Share

Bab 03 - Pujian yang Menyakitkan

Para pelajar membubarkan diri, beberapa di antaranya masih sibuk mengemasi peralatan, termasuk Stella dan Rella.

"El, lo jadi ketemu sama Kak Abil, 'kan?" tanya Stella seraya menyampirkan tali tas ke bahu kanannya.

Menutup resleting tas, lalu mengenakan benda berwarna biru muda tersebut, Rella menjawab, "Jadi, kok. Kamu juga ikut, 'kan?"

"Aduh, gimana, ya? Sebenernya gue baru aja di-chat sama Bokap, hari ini keluarga besar kumpul di rumah. Lo juga taulah, mau ngebahas apa. Pastinya tentang perjodohan gila itu," balas Stella, lantas mengembuskan napas berat.

"Jadi, kamu tidak ikut. Begitu?"

"Ya ... mau gimana lagi? Soalnya kata Bokap, dia bakal kecewa kalo sampe gue nggak hadir, dan gue paling nggak bisa nolak kalau urusannya udah sama Bokap. I am so sorry .... Lo sendirian, nggak pa-pa?"

Menghela napas pendek, Rella mengangguk samar. "It's okey, Stel. Aku tidak pa-pa, lagi pula orangnya, kan, cuma Kak Abil, bukan dosen killer."

Terkekeh, Stella mencubit pipi gembul Rella dengan gemas, membuat gadis itu meringis. "Ih ...! Ya udah, deh, tapi awas, ya kalo sampe ngapa-ngapain Kak Abil. Jangan dirayu, jangan digodain, jangan di–"

"Iya, iya, dasar ikan bawel. Lagian kenapa masih suka sama Kak Abil yang ... begitu, sih?" Rella berjalan keluar lebih dahulu dari himpitan meja dan kursi, disusul Stella.

"Mau gimana lagi? Udah terlanjur cinta juga."

Rella mendengkus. "Fix, itu definisi 'kalau cinta sudah melekat, tai kucing rasa cokelat'."

Keduanya terkekeh renyah. Stella tampak menyetujui perkataan Rella yang hanya sekadar candaan.

"Eh, sebelum kamu pulang, antar aku ke cafe dulu, yuk."

"Capcus!"

Langkah keduanya beriringan menuju pintu keluar. Sesekali tertawa di sela cerita yang entah apa. Seolah, perasaan cemas menghilang barang sejenak dari benak mereka tentang pertemuan antara Rella dan Abil.

***

Netra hitam legam Rella berulang kali menilik jarum pendek di jam biru muda yang melingkari lengan kirinya. Asap dari cangkir putih tidak lagi mengepul seperti 15 menit lalu. Bila boleh jujur, menunggu adalah pekerjaan sulit bagi Rella. Namun, yang paling melelahkan dan sulit adalah, diet. Yah, mungkin Tuhan memang belum menjawab doa dan usahanya untuk saat ini. Bisa jadi di lain waktu, ia tidak tahu.

Mengembus napas jemu, lalu menghempaskan punggung ke kursi besi dengan perasaan kesal seraya bersedekap depan dada. "Katanya mahasiswa paling disiplin, tapi ditunggu saja sudah seperti menunggu hasil diet, lama." Kembali gadis yang paling anti menggunakan dialek gaul itu menghela napas, lalu menguarkannya dengan keras melalui hidung.

"Lagi nungguin seseorang, ya?" tanya seorang barista laki-laki sekaligus pemilik cafe yang tiba-tiba mengambil tempat duduk di depan Rella.

Mengangguk loyo, Rella menjawab, "Iya, Je."

"Air angetnya mau ditambahin lagi? Udah dingin, tuh. Kelamaan nunggu, sih." Tawaran berbumbu satire-nya membuat Rella terkekeh sejenak.

"Tidak usah, Je, nanti perut aku semakin mengembang lagi," tolak gadis itu disertai guyonan.

Jean, cowok dengan tatapan seteduh pohon rindang itu tertawa sesaat. Menciptakan garis lengkung yang membuat siapa pun menarik kedua sudut bibir untuk ikut tersenyum. Ia berujar, "Oke, oke, kalo gitu aku lanjutin kerjaan dulu. Yang sabar, ya, nunggunya."

Jempol kanan Rella terangkat ke udara, sementara dagunya tertopang oleh tangan yang sebelah. Pikirannya mulai melayang ke kejadian di parkir kampus. Mungkin seharusnya ia mendengarkan ucapan Stella, sehingga masalahnya tidak sampai sekarang, melainkan selesai dari waktu lalu. Juga, ia tidak akan merasakan kecemasan seperti saat ini. Akan tetapi, nasi sudah terlanjur menjadi bubur.

Tring!

Spontan kepala Rella tertarik ke sumber suara. Tebakan di dalam hati terbukti benar, sosok yang ditunggunya datang, tanpa ditemani siapa pun, dalam artian, hanya seorang diri. Wajahnya tampak suntuk, napas terembus seperti orang yang menanggung banyak beban. Ia seperti tidak menghiraukan Rella. Datang tanpa suara, duduk pun tanpa meminta izin.

Padahal, dari jauh waktu Rella berusaha menyiapkan mental baja miliknya. Bahkan, ketika melihat kehadiran Abil, sempat membuat dia merasa nerves dan cemas. Namun, karena sikap cuek bebeknya membuat Rella memberanikan diri untuk membuka suara terlebih dahulu.

"Apa ... Kakak tidak mau mengatakan sesuatu atas keterlambatan Kakak? Ya, minimal alasan," kata Rella sesopan mungkin, meski rasanya ingin bersumpah serapah karena si lawan bicara tidak menatapnya, melainkan pandangan Abil mengarah ke luar jendela kaca berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2×1 meter itu.

Abil menghela napas panjang, sepertinya estimasi Rella tentang banyaknya beban di pundak laki-laki itu memang benar. Tercetak jelas di raut wajah yang tampak keruh, netranya tidak pernah mengarah pada lawan bicara, juga cara bernapas yang sebentar-sebentar diembus panjang.

"Lo nggak perlu tau," jawab Abil ketus tanpa berniat mengalihkan pandangan pada Rella.

Dahi gadis itu mengerut. "Ya, setidaknya Kakak punya alasan konkrit atas keterlambatan Kakak. Saya udah menunggu lama, lho. Kalau pacar Kakak yang berada di posisi saya, mungkin dia sudah memutuskan hubungan secara sepihak."

Entah kenapa kata 'pacar' menjadi pilihan Rella untuk dijadikan perumpamaan. Mungkin, efek patah hati di masa lalu yang belum sepenuhnya menghilang.

"B*llsh*t. Gue paling nggak suka sama yang namanya pacaran." Abil melirihkan volume suaranya ketika berkata 'kotor' di kalimat awal.

'Itu artinya Kak Abil tidak pernah pacaran? Eh, tapi bukan berarti tidak pernah pacaran, sih. Mungkin saja pernah, sama siapa tapi? Selama kuliah juga tidak pernah ada gosip tentang kedekatan dia sama cewek. Mungkin karena dia pemegang julukan mahasiswa paling disiplin, makanya tidak berani ketahuan pacaran. Mungkin ....' Rella mengangguk-angguk samar dengan mimik berubah-ubah tanpa ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya.

"Heh!"

Seketika Rella terperanjat, netranya bertemu dengan milik Abil, menciptakan salah tingkah pada gadis yang tidak menyadari dirinya tengah diperhatikan sedari tadi. Sesegera mungkin gadis itu memperbaiki posisi duduk.

"Time is money. Lo kelamaan ngelamun, katanya mau ngerundingin masalah ganti rugi."

Rella memutar bola mata jengah, padahal jelas-jelas laki-laki itu yang lebih dulu bersikap tidak peduli seolah enggan membahas masalah ganti rugi. Menarik napas sabar, entah ke mana hilangnya perasaan takutnya setelah mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulut Abil. "Kakak salah. Time is not just for money, but time for the family, for friendship, for worship, for prayer, and for hope to God."

Abil terdiam dan mulai mengeratkan rahang dengan tatapan yang berubah aneh.

"Uang mungkin bisa membuat kita kaya, tapi tidak akan menjamin kita untuk bahagia," lanjut Rella terdengar tulus dari hati dengan nada yang sangat lembut. "Sebab tidak ada kebahagiaan yang sempurna, selain dari keharmonisan keluarga yang utuh dan hubungan baik dengan Tuhan."

"Nggak usah nyeramahin gue, deh, lo. Sok-sok-an ceramah tentang keluarga segala, cih! Omong kosong!" dedas Abil seperti tidak suka dengan pembahasan Rella yang menyangkut tentang 'keluarga'. "Sebagai korban broken home, lo nggak cocok ngomongin soal keluarga utuh. Gue bisa baca dari pandangan lo, kalo lo pernah ngalamin yang namanya 'broken home'. Iya, 'kan?"

Mendengar perkataan Abil yang tiba-tiba dan memang benar adanya, menciptakan kerutan di dahi Rella. 'Dari mana dia bisa tau?' Sakit rasanya bila masalah kelam keluarga yang sudah berlalu diungkit-ungkit. "Kakak bisa bicara lebih sopan, tidak, sama junior sendiri?" Jeda senejak. "Lagi pula, tidak semua korban broken home bernasib sama seperti Kakak."

Kali ini yang dibuat tertegun adalah Abil. "Maksud lo apa?" Rahangnya kian mengeras.

"Semua adik tingkat Kakak di kampus juga tau, kalau Kakak punya Ayah yang pemaksa, pengekang, dan gila tahta, itulah kenapa saya juga bisa tau." 'Nggak heran anaknya juga pemaksa.'

Saking terbawa emosi, Rella tidak sadar jika penuturannya tersebut telah menyulut api menjadi sebuah kobaran. Genggaman tangan Abil mengeras di balik meja, sampai buku-buku jari memutih menahan amarah. Namun, selang tiga detik, sebuah kekehan keluar dari bibirnya. "Ternyata gue sangat tenar melebihi perkiraan. Diem-diem lo ngegosipin gue ternyata."

Mata gadis itu memicing. "Maaf, ya, Kak, tapi saya tidak pernah menggosipkan tentang Kakak, sekali pun," tukas Rella tidak terima.

"Oh, ya? Sahabat lo itu emangnya nggak pernah cerita tentang gue? Itu, lho, sahabat lo yang pake lipstik satu meter, bedak lima meter, sama bulu mata palsu sepuluh meter, sama ... apa, tuh yang kayak punyanya si Sinchan? Ah, alis! Alis sulaman tepatnya. Dia bukannya suka sama gue? Betul apa betul?"

Mendengar sahabatnya disebut demikian, membuat Rella tidak tahan lagi. "Jaga, ya, ucapan Kakak! Stella memang suka sama Kakak, tapi tolong, tidak usah menjelek-jelekkannya!" Telunjuk kanan gadis itu mengarah pada Abil dengan wajah merah padam.

Abil hanya menopang dagu dengan salah satu sudut bibir terangkat, menciptakan senyum meremehkan. "Eh, kalo diliat-liat, lo cantik lho kalo marah. Marah aja tiap hari, biar gue nggak bosen liat wajah lo yang penuh lemak itu."

Bagai belati yang ketika ditancap ke dada, begitu pedih rasanya. Hati Rella tertohok dalam, ulu yang paling dalam. Bukan belati tajam, melainkan berkarat, sudah pasti meninggalkan perih yang teramat dan berkepanjangan.

"Ngomong-ngomong, nama lo Cinderella, ya?" Abil mengekeh setelahnya. Rella diam, mencoba sekuat tenaga menahan letupan amarah. "Orang tua lo pinter banget, ya, ngasi nama. Terus pangerannya segede apa, kira-kira kalo tuan putrinya kayak lo?"

Genggaman tangan Rella kian menguat, tiba-tiba saja hantaman keras merobohkan pertahanannya, gelegar petir menghanguskan harga dirinya. Dengan mata memanas, ia segera menenteng tas, lalu berdiri. "Makasih atas pujiannya. Anggap saja perkataan Anda barusan sebagai bentuk ganti rugi dari saya. Masalah kita sudah impas dan jangan pernah meminta ganti rugi lagi, karena saya tidak akan pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk mahasiswa paling disiplin yang menjaga perasaan adik tingkatnya pun tidak mampu! Saya permisi, assalamualaikum."

Abil terdiam, tercenung oleh kalimat panjang yang menampar. Namun, baru dua langkah, Rella berhenti. Tanpa berbalik, bibirnya kembali berucap dengan suara bergetar, "Satu lagi. Anda boleh menghina fisik saya sepuas hati, tapi jangan pernah menyangkut pautkan orang tua saya, sampai menyalahkan mereka atas takdir yang saya jalani, karena itu lebih menyakitkan dari yang Anda pikir.

"Ternyata Anda serendah itu? Menghina demi kesenangan? Anda sangat menyedihkan." Langkahnya kembali memacu cepat, meski sebenarnya kaki terasa goyah seperti ingin limbung.

***

To be continue

Jean mengelap meja yang masih dihuni oleh Abil, tetapi tampaknya tamunya yang satu itu tidak menghiraukan kegiatan yang seharusnya dilakukan setelah pengunjung pergi. Tanpa permisi, Jean mengambil tempat duduk di kursi seberang, membuatnya berhadapan dengan Abil.

Tersungging sebuah senyuman di wajah teduh laki-laki itu, lantas berucap, "Air laut yang terlihat biru, nyatanya tidak benar-benar biru, melainkan warnanya adalah jernih. Itu karena kita melihatnya dari satu sudut pandang; dari kejauhan. Akan tetapi, ketika kita mengamatinya dari jarak dekat atau mengambil separuh dari air laut itu, maka tampaklah kejernihannya."

Abil tertegun dengan tatapan terpusat pada Jean. Entah dia sedang memikirkan ucapan pemilik cafe itu atau tidak, yang jelas, rautnya menggambarkan ketidaknyamanan.

"Rella memang pernah mengalami broken home, tapi menurutnya, keluarga yang utuh itu bukan karena kedua orang tuanya masih menjalin hubungan suami istri. Keutuhan yang dia maksud adalah, ketika dia masih memiliki dua orang tua meski tidak lagi bersama atau pun sudah tiada.

"Akan tetapi dia yakin, Tuhan sudah menyiapkan rumah terindah di surga sana untuk kedua orang tuanya dan dia. Keyakinan itulah yang menjadikan Rella merasa memiliki keluarga utuh, walaupun di dunia tidak lagi padu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status