Share

[PAGE 2] MOVING

Jeje masih terbayang akan hal-hal yang ia lakukan dengan kekasihnya kemarin malam.

"Mau kemana, Vel?" tanya Jeje di malam hari saat Vella siap bepergian padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam.

"Em.. ke temen aku," jawabnya, sambil duduk disebelah Jeje.

"Naik apa?"

"Taksi.."

"Hati-hati udah malam, balik sini nggak?"

"Kayaknya besok pagi aja aku balik Je, kamu berani kan sendiri?"

Jeje mengangguk.

"Eh gimana kemarin udah bilang si Nico kalau mau nikah?"

Jeje mengangguk lagi sambil tersenyum.

"Hasilnya?"

"Dia bakal bicara ke ortunya minggu depan, pas ortunya pulang."

Vella tersenyum lega. "Syukurlah... Oh iya Je, aku pergi dulu ya..."

Jeje mengangguk, ia memandang kepergian Vella.

****

Jeje duduk bersebelahan dengan Nico. Didalam mobil Nico, Jeje merasakan dinginnya hawa AC mobil ditengah derasnya hujan yang sedang mengguyur jalanan. Sebuah lagu genre Jazz mengalun menemani suasana, sedikit membangunkan keheningan yang ada.

Wajah Jeje tampak kesal, bagaimana tidak kesal? Sudah dua hari berturut-turut Mamanya menelponnya dan marah-marah karena Jeje tak kunjung memberi keputusan dengan perjanjian yang sudah disepakati lebih dari seminggu lalu. Bahkan Jeje rencana akan di coret dari kartu keluarga jika tidak segera memberi keputusan yang amat sangat penting bagi orang tuanya dan jujur, Jeje juga akhir-akhir ini merasa takut tinggal di rumahnya sendiri karena sejak kejadian pembunuhan dilingkungan perumahannya tidak ada staff-nya yang mau menginap kecuali Vella. Vella pun begitu, ia tidak menginap setiap hari, jika dalam hitungan tujuh hari Vella hanya menemani Jeje selama dua hari.

"Emang kamu belum bicara sama mama papa kamu?" tanya Jeje dengan penuh harap, walau ia tau malam ini Nico sedang dalam kondisi hati yang buruk.

"Sudah..," jawab Nico, ia tak kalah badmood dibanding Jeje.

"Terus?"

"Setuju kok ortu aku," jawab Nico lagi dingin, ia tak pernah sedingin ini sebelumnya. Akhir-akhir ini Jeje merasa Nico berubah, yah.. Nico berubah sejak hari itu. Hari dimana Nico hampir merenggut keperawanannya.

"Terus.. kelanjutannya gimana?" tanya Jeje lagi, ia mulai sumringah. Bagaimana tidak? Jika ia segera menikah dengan Nico, ia tak perlu memikirkan lagi bagaimana hidupnya yang sedang dalam posisi sulit karena paksaan orang tuanya ini.

"Kita tunda dulu aja, ya?" Nico memandangnya.

Senyum Jeje menghilang. "Maksudnya?"

"Je.. kita udah pacaran lama dan sampai saat ini aku rasa kamu belum sepenuhnya percaya sama aku," curhat Nico.

"Apanya, sayang?" tanya Jeje tak mengerti.

"Kamu itu pasti aku nikahin!" katanya tegas, sedikit membentak. "Tapi kamu aku minta untuk berhubungan kemarin aja udah nangis-nangis nggak jelas, seakan-aku hanya cari enaknya. Padahal kamu tau kan aku pasti tanggung jawab?"

Jeje terkejut bukan main, ini pertama kalinya Nico semarah ini padanya. "Berhubungan?"

"Yes of course!" katanya lagi penuh amarah. "Umur kita udah dewasa, nggak ada salahnya kita ngelakuin itu dulu!"

Jeje terdiam, ia kesal. Benar-benar kesal dengan pendapat Nico.

Jeje menitikkan air matanya. Ia ingin membela dirinya, tapi rasa marah padanya menahan mulutnya untuk berkata daripada Nico semakin marah padanya.

"Please.. biarin aku milikin kamu seutuhnya!"

"Hiks..."

"Tu kan, gini aja nangis."

Jeje menahan suara tangisnya yang semakin kencang. "Jadi.. aku harus gimana?"

Nico tak menjawab. Faktanya Nico masih merasa terhina karena pacarnya menolak tawarannya untung melakukan apa yang dia mau.

"Kalau kamu nolak nunda pernikahan kita.. mau nggak mau aku harus pindah ke rumah teman mamaku," jelasnya sambil terbata-bata. "Aku nggak mau LDR sama kamu..."

"Yaudah pindah aja," sahut Nico, seakan tak peduli. "Pindah aja.. sampai aku tenang, kalau aku udah tenang.. aku akan kabarin kamu dan kita akan menikah."

Jeanica, cewek cantik bersifat sabar dan suka mengalah itu mengangguk. Walau ia kesal dengan Nico saat ini, ia masih sangat menyayangi Nico. "Oke.. aku pindah rumah.. paling tidak aku bisa buat orang tua aku tenang untuk saat ini."

Tak mau lebih lama dengan Nico, Jeje keluar dari dalam mobil. Menerobos derasnya hujan, berlari menuju rumah butiknya yang sudah tutup. Ia meninggalkan Nico diluar sana, tanpa sebuah kecupan tidak seperti hari-hari biasanya.

Jeje menangis kencang, ia dalam posisi yang serba salah. Walau Mama dan Papanya adalah orang tua yang protektif dan berduit, ia tak ingin sedikitpun menambahi beban pikiran orangtuanya mengingat Papanya tersbut mengidap penyakit Diabetes. Ia tak ingin membuat orang yang tengah merawatnya sejak kecil tersebut semakin parah penyakitnya hanya karena ke egoisannya yang tak mau kembali ke Jakarta dan pindah rumah. Jeje sadar, kedua orang tuanya semaksa ini karena memang ini demi kebaikannya. Sedangkan disisi lain, ia sangat mencintai Nico dan tidak mau meninggalkan Nico sendiri di kota penuh kenangan ini.

****

"Jadi rumah ini sekarang nggak ada yang nempatin?" tanya Vella sambil menatap Jeje yang sudah siap akan koper-koper bawaannya karena hari ini Jeje akan memindahkan barang-barangnya ke rumah teman Mamanya yang sebentar lagi menjemputnya.

Jeje mengangguk. "Buat tidur aja, kalau jam kerja ya gue pasti disini."

"Tapi kalau sewaktu-waktu staff butuh tempat tidur karena pulang ke malaman, masih boleh tidur disini, Je?" tanya Rika, Rika adalah salah satu staff yang sering membantu Jeje untuk men-design sebuah dress. Bisa dibilang Rika lebih paham tentang style dibanding Vella.

Rika lebih tua dari Jeje satu tahun. Rika sudah berkeluarga, ia mempunyai seorang anak berusia tiga tahun. Terkadang Rika mengajak anaknya tersebut ke tempat kerja.

"Boleh, tidur aja. Kan udah tau password pintunya. Nggak papa kok," jawab Jeje tersenyum manis sambil memandangi setiap sudut ruangannya yang penuh dengan berbagai macam dress. Ada yang hanya di gantung, dilipat, tetapi beberapa style baru pasti akan di pasangkan di manekin untuk menarik para pengunjung. Walau area butik Jeje masuk ke dalam perumahan, rumah Jeje adalah rumah di bagian utama gerbang perumahan masuk dalam arti kata, di jejeran rumah Jeje juga banyak toko-toko mulai dari kafe, karaoke, foodcourt dan segala jenis toko lainnya sehingga perumahan ini menjadi salah satu tempat tujuan bagi para masyarakat.

Tak seberapa lama mereka berbincang, seorang wanita seumuran mamanya masuk ke dalam butik dengan pakaian modis dan rambut pirang. Seorang pegawai menyambutnya ramah dengan senyuman dan ucapan selamat datang.

"Bisa ketemu Jeje?" tanya beliau.

"Bu Jeje? Dari siapa?" tanya balik si pegawai bernama Vino, cowok tampan bertubuh tinggi dengan perut sedikit buncit. Vino sering jadi magnet para wanita muda, terkadang hanya untuk melihat Vino ada beberapa customer yang setiap minggu datang membeli beberapa pakaian.

"Tante Loren?" sapa Jeje, saat melihat kedatangan wanita modis tersebut.

"Hai.. kamu Jeje?" tanyanya dengan wajah bersinar.

Jeje mengangguk sambil menghampiri Lorensia atau biasa dipanggil Loren. Seorang wanita seumuran dengan Ibunya yang masih berkepala empat.

"Astaga.. kamu cantik banget ya dari kecil wajah kamu nggak ada yang berubah," puji Loren, terkesima melihat kecantikan natural yang dimiliki oleh Jeje.

"Makasih tante.. tante juga awet muda, cantik."

"Ahh kamu bisa aja, mana barang kamu? Sini biar di bawa sopir tante."

Sopir Loren mengangkut barang-barang miliki Jeje, sedangkan Loren berjalan berputar melihat satu persatu hasil karya Jeje mulai dari dress, atasan dan bawahan.

"Kalau ada yang tante suka, ambil aja.. Jeje kasih free," katanya sambil berjalan menemani Loren sebelum ia pergi ke rumah Loren untuk numpang tidur.

"Ini bagus banget, Je," ucap Loren, mengambil sebuah pakaian yang tergantung di hanger. Long dress berwarna maroon dengan model sabrina dan roknya mekar.

Jeje menaikkan alisnya, ia tak menyangka selera Loren masih seperti anak muda pada umumnya "Ambil aja te."

"Serius?"

Jeje mengangguk sambil mengambil dress yang di pegang oleh Loren. "Masukin paper bag," suruhnya pada seorang staffnya.

"Udah tante bayar aja...," Loren tampak hendak mengeluarkan uang. Ya, Jeje tak menerimanya. "Yaudah makasih ya sayang..."

"Anggap aja ucapan terimakasih Jeje karena tante udah ijinin Jeje tinggal dirumah tante."

Loren tersenyum balik.

Sopir kepercayaan keluarga Loren mulai mengemudi di siang hari yang begitu terik. Jeje dan Loren duduk di kursi belakang sambil bersanda gurau layaknya sudah sering bertemu dan bagaikan sahabat, padahal Loren seumuran dengan Ibunya. Tertawa terbahak-bahak dan tentunya sambil bergibah, itu yang dilakukan oleh mayoritas manusia dimana bumi dipijak.

"Jadi dulu waktu Jeje umur dua tahun tante udah pernah ketemuu Jeje?" tanya Jeje masih tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Ia pikir ia akan satu rumah dengan tante-tante kaku dan menyebalkan layaknya ibu tiri, ternyata teman Ibunya ini begitu asik dan ia rasa ia akan sangat betah tinggal bersama Loren.

"Sudah.. dulu tante itu teman sekantor Mama kamu.. sering banget ketemu kamu sampai akhirnya tante harus ikut pindah kesini karena suami tante buka usaha disini."

"Oh...," Jeje mengangguk tanda mengerti. Ia sudah tau dari Ibunya jikalau Loren dan suaminya yang bernama Benny memulai bisnis dari nol. Awalnya hanya menyewakan rumah, membangun kos-kosan dan sekarang mempunyai beberapa hotel yang tersebar se Indonesia raya. Kekayaan Loren tak ada habisnya. "Terus kata mama, tante punya anak cowok ya?"

Loren mengangguk. "Iya.. tapi dia tinggal di apartemen sambil ngurusin apartemen dan hotel disini, tante kan di rumah..."

Mulut Jeje melingkar lagi sambil mengucap kata 'Oh' tanda mengerti. "Oh iya tante, maaf ya ngerepotin. Malah tante yang jemput Jeje, soalnya Mama nggak bisa kesini."

"Iya kemarin mama kamu telpon, katanya lagi sibuk banget di Jakarta. Its oke.. tante malah suka. Asal kamu tau, tante tu dari dulu pengen punya anak perempuan. Jadi tante seneng banget waktu kamu mau nginep dirumah tante."

Jeje tersenyum lebar.

Handphone Loren bordering, tak lama bordering Loren mengangkat sebuah panggilan yang langsung mengejutkannya, membuat Jeje ikut terkejut mendengar kepanikan yang di rasakan oleh Loren. Wajah Loren begitu serius, seakan sedang terjadi sebuah bencana.

"Kenapa tante?" tanya Jeje, melihat kepanikan yang membuat Loren sangat gelimpangan.

"Ini.. keponakan tante yang di Bekasi kecelakaan, lagi kritis," ceritanya. Tangannya gemetar. Jeje menggenggamnya. "Jeje.. tante harus ke Bekasi ini, pasti tante harus kesana hari ini sama Om. Soalnya keponakan tante itu merantau sendirian, sejak dia kecil tante yang rawat dia sampai akhirnya dia kerja di hotel tante yang di Bekasi. Dia nggak punya orang tua. Aduh.. aduh kamu gimana ya? Nggak mungkin tante ninggalin kamu sendirian di rumah, kasihan kamu," jelasnya panik.

"Nggak papa tante, Jeje ke rumah Jeje aja. Nanti kalau tante udah balik dari Bekasi baru Jeje pindah ke tempat tante," katanya tenang untuk tak menambahi pikiran Loren. "Nggak papa te, Jeje bisa jaga diri. Sumpah," ucap Jeje mencoba meyakinkan.

Loren berpikir sebentar hingga ia menemukan sebuah solusi. Ia menggenggam balik tangan Jeje dan menatap matanya. "Je, kamu tante titipkan di anak tante ya? Kamu tinggal di apartemennya?"

"HAH?" Bola mata Jeje seakan mau keluar. "Maksud tante.. sama anak tante yang cowok itu?"

Loren mengangguk. "Tenang.. Arion itu cowok baik, tante yakin dia nggak akan apa-apain kamu. Untuk sementara kamu tinggal sama dia, ya? Paling tante cuman seminggu."

Melihat wajah Loren yang sudah tampak bingung dan hampir menangis karena khawatir dengan keponakannya, Jeje mengiyakan tanpa pikir panjang. Jeje tak tega, dia orang yang paling tidak tegaan di muka bumi ini.

To Be Continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status