Share

Chapter 2

Azan subuh berkumandang saat Nada menggeliat di ranjang sambil berusaha meregangkan otot-ototnya. Ia juga berusaha membuka kedua matanya lebar-lebar di tengah keremangan cahaya lampu tidur di kamar itu. Tapi tunggu! Ia merasakan sebuah tangan kekar memeluk erat dirinya. Ia menoleh ke arah samping kirinya. Alfa masih tertidur lelap. Tiba-tiba kesadaran menghampiri Nada dan ia berteriak.

"Kak Alfaaa!!!"

Alfa tersentak kaget karena teriakan Nada.

"Ada apa, sih?" tanya Alfa seraya mengucek kedua matanya.

"Ke-kenapa Kak Alfa tidur di sini?"

Alfa mendengus kesal.

"Tentu saja aku tidur di sini. Di sini tuh empuk, hangat, apalagi bisa sambil meluk kamu," jawab Alfa sambil mengeratkan pelukannya pada Nada.

Nada berusaha keras untuk melepaskan diri, tapi Alfa tak bergeming.

"Ih, Kak! Kan Kakak bisa tidur di sofa!" cetus Nada.

"What? Aku? Tidur di sofa? No, Honey! Sofa itu tidak muat untukku. Aku lebih nyaman di sini."

"Ka-kau ti-tidak me-mengambil kesempatan, kan?" tanya Nada dengan terbata-bata.

"Hahaha. Hei, nyonya Narendra junior! Kamu masih memakai jilbabmu, bahkan kamu menutup kedua kakimu dengan kaus kaki," ujar Alfa kesal sambil menarik kembali selimut hingga menutupi kepalanya.

"Ish, Bangun! Ini udah subuh! Buruan shalat subuh!" perintah Nada sambil memukul tubuh kekar Alfa dengan bantal guling.

"Oke... Oke! Aku bangun! Berisik banget sih!" gerutu Alfa.

Alfa segera bangkit dari ranjang menuju kamar mandi untuk mandi dan mengambil air wudhu.

Saat Alfa keluar dari kamar mandi dalam keadaan sudah memakai baju koko putih dan celana panjang kain hitam, ia mendapati Nada kembali tertidur.

"Nada, Kok kamu tidur lagi, sih?"

"Aku lagi halangan, Kak! Udah sana ke masjid! Ganggu orang tidur aja!" gerutu Nada.

"Lho, yang ganggu orang tidur duluan tadi siapa? Dasar gadis jutek!" gerutu Alfa dalam hati.

"Kalo sampai aku balik dari masjid kamu belum bangun, awas ya!"

Nada hanya membalas dengan gumaman membuat Alfa mendengus kesal lagi lalu ia membuka pintu dan menutup pintunya kembali.

Satu jam kemudian, Alfa kembali dari masjid. Tanpa mengucap salam dan ketukan pintu, ia masuk begitu saja. Ia tertegun melihat pemandangan indah di hadapannya. Untuk pertama kalinya, ia melihat Nada tanpa jilbab yang menutupi rambut indahnya.

"Na-Nada..." gumam Alfa.

"Ka-Kak A-Alfa?"

Nada segera mengambil jilbab bergo warna pink salem miliknya lalu membawanya ke kamar mandi, sedangkan Alfa yang melihat tingkah lucu istrinya malah tersenyum geli.

"Baru buka jilbab di depanku saja sudah malu-malu gitu, gimana kalo tanpa sehelai benang pun di tubuhnya," gumamnya.

Membayangkan kecantikan Nada, ia malah mengumpati dirinya sendiri.

"Sial! Bisa-bisanya kau terbangun hanya karena aku mengkhayalkan Nada!" rutuknya sambil menengok ke bawah.

"Kayaknya pas di apartemen nanti aku harus berendam. Dasar hasrat sialan!" umpatnya pada diri sendiri.

Alfa mendongak saat ia mendengar pintu kamar mandi terbuka.

"Kak Alfa kok gak ngetuk pintu, sih? Kan kaget!" omel Nada.

"Salah sendiri gak ngunci pintu! Masih bagus bukan orang lain yang melihat auratmu," balas Alfa.

Nada hanya mendengus sambil memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam koper kecilnya.

"Sekalian barang-barangku, dong!" pinta Alfa memelas.

Lagi-lagi Nada mendengus namun tetap menuruti permintaan suaminya.

"Nih, udah siap!"

"Ya udah, ayo kita check out dulu! Abis itu baru cari sarapan."

Sang istri hanya mengangguk.

Setelah dari resepsionis hotel, mereka berdua segera ke parkiran basement hotel di mana mobil Alfa berada. Nada masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, sedangkan Alfa memasukkan koper mereka ke bagasi mobil.

"Kita tinggal di apartemen aku, ya?"

Nada menoleh dengan dahi berkerut.

"Iya, kita akan tinggal di sana. Bukan di rumah orang tuaku," ujar Alfa lagi.

Nada menghela napas lega. Pernikahan dadakan ini membuatnya merasa kecanggungan luar biasa bila harus berinteraksi dengan keluarga Narendra, meskipun sejauh ini kedua mertuanya bersikap sangat baik padanya.

Suasana kembali hening sampai akhirnya Alfa menghentikan mobilnya di pinggir jalan di mana terdapat kedai bubur ayam.

"Aku lagi mau bubur ayam. Kamu mau gak?" tanya Alfa.

Nada begitu kesal dengan Alfa yang tak bertanya lebih dulu, meskipun sebenarnya Nada tak pernah pilih-pilih makanan. Tapi, tak ada salahnya untuk bertanya juga, kan?

"Iya, mau," jawab Nada datar. Ia memilih menurut saja karena masih terlalu pagi baginya untuk berdebat dengan suaminya.

Mereka pun turun dari mobil dan masuk ke kedai itu.

"Wah, ada Akang ganteng nih! Sama siapa nih?" tanya sang tukang bubur.

"Sama istri saya, Mang," jawab Alfa.

"Wah, udah nikah aja, nih! Kapan? Kemarin-kemarin kan datang sendiri."

"Kami menikah kemarin," jawab Alfa lagi.

"Masya Allah. Semoga selalu langgeng, ya, Kang, Neng!"

Mereka kompak berucap "Aamiin".

"Seperti biasanya nih, Kang?"

"Iya, Mang. Kamu maunya gimana?" tanya Alfa sambil menengok istrinya.

"Samain aja kayak punyamu, Kak," jawab Nada.

"Oke, Neng! Duduk dulu, ya!"

Nada mengangguk sambil tersenyum.

"Di sini tempat langganan aku. Aku jamin enak," ujar Alfa.

Nada hanya tersenyum menimpali ucapan suaminya. Sesekali ia menahan rintihannya karena rasa nyeri di perutnya yang tiba-tiba muncul.

Pesanan mereka datang. Alfa yang mulai menyuapkan bubur ke mulutnya langsung terkejut melihat wajah pucat istrinya.

"Nada, kamu kenapa?" tanya Alfa panik.

"Perutku sakit banget!" lirih Nada.

"Dismenore? Kamu punya obatnya?"

Nada mengangguk pelan.

"Oke, kamu makan dulu! Abis itu kamu langsung minum obatnya!" titah Alfa.

Nada mulai memakan bubur ayamnya dengan perlahan hingga habis. Setelah itu, ia mengambil tasnya dan mengambil obat pereda nyeri haid miliknya lalu meneguk pelan air hangat yang disuguhkan oleh tukang bubur tadi.

"Udah?"

Lagi-lagi Nada hanya mengangguk pelan. Mereka bangkit dari kursi dan membayar dua porsi bubur yang telah mereka habiskan. Mereka pun berpamitan dan keluar dari kedai.

"Kamu tidur aja kalo masih sakit. Nanti pas sampai, aku bangunin!" titah Alfa sambil memasangkan sabuk pengaman di pinggang Nada.

Tanpa membuang waktu, Alfa segera menyalakan mesin mobil dan berlalu meninggalkan kedai bubur ayam.

***

"Nada, udah sampai!" kata Alfa sambil menepuk pelan kedua pipinya.

Nada menggeliat sambil mengerjapkan kedua matanya lalu melepas sabuk pengamannya. Ia terkejut melihat di mana kini ia berada.

"I-ini..."

"Aku tinggal di sini," sela Alfa.

"Aku juga tinggal di sini," lirih Nada.

"Serius?"

Nada mengangguk.

"Ayo turun!" titah Alfa.

Mereka pun turun dari mobil. Nada masih tak percaya dengan kenyataan yang baru saja ia ketahui. Ia dan Alfa ternyata tinggal di apartemen yang sama selama ini.

"Biar aku saja yang bawa koperku!" cetus Nada saat melihat Alfa membawa serta kopernya.

"Terserah kamu saja!"

Mereka pun melangkah memasuki gedung apartemen.

"Kamu tinggal di lantai berapa?" tanya Alfa.

"Aku di lantai enam," jawab Nada.

"Oh... Aku di lantai lima belas."

Pantas saja mereka tak pernah bertemu. Mereka tinggal berbeda lantai dan memiliki aktivitas yang berbeda pula tentu saja sangat mustahil bagi mereka untuk berpapasan. Tak ada yang mengira bahwa mereka kini berjodoh. Mungkin.

Perasaan mereka masih sama. Sama-sama merasa asing akibat pernikahan dadakan ini. Seperti saat ini. Bila pasangan pengantin baru lainnya akan memanfaatkan situasi lift yang sepi dengan bermesraan sejenak, Alfa dan Nada malah berdiam diri.

Ting!

Mereka sudah tiba di lantai lima belas dan kembali berjalan menuju unit 1256 milik Alfa.

"Masuklah!" titah Alfa.

Nada pun masuk setelah mengucap salam pelan.

"Kak Alfa!"

Alfa berbalik dan menjawab panggilan istrinya dengan gumaman.

"Aku mau kita pisah kamar," pinta Nada.

"Kenapa?" tanya Alfa sembari menaikkan alisnya sebelah.

"Aku... Aku belum terbiasa seatap denganmu. Maaf..." lirih Nada.

Alfa tersenyum tipis.

"Oke, kalau itu mau kamu! Tapi, kamu harus tetap menyimpan sebagian barang-barang kamu di kamarku untuk mencegah kecurigaan keluarga kita bila suatu saat mereka datang dan menginap di sini," ujar Alfa datar.

Nada mengangguk tanda setuju.

"Kak, aku izin ke unitku dulu, ya! Aku mau mengambil beberapa barang pribadiku," kata Nada.

Alfa menjawab izin Nada dengan gumaman.

"Assalamu 'alaikum, Kak!"

"Wa 'alaikumussalam," balas Alfa.

Setelah pintu tertutup, Alfa menghembuskan napasnya dengan kasar.

"Tak ingin sekamar katanya? Ck... Apa dia pikir aku akan tertarik dengan tubuhnya yang mungil itu? Yang benar saja! Meskipun tak bisa kupungkiri kalo Nada punya pesona tersendiri dibanding kakaknya," gumannya.

Mengenai Nadia, Alfa kembali mencoba menghubungi sang mantan tunangannya. Seketika ia banting ponselnya saat ia mendengar suara operator.

"Brengsek kau, Nadia! Kau benar-benar membuatku membencimu!" teriaknya.

Alfa mengambil bingkai foto dirinya dan Nadia dan melemparnya ke dinding kamarnya hingga hancur berantakan.

"Kau menghancurkan hidupku! Kau mempermalukan diriku di hadapan semua orang! Kau benar-benar sudah merendahkan diriku, wanita brengsek!"

Nada yang baru masuk terkejut setelah mendengar umpatan dari kamar Alfa.

"Kak, apa yang terjadi?" tanya Nada hati-hati.

"Pergilah ke kamarmu sebelum aku melampiaskan kemarahanku padamu!"

Tak ingin membuat Alfa semakin marah, Nada segera menyingkir dari kamar Alfa dan mengunci pintu kamarnya.

"Pasti Kak Alfa masih kecewa karena Kak Nadia," lirihnya.

Nada memilih merapikan barang-barang bawaannya di lemari. Setelah beres, ia menutup kembali lemari pakaiannya. Ia juga meletakkan beberapa produk skincare miliknya di meja rias yang ada di dekat jendela kamar. Setelah semuanya rapi, ia keluar dari kamar dan mencoba mengetuk pelan pintu kamar Alfa.

"Kak! Kak Alfa!"

Alfa membuka pintu kamarnya dan menatap datar istrinya.

"Ada apa?"

"Kamu mau aku masakin apa untuk makan siang nanti?" tanya Nada pelan.

"Kamu olah saja persediaan yang ada di kulkas. Semua bumbu dapur lengkap," jawab Alfa datar.

"Oh... Oke!"

Alfa kembali menutup pintu kamarnya. Respon sang suami benar-benar membuatnya kesal.

"Andai memukul suami itu gak dosa, udah kupukul dia pake panci ini," gerutu Nada sambil memukul pelan panci milik Alfa.

Perhatian Nada beralih ke lemari pendingin dua pintu ukuran besar yang ada di dekat rice cooker di sudut dapur. Begitu ia buka, matanya terbelalak. Isi lemari pendinginnya lengkap. Di bagian freezer ada daging sapi, daging ayam, sosis, bakso sapi, dan nugget, sedangkan di bagian bawah ada berbagai macam buah dan sayuran, juga ada telur dan pudding coklat.

"Fix! Kayaknya Kak Alfa hobi masak ini. Isi kulkasnya aja lengkap gini. Kak Nadia sih pake kabur segala dari Kak Alfa!" celetuknya.

Nada mengeluarkan daging ayam dari lemari pendingin lalu merendamnya dalam baskom berisi air. Selain itu, ia juga mengeluarkan beberapa jenis sayuran untuk ia buat capcay.

"Oke! Semua siap diolah!" serunya.

Alfa hendak keluar kamar ingin ke dapur untuk mengambil air minum dan melihat istrinya tengah sibuk mengolah beberapa bahan makanan. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya. Ia melihat Nada begitu luwes dalam urusan dapur, sangat jauh berbeda dengan Nadia yang cuma tahu belanja dan bersolek sampai begitu enggan berkutat dengan bumbu dapur.

Alfa menggelengkan kepalanya sesaat setelah ia membandingkan sosok kakak beradik itu dalam pikirannya. Meskipun hatinya masih mencintai Nadia, ia tak boleh membandingkan mereka. Mereka punya kelebihan masing-masing. Dalam pandangan Alfa, Nada adalah gadis ambivert. Ia mampu menempatkan dirinya sesuai situasi lingkungan maupun lawan bicaranya. Tiba-tiba Alfa merasa tak enak hati karena telah membentak Nada, padahal Nada adalah istrinya.

"Kamu masak?" tanya Alfa tiba-tiba.

Nada memutar bola matanya.

"Aku lagi salto! Udah tahu aku lagi pegang spatula buat ngaduk capcay ini!" gerutu Nada.

Alfa terkekeh geli karena Nada yang tiba-tiba ketus padanya.

"Perempuan lagi halangan benar-benar kayak singa, ya. Aaaww... Galak!"

Dengan geram, Nada melempar sebuah wortel ke arah kepala Alfa.

"Aduh! Kok kamu lempar aku, sih!"

 "Kalo kamu gak bantuin aku mending diam aja!"

Alfa pun duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja bar. Matanya masih tertuju pada sang istri yang begitu luwes menggerakkan spatula pada kompor dua mata yang apinya menyala semua. Diam-diam ia tersenyum. Alangkah beruntungnya pria yang menjadi suami Nada! Tapi, kan sekarang dirinya yang jadi suami Nada. Andai cinta itu sudah muncul, Alfa akan merasakan hal itu. Sayangnya, ia tak merasakan hatinya berbunga-bunga ketika bersama Nada.

Oh, ayolah, Alfa! Mau sampai kapan kau mencintai wanita yang sudah meninggalkanmu begitu saja?

Saat ini, ia hanya bisa memperlakukan Nada sebagai seorang adik. Saat Nada meminta pisah kamar pun ia mengiyakan karena ia sendiri belum siap untuk menyentuh istrinya meski ia butuh itu. Ia juga tak ingin Nada merasa terpaksa melayani hasratnya. Anggaplah saat ini, mereka belajar untuk saling mengenal secara perlahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status