dalam hati.

Terdiam cukup lama, Stella mengembuskan napas panjang. "Oke, kalo itu mau lo. Gue bisa apa kalo lo jadiin hubungan persahabatan kita sebagai senjata? Karena sahabat gue satu-satunya cuma lo, El. Cuma lo yang nerima gue apa adanya."

"Dan cuma kamu yang mau jadi sahabat seorang Cinderella bertubuh gemuk," sambung Rella dengan mimik terharu.

Suasana kelas yang ramai seketika terasa sunyi. Sepasang sahabat itu saling merengkuh satu sama lain bersama tangis pecah layaknya anak kecil. Tidak peduli berpasang-pasang mata menyaksikan, yang jelas, rasa malu hilang bersama beban hidup ketika bersama sahabat.

"I hate you, El," bisik Stella di sela tangisnya.

"And I hate you so much, Stel."

Keduanya tertawa dalam hangatnya rengkuh persahabatan. Ya, sahabat adalah sosok yang lebih ajaib daripada sihir, lebih mujarab daripada obat, dan lebih menenangkan daripada alunan musik merdu. Persahabatan akan indah, apabila tidak ada kata ‘khianat’ di dalamnya.

Dari Ali bin Abi Thalib berkata, "Seorang teman tidak bisa dianggap teman sampai ia diuji dalam tiga kesempatan: pada saat dibutuhkan, sikapnya di belakangmu, dan setelah kematianmu."

***

3 ... 2 ... 1

Klik.

Bunyi pulpen hitam berdesain tanpa tutup, dengan bagian ujung terdapat benda untuk ditekan berguna sebagai buka-tutup otomatis tersebut menjadi tanda sebagai berakhirnya waktu belajar-mengajar. Dosen muda berumur 25 tahun yang baru saja mendapat predikat dosen tetap dan terkenal paling disiplin waktu juga apik dalam segala hal itu segera mengangkat kepala, mengumbar senyum, lalu bersuara, "Waktu habis. Untuk presentase hari ini, saya cukup puas. Cinderella, good job."

Terlukis senyum lebar di bibir Rella, tampak senang dengan pujian itu. "Terima kasih, Pak."

Stella menyikut lengan gadis itu dan berbisik 'cie'. Membuat kedua pipi Rella bersemu merah layaknya kepiting rebus.

"Sampai berjumpa pekan depan dan jangan lupa tersenyum. Wassalamualaikum."

"Waalaikumussalam, Pak."

Dosen tersebut mengambil langkah ke luar ruangan selepasnya dengan bulan sabit yang setia terukir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status