Share

[PAGE 3] SERUMAH SAMA COWOK ASING

Pukul 18.00..

Bola mata Jeje tak bisa luput dari sosok yang sangat ia sering lihat di Koran, tempat keramaian ketika ada music festival, dan televisi saat berjumpa dengan anak dari Lorensia yang bernama Arion.

Tubuhnya tinggi berotot, kulitya putih, matanya tajam, hidungnya mancung dan ukuran bibirnya pas dengan porsi wajah tampannya ditambah ia berwajah nakal. Sumpah, Arion begitu tampan. Jika diibaratkan wajahnya dengan seorang actor bernama Lee Jong Suk. Kini Arion duduk di sofa depannya, bersebelahan dengan suami dari Loren yang bernama Benny.

"Jadi maksud kalian, dia tidur disini?" tanya Rion lagi, yang kesekian kalinya.

Loren mengangguk. "Please.. ya sayang ya?" rayu Loren, bergelut manja pada anak tunggalnya.

Jeje yang duduk seorang diri didepan mereka menahan tawa.

"Ma.. kan banyak kamar kosong di hotel, ada kamar kosong juga di apartemen.. kenapa nggak bukain satu kek buat dia. Kenapa harus sama Rion?"

Rion tampak bingung dengan pemikiran kedua orang tuanya.

"Rion, kalau emang dia dibukain kamar kosong apa bedanya dia tinggal sendiri di rumahnya? Papa nyuruh di Jeje disini biar ada yang jaga dia, yaitu kamu."

"Pa.. dia udah besar, nggak harus kan ada yang jagain dia?" sahut Rion lagi. Rion tak suka dengan kehadiran Jeje.

Jeje diam, ia memang sangat berharap agar tak jadi seatap dengan Arion. Dilihat dari wajahnya saja Rion sudah jutek, apalagi saat ini seperti hendak mengusirnya.

"Kenapa? Kamu takut ketauan Papa kalau sering bawa cewek kesini makanya kamu nolak dia?" ucap Benny lagi, membuat tawa Jeje meledak.

"Hufth,,," Rion mendengus kesal, super kesal.

"Please.. seminggu aja.. eh.. empat hari deh," rayu Loren lagi.

"Iya oke oke.. nanti dia tidur di kamar kosong sana," jawab Rion, menunjuk sebuah kamar tertutup yang dekat dengan ruang telivisi.

"Makasih sayang, kamu emang anak mama!" Loren memeluk gembira, Benny tersenyum lebar merasa menang berkat pertanyaan konyolnya.

Jeje sedikit kecewa, yang ia harapkan tak terjadi. Ternyata Rion menerimanya, ya.. untungnya hanya empat hari.

"Pesawat jam berapa?" tanya Rion.

"Dua jam lagi," jawab Benny. "Nggak usah khawatir, kan bandara disebrang sana sepuluh menit juga sampai."

"Nggak ada yang khawatir kali pa," sambung Rion, bangkit dari tempat duduknya dan berjalan kearah dapur.

"Jeje.. tante sama Om langsung ke bandara aja ya, soalnya mau beli-beli dulu. Kamu jaga diri, nanti kalau tante udah balik kesini kamu tinggal di rumah tante. Oke?"

Jeje mengangguk. "Makasih om.. tante.. maaf ngerepotin banget."

"Enggak papa, tante sekarang lega kamu nggak tidur di rumah sendirian lagi."

Cewek berkaos putih dan memakai jeans biru muda itu tersenyum.

"Rion.. jagain itu si Jeje, pastikan tiap malam dia disini. Oke?" kata Benny sedikit nyaring namun Rion hanya bergumam.

Loren dan Benny pergi meninggalkan kamar apartemen Rion yang megah dan berkelas. Kamar apartemen yang di huni Rion ada di lantai 19. Lantai 19 adalah lantai tertinggi yang dimana hanya terdapat dua kamar di lantai tersebut. Bisa terbayangkan seluas apa kamar Rion? Ya sangat luas. Didalam kamarnya ada ruangan tingkat. Hanya saja di lantai dua kamar Rion adalah kamar tidur kusus Rion, sedangkan di lantai satu terdapat ruang tamu, ruang televisi, dapur, dua kamar kosong dan sedikit taman di area outdoor. Sungguh Rion adalah anak milyader.

Ditinggalkan Loren dan Benny, membuat Jeje mati kutu karena hanya bersama Rion. Memang Rion tampan, lebih tampan dibanding Nico. Hanya saja Rion adalah orang asing baginya.

Jeje duduk dengan kepala tegak lurus memandang televisi yang juga di tonton oleh Rion. Sesekali ia melirik kearah Rion sambil membatin, 'indahnya ciptaan Tuhan.'

"Nggak usah mikir aneh-aneh, kamu," ucap Rion, menangkap pandangan Jeje.

Jeje buru-buru mengalihkan pandangannya.

"Nggak mandi?" tanya Rion, menatap Jeje dengan wajahnya yang memang tipikal wajah nakal. Ya bukan salah Rion mempunyai wajah seperti itu, Rion ciptaan Tuhan.

"Iya ini mandi...."

Jeje menarik satu koper besar dan satu koper kecilnya ke dalam kamarnya yang siap di tempati karena sudah di siapkan oleh Loren. Ia menutup kamarnya, duduk diatas kasur empuk dengan jantung yang berdetak kencang.

"Bisa mampus gue kalau Nico tau gue serumah sama si Rion," gumamnya sambil mencoba mengalihkan ke fokusannya. "Pokoknya mulut gue nggak keceplosan empat hari aja, pasti Nico nggak tau."

Lama ia menenangkan diri, ia mulai merapikan pakaian-pakaian yang ia bawa sementara didalam kopernya. Ya, hanya pakaian seperlunya yang ia bawa. Setelah rapi, Jeje mengambil handuknya dan sebuah baju tidur. Jeje keluar dari kamar, bisa dilihatnya Rion masih menonton pertandingan bola di pukul sembilan malam kemudian Jeje masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ia menyalakan shower air hangat yang membasahi seluruh bagian tubuhnya yang tanpa busana. Hangat dan menyegarkan. Di shamponya rambut panjangnya di sabuninya tubuhnya yang terasa lelah hari ini sampai jarum panjang menunjukkan angka enam. Jeje mandi cukup lama, ketika ia keluar dari kamar mandi.. ruang telivisi sudah tak ada ada orang. Di pandang Jeje lantai dua yang tak tertutup tembok namun terhalang kaca besar, ada Rion sedang berebah disana.

Jeje masuk ke dalam kamarnya. Disisirnya rambut basahanya itu sambil menghadap ke cermin. Tak lupa sebelum tidur Jeje mengoleskan handbody agar kulit putihnya tetep halus seperti biasa dari tangan hingga kaki sampai pada akhirnya pintu kamarnya yang terbuka mendadak membuatnya berdiri terkejut.

"Ri.. Rion?" katanya canggung.

Rion tak kalah canggung. Wajah Rion memerah.

"Liat apa?" tanya Jeje sewot.

"Nggak usah salah tingkah..," katanya kemudian masuk kedalam kamar Jeje, mendekat kearah Jeje. "Nih nomor HP gue, lo simpen. Kali aja lo butuh bantuan." Ia meletakkan kartu namanya diatas kasur empuk Jeje, kemudian pergi lagi kearah luar. "Lain kali, kunci pintunya," ucapnya sebelum pergi.

Blak.

Rion menutup pintu kamar Jeje.

Jeje tertawa kecil. Melihat sikap Rion barusan, ia sadar dan percaya akan kata-kata Loren jika Rion anak baik.

****

"Gimana hari kamu, Je? Menyenangkan?" tanya Rika sambil merapikan beberapa busana pada manekin.

"Syukurlah.. nggak ada masalah," jawab Jeje yang juga sibuk merapikan beberapa gantungan dress bersama karyawannya yang lain sebelum butik buka di jam sepuluh siang.

"Oh iya mbak, si Vella katanya agak terlambat datang hari ini," jelas Jeje.

"Iya tadi Vella udah kasih tau, Je," sahut Rika. "Dia akhir-akhir ini kayaknya lemes gitu, kamu perhatiin nggak sih?"

Jeje mengangguk. "Iya.. aku juga ngerasa gitu. Nanti aku tanya deh."

"...."

"Eh mbak.. ada pesenan enam dress buat bridesmade ya tanggal sepuluh bulan depan udah jadi, modelnya kaya yang ini," jelas Jeje pada Rika.

"Okay, nanti aku mulai produksi."

Tak lama mereka menata baju, butik di buka. Lambat laun para pengunjung mulai datang silih bergantian. Ada yang memesan motif baju, ada yang sekedar lihat-lihat untuk bertemu Vino bahkan ada yang langsung memborong membeli 10 baju. Para pembeli mempercepat waktu yang sebenarnya terasa lama hingga mengantarkan dunia pada jam satu siang.

"Vel, are you okay?" tanya Jeje, duduk disebelah Vella yang ada di ruang tengah sambil bersandar pada sofa.

Vella mengangguk, hanya saja wajahnya tampak lesu. "Cuman kurang tidur kok, Je."

"Emang lo ngapain aja nggak tidur?"

"Nonton drama," jawabnya sambil tertawa.

Jeje ikut tertawa. Nonton drama Korea memang hobi mereka.

"Je, gue sumpek. Clubbing yuk?" katanya tiba-tiba.

"Hah? Clubbing?"

Vella mengangguk mantap.

"Enggak deh, nanti dimarahin Nico," jawab Jeje meringis, padahal sebenarnya Jeje ingin sekali pergi ke tempat clubbing karena sudah lama sekali ia tak kesana.

"Ya jangan pamit ke Nico... ngapain pamit," kata Vella lagi. "Mumpung malam minggu."

"...."

"Gue tau.. lo berantem kan sama Nico? Daripada sumpek mikirin Nico mending kita have fun. Lagian kita kan cuman duduk menikmati irama nggak ikut ngelonte," katanya begitu frontal. "Ayuklahh.. ya?"

Jeje menghembuskan nafasnya. "Iya.. kita ketemu dimana? Disini?"

"Yey! Sipp.. daripada ketemu disini, mau gue jemput aja?"

"Eh jangan.. ketemuan aja disini, atau lo jemput disini. Gimana?"

"Oke..."

Vella tampak amat senang, akhirnya ia bisa melepas seluruh permasalahannya dengan berhura-hura.

Pukul 23.40..

Jeje melangkahkan kakinya tanpa ragu keluar dari kamar menggunakan pakaian yang sudah ia siapkan sejak tadi karena Nico belum tercium batang hidungnya. Ia segera memesan taksi untuk mengantarkannya ke tempat yang sudah ia sepakati bersama Vella. Vella datang menyusul Jeje mnggunaklan mobil Vella dan mengemudikan mobilnya di tengah gelapnya malam menuju salah satu diskotik elite kota.

Mereka berdua memasuki area, irama lagu mengalun menambah semangat.. Lampu disko gemerlap kesana kemari ditengah gelapnya ruangan. Didepan sana ada seorang DJ sedang memainkan musik, ada juga orang-orang yang sedang berjoget tanpa sadarkan diri karena pengaruh alkohol. Jeje dan Vella mencari-cari kursi kosong yang masih tersedia.

"Hai, boleh duduk sini?" tanya Vella sedikit berteriak.

"Duduk aja cantik!" jawabnya lelaki itu setengah mabuk.

Sebenarnya Jeje tak suka jika ia harus bergabung duduk dengan orang asing, namun bagaimana lagi. Tak ada kursi tersisa.

Vella terlihat bisa membaur bahkan dengan lawan bicara yang tak ia kenal. Itulah Vella, sejak dulu memang ia begitu. Sedangkan Jeje yang anak baik-baik hanya duduk menonton orang berjoget sambil meminum beberapa tegukan Baileys Setidaknya ia sudah menemani Vella yang tampak lelah menjadi ceria seperti ini pikirnya. Vella sibuk dengan kenalan barunya.

"Sendirian?" tanya seorang cowok yang tiba-tiba duduk disebelah kanan Jeje. Cowok bertopi itu mencoba menggodanya.

Jeje tak merespon.

"Gilang," katanya memperkenalkan diri.

Jeje tersenyum.

Gilang semakin tertarik dengan Jeje, selain cantik Jeje sangat jual mahal baginya. Gilang mendempetkan duduknya. "Habis ini kemana?" Ia dengan santainya meletakkan tangannya di bahu Jeje. Spontan Jeje menepisnya.

"Jangan ganggu deh!" kata Jeje mulai kesal.

Gilang semakin semangat. "Makin tertarik gue sama lo!"

Vella yang sadar akan teman sebelahnya itu di ganggu spontan menengahi. "Eh mas! Jangan ganggu temen gue,, nanti cowoknya marah!" ujar Vella berteriak, agar bisa didengar karena kerasnya music edm yang mengalun.

"Ah nggak papa," ujar Gilang semakin gila di bawah pengaruh alkohol.

Jeje mendorong Gilang hingga tangan Gilang menyenggol gelas yang ada diatas meja jatuh ke lantai hingga pecah. Beberapa orang yang ada disekitar mereka menatap. Namun perkelahian bukan hal yang tidak biasa di tempat clubbing sehingga mereka cuek bebek dan melanjutkan aktivitas mereka seperti biasa.

Jeje berdiri dari tempat duduknya. "Gue ke toilet dulu," ujar Jeje pada Vella.

Ia berjalan melewati beberapa pengunjung, namun Gilang menarik tangannya. Mengikutinya.

"Apaan sih!" Jeje kesal, ia mencoba menepis tangan Gilang namun Gilang semakin kuat mencengkramnya.

"Jual mahal lo ya jadi cewek, gue makin suka!" katanya mabuk.

"Lepasin dia, anjing!" umpat seorang cowok yang tiba-tiba menolong Jeje disaat Jeje mulai bingung harus berbuat apa. "Berani-beraninya lo nyentuh dia!"

"Arion..."

Jeanica tak percaya, kini anak tante Loren itu menolongnya. Rion benar-benar menjaganya.

"Sorry.. sorry.. gue nggak tau dia udah punya cowok," kata Gilang mengangkat tangan dan berjalan mundur.

Rion geram, sebenarnya ia ingin menghajar wajah Gilang. Hanya saja ia ingat, ada Jeje disampingnya. Melihat kedatangan Rion, para pengganggu pergi meninggalkan Jeje. Rion dan Jeje saling bertatapan.

"Je, lo nggak papa?" tanya Vella yang baru tiba di lokasi tempat Jeje di serbu oleh segerumbulan lelaki.

Jeje tersenyum dan mengangguk.

Vella melihat kearah Rion, Rion yang tampak sedang memegang lengan Jeje. "Lo siapa?"

To Be Continue...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lea Octa
imajinasi ku langsung ambyar...kirain visualnya kaya indo campur bule...eh di ibaratkan sm artis Korea cewe sm cowoknya jd kebayang make-up an gitu model cowoknya bukan macho dan badboy😓
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status